Part 11

Sebuah notifikasi pesan masuk dari sahabat Laili sewaktu di pondok, Mega.

[Kamu dapat undangan dari Anisa, nggak?]

[Enggak. Undangan manten?]

[Iya lah ... aku juga gak diundang. Tapi Aini diundang, lho. Katanya resepsi sederhana, sih]

[Oh ya sudah. Berarti ngundang yang dekat saja.]

[Kamu tahu nggak, calon suaminya itu ternyata duda.]

Deg!
Duda?

[Memang kenapa kalau calonnya duda? Yang penting orang baik dan mereka sama suka.]

[iissh ... status juga penting kali. Padahal kan dulu yang naksir kalangan gus cakep-cakep. Kok malah dapet duda. hehee ... kasihan, ya?]

Laili berpikir serendah itukah status duda yang menikah dengan seorang gadis? Padahal urusan jodoh 'kan mutlak atas campur tangan Allah. Sudah tertulis dalam lauh mahfuz si fulan berjodoh dengan fulana. Apa seperti itu tanggapan kebanyakan orang tentang status orang yang pernah menikah? Alangkah lebih baik jika orang tidak menghakimi mereka dengan pandangan miring.

[Ya sudah, mungkin memang jodohnya Anisa seperti itu. Kita doakan saja dari jauh.]

Tak ingin berkomentar aneh-aneh tentang orang lain, Laili memungkasi balasan pesan tersebut. Tapi ... dia ingin tahu bagaimana pendapat Mega jika dia menikah dengan seorang duda. Iseng, dikirimkannya pesan lagi.

[Ga, kalau seumpama kamu dilamar seorang duda bagaimana?]

[Kenapa tanya begitu?]

[Ya tanya saja. Pingin tahu pendapatmu.]

[Kalau aku ya mikir-mikir dulu dudanya kek gimana?]

[Maksudnya?]

[Kalau duda karena cerai hidup, bisa jadi pria atau wanita yang gak beres. Harus diselidiki dulu. Kalau ternyata si pria yang salah, suka kasar atau suka main wanita, misalnya. Aku sih ogah!]

[Beda lagi kalau pria yang ditinggal meninggal, ya itu takdir. Tapi kalau punya anak, harus penyesuaian juga sama anaknya. Asal orangnya baik dan sholeh seperti yang kamu bilang tadi, bakal aku pertimbangkan.]

Balasan pesan Mega membuat Laili berpikir tentang Halim.

[Kalau cerai mati dan nggak ada anak, gimana?]

[Malah enak lah. Seperti jejaka, tapi lebih berpengalaman.]

[Maksudnya?]

[Duuhh ... kamu itu kuper atau dodol, sih? Ya jelas berpengalaman dalam asmara, donk. Terutama urusan ranjang. Wkwkwkkk ...]

"Ampun deh, anak ini otaknya konslet kali," lirih Laili geli.

[Dasar jomblo kebelet nikah! Wkwkwkkk ...]

Setelah selesai berbalas pesan dengan Mega, Laili memikirkan kembali tentang Halim. Walaupun duda, tapi Halim orang yang baik dan entah kenapa hatinya berbunga-bunga saat pria tersebut mengatakan takut kehilangan Laili. Katakan tak ada yang salah dengan statusnya, Tapi ... entahlah. Hati Laili masih ragu. Mengingat perjuangan Azka untuk mendapatkan hatinya kembali setelah penolakan yang pertama dulu. Apa Laili tega harus menolak untuk kedua kali?

"Ya Allah ... berikan petunjuk-Mu. Kali ini aku benar-benar merasakan kegalauan tentang jodohku. Aku sangat mengharapkan bantuan-Mu, Ya Allah ... bantulah aku."

---***---

Terbangun pukul dua dini hari, Laili meniatkan diri untuk mengerjakan sholat istikharah. Bagaimana pun urusan jodoh, dia tak boleh semberono. Harus melibatkan Allah dalam menentukan yang terbaik menurut-Nya. Bisa jadi apa yang kita suka, tidak berlaku untuk Allah. Karena ada rencana yang lebih indah di belakangnya.

