MDN -10-
DEWANTHI MANA SUARANYEEEEEEEE?
CUSS LAH BACA AJA.
MOGA SYUKAKKKKKKKK.
"Wa, kamu..." Aku dan Dewangga kompak menoleh ke arah sumber suara. Di sana, Rere berdiri dengan mulut setengah terbuka. Pasti kaget kan liat gue di sini, Re? "Nan! How could you be here?"
"Aku mampir sebentar," ucapku dengan sedikit kikuk. Kulihat Mas Juna yang tengah berdiri sambil menggendong putri kecil mereka masih melempar pandangan terkejut melihatku duduk di ruangan Dewangga.
Rere menggandeng tangan suaminya lalu kemudian duduk bergabung bersamaku dan juga Dewangga. "Aku sama Mas Juna rencananya mau ajak Dewa makan siang. Eh, nggak taunya udah ada yang nganterin makanan."
"Kamu apa kabar, Nan? Bener-bener udah lama banget kita nggak ketemu, ya?" ucap Mas Juna. Aku menggeleng. Yang membuatku heran adalah Tante Ambar sangat diberkahi. Bisa dibilang, ketiga anaknya tumbuh sangat baik dengan pribadi yang jauh berbeda dengannya. Contohnya, Mas Juna. Mas Juna adalah putra tertua keluarga Hadikusumo. Mas Juna terkenal ramah pada siapapun yang ditemuinya. Jika menilik track record kandasnya hubunganku dengan Dewangga, bukan tidak mungkin Mas Juna juga ikut menaruh murka padaku.
"Alhamdulillah. Aku baik, Mas." Mas Juna terlihat mengangguk. Diserahkannya sang putri ke pangkuan Rere.
"Where have you been? Kita bener-bener lost contact, ya. Kamu ngumpet di goa mana, Nan?"
Aku melempar senyum garing ke arahnya. Ngumpet di goa? Situ kira gue kelelawar. "Aku ada kok, Mas. Cuma, emang nggak keliatan aja."
"Masak sih, Nan? Waktu Dewa terakhir ke rumahmu, orangtua kamu bilang kamu nggak tinggal lagi di sana. Kalo nggak salah, dua bulan setelah kalian putus. Iya kan, Wa?" Aku mengerutkan kening, sementara Dewangga yang masih asyik mengunyah tiba-tiba berdeham kencang.
Dua bulan setelah putus? Dewangga ke rumahku?
"Mas!"
"Oops. Sorry. Lo nggak briefing gue dulu. By the way, aku mau minta maaf ke kamu soal insiden waktu itu ya, Nan. Aku minta maaf atas nama Mama."
"No worries, Mas. Aku nggak permasalahin. Tenang aja, Mas," ucapku.
"Udah...udah. Kamu jangan bikin suasana malah jadi serba nggak enak deh, Pa." Rere menepuk paha kanan Mas Juna. "Kok kamu nggak bilang aku kalo mau ke sini, Nan?"
"Nggak direncanain kok, Re." Kukedipkan satu mataku ke arahnya. Rere mengangguk. "Tadi emang lagi jalan aja terus mampir ke restoran favorit aku. Dulunya sih favorit aku sama Dewa."
Dewangga memasukkan sampah bekas makan siangnya ke dalam plastik. Dia bangkit dan berjalan masuk ke toilet. Setelah dari toilet, Dewangga kembali duduk di kursi kerjanya. Kembali sibuk dengan laporan yang tadi sedang diperiksanya.
"Wa! Kok lo malah kerja? Kita di sini tamu, lho." Dewangga hanya melirik sebentar ke arah Mas Juna. "Nggak usah terlalu sibuk."
"Kalian lanjutin aja ngobrolnya," sahutnya dingin.
Well, sepertinya ekspektasiku terlalu tinggi. Di bayanganku tadi, Dewangga akan ikut bergabung berbincang dengan kami. Memang benar kata orang. Jangan pernah berharap pada manusia.
Tak begitu memikirkan Dewangga yang tengah sibuk menyibukkan dirinya di balik meja kerja, aku, Rere dan Mas Juna malah sibuk berbincang. Seakan tak sadar keberadaan Dewangga yang sesekali kutangkap tengah memperhatikan kami.
"Jadi, kamu pindah kemana waktu itu, Nan?" tanya Mas Juna.
"Aku tinggal sama Budeku di Solo, Mas. Lanjut kuliah di sana. Berharap dengan kuliah lagi aku bisa ngangkat derajat keluargaku, Mas."
"Kamu lanjut kuliah, Nan?" tanya Mas Juna. Aku mengangguk. "Jadi selama beberapa tahun kamu nggak tinggal di Jakarta?"
