MDN -4-

Ciyeee...
Masih ada yang belom baca Kinan.
Yakin nggak nyesel nantinya?
Nggak mau ikutan geregetan sama yang lainnya?

Cusss dibaca

Semoga sukaaaaa.

Tak ada gunanya lagi bagi seorang Kinanthi bersembunyi dari Dewangga Abiseka Hadikusumo. Kebetulan yang selalu membuat pertemuan kami menjadi nyata. Tatapan penuh cinta berubah menjadi benci yang menusuk. Tak ada lagi kehangatan yang terpancar dari sana.

Proposal PKM yang diajukan telah disetujui. Pihak kampus bersedia mengucurkan dana berapapun yang kami butuhkan. Lokasi yang dituju tak jauh dari daerah permukiman dekat kampus. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin minim pendidikan yang berkeliaran di sana.

Dua minggu. Dua minggu adalah waktu yang diajukan kelompok PKM untuk membantu anak-anak di sana. Seluruh perizinan dari RT, RW sampai kelurahan pun sudah dikantongi. Tinggal eksekusinya saja.

Seluruh persiapan sudah selesai. Fokus kami adalah, mengajarkan bahasa Inggris kepada anak- anak, dengan cara yang mudah tentunya. Kegiatan akan dilakukan tiga kali dalam seminggu.

Miris rasanya melihat mereka berkeliaran tak jelas arah. Sepulang sekolah, kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu berjualan di pinggiran jalan, menjadi tukang semir sampai buruh pengupas bawang putih di pasar induk setempat.

"Hari ini kita mulai belajar bareng, ya." Ada total 15 anak yang sudah duduk dengan tenang di hadapan kami. Memegang buku dan alat tulis yang sudah disediakan. Setiap pertemuannya hanya akan memakan waktu setidaknya 2 jam. Sebenarnya, masih banyak anak-anak yang ada di permukiman ini. Tapi, hanya mereka yang dengan senang hati bergabung untuk belajar bersama.

"Bu Guru, kalo kita ada PR dari sekolah boleh minta diajarin cara ngerjainnya?" tanya seorang anak dengan kaos biru bergambar kartun monyet di bagian depan. Kuanggukan kepalaku.

"Boleh, dong. Nanti diajarin cara ngerjainnya, ya. Pokoknya, kalian harus pinter. Nggak boleh minder, ya. Kalo ada yang nggak kalian pahami, tanya. Nggak boleh diem aja, ya. Udah siap belajarnya?"

"Siap, Bu Guru."

Pertemuan pertama pembelajaran berjalan dengan sangat lancar. Usaha kami mendapatkan umpan balik yang sangat baik. Baik dari anak-anak maupun orangtua mereka.

"Yuk, balik." Nadine yang sudah terlihat sangat lelah setelah membereskan tempat belajar tak bisa menahan keinginannya untuk bisa sampai di rumah dengan cepat. Rindu anak, katanya. "Gue kangen Naira."

"Gue kangen Andri. Tapi, dia masih di kantor. Balik malem," sahut Ratu.

"Yaudah, kita balik. Istirahat. Ketemu lagi lusa, ya," ucapku sambil membawa semua barang-barang yang kubawa menuju Benny yang sudah setia menunggu di tempat parkir.

Saat kami berempat berjalan menuju kendaraan masing-masing, ada sekelompok orang yang berjalan mendekat.

"Permisi, Bapak...Ibu. Kita orangtua dari anak-anak yang belajar di sini. Kita ke sini mau bilang terima kasih udah mau ngajarin anak-anak belajar. Ya maklum aje, Pak...Bu. Emak bapaknye orang bodoh. Kagak ngarti dah bahasa Inggris gimane ngomongnye. Maapin anak-anak kalo udah ngerepotin. Ini ada dikit oleh-oleh bakal dibawa pulang, ya." Beberapa dari mereka menyerahkan beberapa kantong kresek hitam berisikan cemilan-cemilan buatan rumahan. "Itu kita bikin ndiri. Lumayan buat nambah penghasilan."

"Lho, Bu. Jangan dong. Kalo dikasih ke kami nanti Ibu-ibu rugi. Kami ganti uang ya, Bu?"ucapku. Segera kurogoh dompet yang ada di dalam tasku.

"Dih. Si Ibu. Jangan, Bu. Kita mah emang niat mau ngasih. Duitnya disimpen aje ya, Bu. Bakal jajan anaknya Ibu." Gelak tawa terdengar di belakangku.

