Part 7
Hari kedua di kota pelajar memberi kado yang manis untuk team MA Al-Muhlisin. Pasalnya wakil untuk olimpiade bahasa Arab masuk final. Laili bersyukur karena prestasi para siswanya yang telah mengharumkan nama madrasah. Terlebih karena dia yang memegang mata pelajaran tersebut sekaligus sebagai mentornya.
"Selamat ya ... saya turut bangga pada kalian," ucap Halim di parkiran kampus saat mereka akan pulang.
"Terima kasih ...," sambut mereka riang bersama-sama.
Senyum di wajah Laili tak bisa disembunyikan mengingat pencapaian yang telah diperoleh oleh para siswanya.
"Oh ya, sebagai ucapan selamat atas pencapaian kalian, saya akan traktir kalian makan dan jalan-jalan ke Malioboro. Bagaimana? Setuju?"
Tawaran dari Halim disambut antusias oleh semua orang, tak terkecuali Laili dan Azka. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih pada Halim.
"Ustazah Laili mau bareng mobil saya?" Halim menawarkan diri saat akan pulang. "Biar tidak berdesakan. Kasihan mereka pasti capek."
Tanpa meminta pertimbangan Azka, Laili mengangguk. Saat membuka pintu tengah, tiba-tiba Citra dengan napas tersengal-sengal menghampiri Halim. Dia meminta untuk nebeng pulang dengan alasan tidak ada jemputan.
Melihat Halim menyetujui permintaan gadis itu, tiba-tiba hilang sudah semangat Laili untuk pulang bersama mobil Halim.
Mau tak mau, Laili duduk di jok tengah bersama kedua siswinya. Dalam perjalanan, Halim lebih sering mengajak ngobrol Hanum dan Dian ketimbang dengan Laili. Sedangkan Citra beberapa kali menimpali. Laili hanya menyibukkan diri di layar ponselnya. Bergabung dengan chat di wa grup teman kuliah.
Laili baru mengangkat wajahnya saat mobil berhenti, ternyata sudah sampai rumah Halim. Bergegas dia masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Saat hendak naik ke anak tangga, Halim memanggilnya yang membuat Laili berhenti dan menghadapnya.
"Kenapa diam saja di mobil? Sakit perut lagi?"
"Tidak apa-apa. Saya hanya lelah, mau istirahat."
"Oh, syukurlah kalau begitu. Ya sudah, Ustazah istirahat saja. Saya mau ke rumah depan." Seulas senyum diberikan kepada Laili sebelum Halim berbalik dan melangkah pergi.
Dipandanginya punggung lebar yang melangkah menjauh tersebut. Entah kenapa Laili merasa ... kehilangan.
---***---
Udara malam ini membuat Laili merasa gerah. Setelah mementori siswanya, dia masuk kamar dan menyalakan AC, entah karena kerja AC yang kurang maksimal, atau suhu badannya yang memang meningkat, akhirnya dia keluar duduk di balkon sambil membaca berita online.
[Kenapa belum tidur?]
Sebuah pesan WA masuk dari nomor baru. Foto profilnya hanya view malam hari di sebuah bukit, dengan nama 'Pengagum langit malam'.
[Maaf ini siapa?]
[Penggagum langit malam.]
[Kalau hanya main-main, saya blokir nomornya.]
[Saya Halim, Ustazah. Jangan diblokir. Apa kamarnya panas?]
"Ah, ternyata Bang Halim," ucap Laili bermonolog. "Kalau aku jawab jujur, pasti menyinggung perasaannya. Tapi kalau aku bilang tidak, kenyataannya malam ini memang gerah banget."
[Tidak, kok. Hanya belum ngantuk saja]
[Beneran? Masuk gih, nanti bisa masuk angin, lho.]
Setelah membaca pesan tersebut, Laili berdiri merapat ke pagar balkon, celingak celinguk ke rumah depan. Dilihatnya Azka yang duduk di teras depan dengan ponsel yang menyala di tangannya. Tak ada orang lain selain Azka. Lantai dua juga gelap.
"Dari mana Bang Halim bisa tahu aku di luar?" pikir Laili.
[Bang Halim nggak pasang CCTV di kamar ini, kan?]
Tiba-tiba Laili gelisah memandangi setiap sudut kamar Halim. Barangkali lelaki itu punya CCTV yang tak diketahui Laili. Bisa gawat kalau itu terjadi.
[Wkwkwkkkk ... kalau iya kenapa?]
[Gak lucu, Bang]
[Takut? Saya gak macam-macam kok orangnya.]
[Bang Halim dimana, sih? Kok tahu kalau saya ada di luar? Di teras bawah hanya ada Ustaz Azka saja.]
[Kenapa ingin tahu saya dimana? Kangen ya?]
"Iisshh ... orang ini PeDe-nya gak ketulungan."
[Ya sudah, saya mau masuk saja kalau gak mau bilang]
Tentu saja pikiran tentang keberadaan CCTV masih menghantui Laili.