"Iya, Mas. Setelah selesai kuliah, aku balik ke sini. Apply job jadi dosen. Dan, alhamdulillah diterima."
"Dan, kamu dipertemukan kembali sama Dewa karena kerjasama kami sama Kamil Foundation, ya. How amazing it is." Aku kembali mengangguk. "Kamu masih single, Nan?"
"Papa..." ucap Rere. "Jangan aneh-aneh deh, Pa."
"Aku nggak aneh-aneh, Ma. Kinan ini pernah hampir jadi adek iparku. Makanya aku nggak sungkan untuk nanya-nanya ke dia. Kami udah lama kenal." Kupastikan pada Rere aku baik-baik saja dan merasa tak masalah dengan pertanyaan Mas Juna.
"Aku masih sendiri, Mas."
"Nanti aku coba kenalin kamu ke temen-temenku yang masih sendiri, ya. Nggak mungkin kan kamu ke sini karena mau balikkan sama Dewa?"
"Sadly, yes. That's one of my reasons." Mas Juna terlihat sangat terkejut. "Siapa tau aku bisa jadi adek iparnya Mas Juna, kan."
Dewangga membanting map laporannya ke atas meja hingga membuat suara yang kencang.
"Kalian bisa diem nggak? Nggak liat gue lagi kerja?" ucapnya kesal kemudian menunjuk ke arahku. "Dan kamu. Keluar dari ruanganku sekarang. Sudah terlalu muak aku denger obrolan kalian."
"Okay. Aku pulang. Kamu jangan bosen kalo aku sering ke sini ya, Wa. Aku masih pake nomer yang sama by the way. Jaga-jaga aja. Siapa tau kamu kangen sama aku sebelum kamu jadi tunangan orang, kan."
"Tunangan?" ucap Mas Juna. Aku mengangguk. "Siapa yang mau tunangan?"
Kutunjuk Dewangga dengan telunjukku. Merasa terpojok, dia meraih segelas air yang ada di mejanya. "Noh, orangnya ada di sana." Segera kusampirkan tas selempangku. "Re...Mas, aku pamit duluan. Yang punya lapak marah-marah."
"Kita bareng aja keluarnya ya, Nan. Atau kita makan siang bareng aja gimana?" ucap Rere. Aku menggeleng. "Lho, kamu ada janji?"
"Iya. Aku ada janji sama Benny," jawabku.
"Benny siapa, Nan?" tanya Mas Juna.
"Pacarku, Mas." Dewangga yang tengah minum tersedak mendengar ucapanku. "Aku janji mau mandiin dia. Udah waktunya dia untuk mandi."
Dewangga kembali tersedak. Dia menepuk-nepuk dadanya. Ih cute banget sih keseleknya. Masa iya cemburu sama Benny.
"Sorry, Nan. Pacarmu...lumpuh?" ucap Mas Juna. Aku terkekeh.
"Percaya aja sih. Benny tuh motorku. Dia udah dekil banget. Waktunya dibawa ke steam untuk mandi salju."
"Ya ampun, Kinan!" ucap Mas Juna dan Rere bersamaan. Aku hanya bisa tertawa geli.
"Mana ada aku punya pacar. Yang diajak balikkan aja ngomel terus bawaannya setiap ketemu. Kayak gagal nyalon presiden aja. Bawaannya emosi terus," sahutku.
❤❤❤
Selama cuti, dua hari ini kusempatkan untuk datang ke kantor Dewangga setiap harinya. Kubawa apapun itu yang menjadi kesukaannya selama berhubungan denganku. Kemarin, kubawakan dia seporsi soto ayam Surabaya lengkap dengan nasi, kerupuk udang dan telur rebus. Dan lagi. Dewangga kesal melihat keberadaanku di kantornya.
"Kamu mendingan ngelamar kerja jadi office girl aja sekalian. Biar semua keperluanku di kantor kamu yang nyediain."
"Ogah ah. Kalo jadi office girl mah nggak asik. Nggak bisa ngapa-ngapain kamu. Aku maunya jadi istri kamu aja gimana? Kan enak. Pagi, siang, sore sampe malem kamu bisa puas aku service."
"Dasar gila."
Semalam, sengaja kuminta Ibu untuk memasak lontong, sambal goreng kentang, opor ayam dan ayam goreng lengkuas andalannya.
"Tumbenan Mbak Nan minta dimasakkin banyak kayak begitu. Lagi pengen banget, Mbak?"
"Iya, Bu. Pengen cepet-cepet lebaran."
