Part 6
"Bagaimana keadaanmu, Nduk? Masih sakit perutnya?" tanya Umi Aliyah saat mereka menyiapkan makan malam di dapur
"Alhamdulillah sudah mendingan, Umi," jawab Laili sambil tersenyum sungkan.
Laili duduk di kursi dapur, di depannya sudah berjejer wadah berisi sayur yang akan diolah. Dia membantu memotong sayuran yang sudah disiapkan Umi tersebut. Sedangkan Umi Aliyah sudah siap menggoreng ayam yang sudah diungkep dengan bumbu andalannya.
"Tadi waktu Umi nemani Abah di toko, tiba-tiba dibuat panik sama Halim karena minta resep jamu kunyit asem yang biasa Umi buat untuk adiknya. Ketika Umi tanya buat apa, eh, katanya nanti saja ceritanya. Darurat!" Umi menuturkan fakta yang membuat Laili tercenggang. Jadi sampai seperti itu reaksi Halim hanya untuk menolong Laili yang sedang nyeri datang bulan.
"Umi pikir, buat apa dia minta resep jamu. Eehh ... gak tahunya untuk cah ayu. Hihihii ...." Umi Aliyah cekikikan membayangkan reaksi anaknya yang hiperbola menurutnya.
Laili hanya nyengir, tak berani mengangkat wajahnya. Pipinya memanas mendengar penuturan wanita berhijab hijau tua tersebut. Karena tak tahu harus menanggapi seperti apa, akhirnya Laili mengalihkan topik pada masakan dan kekhasan kota gudeg tersebut.
"Umi, masak apa?"
Tiba-tiba datang suara dari arah belakang Laili. Halim meraih toples kerupuk yang berada di meja depan Laili. Lalu berjalan dan kemudian duduk di kursi seberang Laili. Entah kenapa kehadiran Halim kali ini di depannya, membuatnya merasa berkali-kali lipat malunya. Sudah berapa kali dia 'mempermalukan' diri di depan laki-laki tersebut.
"Nggoreng ayam sama tumisan sayur. Sudah lapar, kah?"
"Belum Umi. Hanya tanya saja. Eemmm ... Enak ya Umi kalau ada yang bantuin masak begini?" sengaja Halim sedikit melirik Laili yang dari tadi menunduk di hadapannya.
"Ya mesti lah. Dulu mbakyumu rajin bantuin Umi. Kalau adikmu kui, dolanan hape ae terus. Susah disuruh bantu Umi di dapur. Sudah waktunya, Umi punya menantu lagi. Untung ada Nak Laili mau bantuin Umi masak buat tamu kita," masih dengan sutil di tangannya dan sesekali membalik ayam di penggorengan, Umi Aliyah bertutur.
Laili berpikir kenapa harus menyebut kata menantu di depannya?
"Ee.. Ustadzah suka masak juga di rumah?" tanya Halim mengalihkan perhatian Laili.
"Kadang suka bantuin Umi masak juga," Laili menjawab masih dengan kepala menunduk sambil terus memotong sayuran. Sama sekali dia tak berani melihat ke arah Halim.
"Oh ya, Lim. Jamu buatanmu manjur, lho. Nak Laili langsung enakan setelah minum jamu itu katanya," ucap Umi sambil melirik ke arah mereka berdua.
Hah! Perasaan Laili tak bicara selengkap itu tadi waktu ditanya keadaannya. Kenapa Umi malah memperjelasnya. Bertambah lagi rasa malu Laili. Kali ini bisa dipastikan mukanya sudah merah saking malunya. Dia ingin menghilang saja dari tempat tersebut dan sembunyi di balik selimut di kamar ... Halim. Aahh ... rasanya dia ingin pulang saja sekarang.
"Oh ya? Syukurlah kalau begitu. Lain kali, saya buatkan lagi kalau Ustadzah mau," Halim menahan senyum melihat Laili yang semakin menunduk.
"Ustadzah, dipanggil Ustadz Azka di teras depan," suara Hanum bagai penyelamat nyawanya saat ini.
Dia mengehembuskan nafas lega lalu menoleh ke Hanum. "Iya sebentar lagi saya ke sana. Saya selesaikan motong ini dulu."
