Part 3
Jam pulang sekolah telah tiba. Para siswa berhamburan keluar kelas menuju gerbang untuk kembali ke rumah. Selesai mengajar, Hilmi menghampiri Halim yang sedang menunggunya di ruang guru.
"Alhamdulillah sudah selesai. Ayo kita pulang sekarang!"
Setelah berpamitan dengan sesama rekan guru, mereka berdua keluar ruangan dan berjalan menuju tempat parkir.
"Ustaz Hilmi ... maaf, saya bisa minta waktu sebentar. Ada yang ingin saya tanyakan. Tadi di kelas kurang jelas." Dua siswi dengan napas ngos-ngosan menghampiri Hilmi.
"Iya, baiklah. Kok tidak tanya waktu di kelas tadi?"
"Afwan, Ustaz, kami malu karena pasti diledeki teman-teman."
"Ya sudah, tunggu di bangku itu sebentar, ya." Hilmi menunjuk bangku di depan ruang administrasi untuk mereka menunggunya. Kedua siswa tersebut menganguk lalu berjalan menjauh.
"Maaf ya, Lim. Aku temui mereka dulu. Kamu tunggu sebentar, ya."
"Aku langsung ke tempat parkir saja. Kutunggu di sana."
"Oh, oke kalau begitu. Sorry ya harus menunggu lagi," ucap Hilmi sungkan.
"Santai saja, Brow." Halim terkekeh dan berjalan menuju tempat parkir, sedangkan Hilmi menemui siswanya yang sudah menunggu.
---***---
Dari jarak sepuluh meter, Halim melihat seorang perempuan yang sedang menstarter motor matic merah. Berulang kali dicoba, tapi mesin motor tak menyala. Sejenak dia hanya memperhatikan perempuan tersebut. Tetapi melihat raut wajah perempuan tersebut yang gelisah, menggerakkan langkah Halim mendekatinya.
"Afwan Ustazah. Kenapa dengan motornya?"
Perempuan tersebut yang ternyata Laili, mendongak ke arah Halim. Dia tak menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi. Malu di wajahnya belum hilang dengan kejadian pagi tadi di ruang tamu.
Laili menenggok ke segala arah, sepi. Sepertinya memang semua rekan guru sudah pulang. Tinggal beberapa siswa yang masih menunggu jemputan, dan segerombol siswa sedang mengerjakan tugas kelompok di gazebo taman.
Sebenarnya dia malu kalau harus meminta bantuan orang di depannya itu. Namun keadaan memaksanya untuk meminta pertolongan.
"Eemm ... saya tidak tahu kenapa. Tapi sudah distarter berulang kali tidak mau nyala. Padahal bensinnya full." Laili masih mencoba menyalakan mesin motornya. Nihil. Usahanya tak membantu sama sekali.
"Boleh saya periksa?" Halim menawarkan bantuan.
Tidak ada pilihan lain. Laili mempersilakan Halim mengecek kondisi motornya. Halim melongok bensinnya, full. Lalu dia menggulung lengan kemejanya sampai hampir siku. Berjongkok di samping motor dan melakukan pemeriksaan. Laili hanya berdiri mematung memperhatikan punggung pria tersebut.
Sekilas, pikirannya seperti pernah mengalami kejadian seperti ini beberapa tahun yang lalu saat dia masih kuliah. Punggung itu ... kenapa mirip dengan orang yang menolongnya waktu itu? Ah, bukan. Pasti mereka orang yang berbeda.
"Maaf, ada tissue?" Tiba-tiba Halim menengok ke arah Laili dan meminta tissue.
"Ah, i-iya. Sebentar." Laili membuka tasnya dan mengeluarkan benda yang diminta Halim lalu mengulurkan kepadanya.
"Terima kasih," ucap Halim dengan tersenyum.
Beberapa saat setelah Halim mengelap busi, dia memasangnya kembali dan bangkit lalu menstarternya. Suara motor menyala. Hati Laili ikut lega mendengarnya.
"Alhamdulillah ...," lirihnya senang.
"Kali ini bukan karena kehabisan bensin seperti beberapa tahun lalu, tapi karena businya kotor terkena oli," ucap Halim melihat Laili sambil menahan senyum.
Laili terperanggah dengan ucapan Halim. Rasa senang karena motornya sudah diperbaiki, tiba-tiba berubah menjadi rasa malu yang teramat pada pria di depannya itu.
*flashback on*
Tiga tahun yang lalu seorang mahasiswi berhijab biru dengan gamis senada sedang berdiri termenung di samping motornya. Beberapa kali dia mencoba menstarternya tapi gagal. Seorang lelaki berkacamata tebal yang baru keluar dari lahan parkir, memperhatikannya dari balik kemudi.
Perempuan tersebut beberapa kali mengutak atik ponselnya, mungkin mencari bantuan. Karena hari semakin sore, laki-laki tersebut turun dan menghampirinya.
"Kenapa, Mbak? Motornya mogok?" tanya lelaki itu sopan.
"I-iya, Pak," jawab perempuan tersebut setelah melihat sekilas kehadiran orang lain di dekatnya.
Lelaki yang saat itu memakai kopyah hitam dan kacamata tebal, serta baju batik coklat lengan panjang dengan celana bahan warna hitam, tak protes dipanggil bapak. Walau usianya masih 26 tahun dan belum menikah. Penampilannya memang terlihat lebih tua dari usianya kala itu.
