[14] Bolos Berama Liam
Aku menunggu Liam mengeluarkan sepeda di depan tempat parkir di luar area sekolah. Kami berhasil keluar dari sana sebelum gerbang di tutup. Sebelumnya aku dan Liam meletakkan tas ke studio band. Aku yang meminta Liam agar kami bolos sekolah. Mungkin aku bukan pembolos ulung. Jadi sebenarnya aku ketakutan sekarang.
Liam bahkan tidak berkomentar apapun. Dia menyetujuhi juga memberiku banyak pertanyaan.
"Kamu yakin?"
"Aku tukar sepeda dengan temanku yang parkir di luar sekolah, bagaimana?"
"Ke mana kita?"
"Aku tidak ingin sekolah hari ini. Terserah ke mana saja," kataku waktu itu.
"Apa perlu ganti baju dulu sebelum pergi ke suatu tempat?" Dia diam sejenak. "Tidak aman bagi pelajar memakai seragam berada di jalan di jam aktif sekolah. Nanti bisa kena Satpol PP."
"Aku tidak mau pulang."
"Kalau begitu ke rumah aku. Pakai bajuku yang mungkin ada yang cocok dengan kamu. Bagaimana?"
"Baju cowok?" Aku setengah bergidik membayangkan memakai pakaian cowok yang kedodoran. Aku bisa membayangkan tinggi tubuh Liam yang tinggi pasti ukuran bajunya lebih besar daripadaku yang ukuran tubuhku mini seperti bocil.
Liam mengangguk. "Apa perlu beli?"
"Ke rumah kamu aja." Mungkin pakai baju Kana. Pikirku saat itu.
"Oke. Mungkin bisa juga pakai baju adikku."
Tidak lama Liam muncul dengan sepeda motor Scoppy warna cokelat-hitam. Dia memberiku helm pinjaman dari pemilik tempat penitipan sepeda. Dan kami pun segera pergi dari sana. Perjalan menuju rumah Liam melewati lingkungan sekitar rumahku. Aku sempat memalingkan muka kurasa rumah itu mempunyai mata.
"Kamu ada masalah apa? Coba cerita?"
Aku menggeleng. Liam melirikku dari kaca spion. Aku tidak ingin berbagi masalahku dengan Liam. Terlalu rumit, sedang aku juga bingung memulai dari mana. Dalam cerita itu akan muncul namanya. Aku tidak ingin rasa sayangku hanya terbalas hanya karena ingin dihargai.
"Yasudah." Mungkin Liam boleh saja menduga jika aku ada masalah dengan Neo ataupun Bianca. Sejauh ini selama Liam tidak protes aku merasa aman dengannya. Aku berharap memikirkan hal lain yang tidak membuatnya merasa putus asa denganku.
"Kamu kenapa mau ikut bolos sekolah?"
"Kita tinggalkan masalah itu sejenak. Kita buat cerita seru untuk hari ini."
"...." Aku tidak paham maksud perkataanya. Tapi dugaanku sebelumnya mungkin ada benarnya.
"Yang terpenting bagaimana perasaanmu sekarang?" Aku sangat penasaran dengan ini. Aku tidak ingin dia memberiku banyak harapan jika sebenarnya dia tidak suka deganku.
Dia mendesis dan berpikir cukup lama untuk mengatakan, "Senang. Bingung. Takut." Tanganku memegang pinggang Liam.
"Tidak baik." Liam menoleh. Dia berusaha melihat wajahku. "Aku tidak setuju dengan dua kata terakhir. Ganti!" Kemudian matanya fokus ke jalanan lagi.
"Diganti apa?"
"Senang karena bolos bersama Liam."
"Apaan sih." Aku langsung mendorong helmnya, membenturkan dengan helmku. "Tapi, bolehlah."
Kami berdua tertawa. Aku suka bagian-bagian sederhana seperti ini. Bagian di mana kami menertawakan hal yang tidak penting untuk ditertawakan.
Tiba-tiba tawa itu mereda. Aku memikirkan bagaimana perasaan Liam sekarang. Apakah dia juga suka ketika bersamaku seperti yang aku rasakan?
Bicara soal perasaanku. Memang rasanya menyenangkan berbuat sesuatu yang belum pernah dilakukan bersama dengan orang yang kita cintai. Seperti sekarang. Lima belas menit sebelum gerbang di tutup kami justru pergi ke luar sekolah. Bolos sekolah. Kurasa semua orang juga akan merasakan hal yang sama jika berada di posisiku. Aku muak dengan Bianca dan aku tidak ingin melihat Neo.
