MDN -1-

Valentine's Day Project Event held by BukuBatik

Selamat Hari Kasih Sayang, semuanya.
Semkga cerita ini bisa membuat harimu lebih manis, ya.
Cerita ini akan tamat tanggal 31Maret 2021.
Sudah siap menjadi saksi perjalanan cinta Kinanthi? 

"Hari ini sampe sini aja ya, guys. Minggu depan kuis. Nggak ada cerita lupa belajar. Oke deh, see you next week. Have a great weekend." Kalimat pamungkas yang biasanya kuucapkan sebelum menutup kelas. Dan, tak pernah bosan meningatkan mereka untuk belajar. "Kuis terakhir di semester ini. Nggak mau ketemu sama Miss lagi, kan?"

"Kalo ketemu doang mah mau, Miss. Tapi, kalo disuruh ngulang jangan ya," celetuk salah seorang mahasiswa yang duduk di barisan tengah. Dudi namanya, tapi bukan Dudidudidamdamdudidudidam kepanjangannya. Apa sih, Nan!

"Dud, belajar yang bener. Mau nggak kalo Miss kasih latihan 1000 soal tentang Grammar?" Mampus nggak tuh! Tak sanggup lagi kutahan tawa melihat raut wajah Dudidudidam yang terlihat pias saking kagetnya. "Biasa aja kali, Dud. Miss bercanda doang, kok. Miss kan saranghaeyo ke kamu."

Dudi itu lucu. Hampir satu semester aku mengenalnya. Anaknya imut kayak marmut yang dirubungin semut. Untuk ukuran anak laki-laki, Dudi masuk ke golongan yang agak-kurang-tinggi. Itu kenapa, dia lebih memilih untuk duduk di barisan tengah.

"Duh, Miss. Kayaknya saya harus protes ke Tuhan, deh," sahutnya. Dua kemungkinan arah pembicaraannya. Serius dan main-main. Yang selama ini kutahu, Dudi tak pernah sekali pun serius. Paham, kan?

"Protes kenapa? Kamu ngerasa dikasih hidup yang nggak adil?"

"Saya mau protes ke Tuhan. Kenapa Tuhan mengutus saya ke dunia ini jauh sesudah Miss dilahirkan." Alisnya bergerak naik turun dengan genitnya.

Sumpah demi apapun. Kamu tuh sama sekali nggak keren, Dud. Boleh nggak sih yang kaya begini dikunyah aja terus dilepeh?

"Dud, mendingan kita jadi kakak adek ketemu gede aja. Saya nggak mau jadi sugar mommy kamu. Berat banget bebannya, termasuk bayarin uang kuliah kamu." Seketika ruangan kelas dipenuhi gelak tawa yang membahana. Serasa di studio Srimulat, ya.

"Miss, saya punya kakak sepupu ganteng. Lagi cari calon istri. Miss mau nggak saya kenalin ke dia?" Ebuset. Betapa frontalnya dia. Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman yang kelewat manis. Suara siapa sih tadi? Amel. Amelia gadis cilik lincah nian yang tak pernah sedih itu? Bukan dong, woy! Amel, salah satu dari beberapa mahasiswaku yang selalu mendapat nilai sempurna di mata kuliahku yang dikenal sulit.

"Mel, I really appreciate you, ya. Tapi, ntar aja deh. Miss lagi belum dapet undangan kemana-mana. Nanti, kalo ada undangan kan lumayan bisa digandeng."

"Sip, Miss. Bilang ke saya aja, ya. Kakak sepupu saya itu nggak malu-maluin kok kalo diajak ke kondangan." Kuacungkan ibu jariku ke arahnya. Yang kemudian ditanggapi Amel dengan kedipan di mata kanannya, tapa harus mengangkat bibir atasnya. Kok bisa, ya?