"Bu, dia mah nggak dipake buat jajan anaknya. Tapi, buat jajan dia sendiri," sambar Al.

"Setdeh. Si Mas bisa aje. Emangnya si Ibu belon punya anak?"

"Laki aja kagak punya, Bu," jawabku.

"Kita doain dah, ya. Semoga deket jodohnya."

"Aamiin."

❤❤❤

"Kapan PKM selesai, Mbak Nan?" tanya Ayah. Seluruh anggota keluarga tengah berkumpul di ruang TV sambil rebahan menikmati singkong rebus buatan Ibu. Rebusan lagi. Rebusan lagi.

"Lusa, Yah. Kenapa, Yah?" ucapku. Ayah menggeleng, kemudian mengambil sepotong singkong rebus yang masih mengepul dari atas piring.

"Nggak apa-apa. Mbak, Ayah mau ngomong boleh?" Aku mengangguk. "Tapi, Mbak Nan harus janji. Jangan kesel, ya."

"Iya, Ayah. Aku janji. Ayah mau ngomong apa?"

"Mbak Nan mau nggak dikenalin sama anaknya almarhum temen Ayah?" ucap Ayah tenang.

"Nggak mau, Yah."

"Yakin?" Aku kembali mengangguk. "Orangnya sering ada di TV. Chef terkenal. Duda satu anak."

"Nggak, Yah. Aku nggak mau. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya. Nggak apa-apa. Nanti, biar Ayah yang bilang ke istrinya almarhum temen Ayah."

"Yah, waktu itu nggak sengaja aku sama  Mbak Nan ketemu Mas Dewa di bioskop." Segera kupukul punggung Adis. Bodoh sekali anak ini. Adis yang tengah mengunyah singkong rebus hampir saja meninggalkan dunia fana ini karena tersedak. "Gila lo, Mbak."

"Bener, Mbak?" tanya Ibu. Aku mengangguk. "Kalian bicara?"

"Nggak, Bu. Kayaknya dia udah punya kehidupannya sendiri. Lagipula, mana mau dia ngomong sama aku."

"Ngeliat Mbak Nan aja serem banget, Bu," sela Adis. "Bener-bener bukan Mas Dewa yang kita kenal. Serem banget, Bu."

"Mau sampe kapan kamu berbohong, Mbak?" tanya Ayah. Aku menggeleng. "Mbak Nan nggak jenuh kayak gini terus selama bertahun-tahun?"

"Nggak apa-apa, Yah. Toh, semua ini udah jadi pilihanku saat itu. Aku nggak mau dia sampe tau yang sebenarnya. Biar aja, Yah. Mungkin, memang ini jalan yang harus kami berdua lalui."

"Hubungan 11 tahun kalian nggak ada artinya?" sahut Ayah.

"Kenangan, Yah. Cuma jadi kenangan."

"Dewa udah nikah, Mbak?"

"Aku nggak tau, Bu. Mungkin udah. Selama kami berpisah, aku menutup semua akses yang bisa menghubungkan kami berdua termasuk keluar dari grup alumni SMA. Dan aku juga nggak pernah ikut kumpul sama mereka."

"Demi menghindari dia?" Ayah menarik sumbu yang ada di tengah singkong rebusnya dan menaruhnya di tisu yang digelarnya di atas meja. Aku mengangguk. Anggukanku cukup menjawab pertanyaa  Ayah. "Mbak, berdamailah dengan keadaan."

"Sudah, Yah. Tapi, aku belum bisa berdamai dengan diri sendiri yang belum bisa memaafkan luka yang Ayah dan Ibu rasa. Dan seiring aku memutuskan untuk berdamai dengan  keadaan, semakin aku ngerasa Tuhan bermain-main dengan takdir."

"Maksud Mbak Nan gimana?" tanya Ayah.

"Dewa jadi donatur di kampusku, Yah. Dia yang mendanai PKM di fakultas kami. Konyol ya, Yah?"

"Kalian ketemu di kampus juga?" Aku mengangguk. "Dan masih tetap nggak bicara?"

"Iya, Yah."

"Menurut Ayah, kalian akan lebih sering ketemu."

"Semoga nggak, Yah. Aku nggak sanggup liat tatapan mata dia. Terlebih, ada Al juga di sana. Aku bisa liat gimana bencinya dia liat aku dan Al ada di depan matanya. Aku yang buat dia jadi ikut benci Al."