Aku ingin Neo berpikir dengan hubungannya dengan Bianca. Buarpun aku dengan Bianca masih tidak baik-baik saja tapi aku tidak ingin Bianca menganggap Neo memainkannnya.
Aki tersadar dari lamunan saat Liam bilang, "Kita hampir sampai." Aku merasa sangat senang sekali. Bertambah dua kali lipat.
Bagaimana tidak. Aku akan bertemu dengan Ibu dari seorang lelaki tampan yang kini tubuhnya aku peluk. Aku akan berterima kasih sekali dengan beliau. Telah merawat pria tinggi ini dengan baik, sopan, dan memberiku kenyamanan.
Hanya berselang satu menit. Kami akhirnya tiba di depan rumah Liam. Rumah ini tidak asing bagi aku. Tidak ada pagar rumah jadi motor langsung masuk dan berhenti di halaman berkerikil. Di bagian samping, ada sebuah toko yang menjual alat-alat musik. Teringat aku pernah membeli stik drum di sini.
"Jadi ini rumah kamu?" Nada bicaraku seperti meremehkan. Tapi sebenarnya aku kaget karena toko musik di depan rumahnya adalah toko yang pernah aku kunjungi.
"Iya, kenapa? Kamu pernah beli sesuatu di sini?" Liam menunjuk toko itu. "Dulunya waktu aku SMP ini toko milik keluargaku. Terus, beberapa bulan terakhir aku dan Mas Gera sepakat untuk menyewakan tokonya ke orang lain. Jadi kami jual semua persediaan di toko. Tapi, untungnya yang mau menyewa tempat ini juga ingin menjual alat-alat musik. Kami tinggal menjual persedian toko ke orang ini."
Aku mengangguk. Waktu itu aku membeli stik drum saat setelah aku pulang dari pemakaman Fere, aku jadi terlambat ke sekolah lagi karena harus mampir ke sini terlebih dulu. Kalau mungkin aku dari awal tahu kalau ini rumah Liam mungkin sudah sejak lama aku akrab dengan dia.
"Yaudah, yuk masuk." Liam sudah separuh perjalanan menuju pintu depan. Dia sedang memilih kunci di tangannya.
"Iya." Aku segera mengikuti.
Rumahnya sangat sederhana sekali tampak dari luar bangunannya berlantai dua tapi, tidak ada balkon, yang ada hanya cendela itupun hanya satu. Selebihnya hanya tembok putih. Aku juga berusaha memahami apa motivasi keluarga Liam membangun rumah dengan model kubus rata seperti ini. Lantai di terasnya hanya diplester dengan semen halus, kusen pintunya hampir serupa dengan dinding, warnanya putih, beruntung masih bisa mengenali mana daun pintunya karena terdapat garis tebal vertikal berwatna hijau tosca.
Liam membuka pintu lalu berlakata, "Silakan masuk."
Itu bebarengan dengan suara wanita yang tidak asing ditelingaku. "Ratu ketus?"
Aku dan Liam langsung menoleh ke belakang. Urat nadiku terasa membeku seketika. Aku melongo untuk beberapa saat menydari siapa wanita yang memanggilku Ratu Ketus.
"Loh," kata wanita itu dengan ekspresi wajah bingung. Dia adalah Mamanya Neo. "Benar kalian ternyata."
"Budhe," seru Liam.
Budhe? Liam ada hubungan keluarga dengan mamanya Neo?
"Kalian kok di sini? Ada apa?"
Aku dan Liam saling bertukar pandang. Kami tidak mungkin menjawan dengan jawaban jujur dan tidak mungkin pula berbohong.
"Waduh, jangan-jangan kalian bolos yah?" Mamanya Neo tertawa. "Jangan atu. Kok malah bolos sekolah sih."
"Budhe ada apa ke sini?" Beruntung Liam langsung mengalihkan topik. Kalau saja tidak aku juga bingung mau bilang apa karena memang aku dan Liam bolos. Kalimat difensif juga gak berguna kurasa.
"Oh, mau ambil keperluan buat ibu kamu."
Pandanganku terlaih ke seberang jalan aku melihat mobil civic warna hitam terparkir. Dengan seorang pria yang berdiri di samping mobil itu. Aku tahu mobil itu dulu terparkir di garasi mobil rumah Neo.
"Oh, mas Gera sudah siapkan tadi pagi sebelum berangkat kerja."
Aku bingung dengan situasi ini. Jika diibaratkan dengan benang mungkin bentuknya akan semerawut sampai sulit mencari mana ujung-ujungnya. Jika Liam memanggil Mamanya Neo dengan Budhe berarti Neo adalah sepupunya Liam. Dan semalam Neo bilang kalau pindahnya dia dari Bogor adalah karena tantennya ODGJ. Ibunya bantu jaga.
