Part 2

---***---

"Saya permisi duluan, Ustazah."
Setelah mengucapkan salam, Hilmi berjalan meninggalkan Laili yang masih termenung di depan ruangannya.

Sebenarnya Hilmi juga berusaha mengurangi interaksi dengan Laili, agar bisa menjaga perasaan masing-masing. Hanya saja karena dia tidak sempat menjenguk Laili sewaktu sakit, dia tak enak kalau tidak menyapanya setelah selesai upacara bendera.

Beruntung karena ruangan asatid dan asatidah terpisah. Getaran-getaran aneh yang dirasakan dulu ketika berhadapan atau tak sengaja saling pandang dengan Laili, kini telah hilang. Dia bersyukur tidak terlampau lama terbelenggu dengan perasaan yang tak seharusnya. Cinta dan perhatiannya kini tercurahkan sepenuhnya untuk sang istri seorang, Ayesha Wijaya. Istri yang mulai dicintainya sekarang sampai maut memisahkan.

Sesampai di mejanya, suara ponsel di saku celana Hilmi berdering. Merogohnya, dan dia tersenyum membaca nama yang tertera di layar tersebut.

"Assalamualaikum warahmatullah, ya Akhi."

[Waalaikum salaam warahmatullah.]

"Kayfa haaluka?"

[Alhamdulillah ana bi khair. Hilmi, sekarang aku di Malang. Di UNISMA tepatnya.]

"Oh ya? Ada acara apa?"

[Ada kuliah umum. Sekalian kerjasama antar universitas. Aku yang diutus menangani. Kamu ngajar sekarang?]

"Alhamdulillah. Bakal sering ke Malang kalau begitu? Iya ini mau masuk kelas. Mampirlah kesini kalau urusanmu sudah selesai. Sudah lama kita tak bertemu."

[Baiklah. Tapi mungkin lusa baru bisa ke tempatmu setelah urusan di sini beres. kirim alamatnya, ya. Insya Allah aku akan ke sana.]

Setelah mengucapkan salam penutup, obrolan via ponsel itu terputus. Hilmi mengirimkan pesan titik lokasinya melalui google map. Dia senang akan bertemu dengan sahabat lamanya, teman seperjuangan ketika menimba ilmu di negeri piramida.

---***---

Seorang pria bertubuh tinggi tegap, hidung bangir, rambut rapi dan sebuah kacamata bening melengkapi tampilannya. Melangkah menuju bangunan memanjang dua lantai di depannya. Menuju ke sebuah ruangan bertuliskan resepsionis, dia memperkenalkan diri dan menyebutkan keperluannya ke sana. Resepsionis tersebut menghubungi seseorang lalu setelah telepon ditutup, dia mempersilahkan pria tersebut duduk di ruang tamu yang disediakan.

Duduk menunggu sambil mengecek ponsel yang dibawanya, sesaat kemudian seseorang perempuan masuk secara tergesa-gesa tanpa melihat pria tersebut yang memang duduk bersandar di sofa yang sejajar dengan pintu. Jadi hampir tak terlihat kalau orang tidak menengok ke sisi kanan. Perempuan itu menuju laci yang ada di pojok ruang tamu tersebut.

"Mana ya? Kata Abah ada di sini." Perempuan tersebut bermonolog sambil memilah-milah tumpukan kertas di laci, membelakangi pria yang telah mengamatinya. Tak tahu harus bersikap bagaimana, tamu tersebut hanya diam memperhatikan kegiatan perempuan tersebut.

"Assalamuaikum." Sebuah suara mengalihkan kedua orang dalam ruang tamu tersebut.

Si perempuan berbalik dan tertegun melihat siapa yang datang.

"Waalaikumsalam." Bukan ... bukan si perempuan yang menjawab salam, melainkan tamu yang sedari tadi duduk yang menjawabnya. Pandangan perempuan tersebut langsung beralih ke sumber suara dan matanya membulat melihat penampakan orang asing telah duduk di sofa mengahadap dirinya.

