Part 4

"Ya Allah ... kenapa hari ini begitu memalukan bagi aku? Tadi bertemu dengan orang yang sama, keadaan yang sama, dan malu yang sama pula dengan tiga tahun yang lalu. Mana dia teman Ustaz Hilmi lagi."

Sesampainya di kamar, Laili langsung mengggerutu dengan berjalan mondar mandir memikirkan kejadian di tempat parkir tadi.

"Semoga saja dia tidak cerita macam-macam pada Ustaz Hilmi. Bisa malu kuadrat, aku. Belum tadi kejadian di ruang tamu madrasah. Duuuhhh ... mau ditaruh mana ini muka?"

Laili menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah. Mencak-mencak. Frustasi.

"Dan lagi kenapa tadi Ustaz Azka uring-uringan kayak cewek lagi PMS pas melihat aku dengan orang itu? Mana kata-katanya gak sopan lagi. Aku harus bicara dengannya agar tidak ada kesalahfahaman lagi."

[Ustaz Azka, mohon maaf atas sikap saya tadi di parkiran. Tapi saya dan teman Ustaz Hilmi tersebut tidak melakukan apa-apa. Dia hanya membantu saya memperbaiki motor yang mogok]

Setelah mengirim pesan salam, Laili memberanikan diri menjelaskan kejadian yang sebenarnya agar tidak timbul fitnah.

[Iya saya percaya pada Ustazah. Saya hanya tidak mau Ustazah terluka lagi.]

[Maksudnya??]

[Saya mendengar pembicaraan di telepon Abah Said dengan umi. Ternyata Ustazah sakit kemarin karena patah hati dengan Ustaz Hilmi. Jujur, saya kecewa.]

[Ustazah kan tahu bahwa saya pernah memintamu menjadi istri, tapi ditolak karena alasan belum siap. Ternyata penolakan itu karena mengharapkan Ustaz Hilmi, kan?]

[Sekarang setelah Ustaz Hilmi menikah, temannya mendekati Ustazah. Tentu saja saya bersikap seperti itu tadi siang. Maaf kalau Ustadzah mengira saya frontal. Tapi itu kebenarannya. Saya cemburu.]

[Saya akan menunggu sampai luka Ustazah sembuh dan siap menerima cinta yang baru. Ketika datang ke rumah, saya berharap tidak ada penolakan kembali seperti dulu. Saya tulus ingin memperistri Ustazah.]

Pesan beruntun yang dikirim Azka membuat Laili terbelalak. Dia tak menyangka kalau setelah penolakannya beberapa bulan lalu, ternyata Azka masih menyimpan rasa padanya.

Kala itu memang Azka datang ke rumahnya untuk memintanya menjadi istri. Namun Laili berkilah, dia berharap Hilmi yang melamarnya, bukan orang lain, termasuk Azka. Sehingga dia memberi alasan belum siap, untuk menolaknya.

Dan sekarang secara blak-blakan, Azka menyatakan bahwa dirinya cemburu melihat Laili dengan Halim berdua. Laili memejamkan mata dan menegadah.

[Ustaz melamar saya?] Dengan tangan bergetar Laili mengetik pesan tersebut lalu memencet tombol kirim.

Tak butuh waktu lama, sebuah balasan pesan masuk.

[Kalau Ustazah mau menerima saya, besok saya datang ke Abah untuk meminta. Tapi kalau Ustazah belum mantap, saya akan setia menunggu saat itu tiba. Saat ustazah mengangguk dengan tawaran menjadi istri saya.]

Mata Laili berkaca-kaca membaca isi pesan dari Azka. "Ya Allah ... kenapa Ustaz Azka masih mengharapkanku? Apa yang harus aku katakan padanya?"

Sebenarnya Azka orang yang baik. Tapi entah kenapa tidak ada getaran aneh di hatinya saat bertemu Azka. Beda dengan ketika dia bertemu Hilmi. Walau sekarang sudah tidak sekuat dulu getaran itu, tapi masih terasa.

Dalam keheningan sepertiga malam, gadis berparas ayu itu bersimpuh, bermunajat pada Allah. Salah satu do'a yang dia panjatkan adan meminta diberikan yang terbaik untuk jodohnya.

---***---

Tiga bulan berlalu, Laili sudah benar-benar melupakan Hilmi pernah ada di hatinya. Sekarang jika bertemu dengannya, sudah tidak ada rasa seperti dulu. Hilmi sama dengan guru-guru lain di madrasah. Bahkan ketika mengetahui kalau Ayesha mengandung, dia merasa senang mendengar kabar tersebut. Tidak ada kecemburuan atau sakit hati karenanya.

