MDN -5-

Ciyeee.
Seneng nggan aku update??
Semoga suka yaaaa.
Tandai typo.
Harap maklum.
Mata udah lima watt.

""Lo kenapa diem aja, sih? Kesel gue sama lo. Gue aja panas denger lo digituin. Eh, lo nya ,alah diem aja."

"Udah ngomongnya, Al? Mau tetep jadi Al Fatihah atau berubah jadi almarhum? Gue lagi nggak mau berdebat masalah ini."

"Tau ah. Bego lo. Kesel gue. Ah elah. Pengen makan orang aja rasanya."

Duh, Kinan. Apa sih sebenarnya yang ada di otak lo? Aku pun tak tahu. Tiap kali berhadapan dengan seorang Dewangga, aku hanya bisa diam membisu. Kalaupun berucap, itupun terbata. Seakan, kemampuan verbalku terbang entah kemana.

Dia sungguh jauh berbeda dari yang kukenal selama ini. Aku berani bertaruh aku menjadi salah satu alasan terjadinya perubahan itu. Pada dasarnya, sosoknya hangat. Itulah yang membuatku nyaman selama berada dalam sebuah hubungan dengannya. Setiap pertengkaran selalu aku yang memulai. Apalagi kalau bukan seorang aku yang sebenarnya cantik luar biasa tapi harus merendah menjadi biasa saja berusaha melindungi dia yang super maha sempurna di mata para wanita? Kinan minta ditabok nih, ya!

Dia cinta pertama dan pacar pertamaku. Begitu pula aku, cinta pertamanya. Setidaknya, begitulah pengakuannya. Dan sejak berpisah dengannya, aku belum menjalin hubungan dengan laki-laki manapun itu. Masih kuingat saat seonggok Kinanthi bertemu pandang dengan seorang Dewangga untuk pertama kalinya. Enam belas tahun yang lalu. Waktu aku masih terlalu kinyis-kinyis.

"Nggak bawa payung?" ucapnya saat melihatku yang tengah berteduh di depan ruang piket. Aku lupa curah hujan menjadi tinggi di bulan Januari.

"Lupa." Aku hanya sekilas mengenalnya. Dewangga terkenal. Sangat terkenal.ketua ekstrakulikuler ROHIS yang katanya selalu menolak tiap kali diminta untuk mencalonkan diri sebagai ketua OSIS.

"Mau pulang abreng gue?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kenapa? Lo takut gue culik?

"Rugi banget lo nyulik gue. Makan gue banyak. Lo minta tebusan ke orangtua gue juga percuma. Justru, mereka seneng. Jatah nasi utuh." Dewangga tertawa. Entah kenapa, suara tawanya terdengar merdu di telingaku. Persis suara Ronan Keating saat menyanyikan bagiannya di lagu Everyday I Love You. Sebucin itu lah aku pada Ronan Keating.

"Gue bawa mobil. Dan, kayaknya enak kalo ada temen ngobrol di jalan. Masih mau nolak?" ucapnya. Kuhela napasku. Kulirik jam dinding yang terpasang di tembok ruang piket. "Udah sore banget, lho. Lo tau kan cerita yang ada di sini?"

Aku bergidik ngeri. Memang hanha tinggal kami berdua yang berteduh di ruang piket. Satu per satu murid sudah pulang dengan jemputan mereka. "Cerita apa?"

"Gue pernah denger kalo setiap malem di ruangan ini suka ada yang nempatin. Duduk di bangku yang lagi lo dudukkin." Telunjuknya menunjuk ke bangku yang sedang kududukki. What the hell! "Mau bareng gue? Atau mau nunggu sampe hujannya reda? Mungkin bisa sampe habis Maghrib. Bulan Januari musim hujan kan, ya?"

"Oke, gue bareng lo. Bisa anter gue pulang sampe rumah? Jangan turunin gue di pinggir jalan, ya. Beneran anter gue pulang. Jangan diajak kemana-mana."

"Astagfirullah, Kinan. Gue nggak sebejat itu."