Aku langsung melirik ke arah Liam. Sedangkan Mamanya Neo kini telah merangkulku.
"Gimana kabarnya? Lama tidak lihat kamu," tanya beliau padaku.
Pandanganku teralih ke Liam. Pandangan Liam terlihat kosong. Aku berusaha mencari tahu apa yang Liam sembunyikan tentang apa itu entahlah.
"Masuk dulu Budhe. Liam ambilkan tasnya. Ada di atas soalnya."
Liam masuk lebih dulu. Baru disusul aku dan Mama Ony. Rumah itu memiliki prabot rumah yang tidak terlalu banyak. Jadi ruang tamu terkesan cukup luas. Aku dan Mama Ony duduk dengan tenang. Pandangannku menyapu ke segala sudut ruangan.
"Kalian berteman juga toh," kata Mama Ony.
"Iya, perna jadi teman satu grup band di sekolah."
"Wah iya, Neo juga cerita kamu pindah grup. Padahal dia ingin satu grup dengan kamu," serunya.
Neo. Lagi. Lagi. Dan lagi. Sejauh mana dia cerita soal ini? Hem. Kenapa dia menceritakan semuanya kepada Mamanya. Aku saja kalau urusan tidak penting aku tidak akan cerita ke orang tuaku. Apalagi aku cerita soal cowok bisa-bisa Papa penasarannya minta ampun, ditambah Mama pasti merencanakan untuk makan malam bersama.
"Iya karena grup lain kekurangan anggota," jawabku seadanya.
Mama Ony itu mengangguk lalu tersenyum. "Jadi kamu sama Liam pacaran? Maksudnya dekat gitu?" Mama Ony sempat berdeham. "Neo tampaknya lagi ada masalah sama Bianca itu."
"Enggak, Ma. Cuma teman." Tenggorokanku terasa kering. Cukup pahit mengatakan kenyaataan. Aku tidak mau membahas Neo dan Bianca jadi aku tidak menanggapi masalah itu.
"Masak? Mama gak percaya. Terus ada urusan apa kalian pulang?"
"Cuma ambil baju." Aku bingung menjelaskan seperti apa.
"Iya, takutnya nanti kena satpol PP. Kalau keluyuran pakai seragam sekolah di jam aktif." Mama Ony seperti sudah hapal dengan tingkah pola anak muda. Mungkin, Neo pernah melakukannya dan sudah dapat dipastikan dia akan cerita ke Mamanya kalau bolos sekolah.
Aku mengangguk. "Mama, habis ini mau ke mana?" Sekadar memastikan orang yang dimaksud Neo bukan ibunya Liam.
"Ke rumah sakit umum." Tante Ony menghela napas. "Kamu sudah tahu kan?"
"Iya, Ma." Aku tahu yang tante Ony ingin bicarakan padaku.
Tidak lama Liam keluar. Dia membawa tas tangan berwarna cokelat. "Budhe mau saya buatkan minum dulu."
"Enggak, tante buru-buru. Ibu kamu butuh ini." Mama Ony berdiri dan mengambil tas di tangan Liam.
"Budhe langsung ke rumah sakit yah." Mama Ony berjalan ke pintu. "Liam, Dita, jangan aneh-aneh lo kalian. Besok-besok jangan bolos lagi! Mama hanya kasih izin kali ini aja. Besok-besok kalau Mama tahu kalian bolos. AWAS!"
Liam mengusap tengkunya sambil nyengir.
Aku langsung mengangguk. "Iya, Ma."
Mama Ony lalu berjalan menuju halaman depan. Aku dan Liam menyusul di belakang. Mama Ony telah dibantu supirnya untuk membawa tas dari Liam. Tidak lama kemudian mobil Mama Ony sudah melaju.
Aku dan Liam berdiri di ambang pintu depan. Dia menatapku sambil tersenyum. Aku diam saja dan tak tahu maksud tatapannya itu.
"Kenapa?"
"Kita mau ke mana?"
"Mall."
"Masih buka jam 10 sekarang masih setengah delapan."
"Yaudah di sini aja dulu."
"Mungkin kamu bisa pilih baju yang cocok buat kamu di kamarku." Liam menunjuk pada pintu tidak jauh di belakangnya. "Pilih terserah kamu. Kalau mau bongkar itu lemarinya sekalin buat cari yang cocok."
"Apaan sih, iya." Aku langsung berdiri.
"Aku buatkan minum dulu. Seadanya aja yah. Paling ada sirup. Mau?"
Aku mengangguk dan kami masuk.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top