MDN -6-
Kangen Kinan nggak???
Kinan dateng nih.
Nggak pada bungung kan kalo Miss cross story?
Cusss dibaca.
Semoga sukaaaaa.
MOHON MAKLUM KALO ADA TYPO YAAAAAK.
ENJOYYYYYY.
Libur panjang akan segera berakhir. Dua minggu lagi semua akan berlalu. Kehidupan nyata segera menyambut. Seorang Kinanthi akan sangat merindukan yang namanya rebahan, bangun siang dan mandi sehari sekali.
Selama sisa liburan, kuhabiskan dengan membantu Ayah di toko. Yah, walaupun masih bego dengan harga barang-barang. Dan akan selalu bertanya pada Ayah tiap kali ada pembeli.
"Yah, Nestmilk 190 ml sekarton berapa harganya?" ucapku pada Ayah yang sedang membuat perincian barang yang harus di re-stock. Ayah berdeham kesal.
"Mbak, kok nggak hapal-hapal, sih?" balasnya. "Yang plain 160. Yang cokelat 170, Mbak." Aku bergegas mengambil sekarton susu di belakang. "Mbak, jangan lupa bonusnya. Dari Nestmilk dapet 1 pak buku tulis setiap pembelian 1 karton."
"Gile. Nggak rugi tuh mereka?" gumamku.
"Program baru mereka katanya begitu, Mbak. Harusnya Mbak Nan malah lebihbtau dong." Ayah masih saja nyerocos saat aku berjalan balik membawa sekarton susu di tanganku. "Bukunya Ayah ambil dulu."
Ayah kembali dengan 1 pak buku tulis dan menaruhnya di atas kerdus susu. "Pak, ini ada bonus 1 pak buku tulis dari Nestmilk, ya."
"Wah, lumayan banget ya, Pak. Untuk anak-anak saya." Pelanggan itu segera mengangkat sekarton susu itu dan meletakkannya di jok motornya.
"Ayah, kok tadi Ayah bilang begitu?" ucapku. Ayah melirikku sambil membetulkan posisi kacamatanya yang mulai melorot.
"Bilang gimana?" tanyanya balik.
"Kok Ayah bilang seakan aku tahu programnya Nestmilk?"
"Kan Mbak Nan sendiri yang bilang kalo Dewa jadi donatur di kampus Mbak Nan."
"Ya, tapi kan nggak berarti aku tau semuanya dong. Boro-boro tau. Ngobrol juga nggak."
"Yaudah, yuk bantu Ayah beresin barang-barang yang baru dikirim. Bantuin nyatetin aja, Mbak. Nanti, ada yang mau ambil pesenan."
Setelah selesai membantu Ayah membereskan barang-barang, aku kembali duduk di depan. Berjaga-jaga apabila ada pembeli yang datang. Toko terasa begitu damai siang ini. Hujan lebat masih setia mengguyur. Hampir seluruh daerah di ibukota terendam banjir. Beruntung, daerah tempat tinggalku terbebas dari banjir.
Teringat sebuah undangan yang dikirim secara eksklusif ke rumahku, segera kuambil ponsel dan mencari nomor telepon seseorang.
"Assalamualaikum, Nan."
"Waalaikumsalam, Nad. Lusa lo ke acaranya Dira, kan?" tanyaku.
"Ke sana, lah. Soalnya, suaminya Dira udah booking kamar untuk keluarga besar. Jadi, kita bakaln stay di sana selama weekend. Tapi, kayaknya gue nggak bisa bawa bayi gue. Bayi nanti sama Ibu mertua gue di kamar. Kenapa, Nan?"
"Nggak apa-apa. Gue nanya aja. Gue ngeri nggak ada yang gue kenal di sana. Kalo ada lo kan enak bisa ngobrol."
"Ya ampun. Gue kira kenapa. Yaudah, ketemu di sana, ya,"
Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi membuatku mual. Mengetahui kenyataan Dewangga kenal dekat dengan suami Nadira saja sudsh membuatku sangat terkejut. Apalagi membayangkan bertemu dengannya di acara nanti. Kemungkinannya hampir 99%. Mereka berasa di lingkup yang sama. Lingkup orang kaya dan old money family. Huh!