Jangan heran dengan hubungan casual yang terbina antara aku dan mahasiswaku. Aku yang meminta. Hanya tak ingin mereka merasa begitu kaku denganku. Toh, aku juga tak terlalu menginginkan mereka merasa sangat takut tiap kali berhadapan denganku. Cara ini terbukti efektif. Mereka jadi lebih semangat menghadiri kelasku. Tak jarang, banyak mahasiswa kelas terbang yang hinggap di kelasku. Pesonaku memancar bak bintang Hollywood yang namanya terukir di Walk of Fame. Semua mahasiswa berebut masuk ke kelasku di tiap awal semester baru, saat jadwal mata kuliah serta dosen pengampu dibagikan. Tak jarang, hal ini membuat jealous beberapa rekan dosen yang juga mengajar mata kuliah yang sama.

"Kuis minggu depan bakalan jadi kuis terakhir sebelum minggu tenang UAS, ya. Lumayan, buat nambah-nambah nilai yang kurang. Miss nggak mau nyuruh kalian bikin paper. Nggak kreatif. Jawabannya sama semua." Aku jujur. Aku pun pernah merasakan rumitnya kehidupan perkuliahan. Deadline tugas yang menumpuk tak jarang memaksa naluri kreatif untuk bergerak menyalin tugas dari sana-sini demi nilai yang bagus. Bahkan, menjual jasa tulis tugas pun pernah kujalani. Demi semangkok mie ayam komplit dan satu cup Dancow cokelat dengan ekstra topping boba. Segitu mudahnya untuk kenyang.

"Miss ngawas ujian nggak nanti?" Pertanyaan konyol. Haruskah kujawab? Siapa sih yang barusan bertanya? Oh, Audi. Mahasiswi cantik dengan body layaknya gitar Spanyol siap petik yang tak pernah lupa untuk selalu touch-up riasannya di kamar mandi. Bukan buku-buku yang memenuhi tasnya. Tapi, cushion, BB cream, sunscreen SPF 50+, lip tint, lip balm, lipstick, lip cream, mascara, eyeliner, setting spray, pensil alis Viva dan bkush on shade Marshmellow Lady, yang kebetulan sama dengan milikku. Diskusi yang tercipta di antara aku dan Audi bukanlah tentang pelajaran. Melainkan, haul cosmetic shopping.

"Ngawas dong. Kenapa emangnya?" ucapku. Kulihat Audi menghembuskan napas lega sambil berkali-kali mengusap dadanya. "Eh, belum tentu juga kebagian ngawas kelas ini, ya. Kemungkinannya kecil, deh."

"Seenggaknya bukan nggak mungkin, Miss. Semoga Miss yang ngawas kelas kita nanti," ucap Audi dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Dia bukan mbak-mbak minimarket biru itu, kan? Audi selalu berhubungan dengan dada, ya?

"Kalopun Miss yang ngawas, ya tetep lah kalian kerjain sendiri. Udah ah. Pamitan dari tadi, tapi nggak kelar-kelar. Jangan lupa, WA Miss kalo pada mau ngupi-ngupi mandjah, ya. Bye, everyone." Segera kusampirkan tas dan membawa beberapa buku-buku bahan ajar di dekapan.

Lorong kelas terasa begitu tenang. Semua kelas sudah usah. Minggu depan akan jadi minggu terakhir aktifnya kegiatan belajar mengajar, sebelum UAS meradang. Ah, bulan Januari. Musim hujan juga semakin parah. Hujan membuatku malas untuk sekedar cuci mata di mall terdekat. Padahal, hati ini sudah sangat meronta ingin menghambur-hamburkan uang. Gayamu, Nan! Nyari uangnya aja sampe bengek-bengek. Jangan lupakan itu, perawan!

Langit sudah mulai agak gelap karena mendung. Kuputuskan untuk mengecek barang-barangku yang mungkin tertinggal di ruang dosen. Masuk ke ruang dosen, tak kulihat seorangpun di dalam sana. Merasa bergidik karena sempat mendengar beberapa selentingan tentang makhluk tak kasat mata yang kerap muncul di ruangan ini. Perasaan tidak enak bertambah seketika kudengar bunyi blubub blubub dari dispenser yang ada di pojok ruangan. Bulu kudukku meremang. Kembali kututup pintu ruangan dengan sangat hati-hati.