Laili belajar dari perasaannya kepada Hilmi beberapa bulan lalu. Garis jodoh tak akan pernah tertukar. Kita hanya berusaha memastikannya melalui pendekatan pada Sang Pemberi Jodoh.

"Ya Allah ... Ya Rahman, Ya Rahim ... Berikanlah petunjuk-Mu atas apa yang sedang berlaku pada diriku, untuk urusan jodohku. Jika Ustaz Azka adalah jodohku, maka mudahkanlah langkah kami menuju halal. Tapi jika bukan, berikan kesabaran kepada kami untuk menerimanya. Mantapkanlah hatiku mengambil keputusan yang terbaik menurut-Mu. Semoga Engkau mudahkan semuanya, Ya Rabb ... Aamiin ...."

Setelah melaksanakan sholat istikharah, dia melanjutkan tidurnya. Berharap Allah memberi petunjuk lewat mimpi. Tapi jika tidak, semoga kian hari kian mantap hatinya menentukan pilihannya.

---***---

Azka duduk bersebelahan dengan ayahnya. Di sofa samping duduklah Abah Said dan Umi Khoir. Sedangkan Laili duduk di kursi single dengan pandangan menunduk. Suasana seperti ini pernah dialaminya beberapa bulan lalu. Sehingga dia merasa dejavu ketika harus mengingatnya.

"Jadi begitu, Abah. Putra saya ingin mengkhitbah putri Abah Said, Nak Laili. Abah sudah mengenal putra saya. Jadi saya tidak akan mempromosikan muluk-muluk tentang Azka," ujar ayah Azka dengan tenang. Besar harapannya lamaran kali ini diterima.

"Iya Pak Anwar. Kami sudah mengenal Ustaz Azka di madrasah orang yang baik." Abah Said menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, "seperti tuntunan Rasulullah, untuk memutuskan urusan jodoh, kita diharapkan melibatkan Allah, dalam hal ini berdoa dan sholat istikharah. Laili sudah melaksanakannya, begitu pun dengan kami, orang tuanya."

"Lalu bagaimana keputusan Abah Said dan Nak Laili?"

"Ustaz Azka lelaki yang baik lagi sholeh. Insya Allah akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Tapi maaf ... mungkin bukan putri saya jodohnya," ucap Abah Said hati-hati tapi tetap tenang. Seketika Azka dan ayahnya terkesiap. Matanya membulat seolah meyakinkan jawaban yang barusan mereka dengar.

"Kami mohon maaf ... jika harus menolak lamaran Ustaz Azka."

Laili hanya menunduk, tak berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Azka menatap nanar sosok gadis berhijab ungu tersebut. Dua kali dia ditolak lamarannya pada perempuan yang sama.

"Kalau boleh tahu, alasannya apa, Ustazah?"

"Ma ... maaf Ustaz, hati saya belum mantep. Insya Allah jodohnya Ustaz lebih baik dari saya."

"Bukan karena Halim, kan?"

"Oh, bukan. Bang Halim tidak ada hubungannya dengan keputusan saya. Ini murni karena setelah istikharah, saya, Abah dan Umi sama-sama kurang mantep. Saya mohon maaf," pungkas Laili dengan suara bergetar. Dalam hatinya dia beristigfar karena Halim ikut berperan dalam pengambilan keputusannya. Tapi toh dia tak mungkin mengatakan hal itu kepada Azka. Hal itu akan sangat menyakitkannya.

"Ya sudah Azka. Mungkin Nak Laili memang bukan jodohmu," ujar ayahnya menenangkan.

"Maaf Ustaz, kalau saya boleh menyarankan. Coba datangi kembali orang tua Hesti. Dia masih sangat mencintai Ustaz."

"Hesti? Siapa dia Nak?" tanya ayah Azka heran.

"Ehm ... Hesti pacar saya waktu kuliah, Yah. Anak Jogja," jawaban Azka membuat ayahnya mangut-mangut dan entah berpikir apa.

"Ustazah benar menolak saya bukan karena orang lain, kan? Termasuk ... pertemuan saya dengan Hesti kemarin?"

"Bukan Ustaz. Dulu mungkin orang tua Hesti menganggap Ustaz belum bisa apa-apa dan mungkin takut anak gadisnya dipermainkan saja. Jadi mereka melarang anaknya pacaran. Sekarang Ustaz Azka sudah punya sesuatu untuk ditunjukkan pada orang tua Hesti. Saya doakan agar mereka membuka hati untuk menerima Ustaz kembali."