Aku bukanlah seorang public figure yang akan memesan gaun khusus tiap kali diundang datang menghadiri sebuah acara penting. Prinsipku, aku hanya perlu berpenampilan sewajarnya dan sopan. Meski harus memakai baju yang sudah berkali-kali kukenakan di setiap acara yang berbeda.
Menghubungi siapapun itu yang bisa kuajak menemaniku ke acara. Tapi, tak ada satupun yang bisa. Aku tak mungkin mengajak Al. Walaupun aku, Al dan Vera sudah sangat mengenal sejak lama, rasanya sangat tidak etis meminta Al menemaniku menghadiri pesta, walaupun Vera mungkin akan mengizinkannya. Ratu? Aku tak banyak berharap pada makhluk satu itu. Aku masih punya Nadine.
"Segitu hopelessnya lo sampe ngajak gue kondangan, Nan?"
"Bisa nggak? Nggak usah nanya-nanya kalo akhirnya nggak bisa nemenin."
"Yes, sadly. Gue nggak bisa nemenin lo. Gue juga ada kondangan sama laki gue. Tunggu. Nan, lo nggak lupa kan kalo punya adek?"
"Oh, iya. Thanks to you, Din! Gue sampe lupa kalo punya adek."
Adis masuk ke kamarku di saat yang sangat tepat. Dengan masker peel-off hitam pengangkat komedo yang katanya berbahaya tapi masih saja digunakannya, Adis masuk ke kamarku. Mencari-cari sesuatu di meja riasku.
"Mbak, bagi cuttonbud dong. Kuping gue gatel banget. Tadi, gue lupa beli pas mampir Indomaret."
"Lo buka excel pink. Cuttonbud ada di laci ke dua dari atas. Jangan berantakan ya, Dis. Beresin lagi." Kutunjuk sebuah kotak merah muda dengan 4 laci yang ada di atas meja rias. "Dis, lusa lo ada schedule?"
Sungguh pemandangan yang sanggat menjijikan tersaji di depan mataku. Adis yang telihat sangat menikmati saat memasukkan sebuah cuttonbud ke dalam telinganya sampai memejamkan mata dan meneteska liur. Begitah kebiasaannya.
"Jorok banget sih."
"Ini tuh nikmat. Tadi lo ngomong apa, Mbak?"
"Lusa lo ada acara nggak?" ucapku lagi.
"Nggak, Mbak. Kenapa?"
"Temenin gue kondangan mau?" Adis mengangguk.
"Boleh. Dimana, Mbak?"
"Hotel Mulia."
"Serius? Kenapa baru bilang? Gue kan nggak sempet beli baju baru."
"Idih najis banget sih. Yang penting, baju lo sopan. Lo tuh mau kondangan. Bukan mau ngadep Pak Presiden. Temenin gue, ya."
"Siapa yang nikahan, Mbak?" tanya Adis.
"Adeknya Nadia. Gue diundang pas acara di rumah orangtuanya. Tapi, gue nggak bisa dateng. Kebetulan, pas hari terakhir gue PKM waktu itu nggak sengaja ketemu sama suaminya Nadira. Gue diundang langsung. Dan, beberapa hari yang lalu undangannya dianter ke sini."
"Suami adeknya Mbak Nadia siapa, Mbak?"
"Magenta." Kulihat kedua mata Adis terbelalak. Sangat seram mengingat wajahnya masih dibungkus masker berwarna hitam itu.
"Magenta yang itu, Mbak?" Aku mengangguk. "Magenta yang punya Transtar?"
"Iyee."
"Gileeeee. Duh, kayaknya bakalan banyak artis diundang, Mbak. Gue perlu bikin brosur untuk nawarin jasa make-up nggak?"
"Please jangan bikin malu ya, Dis. Toh mereka pasti udah punya MUA pribadi."
"Padahal itu bisa jadi lahan emas buat gue," gumam Adis pelan, namun masih bisa kudengar dengan sangat jelas.
"Awas aja sampe lo diem-diem nyetak brosur. Gue usir dari rumah."
