MDN -13-

Update lagi nih!

Ramein ding kolom komentarnya.
Kalo nggak rame aku nggak mau update lagi ah.

selamat membaca.
semoga suka.

Aku benci berhutang budi pada siapapun itu. Termasuk Dewangga. Kuanggap keputusannya untuk membayar tagihan makan siangku sebagai hutang. Beda cerita kalau kami ada di dalam sebuah hubungan. Tentu aku akan dengan senang hati menerimanya. Selepet juga nih, Nan! Canda ya, Wa.

Semalam, aku sibuk membaca artikel tentang bagaimana cara untuk mendapatkan hati seseorang. Normalnya, butuh 7 detik untuk bisa membuat orang lain jatuh cinta. Jika aku secantik dan seseksi Gal Gadot tentunya. Tapi, dengan aku yang begini, cara itu hampir sangat mustahil. Aku yang setiap hari muncul di hadapannya saja masih setia mendapat penolakan. Apa kabar 7 detik?

Sebagai alternatif, kucoba untuk mencari berbagai informasi tentang bagaimana cara membuat seseorang jatuh cinta. Tujuh detik itu jelas kucoret dari daftarku.

Saat ini, aku sudah berdiri di depan ruangannya. Bersiap mengetuk dan mempraktekkan semua yang kupelajari dari artikel.

1. Kontak Mata
Segera setelah kubuka pintu ruangannya, aku segera masuk dan melihatnya yang tengah duduk di balik meja kerjanya. Segera kubuat kontak mata secepat mungkin. Dewangga memang menatap ke arahku, tapi hanya sepersekian detik. Kemudian kembali menyibukkan diri di mejanya. Sok sibuk banget. Kayak mau perisapan UN aja.
Baiklah.
Kontak mata : GAGAL

2. Berikan Senyuman
Baiklah. Aku segera berjalan mendekat ke arahnya. Dewangga kembali menatapku. Kuberikan senyuman terindahku hari ini padanya. Tau apa responnya? Menatapku dengan ekspresi datar dan sebuab dehaman kecil yang membuatku sangat kesal.
Berikan Senyuman : GAGAL

3. "Hai..."
Kulambaikan tangan ke arahnya. "Hai." Dewangga terdiam. Tak merespon sama sekali. Mari kita lambaikan tangan ke kamera sodara-sodara.
"Hai" : GAGAL

4. Rilekskan Tubuh.
Setelah menyapa tanpa mendapatkan respon apapun, aku duduk di sofa yang biasa kududuki. Di tempat yang sama. Tempat dimana bokongku bertengger. "Sofanya pasti mahal ya, Wa. Empuk banget. Nggak bikin pantat gatel juga. Sofa ini kayaknya udah hapal banget sama pantatku deh. Nggak memberontak sama sekali." Dewangga  menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengukir tulisan dengan pulpen. "Lanjutin aja kerjanya, Wa."
Rilekskan Tubuh : STATUS TIDAK JELAS

5. Dengarkan Dia.
Ini cata terakhir. Semoga berhasil. Aku masih terduduk di sofa sambil memainkan jemari di meja. Agak berisik memang. Dewangga segera bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat ke arahku. Dia duduk di tempat biasanya. Single sofa yang letaknya bersebrangan denganku.

"Kamu mau ngapain lagi ke sini, Kinanthi? Ada urusan apa lagi? Kamu udah jadi pengangguran? Nggak punya kerjaan setiap hari kamu ke sini? Nggak bosen setiap hari muncul di sini?"

Kuikuti saran dari artikel yang kubaca. Kubiarkan dia mengucapkan apapun yang diinginkannya. Saatnya menjadi lebih aktif.
Dengarkan Dia : Mungkin BERHASIL. Berhasil menyulut amarahnya.

"Udah selesai ngomongnya, Dewangga?" ucapku santai sambil menatap ke arahnya. "Aku ke sini karena ada urusan sama kamu."

"Urusan? Urusan apa?" sahutnya. Kuletakkan amplop berisikan uang dan bill dari restoran. Dewangga mengambil amplop itu. "Ini apa?"

"Buka aja."

Dewangga membuka amlop yang kuberikan dan melihat isi di dalamnya. Mengeluarkan lembaran uang dan juga bill. "Ini maksudnya apa?"

"Itu uang untuk gantiin uang kamu yang kemaren. Kamu tau gimana aku kan? Aku paling anti berhutang budi. Selagi bisa sih jangan sampe. Kecuali, kalo kepepet banget."