"Darimana lo tau nama gue? Lo stalk gue, ya?" Kupicingkan mataku dan menatanya penuh curiga.

"Nggak salah lo bilang gue stalk lo?" ucapnya. Telunjuknya menunjuk ke arah dada kiriku.

"Otak lo bener-bener, ya. Ketua ROHIS tapi ...."

"Otak lo yang ngeres. Buat apa lo pake papan nama di baju lo?"

Oops. Malu banget woy.

"Gue tau lo malu. Nggak apa-apa. Yuk, gue anter balik." Dewangga melepas jaket denim baby blue yang dikenakannya. "Parkiran mobil lumayan jauh. Lo pake ini, ya."

Kuterima jaket yang diberikannya. Aroma harum minyak wangi khas pria bercampur keringat berpadu. Enak, woy! "Lo basah, dong?"

Dewangga tak mengindahkan ucapanku. Dia menarik pergelangan tanganku dan mengajakku berjalan menyusuri rintik hujan. Hanya tinggal beberapa langkah menuju mobilnya, Dewangga berbisik di telingaku.

"Yang tadi gue bilang ke lo semuanya bohong."

"Maksud lo?"

"Yang ada di ruang piket. Bukan setan. Tapi satpam sekolah. Kalo malem, mereka lebih milih tidur di ruang piket, soalnya di sana ada TV."

Komunikasi pertama kami. Dan, sejak saat itu kedekatan kami mulai terjalin. Tahun itu, di Hari Kasih Sayang aku berhasil merubah status dari seorang jomblo sejati menjadi in a relationship.

"Nan, aku nggak mau basa-basi. Langsung aja, ya. Aku suka kamu. Sebenernya, udah sejak MOS aku mulai perhatiin kamu. Aku cari tau semua hal tentang kamu. Aku udah tau nama kamu sejak lama. Soal papan nama itu cuma akal-akalan aku aja. Kinan, kamu mau jadi pacarku? Aku tau ini terlalu cepat. Kita baru kenal." Aku tak tahu apa alasannya mengubah panggilan dirinya. Yang jelas, itu semua membuatku merasa kaget.

"Maksudnya gimana? Lo nembak gue?"

"Nan, tolong jangan rusak suasana romantis yang lagi aku bangun, dong. Bisa kan kamu kerjasama sama aku? Pake aku-kamu juga. Biar kesannya aku tuh nggak tragis banget."

"Ok. Kamu yakin bisa tahan sama semua sifatku yang kayak begini?"

"Aku mulai tau sifat kamu. Kalo suka kamu bakal bilang suka. Kalo nggak suka ya kamu bakal langsung bilang nggak suka. Kamu suka aku juga kan, Nan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Serius?"

"Katanya udah paham sifatku."

"So? Are we in a relationship now?" Aku kembali mengangguk. "Happy Valentine's Day, Kinanthi."

Setelah lulus MA, kami terpaksa menjalani hubungan jarak jauh. Aku melanjutkan kuliah di Jakarta, sementara Dewangga memenuhi keinginan kedua orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di liar negeri. Dewangga hanya akan pulang 2 kali dalam setahun di setiap libur panjang kuliahnya. Selama empat tahun menjalani hubungan jarak jauh seringkali membuat kami bertengkar hanya karena hal sepele. Aku yang seringkali cemburu setiap melihatnya mengunggah foto-foto dengan teman-teman bule berambut pirangnya.

"They're just friends, Sayang. Cemburumu buta."

"Buta gimana? Aku kan liat poto-potonya."

"Duh, aku nggak tau gimana lagi harus jelasin ke kamu. Kamu tau? I am stuck with you. Aku tuh udah mentok sama kamu. Mau secantik apapun mereka, tetep Cuma kamu yang nyangkut di aku."

"Aku kangen kamu, Wa."

"Kamu sabar, ya. Sebentar lagi aku balik. Kita nggak akan pisah lagi. Aku di sini demi masa depan kita. Kuliah kamu gimana di sana?"

"Everything's good on its path. I think. I wish i could attend your graduation day," ucapku penuh harap.