❤❤❤
Kupersiapkan diri secara maksimal. Mematut diri di depan cermin. Perfect! Kinan siap jadi sosialita. Meski dengan pakaian yang entah berapa kali pernah kupakai.
Jarak dari rumah sampai ke tempat acara lumayan jauh. Adis melongo ke dalam kamarku tepat sesaat aku menyelesaikan finishing touch untuk malam ini.
"Mbak, udah? Ayok. Ini weekend. Daerah Senayan pasti macet hari gini," ucap Adis.
"Iya. Gue udah siap kok."
"Kita naek Benny, Mbak?" tanyanya.
"Lo gila? Bisa kuyup kita kalo hujan."
"Pake mobil Ayah?" Solusi yang bagus. Tapi, kurasakan mager berkepanjangan. Bahkan untuk menginjak pedal gas.
"Pake GoCar aja, ya?" Adis mengangguk. "Buru pesen."
Sesampainya di tempat acara, kami bersikap sewajarnya. Agak norak memang. Tapi, sebisa mungkin kami harus menjaga sikap, walau sebenarnya dalam hati jingkrak-jingkrak karena melihat banyak orang tersebar di penjuru ruangan. Ada artis, anggota DPR sampai beberapa menteri yang bertugas di kabinet kerja periode ini.
"Dis, jangan norak. Please. Lo boleh muter makan apapun yang lo mau. Tapi, jangan keliatan rakusnya, ya," bisikku pada Adis.
"Gue ngikut lo aja, Mbak. Gue ngeri nyasar. Nanti malah malu-maluin lo."
Kulihat ke sekeliling gedung. Tak ada ancaman sama sekali. Setidaknya aku aman. Entah akan bertahan berapa lama. Aku dan Adis memutuskan untuk menyalami kedua mempelai di saat para tamu sudah mulai sedikit berkurang.
"Nan! Udah dari tadi?"
"Belom, kok. Baru 10 menitan. Nad, gue pengen salaman ke atas, tapi masih rame banget."
"Yaudah. Tunggu aja sambil kita ngobrol. Lo udah makan?" tanya Nadia. Aku menggeleng. "Lho, kok belum?"
"Nanti aja. Salaman dulu. By the way, congratulations for your baby, Nad. Sorry, gue belom sempet ke rumah tengok si kecil," ucapku.
"Santai aja. Bayi gue ada di kamar kalo lo mau nengok."
"Nanti aja gue ke rumah lo. Biar leluasa. Nad, lo liat Dewa nggak?" Nadia menggeleng.
"Nggak. Emang kenapa? Jangan bilang..." Aku mengangguk. "Seriusan?"
"Suaminya Dira temennya Dewa," bisikku.
"Holy shit. Gue rasa kalian tuh sebenernya jodoh. Cuma lagi diputer-puter aja sama Allah."
"Ngomong apaan sih lo. Nggak usah ngaco."
"Gue sama suami gue bisa lo jadiin contoh. Gue sama dia kepisah bertahun-tahun. Sampe dia harus nikah sama Tante gue sendiri. Nobody knows, Nan."
"Udah, Nad. Jangan banyak ngayal. Kisah gue belom tentu bisa kayak kisah lo."
"Tapi, kisah lo mungkin bisa lebih manis dari kisah gue, Nan."
Saat kami tengah berbincang, Abi datang menghampiri kami.
"Bunda, disuruh Ibu naik ke kamar dulu sebentar. Kirana nangis. Haus kayaknya."
"Iya, Yah. Nan, gue ke atas dulu ya. Udsh jamnya nyusuin. Lo di sini nggak apa-apa, kan?" Aku mengangguk. "Yaudah. Gue tinggal, ya."
Setelah kurasa tamu-tamu yang naik ke stage mulai berkurang, kugandeng Adis untuk berjalan ke stage. Kulihat Nadira yang sangat cantik dibalut dengan gaun putih mengembang yang sudah pasti...sangat mahal.
"Diraaa! Selamat, ya!" Kupeluk dia dan kami pun cipika-cipiki.
"Makasih udah dateng ya, Mbak Kinan. Cepet nyusul, ya," bisiknya.
"Cariin temen suami lo yang kaya juga, deh. Hahaha," sahutku. Dia mengangguk sambik mengacungkan ibu jarinya.