Laili segera menyelesaikan pekerjaannya. Dia tidak mengacuhkan tatapan Halim di depannya. Setelah selesai semua, dia serahkan pada Umi dan mencuci tangan lalu berpamitan untuk ke teras.
Laili berjalan sambil mengatur ritme jantungnya. Berada di dapur seperti tadi membuatnya merasa sedikit sesak nafas dan jantungnya swperti habis diajak lari. Bagaimana tidak, dia dan Halim saling duduk berhadapan walau terhalang meja kayu di depan mereka.
"Ustadz manggil saya?" tanya Laili saat tiba di teras. Ternyata Azka hanya sendiri.
"Eh, iya Ustadzah. Silahkan duduk," ucap Azka mempersilahkan Laili duduk di kursi di sebelahnya dengan terhalang meja kecil.
"Anak-anak kemana semua?"
"Mereka jalan-jalan sebentar. Ingin tahu suasana kota Jogja katanya.
"Lho, mereka 'kan mau lomba besok. Kenapa keluyuran?"
"Hanya sebentar kok. Sebelum maghrib, sudah balik."
Laili hanya ber-oh ria menanggapi ucapan Azka.
"Ustadz ada yang mau dibicarakan? Kalau tidak ada, saya mau balik ke dapur bantuin Umi Aliyah masak buat makan malam."
"Ee... Saya lihat di seberang jalan besar sana ada toko buku. Sebenarnya saya sedang mencari buku. Kalau tidak keberatan, saya ingin mengajak Ustadzah ke sana."
"Tapi ... saya 'kan sedang membantu Umi di dapur, Ustadz. Nggak enak kalau ditinggal jalan-jalan," alasan Laili membuat senyum Azka luntur.
"Kok nggak ngajak anak-anak tadi saja? Mereka pasti senang kalau diajak jalan-jalan."
"Eemm ... sebenarnya saya ingin bicara sesuatu pada Ustadzah ..."
Laili tidak menjawab apapun, dia hanya menunggu Azka memulai apa yang ingin dibicarakannya. Entah kenapa, sikap Azka kali ini membuatnya merasa tak nyaman. Laili mengedakan pandamlngan ke sekeliling. Hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Sedangkan dai dalam rumah, tak terdengar obrolan Umi dan Halim.
"Ustadzah sudah sembuh?"
"Iya, alhamdulillah sudah enakan," Laili dibuat canggung lagi.
"Maksud saya bukan sakit perutnya. Tapi ini," Azka menunjuk pada dadanya.
Seketika Laili mengerti apa yang dimaksud Azka. Apa mungkin dia akan bertanya tentang perasaannya kala itu? Sungguh, Laili belum siap jika sekaramg harus memeberi jawaban. Dikiranya, Azka sudah lupa pada hal itu karena dia tidak pernah membahasnya lagi setelh chat di WA kala itu.
Dia binggung harus menjawab apa. Di satu sisi, Laili memang sudah sembuh dari luka hatinya karena cinta bertepuk sebelah tangan paa Hilmi. Tapi di sisi lain, dia belum siap jika harus menjawab pertanyaan Azka kala itu. Akhirnya dia hanya mengangguk. Pasrah saja pada apa yang akan Azka katakan setelahnya.
"Alhamdulillah ... saya senang mendengarnya," ucap Azka dengan senyum simpul di bibirnya.
Azka membenahi duduknya, berdehem dan ... "Ee ... Uztadzah masih ingat 'kan dengan yang saya utarakan dulu di WA? Itu ... saya serius, Ustadzah. Saya ingin memperistri Ustadzah," walau terdengar suara Azka bergetar mengungkapkannya, tapi Laili bisa merasakan keseriusan dari ucapan itu.
Apa yang Laili perkirakan ternyata benar, Azka mengungkapkan kembali perasaannya. Jarinya memilin ujung jilbab yang dipakai. Binggung harus menjawab apa?
"Sa-saya ... saya tak bisa menjawabnya sekarang, Ustadz. Tolong berikan saya waktu untuk shalat istikharah."