Dan sekarang, aku tengah sibuk menyiapkan perbekalan. Aku berhasil menggiring Ibu untuk pergi menemani Ayah di toko. Agak deg-deg ser memang. Aku terpaksa harus memakai rantang Tupperware susun 3 warna ungu milik Ibu. Nggak ada rantang lain, Nan? Ada. Aku hanya tak ingin terlihat konyol dengan menenteng rantang "omprengan" stainless. Rasanya tuh kayak mau nganter makan siang suami yang kerja jadi kuli bangunan atau jenguk suami yang ada di penjara.
Kutata semua dengan sangat rapih di dalam rantang kebanggan milik Ibu yang didapatnya sebagai hadiah doorprize saat acara puncak 17 Agustusan di RT. Dewangga pasti suka dengan apa yang kubawa kali ini. Aku masih ingat ekspresinya saat makan masakkan Ibu dengan sangat lahapnya.
"Sayang, makannya pelan-pelan aja. Nanti kamu keselek." Kulihat Dewangga dengan sangat lahapnya menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Hini huh henak hanget." Mulutnya penuh dengan makanan. Aku hanya bisa menggeleng karena saking herannya.
"Iya. Aku tau. Tapi pelan-pelan aja, Yang. Kayak nggak pernah makan ginian aja sih." Kunyahannya berhenti seketika.
"Sering. Aku sering makan yang begini. Tapi, yang dimasak sama Mama nggak pernah. Karena, Mama hampir nggak pernah masak. Bahkan, aku tuh nggak tau sebenernya Mamaku itu bisa masak atau nggak. Soalnya, semua ya yang ngerjain kan pembantu."
Aku sampai di gedung kantornya tepat jam 11. Segera masuk ke dalam lift dan memencet lantai tujuanku. Saat lift terbuka, kulihat Wanda tengah duduk di kursinya.
"Siang, Mbak Wanda."
"Eh, Bu Kinan. Ke sini lagi, Bu?" ucapnya. Aku mengangguk.
"Iya, Mbak. Jangan bosen kalo saya sering-sering ke sini ya, Mbak." Wanda mengangguk. Wanda terlihat sedikit lebih santai ketika berbicara denganku. Memang aku yang meminta. Aku merasa kurang nyaman dengan cara bicaranya yang terlalu baku juga kaku.
"Nggak lah, Bu. Ibu mau ketemu sama Bapak?" tanyanya. Aku mengangguk. "Sudah ngabarin Bapak belum kalo mau ke sini?"
Aku menggeleng. "Saya nggak hubungi dia, Mbak. Pak Dewa ada di dalam kan, Mbak?"
"Bapak keluar, Bu. Sekitar 15 menit yang lalu. Mau makan siang di luar katanya," ucapnya.
"Sekalian ada jadwal di luar mungkin, Mbak?" tanyaku. Wanda menggeleng. "Terus?"
"Bapak nggak ada jadwal di luar, Bu. Tadi, Bu Ambar sama Mbak Aruna ke sini. Setelahnya, mereka bertiga pergi keluar."
Sial banget gue hari ini.
"Oh, gitu. Dewa balik lagi ke kantor nggak ya, Mbak?" tanyaku.
"Balik kok, Bu. Ibu mau nunggu Bapak?"
"Kayaknya nggak deh, Mbak. Kayaknya bakalan lama baliknya." Iyalah, perginya sama Emaknya, bawa badut Mampang pulak. "Mbak, saya boleh nanya sesuatu nggak?"
"Silahkan, Bu."
"Aruna sering ke sini ya, Mbak?"
"Nggak juga sih, Bu. Tapi, kalo dihitung seminggu bisa 3 kali. Kenapa, Bu?"
"Oh. Nggak apa-apa, Mbak. Mbak, ini saya boleh titip untuk Pak Dewa?" Kusodorkan rantang yang kubawa ke mejanya. Wanda hanya mengangguk.
"Baik, Bu. Nanti saya sampaikan titipan Ibu ke Bapak, ya."
"Yaudah. Saya pamit pulang ya, Mbak."
Aku tidak benar-benar pulang ke rumah. Kuputuskan untuk mampir ke mall yang ada tak jauh dari gedung kantor ini. Mall besar yang bisa disejajarkan dengan Plaza Senayan, Senayan City, Grand Indonesia dan juga Plaza Indonesia.
Aku berkeliling melihat-lihat ke beberapa toko pakaian yang berjejer di sana. Kupastikan aku telah membawa cukup uang cash atau setidaknya kartu kredit dengan limit yang cukup di dompetku. Bisa bahaya kalo sewaktu-waktu laper mata tapi nggak bawa duit banyak.