"Bisa diatur lah itu. Dicicipin ya makanannya."
Setelah bersalaman dengan kedua mempelai dan keluarganya, aku dan Adis berniat untuk mencicipi makanan yang dihidangkan. Memang beda. Jauh berbeda. Makanan-makanan yang dihidangkan adalah makanan dengan standar hotel bintang lima.
"Mbak, makan dimsum dulu gimana?" ucap Adis. Aku mengangguk. Apapun itu asalkan lezat, akan kumakan. "Eh, ada bebek peking juga. Gue penasaran gimana rasanya. Di sebelah sana ada nasi hainan. Tadi, di ujung sana gue sempet liat ada salad bar gese banget, Mbak."
Demi Allah. Apapun itu, selama enak akan kumakan.
"Dimsum aja dulu gimana, Dis?"
Di saat mengantre dimsum, kurasakan pundakku ditepuk seseorang. Aku menoleh untuk mengetahui siapa yang menepuk pundakku.
"Re?"
"Hai, Nan. Aku liat kamu. Makanya aku samperin kamu. Kamu lagi antre dimsum?"
Bukan, Re. Antre premium di pom bensin.
"Eh, iya. Kamu sendiri?" ucapku basa-basi.
"Aku dari toilet. Ini mau nyamperin Mas Juna sama anakku," jawabnya.
"Kamu sama Mas Juna juga?" tanyaku. Rere mengangguk.
"Itu Mas Juna." Rere menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang menggendong anak perempuan dengan gaun merah muda. "Kita sekeluarga ke sini, Nan. Karena kebetulan keluarganya Mas Juna kenal akrab sama keluarganya Om Handoko."
Mampus gue. Kematian semakin mendekat. Astagfirullah. Jangan dulu, Yaa Allah. Bekal hamba belum cukup. Dosa doang yang banyak.
"Se-se-keluarga?" ucapku terbata. Rede mengangguk. "Tante Ambar ikut juga?"
"Mama ikut. Tapi, kayaknya lagi kumpul sama temen-temennya. Aku diajak kumpul. Tapi, nggak mau. Ngerasa nggak sefrekuensi gitu," ucapnya. "Dewa juga dateng, Nan. Mau ketemu?"
"Oh, nggak usah, Re. Dia pasti sibuk."
"Nggak, kok. Dia malah lagi ngobrol di sana sama Papa. Aku panggilin, ya?" Aku menggeleng. Tenggorokanku terasa kering. Keinginan menyantap dimsum menguar entah kemana.
"Nggak usah, Re. Nanti aja. Kami mau makan dulu, ya."
"Oh, begitu. Yaudah. Aku lupa nggak minta nomer kamu, Nan. Boleh minta nomermu?" Aku mengangguk. Segera kudiktekan nomor teleponku. "Makasih ya, Nan. Kalo ada apa-apa aku boleh hubungin kamu, kan?"
"Iya. Boleh, Re."
"Yaudah, kamu makan dulu."
Setelah memakan seporsi dimsum, akuan Adis berniat untuk menjelajahi meja prasmanan. Semua lauk kami cicipi. Jangan sampai dibuat penasaran soal rasanya.
Selesai makan, aku berjalan hendak mengambil dua gelas air minum. Tapi, seseorang menyenggolku dengan sangat kencang dan membuat gaun yang kukenakan basah.
"Jalannya yang bener, Mbak." Seorang wanita setengah baya yang sangat kuhindari selama ini berdiri di hadapanku.
"Maaf, Bu. Saya nggak sengaja." Tanpa banyak bicara, aku segera menaruh kembali gelas yang kubawa dan berjalan meninggalkan wanita itu.
"Kinanthi?" Langkahku terhenti saat kudengar namaku dipanggil. "Jadi bener ini kamu?"
Wanita itu berjalan mendekat ke arahku. Sumpah, rasanya sama sekali nggak enak. Kalau boleh memilih, lebih baik aku ditagih uang kas yang nunggak berbulan-bulan daripada harus dihadapkan oleh situasi macam ini.