"Ambil lagi uang kamu. Aku nggak minta kamu balikkin uangku," ucapnya. Dewangga memasukkan kembali lembaran uang juga kertas bill ke dalam amplop. Dan menyodorkan amplopnya ke arahku.

"Udah kebanyakan duit, Wa? Kan aku udah bilang. Aku nggak mau ngutang. Aku ke sini mau bayar utang. Aku punya uang, kok. Walaupun nggak sebanyak uangmu."

"Anggap aja aku bayarin makan siang Bapak sama Ibu," ucapnya lagi. Ih, batu banget sih.

"Sorry. Hard to say, aku tetap menolak. Aku masih mampu jajanin orangtuaku. Di billnya ditulis total semuanya Rp. 764.450, ya. Di sana aku buletin jadi Rp. 765.000."

"Kamu ambil lagi uangnya. Aku nggak mau terima," ujarnya.

"Wa, ngeyel banget sih jadi orang." Aku segera bangkit dari sofa dan berjalan menuju meja kerjanya. "Aku taroh di meja kamu. Terserah mau kamu apain uang ini. Kalo kamu nggak mau terima ya terserah kamu. Kamu sumbangin atas nama orangtua kamu juga boleh."

Aku kembali duduk di tempatku. "Urusan uang kan udah selesai. Kamu ngapain masih di sini?"

Segera kubuka tas gemblokku. Kukeluarkan makanan yang sempat kubelikan untuknya sebelum ke sini. Seporsi Gultik yang menjadi favorit kami berdua.

"Aku beli ini buat kamu." Kusodorkan plastik berisikan Gultik ke hadapannya. Dewangga menyipitkan kedua matanya. "Ini cuma Gultik, Wa. Bukan bom molotov. Nggak usah lebay kayak begitu."

"Aku udah berapa kali bilang sama kamu nggak usah bawa makanan lagi, kan?" ucapnya. Aku mengangguk. "Terus kenapa masih bawa-bawa makanan? Nggak sekalian aja kamu menangin tender jadi vendor kantin di sini."

"Easy, Wa. Aku nggak lagi dalam mode ngajakkin kamu berantem, kok."

Dewangga melonggarkan lilitan dasi merah maroon yang melingkar di kerah kemejanya. Membuka simpul pengikat plastik hitam yang kubawa. Kuamati gerak geriknya. Dewangga mengkap kedua mataku yang tengah mengamatinya.

"Wa, aku ke depan dulu. Mau minta tolong sekretaris kamu mintain mangkok atau piring untuk kamu. Sebentar, ya." Aku hendak berdiri. Tapi, Dewangga menahanku. "Kenapa, Wa? Kamu takut aku pergi nggak balik lagi, ya?"

Dewangga tak menjawab. Dia segera bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Bagai menelan pil pahit. Sumpah! Aku hanya perlu mengatur kadar kepercayaan diriku yang overlimit. Dewangga menekan tombol intercom yang ada di mejanya.

"Wanda, bisa tolong suruh Pak Supri anter piring, mangkok sekalian sendok dan garpu ke ruangan saya?"

"Sekarang, Pak?"

"Iya. Saya tunggu, ya."

"Baik. Mohon ditunggu sebentar, Pak."

Dewangga kembali duduk di tempatnya. Sepertinya baru 2 menit waktu berlalu. Tapi, Dewangga berkali-kali menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Sabar kali, Wa. Orang kan butuh waktu juga ke sininya. Kenapa sih?" ucapku.

"Supaya kamu cepet pergi dari sini." Dalem ugha ye omongan lo.

Pintu ruangan diketuk dari luar. Seseorang dengan seragam office boy kantor ini masuk membawa sebuah nampan di kedua tangannya.

"Ini piring, mangkok, sendok dan garpunya, Pak." Dewangga mengangguk. Pesuruh kantor itu segera meletakkan semua yang ada di atas nampan ke atas meja.

"Terima kasih banyak ya, Pak. Bapak boleh istirahat. Sudah jam makan siang, kan." Huh! Siapa ini, Gustiii? Aku seperti melihat dua orang yang berbeda.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak. Selamat menikmati makan siang, Pak." Bapak pesuruh itu mengangguk ke arahku kemudian dia benar-benar pergi dan meninggalkan kami berdua.

Bagaikan seorang istri yang baik, aku segera menyiapkan makan siang untuknya. Kutuang Gultik ke dalam mangkok dan kubuka bungkusan nasi putih dan meletakannya di atas piring.

