MDN -15-
Ulalalalalala
Semoga sukaaaaaaa
aku mau coba rekomendasiin cerita untuk kalian. cus dibaca. aki kesel ama Lazuardinya!!!!
ini blurbnya. buruan dibaca deh. ramein ya ceritanya. colek penulisnya. vhiiilut
baca ini juga yaa. ceritanya bagus. suwerre. greget gimanaaaa gitu. chicklit mengarah ke marriage life. bellajuwita_Beejangan lupa silaturahmi sama penulisnya, yaaaa.
Mungkin apa yang sedang aku lakukan saat ini konyol di mata orang. Terkesan berambisi atau bahkan terobsesi. Rela merendahkan harga diri demi mendapatkan kembali pujaan hati. Awalnya, keinginan untuk bisa kembali dengannya hampir tak pernah ada, walau tak bisa kupungkiri hati ini masih setia menjadi miliknya.
Sudah sejak lama banyak orang yang mendesakku untuk meluruskan masalah yang terjadi di antara kami selama ini. Kalian mengerti bagaimana sulitnya, kan? Di masa pengasinganku dulu, pernah beberapa kali kucoba untuk menghubunginya. Nomernya kan udah diblok, Nan. Iya. Ada kalanya aku bersikap labil, block-unblock-block-unblock-block.
Ternyata, bukan hanya aku satu-satunya yang memblokir nomor. Dewangga juga melakukan hal yang sama. Dewangga juga memblokir nomorku. Menghubungi nomor telepon rumahnya menjadi pilihanku kala itu. Saat itu, semesta memang tak berpihak padaku. Dua kali kucoba untuk mengubungi nomor rumahnya dan berharap dia yang mengangkat. Tapi, setelah itu aku tak pernah mencoba untuk menghubunginya lagi.
"Halo. Selamat sore."
"Ya. Halo. Ini dengan siapa? Mau bicara dengan siapa?"
Tante Ambar. Aku terdiam terpaku dengan ponsel yang masih menempel di telingaku.
"Halo! Kalo diem, mending nggak usah telepon. Buang-buang waktu orang aja. Nggak usah iseng, ya." Sambungan terputus.
Sejak saat itu, membuat Dewangga tahu semuanya tak menjadi prioritasku lagi. Aku tahu aku salah. Bagaimanapun, dia berhak tahu apa yang terjadi. Terlebih, akulah yang menjadi pihak yang memutuskan hubungan kami, dengan alasan yang tentunya hanya kubuat-buat.
Seperti kataku, aku tak ingin menjadikan Dewangga seorang anak yang pembangkang. Terlebih, tudingan Tante Ambar yang dialamatkan untukku membuatku sangat kecewa. Bagaimana bisa Tante Ambar menunduhku telah merusak Dewangga? Aku sungguh tak habis pikir. Perkataannya 5 tahun lalu masih dapat kuingat dengan sangat jelas hingga hari ini.
Terhitung hari ini, entah sudah berapa lama aku berusaha mendapatkan kembali hatinya. Dan selama itu pula usahaku tak kunjung bersambut. Dewangga keras. Sangat keras. Rupanya, sakit hati dan kecewa telah menempanya menjadi pribadi yang dingin dan keras.
Aku mulai mengatur pergerakanku. Kukurangi intensitas kehadiranku di hadapannya dan tak sesering sebelumnya. Kesibukanku dengan pekerjaan juga turut andil dengan semuanya. Aku dibuat semakin sibuk mengingat jadwal ujian yang sudah semakin di depan mata.
"Gue perhatiin, kayaknya lo udah nggak segetol kemaren nyamperin Dewa ke kantornya, Nan," ucap Al. Aku, Al, Ratu dan Nadine sedang menikmati mie ayam kantin universitas yang masih mengepul karena saking panasnya. Aku yang sedang berusaha mengeluarkan saos dari botolnya berhenti menggoyang-goyangkan botol dan menatap ke arah Al. "Biji mata udah mau lepas itu. Serem banget."