"Kamu mau dateng? Aku bisa atur semuanya. Aku bisa minta orangnya Papa untuk urus semua dokumen sama tiketnya. Mau?" tanyanya.

No. Jangan. Aku kasih doa aja, ya? Semoga studi kamu lancar. Sebagai gantinya, kamu aja yang annti dateng ke wisudaku. Bisa? Kamu kan selesai duluan dari aku. Aku aja ini masih sibuk ngurus skripsi. Nggak ACC terus. Pusing."

"Bisa. I guarentee it. Jangan khawatir, ya."

"Gimana sama Al? Dia masih bingung sama pacarnya?" kuceritakan semua keseharianku padanya. Tak pernah ada satupun yang terlewat. Termasuk pertemananku dengan Al, Dewangga juga mengetahuinya.

"Mereka udah baikkan, Yang. Aku udah tau sih kalo mereka tuh nggak bisa lama kalo berantem."

"Just like us, Sayang. I love you, Kinanthi."

"I love you more, more and more, Dewangga."

Dan, dia memenuhi ucapannya. Dia hadir di acara wisudaku. Bersama Ayah, Bunda dan juga Adis.

Tiga tahun berlalu setelah kepulangannya dari luar negeri. Aku sibuk dengan pekerjaanku setelah merampungkan studi, begitu pula dia. Aku mengajar di sebuah sekolah menengah atas negeri dekat rumah, masih guru honorer. Dewangga adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Berasal dari keluarga kaya pemilik sebuah perusahaan susu yang sangat terkenal di negeri ini. Setelah lulus kuliah, Dewangga membantu Ayah dan kakak tertuanya mengurus perusahaan keluarga mereka. Pertemuan kami mulai dibatasi, karena kesibukkan masing-masing.

Di usia kedelapan hubungan kami, baik aku dan Dewangga tentu menginginkan sebuah hubungan yang pasti. Hubungan yang lebih memiliki arah. Tak jarang, kami sering berandai merajut masa depan. Konsep pernikahan yang akan diusung, mau punya anak berapa sampai nama-nama anak yang akan dipakai nantinya.

Selama hampir sebelas tahun hubungan kami pun, rencana itu tak kunjung terealisasikan. Bahkan, tak pernah sekalipun dia memperkenalkanku pada kedua orangtuanya. Hanya kakak laki-laki dan adik perempuannya yang kukenal dengan sangat baik. Berbanding terbalik dengan dia yang sering datang ke rumahku. Berbincang dengan Ayah dan Ibu.

"Yang, aku nggak mau bikin kamu salah paham. Aku nggak minta cepet-cepet dinikahin, kok. Tapi, bisa nggak sih kalo aku tuh lebih dikenalin sama orangtua kamu? Terakhir aku ketemu sama mereka kan sebelum kamu berangkat ke luar negeri. Aku ngerasa Mama kamu kurang suka sama hubungan kita. Aku bener, kan? Papa Mama kamu tau perihal hubungan kita? Mereka tau kan kalo kita pacaran dari SMA?" ucapku. Dewangga yang duduk di hadapanku terdiam. Kemudian menarik napasnya dengan mencoba sedikit tenang.

"Mereka tau. Soal Mama ... kamu bener. Tentang hubungan kita yang semakin serius ..." Jawabannya terjeda, menghadirkan kesan akumemang benar-benar tak diinginkan oleh Mamanya."Mereka belum tau."

"Jadi selama ini Papa sama Mama kamu nggak tau kalo kita berniat untuk lebih serius, Wa?" Dia mengangguk. "Mau sampe kapan? Mas Juna sama Gendis udah tau kan dari dulu."

"Ya. Tapi, aku yang minta mereka nggak bilang ke Papa sama Mama. Okelah, mungkin Papa nerima hubungan kita. Tapi, nggak sama Mama. Aku nggak mau Mama jadi penghalang kita, Sayang."