"Biar waktu yang jawab ya, Mbak. Sekarang istirahat. Besok bantu Ayah cari distributor telur yang baru, bisa?" Aku mengangguk. Semenjak pensiun dari pekerjaannya 7 tahun yang lalu, Ayah memutuskan untuk membuka usaha. Mendirikan sebuah toko agen barang-barang kebutuhan sehari-hari di ruko milik keluarga kami yang letaknya hanya berjarak 100 meter dari rumah. Toko Ayah sangat maju. Pelanggannya pun berasal dari mana-mana. Di masa tuanya, Ayah hanya ingin tetap bisa berguna bagi keluarganya.

"Bisa, Ayah. Emangnya distributor yang lama kenapa?" tanyaku.

"Semenjak Pak Haji Dahlan meninggal, yang urus orang lain. Nggak beres. Dan, mereka juga udah nggak bisa memenuhi pesanan toko kita. Biasanya, Ayah minta dikirim 100 peti setiap harinya. Udah sebulan ini mereka hanya kirim setengahnya. Dan kualitas telur mereka juga menurun. Banyak pelanggan yang complaint."

"Besok aku temenin Ayah. Yaudah, aku sama Adis naik dulu, ya. Good night, Ayah...Ibu."

❤❤❤

"Hari ini, hari terakhir kita belajar. Kalian seneng nggak selama belajar sama Bu Guru dan Pak Guru?" ucap Nadine di tengah kelas. Aku tengah sibuk menyiapkan bungkusan kenang-kenangan yang sengaja diperuntukkan untuk anak-anak. Bungkusan berisi tas sekolah, sepaket buku tulis, tempat pensil lengkap dengan isinya, seragam sekolah dan sepatu sekolah.

"Seneng, Bu. Kita masih bisa ketemu lagi nggak, Bu?" ucap Nanda, anak kecil dengan tingkat keceriaan yang tinggi. Nanda masih duduk di kelas 3 SD. Sepulang sekolah, biasanya Nanda akan membantu ibunya mengupas kulit ari bawang putih di pasar induk setempat. Dengan harga Rp. 8000/ karungnya. Bisa dibayangkan anak sekecil itu harus membantu mencari uang? Bahkan, saat datang belajar, telapak tangannya akan terlihat sangat hitam karena terlalu banyak bawang yang dikupas kulitnya.

"Kata siapa? Kita masih bisa ketemu. Kampus tempat kami mengajar kan dekat dari sini. Kita masih bisa ketemu, kok."

Setelah selesai membereskan bingkisan dan menatanya di atas meja, aku berjalan mendekat ke tengah kelas. "Sebelum kegiatan kita benar-benar selesai, Bu Guru boleh ngetes kalian tentang apa yang sudah kita pelajari selama ini?"

"Boleh, Bu."

"Coba dong. Bu Guru mau tau bahasa Inggrisnya "Kamu cantik" itu apa, ya?"

"You...are...beautiful," ucap mereka serentak.

"Thank you." Seisi kelas tertawa sangat kencang. Aku suka melihat senyuman yang terukir di bibir mereka. Beginilah seharusnya masa kecil dihabiskan. Bersenang-senang dan tersenyum sebanyak-banyaknya. "Ada yang mau hadiah?"

"Mau, Bu." Semuanya sibuk mengangkat tangan. Demen ye dikasih hadiah. "Bu Guru punya hadiah untuk kalian semua. Karena, selama ini kalian sudah jadi anak yang baik selama belajar. Semoga hadiah dari kami bisa bermanfaat untuk kalian semua, ya."

Al, Ratu dan Nadine membagikan hadiah berdasarkan tag nama yang tertempel di kemasan. Raut bahagia disertai senyuman yang lebar terpampang di wajah kecil mereka. Bagai mendapat hal termewah di hidup mereka. Tak hentinya, mereka sibuk menyamakan apa yang mereka dapat dengan teman-teman sebelahnya.

"Pensilku gambar Princess Sofia. Punyamu gambar apa?"

"Punyaku gambar Anna sama Elsa."

"Tasku gambar Transformer, dong. Keren!"

"Dijaga baik-baik, ya. Inget pesan Bu Guru. Belajar yang rajin. Sepulang sekolah, kalian boleh bantu orangtua. Setelahnya, jangan lupa kerjakan tugas rumah yang dikasih Bapak Ibu Guru di sekolah, ya."