Penuturan Laili membuat semangat Azka yang tadinya down, kini mulai bersemi kembali. Sebenarnya dalam hati Azka, setelah pertemuannya kembali dengan mantan pacar kemarin, masih ada rasa yang sama seperti saat mereka pacaran dulu. Tapi Azka terlanjur mengutarakan niatnya pada Laili. Sehingga Azka memilih meneruskan niatnya tersebut.

Tapi kini, harapan itu kembali terajut. Dia akan berusaha untuk menjemput kembali cinta yang pergi menuju ikatan yang halal. Semoga orang tua Hesti mau menerima niat mulianya.

---***---

Setelah penolakan lamaran Azka, Laili ingin menyampaikannya pada Halim. Tapi rasa malunya lebih besar. Di kamar dia mondar-mandir tak karuan dengan ponsel di genggaman. Apalagi Halim sama sekali tidak mengirimkan pesan apa pun setelah malam itu.

"Kalau aku tiba-tiba bilang lamaran Azka sudah kutolak. Nanti dia kege-eran. Secara dia 'kan PDnya gede. Duh ... gimana ya?" gerutu gadis itu pada akhirnya.

Tiba-tiba ada pesan masuk dari Hilmi yang memintanya besok untuk menghadiri undangan MGMP. Seketika sebuah ide muncul di pikirannya dengan senyum yang terkembang.

[Ustaz Hilmi, apa nomor Bang Halim tidak aktif, ya?]

Dikirimnya pesan pada Hilmi dengan jantung berdebar. Bukan. Bukan karena rasa cinta. Tapi karena rasa malu harus nekat mengandalkan Hilmi agar Halim mau menghubunginya.

Tak berapa lama pesan balasan diterima.
[Aktif kok. Kenapa Ustazah?]

[Oh, saya hanya ingin berterima kasih pada Bang Halim tentang bantuannya kemarin. Ya sudah, saya titip salam untuk Bang Halim, ya Ustaz.]

Ketar-ketir kembali dia menunggu balasan Hilmi.

[Insya Allah saya sampaikan]

Yes! Hatinya bersorak. Mengesampingkan rasa malu dan sedikit kebohongan agar Halim mau menghubunginya. Setelah balasan pesan dari Hilmi, tak berapa lama sebuah pesan masuk ke ponselnya.

[Assalamualaikum Dek.]
[Tadi telepon, ya? Maaf tidak tahu. Mungkin sinyalnya jelek]

Tangan kanan Laili langsung mengepal dan menariknya di depan dada.

"Yes! Akhirnya dia kirim pesan duluan. Hihihii ...," ucap Laili saking senangnya.

[Waalaikumsalam Bang. Maaf, tadi tiba-tiba ingat Umi Aliyah. Umi sehat, Bang?]

Pertanyaan basa-basi sangat perlu baginya saat ini. Tapi memang gadis itu sangat merindukan ibu pria yang membuat hatinya terusik itu.

[Alhamdulillah sehat.]
[Jadi Umi saja yang ditanyai kabar? Abang tidak?]

[Memang Abang lagi sakit?]

[Iya. Abang jatuh]

[Hah! Serius?]

Laili seketika cemas membaca pesan Halim. Pantas saja dia lama tidak memberi kabar. Jadi karena sedang sakit? Ah, Laili ikut sedih mengetahuinya.

[Kalau dua rius, boleh gak?]
Inginnya Halim mengetik sedang jatuh cinta. Tapi dia hapus karena terlalu lebay.

"Dua rius?" gumam Laili dengan dahi mengkerut.

[Abang lagi bercanda, ya?] tuduh Laili sarkas.

[Wkwkk ... =-D]

[Iisshh ... Abang bercandanya gak lucu.]

Laili mengetik balasan dengan bibir mengerucut sebal. Dengan perasaan ragu, diketiknya kembali sebuah pesan yang menjadi inti dari semuanya.
[Ehm ... Bang. Bang Halim kapan ke Malang?]