[Sebentar! Jangan masuk dulu. Coba lihat ke balkon rumah depan]
Laili memusatkan pandangannya di balkon yang terlihat gelap. Hanya mengandalkan pencahayaan lampu jalan yang tak seberapa. Namun ... beberapa detik kemudian, lampu menyala. Dan ... Halim berdiri sambil memamerkan senyumnya pada Laili.
Untuk beberapa menit, keduanya tidak ada yang berkirim pesan. Setelah berjasil menemukan keberadaan Halim, Laili menunduk karena malu telah berprasangka yang tidak-tidak pada Halim. Entah kenapa dia selalu saja melakukan hal yang memalulan di depan lelaki tersebut.
[Sudah terbayar kangennya? Wkwkwkkk ....]
[Apaan sih. Ya sudah, saya mau masuk dulu. Sudah ngantuk.]
[Ustazah]
[Ya?]
[Jangan lupa tutup pintu balkonnya. Bahaya jika ada pencuri yang masuk]
[Iya]
[Saya tak masalah jika dia mencuri barang berharga di kamar itu, asal jangan menculik penghuni kamarnya]
[Apaan sih. Siapa juga yang mau nyulik saya? Hahaa ....]
[Mungkin malam ini bukan orangnya yang diculik, tapi hatinya.]
[Iisshh ... ternyata Bang Halim suka ngegombal juga ya? Hehee ....]
[Karena ada yang senyum-senyum sendiri setelah mendapatkan gombalan dari saya]
[Apaan siih ... sudah, Bang. Saya mau tidur. Jangan dibalas lagi]
[Selamat tidur. Jangan mimpi tentang saya, ya.]
[Nggak]
[Nanti jadi malas bangunnya]
"Astagfirullah hal'adzim ... bener-bener orang ini," Laili geleng-geleng kepala lalu bersiap untuk naik ke kasur.
Dia tak bisa menahan tawa cekikikan saat membaca kembali chat mereka. Di balik selimut, berkali-kali dia membacanya lagi. Bak anak ABG yang pertama kali chatting dengan kenalan cowok.
"Ah ... ini memalukan. Tapi ... menyenangkan."
[Katanya ngantuk, kok masih online?]
[Iisshh ... iya, ini sudah mau tidur.]
Karena takut chat berlanjut, Laili segera mematikan ponselnya dan bersiap untuk tidur dengan senyum yang ... entah.
Sedangkan di seberang sana, senyum Halim pun seolah tak bisa meredup. Dia tak pernah menyangka bisa membuat kalimat receh yang selama ini tak pernah dia lakukan pada seorang gadis. Bahkan pada mendiang istrinya dulu.
Laili. Dia istimewa bagi Pengagum langit malam.
---***---
Bangun di waktu subuh, Laili teringat kembali isi chat semalam dengan Halim. Senyum geli kembali muncul di bibirnya. Setelah dari kamar mandi, entah kenapa dia seolah menunggu ketukan pintu kamar dari seseorang.
Aah ... katakan dia sedang gila sekarang. Bagaimana mungkin dia bisa menaruh asa pada orang yang baru dikenalnya. Halim. Seseorang yang berhasil membuatnya memikirkan hal yang lebih jauh.
Dia mengingat kembali mimpinya kemarin malam. Halim tersenyum riang bersama Abah Said. Seolah mereka sudah lama saling mengenal. Tepukan lembut Abah Said di punggung Halim juga menunjukkan seperti mereka sangat akrab.
"Ya Allah ... apa artinya mimpi itu?"
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Laili. Berharap seseorang yang diharapkannya datang sekedar mengambil baju, mungkin. Setelah merapikan jilbab dan gamisnya, dia bergegas melangkah ke pintu kamar dan membukanya.
"Ustazah mau ikut jalan-jalan pagi?"
"Eh, Hanum. Mau jalan ke mana?"
"Sekitar sini saja, Ustazah. Cari udara segar."
"Enggak deh. Saya di rumah saja. Kalian mau jalan pagi sama siapa?"
"Yaa ... awalnya hanya kita saja sih. Tapi tadi Pak Halim bilang mau ajak Ustaz Azka sama anak laki-laki juga."
"Hah! Kalian diajak jalan Pak Halim?" Mereka mengangguk.
"Ee ... oh gitu? Anak yang lain ikut, kan?"
"Sepertinya mereka tak akan menolak ajakan Pak Halim."
"Ee. .. ya sudah ... saya ikut saja dari pada di rumah sendirian."
---***---
Di sinilah mereka, sebuah taman kecil di kompleks perumahan tak jauh dari rumah Halim. Ketika yang lain menggunakan training dengan kaus untuk jogging, Laili tetap memakai gamis biru dengan jilbab senada. Dia hanya ingin ikut jalan-jalan mencari udara segar, bukan untuk lari pagi seperti yang lain. Hanya itu.
"Ustazah tidak ikut jogging?"
"Ah, enggak. Saya menunggu di sini saja."
"Udaranya sejuk ya? Mirip di Malang kalau seperti ini." Azka mendaratkan bokongnya di sebuah bangku taman dekat Laili duduk.
"Lho, kok Ustz nggak ikut lari?"