Aku berbalik ragu menghadap orang yang memanggil namaku. Kuperlihatkan wajahku perlahan di hadapannya.
"Kamu ngapain di sini? Nggak tau malu ya kamu. Berani-beraninya kamu muncul di sini. Siapa yang ngundang kamu ke sini? Nggak lupa kan sama status kamu? Kami semua yang ada di sini nggak level sama kamu." Sabar, Nan. Sabar. Dia cuma lansia yang lupa kalau hidupnya mungkin nggak akan lama lagi. Sabar sih sabar. Tapi, semua orang jadi fokus ke gue.
Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Tante, maaf. Saya dateng ke sini karena undangan langsung dari kedua mempelai. Dan jujur, saya juga nggak pernah berharap untuk ketemu sama Tante dan keluarga Tante di sini."
Hebat!
"Jaga mulut kamu! Nggak heran orangtua kamu gagal ngedidik anaknya. Beruntung Dewa nggak nikah sama kamu. Apa jadinya kalo sampe dia nikah sama kamu," ucap Tante Ambar dengan nada yang tentunya lebih tinggi dari sebelumnya. Dan...lebih banyak mata yang menujukan pandangan ke kami berdua.
Merasa geram karena untuk kedua kalinya Tante Ambar menyeret-nyeret kedua orangtuaku. Aliran darahku terasa mendidih. Kedua mataku terasa perih. Terlebih, saat kulihat Dewangga yang berjalan membelah keramaian. Dia berdiri mematung melihat aku yang direndahkan oleh ibunya.
Segera kuusap air mata yang hampir saja menetes.
"Tante Ambar yang terhormat. Tolong jangan lagi bawa-bawa orangtua saya. Apalah saya. Saya cuma anak dari keluarga biasa. Ayah saya cuma pensiunan PNS. Nggak punya perusahaan besar kayak keluarga Tante. Kalo anak Tante nggak nikah sama saya, mungkin memang belum jodoh. Nggak tau deh kalo nanti. Tante siap-siap aja. Siapa tau Tante jadi mertua saya nanti."
PLAKKK
Seketika, pipi kananku terasa sangat panas. Sakit. Di depan begitu banyak pasang mata, harga diriku diinjak.
"Tampar saya sampe Tante puas! Apa salah saya sampe saya harus menerima perlakuan seperti ini dari Tante?" ucapku. Aku segera memalingkan wajah saat kulihat Tante Ambar bersiap untuk kembali menamparku.
"Mama!" Rere datang dan berdiri di antara kami berdua. "Mama kenapa?"
"Mbak Nan!"
"Minggir, Re! Wanita murahan kayak dia harus dikasih pelajaran."
"Tante, jaga ucapan Tante. Kakak saya nggak seperti yang Tante bilang. Asal tau aja. Saya bisa bilang di hadapan semua orang. Kalo perlu, saya seret Mas Dewa ke sini. Biar Mas Dewa tau kalo selama ini dia salah paham."
"Adis..." Segera kubungkam mulut Adis dengan telapak tanganku.
"Dasar adek kakak kurang ajar!"
"Ma, banyak orang yang lihat. Udah, Ma. Udah." Rere segera membawa Tante Ambar menjauh dariku. Meninggalkanku dan Adis yang masih berdiri terpaku.
Kulihat Dewangga pergi meninggalkan ruangan.
Tante Ambar, saya akan pastikan wanita yang Tante bilang murahan ini yang akan jadi menantu Tante. Saya akan dapatkan kembali apa yang seharusnya jadi kebahagiaan saya. Anak Tante. Dewangga.
-
To Be Continued-
Depok, 24 Februari 2021 23:37
Haiiii.
Gimana gimana ?
Syukaaaa?
Duh, seriusan deh. Aku nggak tau chapter ini ngefeel nggak untuk kalian.
Semoga sih ngefeel.
Masih semangat kan nungguin Kinan ?
Dewa kok diem aja ih. Gemeshhhhhh.
Pengen nyeret deh... Geret ke atas kasur.
Kite buka tuh kemejanya. Celananya. . .
Terusssssss.
Kita......
Huahahhahahaah gilaaa koplak banget gueeeeee.
I lop yu dah pokoknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top