Khusus di hari terakhir PKM, sengaja aku dan rekan-rekan menyiapkan jamuan makan sederhana untuk anak-anak dan para orangtua. Makanan yang dihidangkan pun hasil karya para orangtua murid yang menawarkan tenaganya untuk membantu menyiapkan acara ini. Acara hari ini akan menjadi kenangan manis yang akan terus dikenang.

Di tengah-tengah makan bersama, kami dibuat tertawa karena celotehan para orangtua murid. Dehaman seseorang yang masuk ke dalam ruangan membuat suasana seketika menjadi hening. Seluruh pandangan tertuju ke depan, termasuk aku yang masih sibuk mencampur nasi putih di piringku dengan sambal terasi yang sangat pedas.

Astagfirullahaladziim. Kenapa selalu begini?

Hampir saja tersedak kalau saja Al tidak menyodorkan segelas air putih ke hadapanku.

"Ujian banget buat lo, Nan," bisik Al. "Bolak-balik lo ditemuin sama dia."

Aku menelan ludahku dengan sangat sulit, ditambah sensasi pedas yang menguar seketika saat aku bersendawa. Ampuuuuun pedesnya ngalir ke idung!

"Selamat siang semuanya. Mohon maaf kedatangan kami terkesan tiba-tiba. Sebelumnya, saya mau memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Dewangga Abiseka Hadikusumo. Saya dari Nestmilk, yang bergerak dalam bidang usaha produksi susu kemasan. Bapak dan Ibu bisa panggil saya Dewa. Dan di sebelah saya  ada Bapak Magenta Priambodo Kamil. Beliau adalah pendiri Kamil Foundation. Kedatangan kami hari ini khusus menyampaikan berita perihal pendidikan anak-anak. Selebihnya, akan disampaikan Bapak Magenta."

"Terima kasih, Pak Dewa. Salam kenal Bapak...Ibu. Terima kasih sudah menerima kedatangan kami. Saya akan menyampaikan keputusan yang sudah kami diskusikan sebelumnya. Kamil Foundation bekerjasama dengan Nestmilk ingin menyampaikan pada Bapak dan Ibu bahwa pendidikan anak-anak yang ada di sini akan ditanggung sampai ke tingkat SMA. Dan, setiap bulannya anak-anak akan mendapatkan jatah susu yang akan disalurkan pihak Nestmilk." Bukankah itu suami Nadira, adik dari temanku?

"Beneran, Pak?" ucap seorang Ibu.

"Benar, Bu. Kami harap Bapak dan Ibu bisa menerima keputusan ini dan turut mendukung anak-anak dalam belajar dan mewujudkan cita-cita mereka. Insya Allah, Kamil Foundation akan membantu semaksimal mungkin. Dan, apabila di sekitar tempat tinggal Bapak dan Ibu masih ada anak-anak yang belum bisa bersekolah dengan layak, mohon segera laporkan ke saya langsung. Tim terkait kami akan segera mengurusnya."

"Terima kasih banyak, Pak."

Setelah memberikan pidatonya, kedua laki-laki dengan setelan jas itu beralih ke pinggir. Berbincang dengan beberapa perwakilan yang diutus pihak kampus.

Rasanya mau mati ketika perwakilan kampus meminta kami untuk maju ke depan. Dengan ragu aku memenuhi panggilan itu. Tak kalah ragunya, Al yang berjalan mengekor di belakangku pun merasakan hal yang sama.

"Bismillah, Al. Allah ada sama kita," ucapku pelan.

"Tai, lo. Sok tenang."

Lagi. Tak ada tatapan ramah yang kulihat di kedua matanya. Pandangannya seakan meremehkan. Aku yakin sebenarnya dia juga tak ingin berhadapan denganku. Terpaksa.

"Nah, Pak Dewa...Pak Genta, ini kelompok PKM yang mengabdi di sini. Ada Bu Nadine, Bu Ratu, Pak Al dan Bu Kinanthi. Mereka berempat dosen di Pendidikan Bahasa Inggris."

Masing-masing dari kami menyalami mereka berdua. Tapi, tak ada sambutan ketika tanganku dan tangan Al terulur di hadapannya. Tak bisa dibayangkan betapa kaku dan tidak enaknya posisiku saat ini. Rasa malu dan tidak enak hinggap, membuatku menarik kembali tangan yang sudah terulur. Apa mungkin tanganku bau sambal terasi?

