Part 1

Ternyata melupakan nama seseorang yang sudah terukir di dalam hati, bukanlah perkara mudah. Banyak yang mengatakan harus 'move on' nyatanya tidak semudah mengucapkannya dan tidak sesederhana kata itu prosesnya. Membutuhkan berjuta kalori untuk mengusir tangis dan nestapa. Juga beribu kata penyemangat penghapus lara.

Sejak mengetahui bahwa Hilmi telah menikah, tak usah ditanya bagaimana perasaan Laili yang telah mendamba pria itu sejak lama.

Patah hati? Tentu saja!

Kecewa? Manusiawi!

Melupakan? Harus!

Saking terpuruknya, beberapa hari setelah tasyakuran pernikahan Hilmi dan Ayesha, Laili sampai dirawat di rumah sakit karena ngedrop. Mengalami keadaan yang sangat menyedihkan baginya. Sungguh, cinta bisa membuat orang melambung tingga karena bahagia. Tapi juga bisa meluluh lantahkan hati yang tersakiti karenanya.

"Laili ingin menjadi istri Ustadz Hilmi," ucap Laili lirih saat terbaring sakit di brankar rumah sakit.

Abah Said yang sedang berdzikir, memutar anak tasbih, mendongak pada wajah Laili.

"Apa maksudmu, Nduk?" tanya Abah Said terkejut dengan ucapan putrinya. Hanya ada Laili dan orangtuanya di kamar rawat tersebut.

"Laili bersedia menjadi istri kedua Ustadz Hilmi, Abah," Laili mempertegas kalimatnya dengan mata memejam. Menahan bulir bening yang menerobos keluar.

Dalam keadaan sakit, Laili mengungkapkan keinginannya bersedia menjadi yang kedua di hati pria beristri tersebut. Tak masalah baginya menjadi yang kedua, asal dia bisa merasakan cinta Hilmi dan bisa membangun rumah tangga dengan pria yang telah lama mencuri hatinya tersebut.

Karena saking sakitnya ditinggal orang yang dicintai menikah dengan orang lain, membuatnya hampir 'gila', berpikiran pendek tanpa memikirkan akibat yang akan diterimanya, juga yang akan dirasakan orang lain atas tindakannya.

"Apa hanya karena ingin memiliki suami seorang Ustadz Hilmi, kamu mau merusak dirimu sendiri? Juga mengusik kebahagiaan rumahtangganya? Kamu itu masih muda, Nduk! Jangan berpikir gegabah! Kamu punya Allah yang akan menuntunmu agar tidak tersesat. Kamu juga punya Abah dan Umi yang selalu mendoakan kebaikan untukmu."

Abah Said menatap putrinya yang terlihat lemah, dengan mata berkaca-kaca. Putri yang dididik dengan bekal agama dan kasih sayang yang tulus dari orangtua dan keluarganya. Yang selalu membanggakan dengan berbagai prestasi yang dimilikinya. Sekarang dia berada pada titik terendah dalam hidupnya.

"Seumpama Ustadz Hilmi bersedia menjadikanmu istri kedua, apa kamu bisa hidup bahagia dengannya? Dengan orang yang tak mencintaimu dengan tulus? Kalaupun mungkin bisa, itu karena terpaksa. Bukan karena cinta."

Air mata tak bisa dibendung. Melesat deras sampai membasahi jilbab biru yang dikenakan gadis itu. Tubuhnya bergetar menahan sakit yang teramat di dalam hatinya. Umi Khoir mengusap lembut kepala putri kesayangannya tersebut dengan menitikan air mata. Hati ibu mana yang tak sedih melihat anaknya putus asa seperti itu? Sungguh dia tak pernah melihat putrinya dalam kondisi seperti itu sebelumnya.

"Dan kamu harus ingat, Nduk! Ada wanita lain yang akan tersakiti hatinya karena kehadiranmu di antara mereka. Kau memaksa masuk ke dalam kehidupan mereka, di saat istrinya masih sempurna melayani suaminya sebagai seorang pendamping. Di saat mereka sedang senang-senangnya mengecap manisnya hidup baru. Lalu apa kamu tidak memikirkan harga dirimu? Juga keluargamu? Bagaimana pandangan orang jika itu terjadi?"