"Susah. Kamu dihadapkan dua pilihan. Aku tau Mama kamu nggak suka sama aku. Aku tau saat kamu ajak aku ke rumah kamu waktu itu. Itu kenapa aku nggak pernah main ke rumah kamu. Bahkan, untuk ketemu Gendis aku lebih milih untuk ketemu di luar. Satu hal yang harus kamu tau. Ada mantan pacar, tapi nggak akan pernah ada yang namanya mantan ibu. Jangan jadi anak yang durhaka, ya."

"Aku bakal bilang pelan-pelan ke Mama."

"Kalo Mama kamu nggak setuju?"

"Aku bisa tetap nikah sama kamu, dengan atau tanpa restu dari Mama. Aku nggak butuh wali untuk nikah. Semoga semuanya berjalan seperti yang kita mau, ya."

❤❤❤

"Mbak, ke mall, yuk!" Lagi-lagi adik semata wayang yang sering tak tau diri itu memintaku menemaninya seenak jidatnya.

"Bisa nggak jangan ganggu gue? Mentang-mentang gue libur panjang lagi rebahan jadi keliatan kaya pengangguran terus lo enak banget nyuruh-nyuruh gue nemenin lo pergi."

"Sensi banget sih? Kenapa setiap tahun di tanggal segini taring lo langsung keluar? Lo nggak satu spesies sama zombie yang ada di Train to Busan, kan?"

"Lo mau sukarela keluar dari kamar gue atau gue yang geret lo keluar dalam keadaan nggak bernyawa?" ancamku.

"Astagfirullah. Lo siap kehilangan gue?"

"Udah sana ah."

"Gue tunggu di depan. Mana tau lo berubah pikiran."

Sepeninggal Adis, aku kembali menyamankan posisi rebahanku. Menatap layar ponsel dan membuka ruang percakapan dengan ketiga temanku.

Remah Rengginang

Kinanthi
Tes
Tes
Tes

Cukup lama waktu yang dibutuhkan bagiku menerima balasan pesan dari mereka. Sampai akhirnya rentetan balasan satu per satu mulai bermunculan.

Al
Sorry
I am away.
Spending valentine's day with my wife
Bye

Ratu
Gue nggak bisa diganggu dulu.
Laki gue udah buang duit buat liburan ini.
Nyokap gue ngancem kalo sampe nggak
jadi bayi, nggak boleh pulang ke rumah.
Nanti kita sambung lagi ya, Beppo.

Nadine
Nan, sorry.
Gue lagi di jalan sama Mas Galih.
Sama anak gue juga.
Happy Valentine's Day, Honey.

Segera kututup ruang percakapan. Mood baikku terbang berhembus mengikuti arah angin. Menyisakan rasa kesal yang mendera. Ah elah kesel. Semua sibuk.

Menimbang tawaran Adis, segera kupersiapkan diriku. Memoles riasan sederhana dan bersiap keluar kamar. Baru saja akan membuka pintu, Adis masuk sambil tertawa penuh kemenangan.

"Ngejilat ludah nggak enak, ya? Yuk! Mending juga jalan sama gue, Mbak. Lo yang traktir!" Adis berlalu. Meninggalkanku yang masih terpaku. Apa katanya? Traktir? Yang ngajak siapa woy???

Dekorasi penuh dengan nuansa merah mudah dan simbol hati dimana-mana tumpang tindih dengan dekorasi imlek yang masih terpajang. Berbagai restoran juga turut mengambil andil meramaikan Hari Kasih Sayang ini. Preeet.

Valentine's Day DISCOUNT up to 70%

Bego aja kalo sampe ada yang beli. Taktik marketing.

"Mbak, diskon 70%. Yuk kesana." Ini nih yang bego. Kemakan diskon.

"Lo aja sendiri. Gue tunggu di sini."

Kulihat Adis berjalan girang masuk ke bagian yang menjual baju-baju. Aku menunggunya sambil bersandar di tembok. Bosan menunggu, kuputuskan untuk turun satu lantai. Menuju ke sebuah cafe. Memesan secangkir kopi dan beberapa potong kue menjadi pilihanku. Dan ....