"Iya, Nan. Kok nggak ke kantornya Dewa?" timpal Ratu. "Jenuh, Nan?"
"Nggak, kok. Gue cuma lagi ngasih jarak aja. Dewa pasti bosen liat gue tiap hari kalo nggak ke kantornya, ya ke apartemennya," jawabku sambil menggerakkan sepasang sumpit dan garpu yang ada di tanganku untuk mencampur aduk ratakan mie ayam yang ada di hadapanku.
"Kayak apa yang pernah gue bilang ke lo. Kalo udah nggak sanggup, mendingan stop, ya. Menghindari sakit hati dan kecewa yang berlebih," ucap Al.
Tentang apa yang terjadi di antara aku dan Dewangga 5 tahun yang lalu, bukan hanya Al yang mengetahuinya. Tapi, Ratu dan Nadine juga tahu tentang ini. Aku yang pada dasarnya mudah merasa nyaman dan gampang percaya pada orang yang menurutku bisa kuajak bertukar pikiran merasa tak keberatan untuk berbagi cerita dengan mereka. Awalnya terpaksa. Karena mereka berdua selalu menanyakan apa saja yang kulakukan di setiap Hari Kasih Sayang. Pun, karena mereka selalu mencoba untuk menjodohkanku dengan laki-laki kenalan mereka dengan predikat high quality husband to be. Aku yang selalu menolak perjodohan itu membuat tanda tanya besar si kepala mereka berdua. Setelah kusampaikan keinginanku untuk tetap sendiri yang langsung mendapatkan tentangan dari mereka. Barulah aku dengan sangat lancarnya menceritakan kisahku dengan sangat terpaksa.
"Lo udah berbulan-bulan Nan deketin dia lagi," celetuk Ratu.
"Dan nggak ada respon dari dia," timpal Al. Segera kucubit pahanya. "Sakit anjir!"
"Dia ngerespon," ucapku lemah.
"Marah diitung sebagai respon juga sih, Nan." Ingin rasanya membungkam mulut Al yang sedang asyik mengunyah mie ayam dengan sepatuku saat ini juga.
"Yaudah. Nanti balik kampus gue samperin dia deh."
"Semoga keberuntungan berpihak ke lo ya, Nan. Lo udah cukup berkorban beberapa bulan ini. Waktu, tenaga dan...uang. Lo beliin dia makanan tentu pake uang kan, Nan." Aku mengangguk. Kurasakan aliran es teh manis yang melintas di tenggorokanku. Rasa pedas sambal mie ayam seketika mereda.
"Ikhlas gue. Nggak tau lagi harus gimana cara nebus rasa bersalah gue sama dia. Begitu banyak hal yang harus diluruskan di antara gue dan dia. Tapi, gue nggak sanggup. Dan malah membuat diri gue berkutat sama rasa bersalah. Itulah yang buat dia ngerasa 'Apa banget sih nih cewek. Nggak tau malu banget deketin gue.'. Wajar sih dia begitu. Dia kan nggak tau apa yang sebenernya terjadi. Dan, dia juga nggak tau kalo waktu itu gue sama Al cuma pura-pura."
"Gue aja deh yang kasih tau dia. Pas PKM gue hampir mau bilang ke dia. Tapi, keburu lo dateng. Gue tuh begah liat dia nyureng-nyureng gitu ngeliatin lo sama gue, Nan."
"Al, jangan. Gue yang nyeret lo masuk ke masalah ini. Padahal, lo kan nggak tau apa-apa. Jadi, izinin gue yang nyelesein semuanya, ya," ucapku. Al terlihat kesal dengan hembusan napasnya yang berat.
Sore hari, sepulang mengajar aku mampir ke sebuah warung sate di pinggiran jalan tak jauh dekat kampus tempatku mengajar. Dua puluh tusuk sate ayam dengan dua macam bumbu, dua porsi nasi putih dan juga seporsi sop iga sapi sudah kutenteng. Dewangga lebih suka menyantap sate ayam dengan bumbu kecap yang diberi irisan cabe rawit, tomat, bawang merah dah kol, sementara aku lebih suka bumbu kacang dengan banyak kecap manis dan sambal.