Tak berbeda jauh dengan si perempuan, pria penjawab salam tersebut malah memperhatikan sosok yang sedang tertegun di depannya.

'Masya Allah kenapa ada bidadari secantik ini di depanku?' batin pria tersebut setelah berhasil memindai paras ayu nan lembut tersebut ke dalam memorinya. Ada desiran halus yang terasa menyejukkan hati pria bermata teduh tersebut.

"Ustazah Laili, sedang apa di sini?" Suara Hilmi membuyarkan pikiran kedua sejoli yang saling pandang tersebut. Kakinya melangkah dari ambang pintu menuju sofa.

"E ... emm ... sa-ya ... saya sedang mencari buku presensi kelas XI. Waktu saya tidak masuk, Abah yang pegang. Katanya ketinggalan di laci sini." Sedikit terbata di awal, Laili menjelaskan maksudnya berada di ruangan tersebut. Kepalanya menunduk tapi juga sedikit mencuri pandang pada tamu yang masih mematung di depannya.

"Oh iya silahkan dilanjutkan!" ucap Hilmi sambil mengangguk lalu menengok ke sisi kanan menatap tamunya.

"Ahlan wa sahlan ya akhi ... lama tidak bertemu. Tambah keren dan muda saja antum." Hilmi bersalaman lalu memeluk sahabat lamanya tersebut.

Laili melongo memperhatikan kedua pria di depannya yang terlihat akrab. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena dia sadar akan keberadaannya dan harus segera meninggalkan ruangan itu.

"Ma ... maaf saya permisi, Ustaz. Bukunya sudah ketemu. Assalamualaikum."

Laili berpamitan dengan perasaan malu karena nyelonong masuk ke ruangan tanpa menyadari kalau ada orang di dalamnya. Tapi orang tersebut juga salah, sudah tahu ada orang masuk, tidak ditegur, malah diam saja. Atau mungkin pria tadi sudah menatap gerak-gerik tubuh Laili tanpa disadarinya.

Bagaimana kalau orang di luar tahu dan berpikir macam-macam tentang mereka? Apalagi tadi Hilmi yang datang ke sana. Padahal dia sudah bersusah payah move on darinya. Batin Laili semakin dongkol mengingat kejadian memalukan tersebut.

Setelah berlalunya Laili, kedua pria rupawan tersebut duduk dan saling bertanya kabar. Adalah Abdul Halim, sahabat Hilmi sewaktu kuliah S1 di Mesir. Halim seorang duda tanpa anak yang ditinggal meninggal oleh istrinya setelah setahun menikah karena sakit. Halim berprofesi sebagai dosen ilmu hukum Islam di UGM. Dia juga kelahiran dan berdomisili di Yogyakarta.

"Maaf ya Hilmi, aku tak bisa datang saat kamu menikah. Barengan sama acara di UNDIP."

"Tak mengapa. Acara akad dan resepsi di Surabaya semua. Di sini hanya tasyakuran saja. Aku juga minta maaf tidak datang takziyah saat kamu kehilangan istri tercinta setahun yang lalu."

"Iya, aku mengerti." Ada sedikit raut kesedihan di wajah Halim. Mungkin ucapan Hilmi telah mengingatkannya kembali pada mediang istrinya. Mengingat almarhumah adalah adik tingkat Hilmi saat kuliah di Mesir dulu. Halim sudah tertarik pada Fatma, gadis asal Semarang, yang kala itu bertemu dalam acara perkumpulan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Halim pernah bercerita tentang ketertarikannya pada Fatma, tapi Halim tak berani menyatakannya saat itu. Karena keduanya masih sama-sama belum lulus. Barulah ketika sudah kembali ke tanah air, dia berani melamar gadis tersebut sampai akhirnya menikah. Tapi jodoh mereka hanya bertahan satu tahun karena Fatma harus pergi untuk selamanya setelah melawan sakit yang dideritanya.