Setelah kupikir semuanya siap,  segera kuraih pergelangan tangannya. Kubuka kedua kancing lengan bajunya yang masih mengait. Dewangga sudah tak berjenggit seperti di awal aku melakukannya saat itu.

"Nah, sekarang boleh makan. Pelan-pelan aja makannya, ya."

Dewangga meracik rasa semangkok Gultik yang ada di hadapannya. Mengucurinya dengan air dari irisan jeruk nipis dan menambahkan sambal ke dalamnya. Mengaduknya sampak benar rata. Memastikan rasanya sesuai dengan keinginannya. Setelahnya, dengan segera Dewangga mengguyur seporsi nasi dengan beberapa sendok kuah Gultik  dan juga beberapa potong daging sapi berbentuk kotak.

"Rasanya masih sama kayak yang dulu kan, Wa?" tanyaku. Lagi-lagi, dia hanya terdiam dan tidak merespon. "Aku bingung mau bawain kamu apa. Jadi, tadi aku ke Blok M sebentar. Siapa tau kamu kangen sama rasanya. Enak, kan?"

"Aku paling nggak suka diganggu pas makan," ucapnya sinis.

"Masak sih? Sejak kapan, ya? Perasaan dulu kamu yang paling cerewet banget komentar rasanya begini lah, rasanya begitu lah."

"Kamu bisa pulang sebelum aku selesai makan, Kinanthi. Pintunya ada di sana."

"Wa, aku keliatan bego banget emangnya? Setiap ke sini kamu selalu nunjukin pintunya ada dimana. Aku nggak buta kali, Wa."

Dewangga masih sibuk menikmati makan siangnya dengan...sangat lahap. Gengsinya menguar entah kemana. Memang terkadang, urusan perut bisa mengikis gengsi yang menggunung.

Kusibukkan diriku dengan berselancar di dunia maya. Menghibur diri menjadi pilihan paling tepat saat ini. Tanpa sadar, video yang kutonton membuatku tertawa lepas.

"Berisik." Tawaku seketika berhenti setelah mendengar protes keras yang keluar dari mulutnya. Aku kembali mengarungi dunia maya meski harus mati-matian menahan tawa.

Kusodorkan sebungkus tissue yang kuambil dari dalam tas. Kusodorkan tissue itu ke arahnya. Dewangga terlihat begitu basah karena mandi keringat. Diambilnya dua lembar tissue dan diusapkannya ke wajah dan lehernya.

"Aku udah selesai makan. Kamu boleh pergi." Aku menggeleng. "Mau kamu apa lagi sih?"

"Kamu kayak ngerasa ada yang ganjel nggak sih?"

"Maksud kamu apa?" tanyanya.

"Kamu belum minta maaf ke aku lho soal yang kemarin," ucapku.

"Minta maaf? Kenapa aku harus minta maaf sama kamu?" sahutnya tanpa beban.

Semua yang terjadi memang benar-benar sudah merubahnya secara drastis. Dulu, Dewangga akan mati-matian meminta maaf padaku setiap kali dia lupa meneleponku. Padahal, aku tak begitu mempermasalahkannya. Tapi, kali ini mengatakan kata maaf padaku sepertinya menjadi hal paling berat sekaligus tidak mungkin untuk dilakukan untuknya.

"Kamu bener-bener nggak ngerasa salah sama sekali setelah kemarin siang Mama kamu mempermalukan aku di depan orang banyak lagi, Wa? Hebat! Wah, hebat! Dimana sih hati nuraninya orang kaya? Nggak keikut masak di Gultik yang tadi kamu makan, kan?"

"Aku udah minta maaf ke Bapak dan Ibu. Semua selesai, kan?" sahutnya.  Kuhembuskan napasku kasar.

"Tapi, ke aku belom!"

"Itu masalahmu."

"Hati kamu terbuat dari apa sih, Wa?"

"Aku udah lama nggak punya hati sejak hari itu."

Cukup lama kami berdua saling terdiam dan melempar pandangan ke segala arah. Aku benar-benar sudah kehabisan kata-kata.

"Aku boleh tanya sesuatu, Wa?" ucapku. Dewangga mengangguk. "Kamu masih cinta nggak sama aku?"

Dewangga terkekeh. Sungguh aku merasa sangat direndahkan saat ini. "Cinta? Kamu nggak salah nanya kayak begini ke aku?"

"Biasa aja kali. Nggak usah nyebelin gitu gayanya. Kalo masih bilang aja masih. Nggak usah gengsi. Aku nggak bakalan ngetawain kamu, kok."