Sebelum pulang tadi, kukirim pesan ke nomor Pak Ipul. Kupastikan Dewangga ada dimana. Pak Ipul memberitahuku kalau Dewangga terpaksa pulang cepat ke apartemennya karena merasa tidak begitu sehat setelah makan siang di kantor tadi.
Berkali-kali kutekan bel pintu unitnya. Tapi, tak kunjung mendapat respon darinya. Kuputuskan untuk segera masuk dengan menekan password yang ternyata belum diganti nya.
Suasana apartemennya terlihat begitu sepi. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di dalam unitnya. Karena sebelumnya kami hanya sibuk berdebat di luar dan saling memaksa untuk membuang dan mengambil kembali pecel lele yang ada di tempat sampah.
Kulihat setelan jas yang disampirkan asal di sofa. Pikiranku jelas melanglang buana kemana-mana. Kupastikan tak ada suara mendesah-desah manja.
Bukan suara desahan manja yang kudengar. Justru, rintihan seseorang yang jelas kutahu siapa itu. Ada dua kamar di unit ini. Tanpa mengetuk, kuputuskan untuk segera masuk ke dalam.
Betapa kagetnya saat kulihat sosok Dewangga yang tengah bergelung di balik selimut tebalnya. Tubuhnya bergetar. Kudekati Dewangga yang tidur dengan tubuh bergetar sambil sesekali bergumam. Kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Dewangga melenguh.
"Di-di-dingin." Panas. Dia demam.
"Wa, bangun. Bangun dulu." Kucoba untuk menggoyangkan tubuhnya perlahan. Berharap cara ini bisa membuatnya terbangun. "Bangun dulu, Wa."
Setahuku, Dewangga termasuk orang yang jarang sekali sakit. Entah apa yang sudah dilewatinya sehingga membuatnya terkapar seperti ini.
"Dewa, bangun dulu. Sebentar, yuk!" Kucoba untuk membangunkannya kembali. "Wa..."
Akhirnya, Dewangga membuka matanya perlahan. Raut di wajahnya terlihat bingung melihat kehadiranku di depan matanya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya lemah. Kubantu dia untuk bersandar si kepala ranjang. "Kamu ngapain di sini?"
"Santai aja, Wa. Aku nggak perkosa kamu, kok. Kamu masih perjaka, kayaknya. Jangan marah-marah dulu ya, Wa. Kamu lagi sakit. Nggak lucu kamu tambah pusing karena marah-marah sama aku."
"Mendingan kamu pergi aja dari sini," ucapnya sambil mengibaskan telapak tangannya dengan lemah ke udara.
"Wa, seneng banget ngusir orang, sih? Hobi baru kamu? Kamu tuh harusnya terima kasih sama aku. Kalo nggak ada aku. Duh, nggak tau deh apa yang bakalan terjadi sama kamu. Bisa aja 3 hari kemudian kamu masuk berita."
"Aku cuma demam, Kinanthi! Bukan sakit keras," ucapnya kesal.
"Aku kan belom selesai ngomong. Maksud aku, bisa aja 3 hari kemudian kamu masuk berita karena menang tender besar. Ya, kan?" Kuusap dadaku perlahan. Kuputar skenario dialog yang baru saja kurancang. Hampir saja Dewangga menendangku keluar jika aku tetap melanjutkan skenario yang pertama. Telah ditemukan sesosok mayat pengusaha muda bla bla bla.
"Kamu pulang aja," pintanya. Lagi. Tak kuindahkam ucapannya, aku segera berjalan menuju sebuah lemari hitam tiga pintu yang ada di sudut ruangan. "Kamu mau ngapain?"