Hubungannya dengan Azka juga biasa saja. Sudah berulang kali dia melakukan salat istikharah, tapi tidak mendapatkan jawaban yang memantapkan hatinya. Toh, Azka juga belum melamarnya kembali secara resmi setelah pesan ungkapan hatinya kala itu. Dia terlihat santai, walau Laili bisa menangkap kalau Azka sering memperhatikan gerak geriknya.

Hari ini Laili dan Azka dipanggil Abah Said ke ruangannya. Tak sengaja mereka datang bersamaan dari arah yang berbeda. Azka tersenyum sopan dan mempersilakan Laili masuk terlebih dahulu. Ternyata di dalam sudah ada Hilmi yang sedang berbicara dengan Abah Said.

"Ustaz dan Ustazah, saya mendapat undangan dari IKMASA UGM. Mereka akan mengadakan sebuah even dan juga beberapa kompetisi. Saya harap, madrasah kita bisa mengikutinya. Ini even bergengsi. Akan sangat membanggakan jika kita bisa terlibat di dalamnya. Dan syukur-syukur kalau mendapat juara."

Abah Said memberikan beberapa lembar brosur tentang kegiatan yang dimaksud.

Azka membacanya dengan seksama, begitu pula Laili. Mereka terlihat tertarik dengan even tersebut.

"Saya setuju Abah. Mungkin kita bisa mengirim delegasi untuk mengikuti lomba Pidato Bahasa Arab, Olimpiade Bahasa Arab, dan Taqdimul Qissoh (Story telling). Saya rasa anak-anak punya bakat dengan jenis lomba itu," ucap Laili berbinar. Siswanya memang ditargetkan minim bisa berpidato dalam bahasa Arab tanpa teks.

"Ustaz Azka, bagaimana?" tanya Abah Said.

"Saya setuju saja, Abah. Tapi ... ini di UGM, Jogja. Kalau kita masuk final, harus menginap minim empat hari di sana. Tentunya biaya akomodasi juga besar."

"Tidak perlu khawatir, Ustaz. Kalian bisa pakai mobil dan sopir saya. Untuk penginapan, saya sudah bicara dengan teman saya di sana. Dia ada rumah kerabatnya yang bisa ditempati. Karena orangnya sedang pergi umroh. Jadi masalah akomodasi dan transport, saya rasa bukan hambatan lagi." Hilmi menjawab kekhawatiran Azka.

Azka manggut-manggut setuju. Begitupun Laili yang terlihat sangat antusias.

"Baiklah. Berarti tidak ada masalah, ya? Ustazah Laili segera pilih anak yang kompeten dan mulai jadwalkan latihan. Semoga semua berjalan lancar dan bisa mengharumkan nama madrasah kita."

"Aamiin ...," jawab mereka serentak.

---***---

Hari yang dinantikan itupun tiba. Rombongan dari MA Al-Muhlisin bersiap dengan barang bawaan masing-masing. Tiga orang siswa dan dua siswi menjadi delegasi madrasah mereka. Laili sebagai pendamping guru bahasa Arab dan Azka sebagai kaur kesiswaan, serta Pak Aji sopir toko Hilmi yang mengemudi. Karena perjalanan jauh, mereka berangkat pada malam hari.

Jika perjalanan lancar, mereka akan sampai di alamat rumah teman Hilmi sekitar waktu subuh. Masih ada waktu untuk beristirahat sejenak sebelum heregistrasi dimulai pukul sembilan. Dan lomba pidato bahasa Arab yang dimulai pukul satu siang.

Dalam perjalanan, semua penumpang tertidur, kecuali Azka yang menemani ngobrol Pak Aji agar tidak mengantuk. Dari kaca spion dalam, dia bisa melihat Laili yang tertidur nyenyak di bangku belakang. Walau lampu dalam mobil dimatikan, tapi cahaya dari luar membuat wajah putih perempuan itu terlihat damai. Azka bisa menikmati pemandangan tersebut tanpa malu karena Laili tak terbangun. Biarlah kali ini dia melakukan zina mata. Rasa yang ada di hatinya memang sudah membuncah untuk gadis berparas lembut tersebut.

Setelah azan Subuh, mobil berhenti di salah satu masjid pinggir jalan. Mereka turun untuk melaksanakan kewajiabannya.

"Ustazah mau kopi?"

Setelah selesai salat dan Laili hendak memakai kaos kakinya di serambi masjid, tiba-tiba Azka duduk di sampingnya dengan menawarkan satu cup kopi susu.