Azka menghembuskan nafas berat, mungkin kecewa tidak bisa mendapatkan kepastian dari Laili. Tapi dia bisa apa? Selama ini dia sudah setia menunggu Laili sembuh dari luka hatinya. Dulu memang dia ditolak karena Laili mencintai orang lain, tapi kali ini dia berharap Laili menerima lamarannya.
"Baiklah, saya akan menunggu lagi sampai Ustadzah siap memberikan jawaban. Kapanpun itu, saya siap datang ke rumah Ustadzah." Laili hanya mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Dia bersyukur karena Azka tidak mendesaknya. Azka mau menunggu kesiapan darinya tanpa paksaan. Peragai Azka yang tegas jika berhubungan dengan pekerjaannya sebagai guru dan kau kesiswaan, memang sedikit banyak membuat kaum hawa akan mudah jatuh cinta padanya.
Tapi ... berbeda dengan Laili. Sejak awal, dia sama sekali tidak memperhitungkan Azka sebagai seseorang yang lebih. Entah apa karena dulu pusat pikirannya hanya pada Hilmi, atau memang pesona Azka tidak bisa menembus relung hatinya.
Sejak ungkapan hati Azka di pesan whatsapp kala itu, sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Laili tentang lelaki itu. Walau tidak sedahsyat kala dia mencintai Hilmi. Tapi .... urusan jodoh bukanlah untuk setahun dua tahun, tapi untuk seumur hidupnya. Maka dari itu perlu meminta petunjuk pada Allah SWT untuk mengambil langkah selanjutnya.
---***---
"Bagaimana hasil lombanya tadi , Ilyas?" tanya Halim saat mereka selesai makan malam bersama.
Karena meja makan tak mencukupi jika dipakai sejumlah orang, maka mereka makan lesehan di ruang tengah. Suasana akrab dan bersahabat dari keluarga Halim sangat membuat mereka nyaman seperti di rumah sendiri.
"Alhamdulillah lancar, Pak. Dapat juara dua," jawab Ilyas dengan semangat. Jelas terlihat rasa bangga dan puas dari pemuda berkacamata minus tersebut.
"Alhamdulillah... Selamat ya, Le. Pinter kowe," Pak Rahman menimpali.
"Oh ya, kalau sudah selesai lombanya. Nanti kita bisa jalan-jalan ke Malioboro. Kalian mau, nggak?" tanya Halim pada siswa Laili.
"Mauuu ...." jawab mereka serentak disertai mata berbinar.
"Ya sudah, habis ini masuk kamar, lalu latihan bentar. Habis itu lalu tidur ya. Besok kita berangkat pukul delapan," Laili memungkasi obrolan mereka.
Dia dibantu para perempuan membereskan tempat makan dan membawanya ke dapur. Laili sudah siap mencuci peralatan makan saat Umi Aliyah datang melarangnya. Biar dikerjakan Umi saja katanya, tapi Laili menolak dengan halus. Akhirnya ditinggalnya Laili sendiri di dapur.
"Perlu bantuan, Ustadzah?" suara Halim mengagetkannya seketika. Berjalan ke tempat cuci piring dan meletakkan cangkir bekas tehnya yang sudah kosong.
"Eh, Bang Halim. Nggak usah. Abang istirahat saja," tolak Laili sopan.
Merasa risih kalau mereka hanya berdua di dapur. Walau masih bisa terlihat dari ruang tengah, tapi berduaan seperti ini membuatnya merasa tak nyaman.
Halim duduk di kursi semula saat Laili memotong sayuran tadi sore.
"Oh ya, Umi bilang Beliau kapan-kapan mau mampir ke rumah Ustadzah kalau ke Malang. Apa boleh?"
"Hah! Untuk apa?"
"Yaa ... silaturahim. Sekalian mau ke rumah Hilmi karena lama tidak ketemu dia."
"O-oh begitu ... ya ... monggo kalau mau silaturahim ke rumah."
"Berarti boleh, ya?"
Laili mengangguk pelan. Dia mendengar ucapan hamdalah walau lirih dari Halim.
"Le, ada Citra di depan mau ketemu kamu," suara Umi yang baru masuk dapur mengalihkan tatapan mereka.