"Souvenir Valentine's Daynya sekalian, Kak?" Seorang pramusaji yang menghandle pesananku menawarkanku cindera mata bernuansa merah muda. "Ada cake khusus Val's Day juga."

"Terima kasih, Mbak. Ini cukup."

"Baik, Kak. Pesanannya sedang dibuat. Nanti diantar ya, Kak." Aku mengangguk. Berjalan melihat ke sekeliling cafe, mencari tempat kosong untuk menikmati kopi dan kue yang sudah kupesan.

Yes! Rejeki nggak kemana.

Baru saja duduk dan menaruh tas di atas meja, seseorang menghampiriku. Butuh waktu semenit untuk mengingatnya.

"Oh, astaga. Rere?" Wanita dengan off-shoulder dress berwarna mocha itu tersenyum ke arahku dan duduk di bangku kosong di mejaku.

"Aku liat kamu tadi dari luar. Aku masuk untuk pastiin kalo itu bener-bener kamu. How is it going, Nan?"

"Baik. Aku baik. Kamu gimana? Sehat, kan?" sahutku.

Pesananku tiba.

"Sangat sehat. Seenggaknya, aku berharap untuk selalu sehat selama 9 bulan ke depan," jawabnya.

"Eh, are you pregnant?" ucapku. Rere mengangguk. Tapi, ada rasa sesak mampir di dadaku. Rere hamil. Dan...

"Aku baru dari dokter. Suamiku nggak bisa nemenin aku. Jadi, ya aku sendiri. Bahkan, dia belum aku kasih tau kalo aku hamil anak kedua kami. You are the first, Nan."

"Eh, serius? Duh, dia pasti jeaolus banget sama aku."

"Tenang, Nan. Mas Juna bukan tipe yang begitu, kok."

Mas Juna??

"Mas Juna? Is he your husband?" Rere mengangguk. "Aku pikir yang kemaren itu suamimu."

"Bukan. Dia adik iparku. Adiknya Mas Juna. Namanya ...."

"Dewangga," gumamku.

"Kamu kenal Dewa?"

Kurutukki kebodohanku. Bego!

"Kami temen satu SMA. Dewa udah nikah?" Keceplosan lagi.

"Belum. Nggak tau apa yang dia cari. Dia belum mau nikah, katanya."

Bolehkah aku merasa bahagia? Tapi untuk apa? Apa gunanya?

Kenangan lima tahun lalu, tepat di tanggal ini terulang kembali. Dimana aku mematahkan hatinya tanpa aba-aba. Memaksanya mengubur asa yang sudah kami rajut bersama.

"Wa, aku nggak bisa lanjut sama kamu."

"Hey, kamu kenapa? Kamu aneh. Tadi, kamu baik-baik aja."

"Sorry, but this is my choice. I hope you'll find someone who is much better than me. Terima kasih untuk 11 tahun ini."

"Nan ... Kinan, kamu nggak bisa begitu dong. Bilang sama aku. Apa salahku? Aku terlalu sibuk, ya? Okay, aku minta maaf. Aku bakal luangin waktu lebih untuk kamu. Ya?" Diraihnya lenganku.

Kamu nggak salah, Wa. Aku yang salah. Salahku karena aku dari keluarga yang nggak selevel sama keluarga kamu.

"Ada seseorang yang jauh lebih baik dari kamu."

Air mataku menetes. Dewangga melepaskan genggaman tangannya. Aku merasakan keputusasaan yang mendalam dari raut wajahnya.

"Bilang kalo kamu bohong, Nan. Bilang!"

"Aku serius. Selamat tinggal, Dewangga."to be continued-

Depok, 23 Februari 2021
Ciyeee yang kena prank dibilang mau libur.
Aku tuh nggak bisa setega itu sama kalian. Kalian malah yang tega sama aku. Kinan masih sepi huwaaaaaaa.

Gimana gimana gimana?
Ciyeee. Kok aku ngerasa tulisanku ada teenlitnya ya gegara flashback KinanDewangga hahahahha.

Semoga suka.

See youuuuu.

I love you so much much much.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top