[12] Apa Aku Mulai Nyaman Dengan Liam?

"Dita, mau minum?" tanya Liam saat kami memutuskan untuk istirahat pasca mencoba melatihkan satu lagu.

"Boleh," jawabku. Liam langsung mengulurkan botol minum kemasan.

"Hei!" cibir Jojo. "Anggota band di sini ada aku dan Albi yah, yang kamu tawari minum cuma Dita?"

"Iya nih, sebagai ketua grup harus adil sama semua anggotanya," tambah Albi.

"Ya Tuhan, memangnya kalian istriku, sampai-sampai harus menawari kalian minum."

Aku meringis, dan hampir tersedak.

"Dita. Suamimu jahat!" rajuk Jojo.

"Apaansih," sanggahku. "Kalian kan sudah bawa minum sendiri-sendiri dan kebetulan aku lupa gak bawa minum."

"Halah, sengaja kan biar suami kamu yang kasih minum," ledek Albi sambil memanyunkan bibir bawahnya. Rasanya ingin menabop bibirnya itu.

"Ya, Iyalah," sahutku. "Sengaja, memang kenapa? Iri?"

Liam tertawa. Dia menggelengkan kepala. Kemudian kami saling pandang dan saling bertegur senyum. "Albi lumayan juga."

"Hei!" Apa maksudnya. "Lumayan? Kamu suka Albi daripada aku?" Kupuluk lengannya.

Liam langsung tertawa. "Oke, untuk lagu ketiga bagaimana?" tanya Liam akhirnya untuk mengganti topik suami-istri dadakan ini. "Lagu kedua dan ke empat sepertinya aman."

"Aku agak ragu di referen kedua, mungkin aku belum sepenuhnya hapal," kata Jojo. "Sulit mengatur suaraku dengan menyesuaikan nada gitarku sendiri."

"Apa perlu mengatur ulang?" Liam menoleh ke arahku. "Latihan kita hari Senin kemarin aku rasa sudah bagus." Sepertinya dia membutuhkan dukungan.

"Iya, sudah bagus sekali malah."

"Ya Iyalah, drumer terbaik di klub musik ada di grup kita." Albi langsung memberikan senyuman bangga.

"Hei, ini sedang membicarajan aku, ya, bukan Dita," protes Jojo.

"Kita coba langsung lagu ketiga bagaimana?" tanya Liam. Aku menghela napas. Tanganku masih terasa panas memegang stik drum.

"Aku mau rebahan dulu." Jojo langsung meletakkan gitarnya dan langsung mengambil posisi duduk bersandar di tembok. Ruangan ini dipenuhi dengan peredam suara. Separuh sisi bawah berwana abu-abu gelap oleh karpet dan separuh lagi diisi dengan karton tempat telur. Dan di langit-langit terdapat palfon yang timbul berbentuk kotak-kotak berwarana sedikit kecokelatan.

"Eh," seru Albi. Lelaki itu berjalan ke depan menuju ke papan pengumuman, di samping pintu. "Ini ada rapat hari Senin, pulang sekolah."

"Serius?" Aku langsung menoleh ke Jojo dan Liam. Mereka juga mengarahkan pandangan ke arahku.

"Kita reservasi jam berapa?" tanya Jojo ke Liam.

"Jam empat sampai jam enam." Liam berjalan mendekat ke papan pengumuman. "Aku akan jadwalkan ulang kalau mungkin bisa."

"Kalau malam aku baru bisa jam delapan." Jojo menghela napas. "Haruskan aku sepulang dari bimbel terus latihan band?"

"Liam, kamu katanya ada acara kan?"

Dia menoleh ke arahku, lalu mengangguk. "Kalau mungkin bisa kita jadwalkan jam delapan."

"Gimana, Jo?" tanyaku.

Jojo mengangguk. "Aku bisa mengaturnya. Mungkin butuh sedikit asupan kopi baru bisa fokus."

"Nanti aku teraktir deh." Jojo langsung tersenyum lebar setelah mendengar perkataanku.

###

Hari Senin pun tiba. Sepulang sekolah aku dan Jojo berpisah dengan Gaia setelah keluar dari kelas. Gaia langsung menuju ke tempat parkir sedangkan aku dan Jojo langsung menuju ke studio di atas labolatorium biologi. Sesampainya di sana siswa kelas sepuluh sudah hadir lebih dulu. Mereka satu sama lain mencoba alat musik yang aku tahu bukan bagian dari yang biasa dia maninkan. Seolah-olah mereka belajar kilat memainkan alat musik baru.