"Saya periksa, boleh? Saya lihat dari tadi Mbaknya gelisah seperti butuh bantuan."
Laili menganguk dan menjauh dari motornya. Lelaki itu berjalan mendekati motor dan mengecek bensin, full. Lalu berjongkok mengecek busi, bagus. Seketika dia membuka tempat bensin dan mengguncang motor tersebut.
"Bensinnya habis, Mbak. Sebentar, saya ambil bensin dulu."
Lelaki itu berjalan ke arah mobilnya dan menjulurkan selang ke botol untuk mengambil bensin. Setelah cukup, dia kembali dan menuangkannya ke tangki bensin. Setelah selesai, dia coba starter dan berhasil.
"Layarnya mati, Mbak. Jadi gak tahu kalau bensinnya habis," ucap lelaki itu dengan tersenyum.
"Terima kasih ya, Pak. Ee ... maaf, ini untuk ganti bensinnya." Perempuan tersebut mengulurkan uang berwarna hijau dengan sungkan.
Sang lelaki menolaknya, "Ndak usah, Mbak. Sesama muslim bukankah harus saling membantu?"
"Oh, ya sudah, sekali lagi terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak."
"Aamiin ...."
Setelah itu, perempuan tersebut menaiki motornya dan melaju ke asrama.
"Baru sekali pinjam motor. Eh, kehabisan bensin pula, nggak tahu. Duuhh ... untung ada orang baik yang mau membantu. Semoga Allah memberkahi hidupnya. Aamiin."
Di sepanjang perjalanan, Perempuan tersebut bermonolog mengingat kejadian yang barusan dialaminya.
"Gadis yang manis," gumam lelaki itu lirih dengan senyum tipis tercetak di bibirnya.
"Astaghfirullah ... ingat Halim, kamu akan mengkhitbah seorang bidadari dunia. Jaga hatimu!" Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya agar bayangan perempuan muda barusan, hilang dari pikirannya.
*flashback off*
Jadi benar ingatan Laili bahwa pria ini adalah orang yang sama dengan beberapa tahun lalu yang membantunya ketika motornya mogok?
Seketika wajah Laili memerah karena malu.
'Duuhh ... kenapa aku harus bertemu kembali dengan orang ini? Dalam keadaan yang hampir sama pula dengan yang dulu. Malunya ....' batin Laili.
"Ustazah Laili sedang apa berduaan dengan seorang lelaki?"
Sebuah suara mengalihkan perhatian kedua orang tersebut. Ustaz Azka, kaur kesiswaan menghampiri mereka dengan tatapan tajam.
"Ee ... nggak ... nggak lagi apa-apa, Ustaz. Motor saya tadi mogok dan diperbaiki sama ...." Laili tak bisa meneruskan ucapannya. Dia binggung harus memanggil siapa pria di depannya tersebut.
"Halim. Nama saya Abdul Halim. Panggil saja saya Bang Halim. Jangan panggil 'Pak' seperti dulu." Halim mengerti kebinggungan Laili dan sedikit menggodanya dengan ingatan kejadian beberapa tahun silam. Laili hanya nyengir.
"Sekarang motornya sudah nyala, kan? Ustazah segera pulang saja. Tak baik berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi," tiba-tiba sindiran Azka yang tajam membuat Laili tak enak dengan Halim.
"Ustaz! Jangan bicara seperti itu! Saya dan Pak ... maksud saya, Bang Halim tidak berbuat macam-macam. Tolong jangan sembarangan menuduh. Jatuhnya fitnah!" Laili sedikit tersulut emosinya mendengar teguran Azka.
"Saya tidak menuduh, Ustazah. Hanya mengingatkan! Maaf kalau tersinggung. Saya permisi. Assalamualaikum." Dengan nada suara yang penuh penekanan dan muka masam, Azka berlalu meninggalkan kedua orang tersebut.
Dengan perasaan tak enak, Laili meminta maaf kepada Halim atas sikap rekannya tersebut. Entah kenapa tiba-tiba Azka seperti orang yang marah melihat Laili dan Halim berdua. Kata-katanya juga tajam dan seperti orang yang sedang emosi. Entahlah ....
---***---
Sepeninggal Laili, Hilmi menghampiri sahabatnya tersebut yang sedang berdiri bersandar di badan mobilnya dan tersenyum-senyum tak jelas.
"Heii ... kenapa senyum-senyum sendiri?"
Masih dengan mata berbinar dan senyum di bibirnya, Halim berujar, "Aku barusan bertemu dengan gadis di masa lalu yang sempat membuatku sekejap lupa pada Fatma."
"Hah! Yang mana orangnya?" Hilmi celingak-celinguk melihat sekitar, tapi tak ada orang. Hanya beberapa siswa yang ada di gazebo sedang serius dengan bukunya. Tak mungkin mereka, bukan?
"Sudah pergi," jawab Halim enteng.
"Siapa dia? Apa wali siswa yang menjemput anaknya?"
"Ngawur. Tuwir bingit kalau wali siswamu. Ada deh. Jangan kepo, Ustaz ... ayo cabut!"
Keduanya tergelak lalu menaiki kendaraan masing-masing. Halim mengikuti Hilmi yang mengendarai motor menuju rumahnya.
---***---
Terima kasih untuk vote, komentar dan add teman-teman 😘🙏
Ohya Imam Pengganti masih open PO ya sampai 10 Juli 2019.
Yuk segera ikutan biar bisa kekepin Hilmi dan Ayesha 😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top