"Pake kaos ini, ya. Kalo kamu cuma pake kaos kutang, kamu makin kedinginan." Kuserahkan sepotong kaos putih berlengan pendek padanya. Kuambil remote AC yang tergeletak di nakas yang ada di sebelahnya. "Kamu gila? Gimana nggak mau kedinginan. AC kamu setel 16° C, Wa."
"Aku nggak sempet naikkin temperaturnya. Tadi udah keburu pusing," sahutnya sambil memakai kaos yang tadi kuberikan padanya.
"Kamu belum makan, kan?" tanyaku.
"Tadi siang udah."
"Sekarang belum, kan. Kamu tunggu di sini, aku mau ke dapur dulu ambil piring sama mangkok, ya. Kamu makan dulu. Kamu punya persediaan obat kan di sini?" Dewangga mengangguk. "Ada dimana?"
"Di kotak obat yang ditempel di tembok deket dapur. Semua obat ada di sana," ucapnya.
"Kalo obat untuk nyembuhin masa lalu ada nggak?" celetukku. Dewangga diam tak menanggapi. Dia membuang pandangannya menatap ke jendela kamarnya yang menyuguhi pemandangan indah kota Jakarta dari lantai atas. "Dasar tukang ngambek!"
Aku kembali dengan membawa beberapa piring dan juga mangkok. Kusiapkan makanan yang tadi sudah kubeli sebelumnya. Dewangga terlihat terkejut melihat apa yang kubawa.
"Nggak salah kamu beli makanan sebanyak ini?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Aku juga laper kali, Wa. Emangnya kamu doang yang laper. Aku capek seharian ini. Baru makan mie ayam doang tadi siang," jawabku. Kuserahkan sepiring nasi dengan beberapa tusuk sate ayam berbumbu kecap ke tangannya. Dewangga terlihat sangat lemas. "Kamu lemes beneran apa gimana, Wa? Nggak modus untuk disuapin, kan?"
Dewangga segera menyuap sesendok nasi dengan sepotong daging ayam berbumbu kecap ke mulutnya. Merasa kasihan melihatnya begitu kesusahan, kuambil kembali makanannya. "Lho, kok diambil lagi?"
"Aku suapin kamu. Mumpung kamu lagi sakit. Nggak mungkin kan kamu mau mberong-mberong ngomelin aku karena nyuapin kamu," ucapku.
"Katanya kamu laper."
"Aku makan setelah selesai nyuapin kamu, ya. Yaudah cepetan dikunyah dulu itu yang dimulut."
Tak ada obrolan apapun selain bunyi denting sendok yang beradu dengan piring keramik putih yang ada di tanganku.
"Astagfirullah. Aku lupa."
"Kenapa?" sahutnya bingung.
"Aku lupa nggak ngasih kamu sop iganya. Aku ke dapur dulu ya. Mau aku panasin sebentar. Biar enak dimakannya." Dewangga mengangguk.
Kulanjutkan untuk menyuapinya setelah selesai memanaskan sop iga. Kuamati ekspresinya ketika mengunyah sepotong daging iga yang lembut yang bahkan dengan sangat mudahnya terlepas dari tulang.
"Enak, Wa?" tanyaku. Dewangga mengangguk. "Aku beli di deket kampus. Warungnya laku banget. Banyak banget pembelinya. Kalo kamu suka, nanti aku bakalan sering-sering beli untuk kamu."
"Jangan."
"Kenapa, Wa?" tanyaku.
"Seperti apa yang aku bilang sejak pertama kita ketemu setelah sekian lama. Aku nggak mau kita ketemu, Kinanthi. Kamu..."
Segera kusumpal mulutnya dengan sesuap nasi. Dewangga terpaksa mengunyah dan tak melanjutkan ucapannya. Entah kenapa, aku merasa sesak yang teramat setiap kali mendengar dia mengucapkan kalimat-kalimat itu.