"Biarkan, sudah ada Halim yang menjadi tour guide mereka."
Keduanya tertawa dan terlibat obrolan ringan tentang banyak hal. Suasana di taman tidak terlalu rame. Hanya ada satu dua orang yang berolahraga dan ada juga yang bermain dengan bocah kecilnya yang sedang belajar berjalan.
"Jadi ... kapan saya bisa ke rumah Ustazah?" tanya Azka setelah bahan obrolan basa-basi mereka habis.
"Eemm ... itu ... insya Allah seminggu setelah kita kembali ke Malang. Semoga sudah ada jawaban yang terbaik bagi semua."
"Baiklah, saya berharap jawaban Ustazah sesuai harapan saya." Laili tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
Tak lama kemudian rombongan siswanya menghampiri, dengan Halim yang masih berlari kecil di belakang mereka. Dengan peluh yang ada di sekitar wajah dan lehernya, membuat deguban aneh di dada Laili. Halim terlihat ... seksi.
'Astaghfirullah ....' berkali-kali Laili beristighfar dalam hati setelah sempat 'menikmati' yang seharusnya tidak dia lihat.
---***---
Bau harum masakan Umi Aliyah telah menyambut kepulangan mereka. Laili segera pergi ke dapur karena merasa tak enak telah meninggalkan umi masak sendiri.
"Umi, maaf tadi Laili tidak bantu Umi masak." Laili mendatangi umi dan mencium tangannya.
"Ndak papa, Nduk. Umi hanya nggoreng nasi saja, kok. Kebetulan nasi kemarin masih banyak," jawab umi lembut.
Melihat Umi Aliyah seperti itu, membuat Laili tiba-tiba rindu pada uminya di rumah. Kedua orang itu sama-sama berhati lembut dan membuat nyaman baginya. Karena itu, walau di rumah orang lain, tapi dia merasa seperti di rumahnya sendiri.
"Saya bantu siapkan piring saja ya, Umi. Hihihii ...."
"Iya. Sama itu tolong kerupuknya masukkan ke toples. Sebentar lagi panggil semuanya agar sarapan bareng." Umi telah menuangkan nasi goreng ke wadahnya.
"Iya Umi."
Setelah semua siap, Laili bergegas menuju ruang tengah dan menyuruh semua untuk mengambil sarapan ke dapur. Sementara itu dia naik ke kamar atas untuk menaruh dompet dan ponselnya.
"Astaghfirullah hal'adzim ...." Laili memekik keras saat membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali dengan cepat.
Laili mencak-mencak di depan pintu kamar. Beberapa saat kemudian Halim keluar dengan kaus yang berbeda.
"Maaf, Ustazah. Saya nggak tahu kalau Ustazah mau masuk kamar," ujar Halim dengan perasaan bersalah.
"Ya paling tidak kunci pintu donk, Bang, kalau mau ganti baju di dalam," timpal Laili bersungut.
"Iya saya salah. Maaf. Tadi saya kira Ustazah di dapur lama. Jadi saya putuskan ambil baju dan ganti sekalian di dalam. Saya minta maaf."
Masih dengan perasaan kesal, Laili kembali berujar, "Ya sudah, tapi jangan diulangi lagi."
Halim mengangguk, "Iya, sekali lagi saya minta maaf."
Laili melengos dengan muka ditekuk, "Saya mau naruh dompet dulu. Abang dipanggil umi buat sarapan."
Halim mengangguk lalu turun ke lantai satu untuk bergabung dengan yang lain. Sementara Laili di kamar sedang menormalkan kembali detak jantungnya. Samar-samar tercium aroma parfum lelaki yang barusan berdiri di kamar itu. Tanpa sadar, Laili semakin menajamkan indra penciumannya. Nyaman dan menenangkan.
---***---
"Saya saja yang cuci piringnya, Umi," ucap Laili saat melihat Umi Aliyah hendak menuangkan sabun pencuci piring.
"Ndak papa, Nak Laili lanjutkan sarapannya saja."
"Biar saya saja, Umi. Tadi 'kan saya tidak bantuin Umi masak. Ini sudah mau selesai kok makannya."
"Biarlah Ustazah yang bantuin, Umi. Nanti dia gak enakan tinggal di rumah ini kalau Umi larang." Halim yang baru masuk ke dapur menimpali. Meletakkan cangkir kopi di tempat cuci piring lalu mencium pipi uminya yang sedang mencuci tangan.
"Ya sudah, Umi tak bersihkan kompor kalau begitu."
"Eh Umi mau denger lagu, tidak?"
"Lagu apa?"
"Oey adek berjilbab biru ....
Cantik manis semanis madu ....
Dapat salam dari Abah Umiku ....
Maukah kau menjadi menantu ...?"
"Uhuk ... uhuk ...."
"Oalah ... Halim ... mau nembak cewek kok pakai lagu. Kayak Shah Rukh Khan saja. Lihat tuh, Nak Laili sampai keselek dengarnya."
---***---
Cung yang tahu lagunya? Bisa ikutan nyanyi juga kok 😄😄
Terima kasih vote, komentar dan follownya 😘🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top