"Mau apa anak itu, Umi?"
"Katanya mau nunut ngeprint. Printnya rusak."
"Elah, print rusak bukannyake tukang servis atau rental, malah ke tetangga,"
"Weslah bantuen. Kasihan 'kan kalau tugasnya gak selesai gara-gara print rusak."
"Ngerusak suasana saja anak itu!"
Halim bangkit dari duduknya dan berpamitan pada Laili, lalu melangkah keluar.
Selesai mencuci piring, Laili berjalan ke kamar untuk istirahat. Sampai di ujung anak tangga, dia melihat Halim membantu Citra mengeprint tugasnya di ruang baca. Seketika ada perasaan yang entah ketika melihat mereka duduk berdekatan.
Halim yang menangkap kehadiran Laili di luar ruangan, segera berdiri dan melangkah ke arah Laili yang masih terpaku. Entah kenapa, bukannya dia langsung masuk kamar, tapi malah mematung di depan ruang baca.
"Ustadzah ada perlu dengan saya?"
"Ah ... eng ... enggak. Saya mau permisi istirahat dulu," ucap Laili sambil melangkah membuka pintu kamar.
"Ustadzah," panggil Halim sebelum Laili membuka gagang pintu.
"Yah?"
"Selamat tidur. Semoga mimpi indah," ucap Halim sembari tersenyum.
Laili mengangguk, "Terimakasih."
Setelah pintu tertutup, senyum tak bisa dikendalikan. Pipi menghangat mendapat ucapan itu. Entah kenapa, tapi kalimat sederhana tersebut memberi efek luar biasa untuk hatinya.
---***---
Laili terbangun saat ada yang mengetuk pintu kamarnya. Diliriknya jarum jam di atas nakas. Pukul lima pagi. Dia terlonjak. Bangun kesiangan karena saat alarm sebelum subuh berbunyi, dimatikan lagi karena sedang udzur.
Kembali suara ketukan pintu terdengar. Laili menyambar jilbab di dekat jam lalu memakainya. Berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Dia mengerjap ketika melihat sosok di depan pintu kamar. Umi tersenyum ramah kepadanya.
"Maaf ya Nak Laili, Umi pagi-pagi membangunkanmu. Ini Halim meminta ditemani Umi untuk mengambilkan bajunya."
"Oh, i-iya Umi. Laili yang minta maaf karena bangun kesiangan."
"Gak papa, kamu pasti capek dan juga 'kan lagi udzur. Umi maklum."
Halim yang berdiri di belakang Uminya hanya mengulum senyum melihat keadaan Laili bangun tidur.
"Wes ndang diambil bajunya! Lalu cepet keluar. Umi mau ke dapur dulu, ngerebus air buat bikin kopinya Abah," ucap Umi kemudian melangkah pergi.
Setelah Laili membuka penuh daun pintu kamar, Halim permisi masuk dan mengambil baju yang dimaksud. Sampai di ambang pintu, dia berhenti di depan Laili yang sedang mengalihkan pandangan ke luar kamar.
"Ustadzah tidurnya nyenyak?"
"Iya, alhamdulillah."
"Pasti mimpi indah. Saya tahu Ustadzah mimpi apa semalam."
"Hah! Mana mungkin bisa tahu?"
"Tentu saja tahu. Ustadzah bermimpi bertemu dengan sosok tampan yang ada di dalam netra Ustadzah saat ini," sebuah senyum jail tercetak di bibir Halim lalu berjalan menuruni anak tangga, membiarkan Laili termenung mencerna ucapan Halim.
"Astaghfirullah hal'adzim ... Dasar orang sok PeDe," gerutu Laili setelah punggung Halim sudah tak terlihat, "Tapi ... bagaimana dia bisa tahu semalam aku bermimpi tentangnya?"
---***---
Selamat berakhir pekan. Semoga harinya menyenangkan. Jangan lupa tinghalkan komentar dan like kalian 😉😉
Imam Pengganti masih open PO ya teman-teman. Bagi yang belum transfer ditunggu sampai tanggal 10 Juli 2019 🙏😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top