"Jangan mimpi, Kinanthi. Sesuatu yang kamu sebut cinta itu udah hilang sepenuhnya dari sini." Dewangga menunjuk dada kirinya dengan telunjuknya. "Nggak bersisa sama sekali."

"Sama sekali?" tanyaku memastikan. "Yakin? Beneran nggak ada atau kamu yang ngilang-ngilangin?"

"Nggak usah halu, Kinanthi."

"Lho, kenapa? Haluku gratis. Nggak pake fasilitas sama uang negara."

Dewangga mendengkus kesal. Dia segera merapihkan bekas makan siangnya. Mengumpulkan semua sampah dan memasukkannya ke dalam plastik. Dia juga menumpuk semua piranti bekas makan siangnya dan dibawanya ke wastafel yang ada di toilet.

"Kamu bisa pulang sekarang. Aku mau lanjut kerja."

Aku mengangguk dan segera bangkit dari sofa. "Aku pamit pulang."

"Tolong, kamu nggak perlu ke sini lagi. Aku mohon. Semuanya sia-sia. Kamu tau itu, kan?" ucapnya.

"Sorry, Wa. Aku nggak bisa janji. Aku benar-benar harus membuktikan dulu usahaku."

"Usaha untuk apalagi sih, Kinanthi?" tanyanya. Dapetin hati lo lah. Masa iya usaha bikin pabrik kerupuk.

"Jangan konyol, Wa."

"Justru di sini kamu satu-satunya yang konyol," sahutnya.

"Nggak apa-apa kamu mau anggap aku konyol. Memang ini resikonya. Harus terlihat konyol di mata kamu."

"Mau sampe kapan kamu begini, Kinanthi?"

"Sampe bener-bener nggak ada harapan untuk aku. Saat itu, aku janji aku akan berhenti. Dan pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan kamu. Aku rela daftar jadi TKW ke Alaska kalo perlu, Wa. Biar beku sekalian aku bareng beruang salju. Gimana?"

"Terserah kamu. Mau gimanapun itu, jawabanku tetep nggak. Dan nggak akan pernah berubah. Aku harap kamu nggak terlalu menaruh harapan yang kelewat tinggi di sini," ucapnya. Aku mengangguk.

"Nggak masalah sih kalo itu emang jadi keputusanmu. Seenggaknya biarin aku coba dulu."

"Stop obsesi kamu!"

"Ini bukan obsesi, Wa. Obsesi itu kalo aku pengen dapetin Prince William.  Obsesi itu kalo kamu susah dijangkau.
Itu baru disebut obsesi. Aku udah bilang ke kamu, kan. Aku mau kita perbaiki semuanya. Aku mau kita balik kayak dulu lagi."

"Setelah kamu putusin aku dan selingkuh sama temenmu itu?" Aku terdiam. "Jangan harap."

"Kalo gitu, kenapa dua bulan setelah kita putus kamu ke rumahku. Mau ngapain?" tanyaku. Dewangga balik terdiam. "Kasih tau aku kamu mau ngapain saat itu!"

"Silahkan pergi dari sini, Kinanthi."

"Kenapa sih suka banget ngusir-ngusir kalo pas lagi ngomong hal yang penting? Ini kehidupan nyata, Wa. Bukan sinetron yang kalo mau ngungkapin kebenaran ada aja halangannya," ucapku. Padahal, sendirinya juga susah mau jelasin semuanya. Gaya-gayaan banget.

"Udah selesai ngomel-ngomelnya?" tanya Dewangga.

"Dih, siapa yang ngomel-ngomel. Bukannya kebalik, ya?"

"Yaudah. Pergi sekarang!"

"Mana sini balikkin Tupperware punya Ibu. Aku takut Ibu nanyain kalo tau Tupperwarenya nggak ada di rak piring."

Dewangga menunduk dan merogoh bagian bawah meja kerjanya. "Sampaikan terima kasih untuk Ibu."

Gila kali lo. Gue aja diem-diem kirim makanan ke lo.

Segera kuambil Tupperware yang ada di tangannya dan berjalan pelan menuju pintu keluar. Pintu masih tertutup. Tanganku masih bergelayut di handle pintu.

"Wa, apa yang kamu lihat hari itu belum tentu sesuai dengan apa yang ada di pikiran kamu. Aku pamit."

-to be continued-

Depok, 11 Maret 2021 21:58

Akhirnya bisa update lagi.

Gimana gimana gimana?

Syuka nggak?

Dahlah. Kalo nggak suka nggak tau lagi kudu gimana.

Sampai ketemu di next chapter yaaa.

I love you so much much much.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top