"Sudah jalannya seperti itu, Lim. Kamu harus kuat!" ujar Hilmi sambil menepuk pelan bahu Halim.

"Aku sudah ikhlas, tapi kenangannya akan selalu hidup dalam benakku. Aku tak pernah menyesal berjodoh dengan wanita sholihah seperti Fatma. Sampai akhir hayatnya, dia tak pernah luput berbakti kepadaku. Dalam keadaan sakit pun, dia masih berusaha menyiapkan baju gantiku untuk ke kampus. Lengkap dengan sebuah tas berisi bekal untuk makan siang yang dibuatnya sendiri. Dia wanita paling sholihah yang pernah ku temui selain umi. Tak pernah mengeluh walau rasa sakit mengerogoti tubuhnya."
Ungkapan isi hati Halim membuat hati Hilmi terenyuh.

Sungguh beruntung Halim mempunyai sosok Fatma sebagai istrinya. Tapi sayang, semua kebahagiaan itu telah berlalu. Sekarang sahabatnya ini kembali sendiri. Sudah satu tahun sejak kepergian mendiang sang istri, dia tak kunjung mencari penggantinya.

"Semua sudah suratan takdir. Sekarang Fatma sudah tidak merasakan sakit lagi. Insya Allah dia akan menjadi bidadarimu di surga nanti kalau kamu ikhlas."

"Aamiin ...."

Bagaimanapun jodoh, rejeki dan maut adalah rahasia Allah. Kita tak bisa mempercepat atau memperlambatnya. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar untuk menyambutnya dengan sebaik-baik keadaan.

---***---

"Kita makan siang di kantin madrasah gak pa-pa, ya?"

Hilmi dan Halim telah selesai melaksanakan shalat dhuhur berjamaah dengan seluruh siswa dan para asatid. Kebiasaan yang sudah sejak awal dilaksakan di madrasah. Khusus setiap hari rabu, ada ceramah agama dari ustadz secara bergantian. Dan siang tadi giliran Hilmi yang mengisi ceramah di masjid milik Yayasan Al-Muhlisin. Bangunan yang terletak di tengah gedung lain yang berada di naungan yayasan Al-Muhlisin. Jadi penggunaan untuk shalat dhuhur dan dhuha, bergantian waktunya.

"Okey. Aku juga ingin tahu seluk beluk madrasah yang kamu perjuangkan sejak masih di Mesir ini," jawab Halim sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.

Ada kebanggaan tersendiri baginya atas perjuangan sahabatnya ini mencetuskan ide untuk membangun kawasan pendidikan islam terpadu ini. Sedikit banyak, dulu Hilmi melibatkan Halim untuk meminta pendapat dan dukungan moril dalam mewujudkan impiannya tersebut. Sekarang Halim bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri akan keberhasilan itu. Sungguh Allah Maha Pemurah jika kita meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas dan niat yang baik.

"Eh, ikut ke ruanganku dulu, ya. Dompetku di dalam tas."
Sebelum berbelok ke arah kantin, Hilmi mengajak Halim ke ruangannya.

"Tak perlu ambil dompet. Aku yang traktir." Halim mencegah Hilmi untuk mengambil dompetnya.

"Heii ... di sini tuan rumahnya aku. Jadi aku yang harus traktir kamu. Aku tahu uangmu banyak, tapi kamu tamuku kali ini," tolak Hilmi dengan nada bercanda seperti saat mereka kuliah dulu. Dia tahu, Halim tak kan tersinggung dengan ucapannya.

"Ya sudah, aku tunggu di sini saja, ya."
Halim duduk di bangku porselin yang terletak di depan ruang administrasi. Sedangkan Hilmi melanjutkan langkahnya menuju ruangannya, berjarak tiga ruang dari tempatnya sekarang.