Saat aku dan Jojo masuk dan mengambil posisi duduk di dekat AC, sebagian dari mereka menghentikan kegiatan dan ikut duduk di dekat kami. Tidak lama beberapa dari kelas sebelas baru saja bergabung, kurang lebih jika dihitung ada sembilan anak kelas sepuluh dan lima anak kelas sebelas. Kurang lima anak lagi. Liam belum juga menampakkan diri.

Hingga akhirnya pintu terbuka. Yang pertama masuk adalah Erica, kemudian disusul Banar dan dibelakangnya ada Neo. Neo! Teman sebangkuku, idolaku, hadir dalam perkumpulan klub musik SMA ___. Jojo yang semula menyadarkan punggungnya ke tembok langsung merangkan dan mebisikkan sesuatu. "Kenapa dia di sini?"

Aku mengerdikkan bahu. Mataku tidak mengikuti pandangan ke mana dia akan mengambil posisi duduk. Karena beberapa siswi kelas sepuluh yang duduk tidak jauh dariku, terpekik melihat kedatangan Neo. Tidak lama pintu terbuka lagi, Kali ini Liam. Dia menyapu pandangan dan hingga akhirnya berhenti di aku. Liam berjalan ke arahku lalu duduk di sebelahku.

"Dari mana saja?" kataku, tangganku menepuk tulang keringnya ketika dia duduk bersila.

"Salat," katanya kemudian mengurai rambutnya yang setengah basah menggunakan jari. "Kamu sudah?"

"Aku gak salat," jawabku.

Dia mengangguk paham. Mata kami sama-sama mengarah pada Albi yang mengambil posisi duduk di samping Liam. Kemudian ke arah Banar dan Erika yang berdiri di depan. Dia memerintahkan kami untuk duduk setengah lingkaran dan pada grupnya masing-masing.

Semua orang akhirnya berdiri kecuali grupku, dan juga Neo, dia tampak bingung memerhatikan orang-orang, bahkan dia tak segan untuk mengangkat pantatnya agar sedikit mundur karena orang kesusahkan melewati depannya. Hingga akhirnya empat kelompok duduk secara berurutan. Neo berada di paling belakanmg dari grup nomor satu. Little Fire.

"Aku di sini mengumumkan beberapa info penting yang harus disampaikan secara langsung." Bianca langsung angkat bicara. "Pertama, teman kita di grup satu, Piko, mengalami kecelakaan dan tidak memungkinkan untuk bermain di acara kita...,"

"Piko siapa?" bisikku ke pada Albi.

"Anak kelas sepuluh, bagian main drum."

Aku mengangguk. Aku menyadari bahwa tatapan Liam sedikit aneh ke arahku.

"Kenapa kamu?"

"Pipi kamu tadi hampir mengenai biibirku." Ekspresi wajah Liam sangat menyebalkan. "Lain kali bilang kalau mau ngobrol sama Albi, aku bisa mundur sedikit."

Aku langsung menjewer telinga Liam, dia merintih lalu tertawa.

"Sakit." Bibir Liam sengaja dimanyun-manyukannya. Dan rasanya aku ingin menampar.

Aku putar bola mataku dan kembali menyimak Erica. Aku tidak tahu kalimat sebelumnya dia mengatakan apa.

"... dan di tengah-tengah kita ada Neo...,"

"Neo bisa main drum?" kata Liam. Aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, karena dia tidak melihatku dan malah mengarahkan pandangan ke Neo.

"... Neo menempati posisi bass...,"

"Lah?" Liam bersuara lagi.

"... Jadi, karena di grup empat ada dua drummer, yaitu Liam dan Dita, aku minta salah satu kalian bergabung di grup satu mengambil posisi drumer, sedangkan posisi pemain bass diganti oleh Neo!" Bianca mengarahkan pandangan ke arahku dan Liam secara bergantian.

"Gak," tegasku. "Grup empat tidak mengganti anggota lagi. Kita sudah matang dengan daftar lagu kita, gak mungkin harus menyesuaikan lagi dengan penggantian pemain." Aku menoleh ke Liam, alih-alih ke Albi, untuk meminta bantuan.

"Jangan egois kamu," sahut Erica. "Konser ini untuk membantu kelas sepuluh, kalau grup satu kehilangan drum bagaimana mereka bisa tampil."

Grup satu adalah grup Erica dan Banar. "Kalian tidak ingat, aku dan Albi juga sempat tidak bisa tampil karena kami tidak kebagian grup? Sekarang kami punya grup sendiri kalian mau mengacaknya?"