Kuminta Dewangga untuk memi1num obat penurun panas yang kudapat dari kotak obat di dapur. Dewangga menurut. Setelah meminum obat, dia kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Kamu makan dulu. Kamu belum makan," ucapnya ketika melihatku yang sedang membereskan bekas makanan.
"Aku udah nggak laper saking senengnya liat kamu lahap banget makan pas aku suapin tadi." aku berniat membawa semua sisa makanan dan menaruhnya di meja makan. Tapi, perkataan Dewangga menahanku.
"Makan dulu!" perintahnya tegas. Kuletakkan kembali semua makanan. "Aku tungguin sampe kamu selesai makan."
Kunikmati makan malamku di bawah pengawasannya. Tatapannya tak berpindah. Hanya seputaran piringku dan juga menatapku yang sedang sibuk mengunyah.
"Wa, kalo ngeliatin jangan kayak begitu. Bawaannya tuh pengen nyamperin kamu. Ngusel-ngusel di selimut sama kamu."
"Nggak usah banyak omong. Cepetan kamu selesein makannya."
"Ya Allah Ya Tuhanku. Kenapa kau ciptakan manusia macam ini?" gumamku sambil menyelesaikan suapan yang terakhir.
Aku segera membawa semua makanan ke meja makan. Menatanya di dalam tudung saji. Kulihat isi kulkasnya. Meringis aku dibuatnya. Kulkasnya penuh dengan berbagai macam buah dan sayuran. Freezernya pun penuh dengan berbagai macam protein hewani seperti udang, daging sampai salmon.
Kutengok ada beberapa sachet minuman herbal penolak angin di kulkas. Kuambil satu sachet dan kucampur dengan air panas yang kuisi dari dispenser. Kusempatkan untuk mengupas 2 buah apel dan memotongnya menjadi irisan kecil.
"Wa, jangan tidur dulu. Minum ini dulu. Biar lebih enak badannya. Apelnya dimakan, ya."
Meski butuh waktu untuk menghabiskan campuran air panas dan minuman herbal itu, Dewangga berhasil menghabiskannya hingga benar-benar tandas.
"Kinanthi, aku mohon sama kamu. Jangan terlalu memaksakan kehendak."
"Maksud kamu?" ucapku heran.
"Berhenti sekarang. Atau, kamu bakal merasa sangat kecewa nanti. Merasa kecewa itu bukan pilihan yang bagus. Aku udah paham betul bagaimana rasanya."
"Kamu nyindir aku, Wa?"
"Bukan. Aku cuma miris lihat kamu yang dengan mudahnya merendahkan diri dan terus berharap kalo hubungan kita bisa diperbaiki."
"Semua kemungkinan itu ada, Wa."
"Tapi, nggak untuk hubungan kita. Semuanya sudah selesai. Nggak akan pernah ada "kita" lagi di antara aku sama kamu." Dewangga menjulurkan tangannya untuk membuka laci nakas. Kulihat sebuah benda berwarna biru tua dengan perpaduan silver ditaruhnya di atas nakas. "Aku akan benar-benar keluar dari lingkaran masa lalu ini. Aku titipin punya kamu sama Mbak Rere. Mungkin dia belum sempet kasih ke kamu."
Pandanganku luruh menatap apa yang tertulis di permukaan benda itu.
"Kamu sama dia nggak ada hubungan apa-apa, kan?"
"Bukan urusan kamu."
"Ini nggak bener, kan?"
Dewangga tak menjawab. Dia malah membenarkan selimut yang menyelimuti dirinya dan merebahkan dirinya kembali di tempat tidur.
Mungkin memang benar aku lah yang membuat semuanya jadi rumit. Aku lah yang terlalu memaksakan kehendak.
"Aku pamit, Wa."
-to be continued-
Depok, 16 Maret 2021 22:21 WIB
Huwaaa maapin yaa baru update.
Gimana, yaaa. Kayak kehilangan imajinasi.
Gimana gimana gimana?
Suka?
See you on the next chapter yaaaa :)
사랑해용! 많이많이사랑해용!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top