"Eh ... terima kasih," ucap Laili tulus lalu mengambil kopi yang disodorkan Azka.

Udara kota gudeg pagi ini cukup dingin. Embun di permukaan dedaunan menambah suasana segar dan merilekskan tubuhnya yang capek karena duduk di mobil selama kurang lebih tujuh jam.

Laili menyeruput kopinya dengan Azka yang duduk tak jauh darinya sedang memperhatikannya. Laili yang merasa diperhatikan, merasa tak nyaman. Perlahan dia menoleh pada Azka.

"Kenapa, Ustaz?" tanya Laili canggung karena benar dia sedang diperhatikan Azka.

"Tidak apa-apa, Ustazah. Hanya saja hari ini saya merasa beruntung ... karena bisa melihat wajah cantik Ustazah di kala subuh seperti ini," ucap Azka dengan senyum tak luput dari bibirnya.

Laili merasa aneh mendengar penuturan Azka. "Ustaz gombalin saya? Maaf gak punya uang receh." Laili nyengir, berusaha mengabaikan ucapan Azka. Dia tahu, lelaki itu tidak bercanda. Karena dulu dia mengatak akan menunggunya membuka hati.

Dua siswinya mendekat sambil membawa pop mie dan air mineral. Mereka menawari Azka dan Laili lalu duduk di belakang guru mereka untuk menikmai sarapannya.

"Ustaz Azka dan Ustazah Laili terlihat serasi, ya? Pakai jaketnya couple. Hihiii ...." tiba-tiba Hanum, salah satu siswi menyeletuk dari belakang. Spontan Laili melirik jaket yang dikenakan Azka. Ah, ternyata warna jaket mereka sama, biru dongker. Azka hanya senyum-senyum melirik Laili mendengar sanjungan siswanya.

"Apaan sih? Kebetulah saja warnanya hampir sama. Tapi bukan couple, kok!" Laili melakukan pembelaan karena memang tak menyadari sebelumnya jika warna jaket mereka sama.

"Ya dijadikan couple saja, Ustazah. Hihihiiii ...." Lagi-lagi mereka merusuh. Dasar anak jaman sekarang, dibilangi malah ngeyel.

Laili hanya geleng-geleng mendengar candaan mereka. Apalagi Azka tidak menunjukkan pembelaan sama sekali. Malah terlihat menikmatinya.

---***---

Pukul enam pagi, mobil sudah terparkir di depan pagar sebuah rumah milik Pak Rahman sesuai dengan alamat yang diberikan Hilmi. Azka keluar dari mobil dan memencet bel. Seorang wanita paruh baya berjilbab coklat keluar dan membuka pagar rumah.

"Assalamualaikum. Kami dari madrasahnya Ustadz Hilmi di Malang," ucap Azka sopan.

"Ooh ... iya, kemarin nak Hilmi sudah mengatakan akan ada rombongan sekolahnya yang akan menginap di sini. Mari silakan masuk. Mobilnya diparkir di pelataran saja, Pak." Sambutan hangat dari wanita itu membuat rombongan tersenyum. Satu per satu mereka menyalami wanita ramah tersebut, tak terkecuali Laili.

"Masya Allah ... cantiknya sampean, Nduk," ucap wanita paruh baya yang terlihat sabar tersebut setelah Laili bersalaman dan mencium tangannya.

Laili hanya tersenyum ramah. Mereka lalu masuk ke ruang tamu. Di dalam ruang tamu sudah ada seoramg lelaki paruh baya yang menyambut mereka. Ternyata dia pak Rahman, pria yang dimaksud Hilmi. Tak lama berselang, beberapa cangkir teh hangat tersaji di atas meja. Menemani mereka mengobrol.

Ruang tamu yang cukup luas khas kota Yogyakarta membuat semua orang yang berada di dalam, merasa nyaman. Apalagi sikap tuan rumah yang sangat ramah.

"Anak saya sebentar lagi pulang. Biasanya dia pulang setelah duhaan sekalian di masjid."

"Assalamualaikum," ucap salam seseorang dari arah pintu masuk.

Hah! Laili terkesiap melihat kehadiran pemilik suara tersebut.

"Bang Halim?"

---***---

Ehem ... Hilmi dan Ayesha masih nungguin readers buat meminang mereka ya. Yuk yang mau novelnya Imam Pengganti, PO masih terbuka ya. Bisa komen/inbox/wa saya di +6281556560728. Nanti saya bantu arahkan ke marketer terdekat agar ongkir lebih ringan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top