"Ini sebuah solusi, Dita," nada bicara Erica mulai meninggi. "Kita sudah melaporkan ke pembina bahwa akan ada lima grup yang bermain, satunya dari kelas 12. Dan karena drumer grup satu tidak bisa ikut, gak mungkin mereka gak bisa ikutan. Sedangkan di grup kamu ada dua orang yang bisa main drum, kenapa kami harus mencari lagi."

"Itu resiko kalian," kataku dengan nada tegas. "Grup empat sempat diancam tidak bisa tampil karena kekurangan pemain. Jojo sudah bela-belain ambil dua posisi gitar dan vokal, sekarang kalau grup kamu gak lengkap yasudah gak usah ikutan, jangan buat aturan seenak kamu aja, lah. Mentang-mentang di klub ini kamu orang penting."

"Maksud kamu apa kamu ngomong gitu? Kita sudah latihan beberapa minggu ini, dan acara sudah dua minggu lagi, gak mungkin harus batal tampil, apa kata pembina kalau yang tampil hanya empat grup." Suasana ruangan tiba-tiba hening. Suara Erica tadi sangatlah keras. Ketiga berbicara bahkan urat-urat lehernya seakan mau copot.

Aku tidak habis pikir kenapa dia bisa bertindak seenaknya seperti ini. Mengatur sesuai dengan kepentingan pribadinya saja. Andai saja dia ingat perkataannya waktu itu padaku. Bagaimana bisa dia punya wajah setebal itu?

"Itu sudah risiko sejak awal keputusanmu sendiri, Banar dulu mengancam grupku sekarang giliran kami mempertegas aturan yang kamu buat sendiri itu."

"Sudahlah Dita," bentak Banar.

Liam menegakkan posisi duduknya. Dia seperti hendak bebricara.

"Jangan memperpanjang masalah ini. Sekarang kalian tinggal tentukan saja siapa dari kamu atau Liam yang pindah ke grup satu dan posisi bass diganti Neo!"

"Hei!" kali ini Liam mulai berbicara. Dia memukul lantai dengan sangat keras lalu menunjuk Banar dengan tegas. "Jangan membentak perempuan seperti itu."

Ruangan semakin panas. Aku tidak tahu harus berbuat apa kali ini. Aku sudah sangat nyaman dengan formasi grupku. Liam tenyata juga ikutan emosi. Aku tidak suka situasi kepala panas yang menular seperti ini.

"Kalian itu minta tolong ke grup empat, biarkan kami yang memutuskan apakah kami setuju dengan merombak formasi atau tidak. Itu semua atas kendali kami. Kalau kalian berani mengancam kami waktu itu untuk batal tampil, kamu juga bisa tuntut itu balik."

"Tapi situasinya kan berbeda..."

"Berbeda apa!" bentak Liam lebih keras lagi. "Kalian kekurangan anggota. Jangan seenaknya mengorbankan grup lain demi kelompok kalian sendiri."

"Kamu kan bisa ambil posisi drum." Erica menyahuti.

"Kalian hanya tinggal menyesuaikan satu formasi drum. Sedangkan kami harus dua kali menyesuaikan bass dan drumnya. Apa kalian memikirkan itu?" Liam sukses membungkam mulut Banar dan Erica. Kendatipun wajah mereka tampak tidak menyenangkan. "Kita selesaikan masalah ini setelah rapat, kasihan grup dua dan tiga yang tidak ada urusan dengan ini." Emosi Liam cukup mereda. Aku mengusap tulang keringnya dan menepuk-nepuknya. "Lanjutkan informasi yang lain."

Erica mengalihkan pandangan ke Banar. Lelaki itu tidak baik-baik saja, dia bahkan membuang muka alih-alih untuk Erica.

Erica menghela napas. "Hem! Baiklah informasi selanjutnya."

Aku bahkan lupa bahwa sebelumnya akulah yang marah dengan Erica. Tapi untuk saat ini aku harus meredamkan amarah Liam. Dia berusaha tersenyum padaku, aku tahu itu tulus tapi ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Jadi aku hanya mengusap lengannya dan bilang. "Sudah."

"Aku gak bisa lihat kamu dibentak sama Banar seperti itu."

"Aku gak apa," kataku purau. Kuusap keringat dingin di dahinya dengan tanganku. Sedangkan tang yang lain menepuk-nepuk punggunya.

"Gak apa gimana? lihat muka kamu bengkak habis nangis. Gimana bisa tenang aku."

Liam mungkin jauh lebih baik daripada Neo ketika marah. Liam peduli denganku. Neo juga. Liam tahu apa yang aku butuhkan sedangkan Neo terlalu dominan untukku. Dan dari semuanya Liam terasa lebih memberiku efek nyaman dan aman, tapi aku tidak tahu bagaimana perasaanya padaku.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top