Abah Said semakin gencar membuka pandangan Laili agar berpikir rasional. Dia tak mau putrinya hidup menderita karena salah langkah.

"Poligami memang diperbolehkan dalam agama kita. Tapi bukan semena-mena. Rosulullah menjalankan poligami karena punya alasan yang hak. Tidak ujug-ujug nikahi orang. Kamu perempuan yang cerdas dan sholihah. Kamu berhak menjadi yang pertama dan satu-satunya. Bukan menjadi yang kedua dan merusak kebahagiaan orang lain. Kamu pantas menjadi seorang istri dari pria yang mencintaimu seutuhnya, tanpa harus membaginya dengan wanita lain!"

Penolakan orangtuanya kala itu menyadarkan Lalili akan niatnya tersebut. Dia berpikir lagi dan lagi. Poligami bukanlah solusi. Benar, bahwa dia berhak mendapat yang lebih baik, daripada menjadi yang kedua. Walau Laili sempat memantapkan niatnya untuk hidup dalam poligami, nyatanya ketakutan dan rasa bersalah melanda juga setelah mendengar pencerahan dari orangtuanya.

Allah tahu yang terbaik bagi kita. Apa yang terpantas untuk kita. Apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Selalu ingat dan meminta pertolongan kepada Allah jika kita terpuruk dalam suatu keadaan, agar setan tidak berperan mengendalikan hati kita.

---***---

"Nduk, kapan kamu mau mulai ngajar lagi? Sudah dua minggu kamu mangkir. Kasihan muridmu, Nduk," ucap Umi Khoir sambil duduk di kasur Laili yang sedang membuka mushaf Al-Qur'an setelah sholat dhuha.

Seperti syair lagu religi 'Tombo Ati', obat hati yang pertama adalah dengan sering membaca Al-Qur'an beserta maknanya. Itu pula yang diterapkan Laili untuk mengobati hatinya yang terluka. Sepanjang malam, dia tak pernah absen melaksanakan qiyamul lail, bermunajat kepada Allah, melangitkan do'a untuk dikuatkan hatinya, agar dia tak pernah putus asa dan agar Allah memberinya jodoh terbaik menurut-Nya.

Sudah dua minggu Laili tidak pergi mengajar. Setelah pulang dari rumah sakit, dia masih butuh waktu untuk menghadapi kenyataan, memantapkan niatnya untuk melupakan Hilmi. Sementara tugas mengajar digantikan oleh Abah Said dan guru Aswaja, Ustadzah Ummi.

"Maafkan Laili, Umi. Laili tahu, Abah pasti kerepotan membagi waktu karena Laili tidak masuk. Insya Allah senin ini Laili kembali ngajar lagi," ucap Laili dengan perasaan bersalah karena sudah membuat semua orang repot karenanya. Terutama abahnya yang selalu memberikan nasehat agar dia semakin mendekatkan diri pada Allah dan cepat melupakan Hilmi.

"Kamu beneran sudah gak papa, kan? Sudah siap bertemu Ustadz Hilmi?" tanya umi menegaskan. Dia ingin memastikan bahwa putrinya benar-benar sudah melupakan pria beristri tersebut.

"Injih Umi, insya Allah Laili sudah tak mengapa jika bertemu dengan Ustadz Hilmi," jawab Laili disertai sunggingan senyum yang sedikit dipaksakan agar uminya tidak khawatir lagi dengannya.

Sungguh, dia tak mau orangtuanya ikut bersedih atas apa yang terjadi padanya. Untuk melupakan perasaannya kepada Hilmi, mungkin belum bisa sepenuhnya. Biar waktu yang menghapus jejaknya. Yang terpenting sekarang dia sudah membulatkan tekadnya untuk mengenyahkan rasa yang tidak halal tersebut dan memasrahkan hidupnya kepada Sang Penggenggam Hati.

---***---

Mentari bersinar cerah di pagi awal pekan ini. Memakai seragam kebanggaannya, Laili mengendarai motor matic warna merah menuju Madrasah Aliyah Al-Muhlisin. Butuh waktu hanya lima menit dari rumah untuk sampai ke madrasah.