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Halim mengernyitkan dahi. Apakah Laili mengharapkannya untuk bertamu ke rumahnya? Apa itu artinya lamaran Azka ditolak? Seketika senyumnya terkulum. Rasanya tak sabar ingin segera menghalalkan gadis itu.
Iseng dia ingin memastikan. Seorang gadis memang suka malu-malu kucing jika menyangkut mengungkapkan isi hati kepada lelaki.

[Malang?]

[Iya. Dulu katanya Umi mau silaturahim ke sini.]

Laili mulai gelisah. Apa mungkin Halim tidak mengerti dengan kode yang dia berikan?

"Duh ... peka dong ... peka dong, Bang Halim. Ini saja aku sudah malunya ampun-ampunan. Masak harus diperjelas lagi," gerutunya sambil mencak-mencak tak jelas.

Halim bukannya tidak peka dengan kode yang diberikan Laili. Tetapi dia ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh.

Bunyi telepon membuat Laili terkesiap. Halim. Dengan ragu, akhirnya ditekanlah tombol hijau pada layar ponselnya.

"Adek gak keberatan 'kan kalau ditelepon?"

Laili hanya menggeleng tanpa sadar kalau Halim tak tahu apa yang dia lakukan.

"Abang ingin bertanya padamu. Apa kamu tidak mempermasalahkan status Abang?"

Laili menggeleng lagi. Halim reflek menghela nafas karena Laili tak kunjung menjawab.

"Dek?"

"Hah! Iya?"

"Kenapa tidak menjawab?"

Laili baru ngeh kalau dia hanya menjawab dengan bahasa tubuh. 'Duh, mana dia tahu aku sudah menjawab pertanyaannya' rutuknya dalam hati.

"I-iya Bang. Laili bisa menerima hal itu."

"Alhamdulillah ... terima kasih, Dek. Tadinya Abang sempat khawatir jika kamu kecewa-"

"Itu bukan salah Bang Halim. Itu mutlak karena takdir."

Perasaan Halim menghangat. Dia merasa tersanjung dengan ucapan Laili. "Sekali lagi terima kasih, Dek."

Kembali Laili hanya mengangguk.

"Jadi boleh nih, Abang dan keluarga silaturahim ke rumah?"

Debar jantung Laili semakin keras sampai bisa terdengar olehnya. Susah payah dia berusaha mengatur suaranya agar terdengar normal.

"Ya ... kalau mau ke sini, monggo. Tidak ada yang melarang."

Senyum Halim langsung terbit setelah mendapat lampu hijau dari Laili. 'Alhamdulillah ... Terima kasih Ya Rabb,' batinnya bersyukur.

"Insya Allah akhir bulan ini Abang ke sana. Sampaikan pada orang tua Adek, ya."

'Jiiyyaaaa ....' Laili bersorak dalam hati. Seperti ada kupu-kupu terbang dari perutnya.

"Iya."

Gadis itu menyelusupkan wajahnya ke bawah selimut. Pipinya memanas dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Berkali-kali dia menghela napas untuk menormalkan kerja paru-paru dan jantungnya.

"Ya Allah ... Kenapa belum apa-apa, aku sudah seperti ini? Untung saja tak ada orang yang tahu. Apa begini rasanya jatuh cinta?" Gadis itu senyum-senyum sendiri setelah percakapan di ponsel selesai. Dia membaca kembali percakapan di pesan tersebut. Tersenyum geli.

"Ya Allah ... Aku pernah terluka ketika jatuh cinta pada yang tak semestinya. Sekarang, aku mohon restui rasa ini Ya Rabb ..."

Karena pada akhirnya yang pernah terluka ingin kembali jatuh cinta.

---***---

Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote ya. Terima kasih sebelumnya 😊🙏

Baca kelanjutan cerita Laili sampai ending di chanel youtube Cerita Ellinda.

Cerita ini selain ending di novel dan youtube, juga ending di KBM App. Silakan download di playstore aplikasinya. Cari akun saya Ellinda21. Beli koinnya juga sangat murah. Kuy merapat🙏😍

Bagi yang tidak memiliki aplikasi KBM App, bisa juga meluncur ke chanel youtube saya Cerita Ellinda. Gratis sampai ending. Terima kasih 🙏🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top