Beberapa detik kemudian, Halim menangkap sosok perempuan yang tadi ditemuinya di ruang tamu. Laili berjalan ke arahnya bersama dua pengajar lainnya. Sepertinya mereka juga akan ke kantin untuk makan siang. Saat langkah Laili sudah dekat dengan Halim, tak sengaja pandangan mereka bertemu.

Nyeesss ... ada perasaan yang entah ... dikala netra gadis ayu tersebut melihatnya. Kembali dirasakan desiran halus yang sama seperti tadi pagi saat pertama kali Halim melihatnya di ruang tamu. Halim menikmati suasana hatinya yang sudah lama tidak dirasakannya kembali setelah kepergian mendiang istrinya.

Sampai saat Laili kembali menundukkan pandangan, Halim berkedip dan segera beristigfar dalam hati lalu membuang napas. Memohon perlindungan dan ampunan Allah karena yang barusan dia alami termasuk zina mata.

"Sudah. Ayo kita ke kantin!" Hilmi tiba-tiba berada di sisi Halim dan sempat membuatnya terkejut.

"Ah ... eh ... ayo!" sahut Halim gelagapan.

"Kenapa kau gelagapan? Seperti habis melamun." Hilmi bisa menangkap ekspresi sahabatnya tersebut.

"Ti-dak. Tidak ada apa-apa."

"Yakin?"

"Iya." Pandangan Halim mengarah pada jejak Laili menghilang.

"Ee... Hilmi, boleh aku tanya sesuatu?" Ragu, Halim ingin mencoba mengorek informasi tentang Laili. Sepintas, sepertinya Halim pernah bertemu dengan perempuan tersebut, tapi lupa kapan dan dimana. Atau mungkin juga hanya perasaannya saja. Entah kenapa tiba-tiba dia susah melupakan perempuan yang baru dilihatnya tersebut.

"Tanya apa?"

Mereka berdua sudah duduk di dalam kantin madrasah. Di meja depan mereka sudah terhidang semangkuk bakso Malang, sepiring gado-gado dan dua gelas minuman dingin. Kantin ini didesain seperti pujasera dengan beberapa penjual yang menyediakan beraneka menu yang berbeda-beda. Banyak bangku serta meja yang tertata sedemikin rupa sehingga membuat pelanggan nyaman.

Tak sengaja, sorot mata Halim menangkap sosok yang dari tadi mengganggu pikirannya. Laili duduk bersama temannya di sisi timur dan menghadap ke arah Halim. Beberapa saat kemudian, pandangan mereka bertemu.

Entah keberanian dari mana yang membuat Laili mampu memandang Halim yang juga menatapnya lekat. Hanya sekitar sepuluh detik pandangan mereka saling mengunci, tapi memberikan efek luar biasa bagi kedua insan tersebut.

Laili segera menundukkan pandangan dan menghirup oksigen lebih banyak untuk menormalkan kerja paru-parunya. Begitu pula dengan Halim. Sorot mata lembut yang dimiliki Laili mampu menghipnotis pikirannya. Sejak awal bertemu, pria tersebut tak bisa mengenyahkan bayangan Laili dari otaknya. Sebenarnya dia menikmatinya, tapi ini cukup menyiksa batinnya.

"Hei, katanya mau tanya, apa?"

Suara Hilmi membuyarkan lamunan tentang Laili. Sejurus kemudian dia mengingat kembali apa yang ingin ditanyakan pada Hilmi yang sedang menatapnya dengan kening berkerut.

"Ah, afwan. Ee ... aku lupa apa yang ingin kutanyakan. Lanjutkan saja makannya!"

Halim belum siap mengajukan pertanyaan tentang Laili. Dia harus tahu dulu perasaan apa yang sedang mengusiknya karena bertemu dengan perempuan berhijab syar'i tersebut.

---***---

Jreng.. Jreng... Sudah muncul tokoh barunya. Selanjutnya seperti apa kelanjutannya? Ikuti terus yaa...

Terimakasih vote, koment dan follownya teman-teman semua 🙏😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top