Puas berkeliling tanpa membeli apapun, aku segera naik ke lantai paling atas mall ini. Lantai dimana terdapat mushollah. Sudah masuk waktu Dzuhur. Cepat-cepat kutunaikan kewajibanku sebelum kembali melanjutkan penjelajahanku.
Selesai sholat, sambil membenarkan ikatan tali sepatu, aku duduk di lantai. Kulihat sepasang sepatu pantofel hitam yang begitu berkilau tertata di hadapanku. Tak lama, seseorang mengambil duduk di sebelahku. Semua memang sudah diatur.
"Kamu ngikutin aku sampe ke sini?" ucapnya.
"Gila kali kamu. Emangnya mall ini punya kamu seorang sampe aku nggak boleh dateng ke sini," sahutku kesal.
"Ini buktinya. Kamu ada di sini. Ngapain coba kalo nggak ngikutin aku."
"Demi Allah deh, Dewangga. Aku rela deh kamu kirim aku jualan telor di Zimbabwe sekalian kalo emang aku tuh ngikutin kamu. Seriusan aku rela kamu kirim ke sana. Tapi, kalo sampe kamu yang salah kamu mau ya balikkan sama aku."
Tak menjawab, Dewangga mempercepat tempo mengikat tali sepatunya. Dia bangun dan berjalan meninggalkanku.
"Wa, jawab." Aku berjalan mengekor di belakangnya. Mengejar berusaha menyamakan lebar langkah kakinya.
"Nggak usah mimpi, Kinanthi."
"Percayalah, sepanjang kita punya mimpi, punya rencana, walaupun kecil tapi masuk akal, tidak boleh sekalipun rasa sedih, rasa tak berguna itu datang mengganggu pikiran. Itu bukan kataku. Tapi, katanya Tere Liye. Ada benernya, kan? Nggak heran dia jadi penulis buku yang selalu jadi best-seller." Langkahnya berhenti seketika. Membuatku yang berjalan di belakangnya menubruknya.
"Kalo mau ngerem tuh bilang-bilang dong," ucapku. Kuusap hidungku yang sakit karena bertubrukkan dengan punggungnya. Merasa kesal karena tubrukan itu membuatku ingin bersin. Tapi, gagal total.
"Maksud kamu gimana?" tanyanya datar?
"Maksudku atau maksudnya Tere Liye?"
"Jangan bercanda. Yang aku tanya kamu. Apa kamu liat Tere Liye ada di sini?" Nada bicaranya sudah mulai meninggi. Oke, marah mode : ON. Bukan Angry Bird, tapi Angry Dewangga.
"Nggak usah marah-marah bisa kan, Wa? Jangan bikin aku jadi tontonan lagi karena dimarahin di depan umum. Cukup ya, Wa."
"Aku tanya maksud omongan kamu tadi apa?" tanyanya lagi.
"Quotenya Tere Liye?" Dia mengangguk. "Wa...wa, percuma kuliah jauh-jauh ke luar negeri kalo quote macem gitu aja kamu nggak paham. Kamu putus sama aku kok malah jadi bego sih?"
"Kinanthi!" Dipegangnya pergelangan tanganku dengan sangat kencang. "Aku serius."
"Dulu, kita punya mimpi. Tapi, sekarang mungkin cuma jadi mimpiku. Nggak apa-apa. Mimpiku masuk akal. Aku mau kembali sama kamu. Menjadikan mimpiku itu mimpi kita berdua lagi. Aku nggak akan biarin apapun itu menghalangi aku untuk mewujudkan mimpiku. Termasuk Mama kamu dan tukang kuteks itu. Paham?"
Genggaman tangannya melemah, dan akhirnya terlepas.
"Kenapa, Wa? Kamu tersentuh sama kata-kataku?" ucapku. Dewangga terdiam. Matanya memandang sesuatu di balik badanku. Segera kubalik badanku untuk melihat apa yang terjadi.
"Mbak Nan?"
"A-ayah... I-ibu."
Yassalam. Ini kenapa kudu gini Yaa Allah. Bingung Auroraaaaaa.
-To be continued-
Depok, 6 Maret 2021
Yaaah, telat 4 menit. Huwaaaa
Gapapa deh, ya.
Buat yang nanya kok Miss lebih sering update Kinan.
Mon maap ye bepp. Nggak maksud gitu.
Kinan ini kudu kelar akhir bulan ini.
Kalo Nadira kan cincai lah yauuuuu.
Gimana gimana gimana sama chapter ini?
Kalian syuka nggakkkkk?
Dah lah.
Miss mau bobok.
Lope lope muah muah so much yaaaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top