Sesampainya di gerbang, dia turun dan menyalami beberapa ustadzah, dan salam hormat pada ustadz termasuk Abahnya yang menyambut siswa di gerbang madrasah. Kebiasaan ini dilaksanakan sejak awal berdirinya madrasah agar siswa hormat pada gurunya, merasa krasan dan senang hatinya belajar di madrasah. Juga sebagai sarana agar siswa lebih dekat dengan gurunya.

"Assalamualaikum, Ustadzah Laili sudah sehat?"

Seorang guru Bahasa Indonesia, Ustadzah Zumaroh menghampiri Laili yang baru masuk ke ruang guru, kemudian bersalaman.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah sudah Ustadzah, berkat do'a panjenengan," jawab Laili ramah.

Berjalan ke arah mejanya, sudah terlihat tumpukan buku tugas siswa. Mungkin selama dia tidak masuk, abah Said dan bu Ummi memberikan tugas untuk dibahas bersama ketika Laili sufah masuk. Sepuluh menit setelah Laili duduk di kursinya, bel masuk sudah berbunyi.

Hari senin waktunya upacara bendera. Seluruh siswa, guru dan karyawan mengikuti upacara bendera. Sekilas dilihatnya Hilmi juga ikut berdiri berjajar bersama deretan asatid. Untuk beberapa detik pandangan keduanya bertemu dan Hilmi tersenyum ramah sekilas.

"Assalamualaikum Ustadzah. Sudah masuk, bagaimana kabarnya?" sapa Hilmi saat upacara telah usai dan Hilmi menyusul Laili yang sedang berjalan menuju ruang guru.

"Alhamdulillah, saya sudah sehat, Ustadz," ucap Laili dengan menunduk sopan dan sedikit canggung. Dia berusaha bersikap sewajar mungkin di depan Hilmi.

"Alhamdulillah. Syukurlah. Anak-anak banyak yang bertanya kapan Ustadzah masuk. Sepertinya mereka kangen sekali dengan Ustadzah."

Laili refleks tersenyum mendengarnya. Memang benar, dia merupakan salah satu ustadzah kesayangan siswanya. Saat dia sakit, banyak yang membesuknya dan mendoakan agar segera sembuh dan mengajar lagi. Belum lagi siswa laki-laki yang terang-terangan mengatakan rindu kehadiran ustadzah muda tersebut. Rasanya lucu kalau mengingat mereka. Tingkah absurd mereka membuat Laili sedikit melupakan sakitnya.

"Iya Ustadz, saya bersyukur disukai sama anak-anak. Itu tandanya mereka semangat untuk belajar dengan saya. Bukankah itu baik bagi mereka?" dia menatap gerombolan siswa di depan kelas yang akan bersiap masuk. Beberapa di antaranya menatap ke arah Hilmi dan Laili yang sedang berdiri di teras ruang guru.

"Iya. Prestasi anak-anak pada mapel yang Ustadzah ajarkan juga meningkat. Ustadzah memang yang terbaik!" Hilmi menyanjung Laili dengan tulus.

Sanjungan yang diberikan Hilmi sontak membuat pipi Laili merona. Andai saja kalimat terakhir itu ditujukan untuknya sebagai pendamping Hilmi sebelum dia menikah, tentu akan semakin berlipat kebahagiaan yang dirasakan Laili. Tapi... Ah, sudahlah. Bukankah dia sudah bertekad untuk move on?

Laili bersyukur, walau masih sedikit grogi, dia bisa mengendalikan hatinya. Usahanya untuk melupakan Hilmi mulai menunjukkan hasil. Dia pernah membaca sebuah quote, "Cara terbaik untuk melupakan masa lalu yang memilukan adalah bukan menghindarinya. Namun dengan menghadapinya." Mungkin quote itu yang cocok untuknya agar lukanya segera sembuh.

Laili tak mungkin terus-terusan menghindar dari Hilmi. Dia harus melihat kenyataan bahwa pria tersebut sudah tak berlaku baginya! Suatu saat pasti akan ada cinta sejati yang Allah takdirkan untuk dirinya.

---***---

Bagaimana menurut kalian awal cerita ini? Next part bakal ada tokoh baru. Siapakah diaa??? Ikuti terus ceritanya ya😉😉

Silahkan kasih kritik saran dan apapun itu di kolom komentar 😊🙏

Terimakasih karena sudah setia menunggu sekuel Imam Pengganti 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top