"Terima kasih untuk kerjasamanya selama PKM ini. Saya banyak dapat laporan dari tim kami yang bertugas di lapangan. Terima kasih sudah membantu program Kamil Foundation." Suami Nadira yang mengambil alih pembicaraan. Sebisa mungkin, kufokuskan pandanganku hanya padanya. Tak sanggup melihat sorot tajam yang rasanya tengah menelanjangiku dari ujung rambut sampai ujung kepala.

"Terima kasih juga untuk kontribusi besarnya. Saya banyak dengar tentang Bapak dari Nadira. Kebetulan, saya kenal baik dengan istri Bapak," ucapku. Magenta terlihat sedikit terkejut.

"Wow, saya baru tau kalo Bu Kinan kenal dengan istri saya."

"Nadira adik dari teman saya, Nadia. Tolong sampaikan salam saya untuk Nadira. Dan, mohon maaf karena saya tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian waktu itu."

"Saya akan sampaikan salam Bu Kinan untuk istri saya. Dan masalah Bu Kinan yang nggak bisa hadir di acara kami, secara pribadi saya undang Bu Kinan untuk hadir di acara resepsi kami bulan depan. Untuk undangannya, akan saya kirim ke rumah Bu Kinan nanti."

"Terima kasih banyak, Pak. Insha Allah saya bisa hadir di hari bahagia kalian berdua."

❤❤❤

"Wa, dengerin gue. Selama ini, lo salah paham. Kinan nggak berani ngomong langsung ke lo. Dia..."

Kulihat Al yang tengah serius berbincang dengan Dewa di luar ruangan. Segera kuhampiri Al dan kuraih pergelangan tangannya. "Al! Cukup."

"Nan! Lo nggak bisa begini terus. Dia semakin salah paham sama kita," ucap Al dengan rahangnya yang sudah mengeras.

"Cukup, Al. Nggak ada gunanya kita jelasin. Aku minta maaf, Wa. Permisi." Segera kuajak Al kembali masuk ke dalam ruangan.

"Kamu masih murahan kayak yang terakhir aku liat, Kinanthi?" Kalimat yang terlontar dari mulutnya berhasil membuatku menghentikan langkah. Bagai dihentak ombak yang kencang. Aku gemetar.

"Nan!" Al melepas genggaman tanganku di pergelangan tangannya. "Wa! Nggak seharusnya lo ngomong begitu!"

"Kenapa? Kata itu pas untuk seorang pengkhianat kayak dia," ucap Dewangga dengan datar. Tanpa ekspresi sedikit pun.

Kubalik tubuhku menghadap ke arahnya. Kutatap kedua manik matanya lekat-lekat.
"Iya. Aku masih murahan. Sama kayak yang kamu liat 5 tahun yang lalu. Ayo, Al. Kita masuk."

"Nan..."

Air mataku tak bisa lagi kubendung. Pertahananku runtuh seketika. Bukan  kalimat itu yang ingin kudengar keluar dari mulutnya. Bukan. Hari ini, menjadi kali kedua kata-kata itu terdengar di telingaku.

"Aku nggak nyangka kamu semurahan itu, Kinanthi. Kamu anggap apa hubungan kita selama 11 tahun ini? Main-main kah? Kamu putusin aku tanpa alasan. Dan, sekarang aku lihat kamu sama dia. Kamu lebih buruk dari seorang jalang. Aku nyesel buang-buang waktuku sama perempuan murahan kayak kamu."

-to be continued-

Depok, 20 Februari 2021.

Wadidawwww. Ngape tuhhhhhhh.
Aduuuuuuuh.
Gemesh dehhhhhh.
Kyaaaaa. Old money mah circlenya sesama old money ya boooooorrrr.

Hahahhahaha.
Next chapter ada apa, yaaaa?
Kalo ada kerancuan waktu mon maap yeee.
Puyeng bener eyke tuh.

Apalagi kalo ada yang nanya umur. Nanti, proses revisi dah. Biar diitung dulu. Kalo nanya umur, otomatis, kudu dicek dari awal. Kudu bongkar dulu KALADIA. Hahahahahha
Serumit itu, bepp.
Catetanku ilang soalnya huhuhu.

See you on the next chapter!!!

I love you so much much much

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top