Langkahku seketika terhenti saat kurasakan tepukkan kencang di pundak kiriku. Napas terasa berat. Merasa takut hanya untuk sekedar menoleh ke belakang. Berasa kayak lagi uji nyali ye, coy. Kuberanikan diri untuk menengok ke belakang, meski banyak orang berkata tataplah masa depan yang menanti. Apaan lagi sih, Nan?

"Anjriiit! Kampret, lo! Bikin gue jantungan." Refleks kuinjak kaki sosok menyebalkan yang tengah berdiri di hadapanku dengan tampang menyebalkannya.

"Dih, marah-marah. Pantesan lo belom nikah-nikah." Manusia paling menyebalkan sejagat raya, Al. Bukan Aldebaran lho, ya. Nama panjangnya Al-Fatihah. Lebih memilih untuk dipanggil Al ketimbang Fatih. Kerasa lebih ganteng, menurutnya. Plus, bisa mendompleng ketenaran orang-orang ganteng bernama Al, Aliando, Al-Ghazali, Ali Syakieb dan Mas Aldebaran. Al ini paling suka makan nasi putih lauk semangka. Iyuh banget nggak sih? Herannya, dengan prilaku super aneh ini, ada saja wanita yang Insha Allah sholehah mau dijadikan istrinya. Al adalah sahabatku sejak mengenyam S1 dulu. Bisa mengajar di kampus ini pun berkat informasi lowongan kerja darinya. Al, anak pertama dari empat bersaudara. Itu kenapa nama panjangnya Al Fatihah. Sebagai pembuka, katanya. Pembuka pintu perkembangbiakkan kedua orangtuanya. Nyambung nggak, sih?

"Ruangan udah sepi banget. Pada kemana?" Kuamati sekeliling kami yang memang... sudah sepi.

"Lagi pada di atas. Makan-makan. Lo lama banget. Naek, yuk! Mumpung masih banyak makanan. Lo kan jarang makan makanan mahal. Tiap sarapan nasi uduk sama orek tempe terus bosen, Nan." Al menyampirkan lengannya ke pundakku. Sial memang jantan satu ini. Kurang ajarnya kebangetan, walaupun memang apa yang dikatakannya benar semua.

"Sembarangan lo kalo ngomong. Lo nggak tau aja kalo nasi uduk Mpok Romlah deket rumah gue tuh enaknya pake banget. Nasi uduk mahal itu, Al. Yang beli pada naek Fortuner, Pajero sama Mini Cooper. Lo yang kemana-mana nunggang Beat mah kagak cocok makan nasi uduk di sana. Mending buat beli bensin. Daripada abis beli nasi uduk lo dorong motor karena keabisan bensin." Aku dan Al masuk ke dalam lift, menuju lantai 6. Lantai 6 adalah lantai dimana para petinggi fakultas berkantor. Dan, ada sebuah ruangan serbaguna yang selalu dijadikan tempat berkumpulnya para dosen, seperti saat ini. Makan-makan sebelum ujian memang selalu menjadi agenda rutin. Dan biasanya, akan dilanjutkan dengan makan-makan ronde kedua setelah ujian. Makan aja terus! "Al, kita cuma berdua nih di lift. Lo jangan apa-apain gue, ya. Gue masih segelan."

"Ngomong apaan sih, lo?" Al menempelkan telapak tangannya di keningku. Dua detik kemudian menempelkan telapak tangannya itu ke bokongnya. "Sehat kan, Nan?"

"Sialan, lo. Gini-gini gue cukup menggoda lho, Al," sahutku.

"Bukan menggoda gue yang pasti."

"Ogah juga gue godain lo."

"Nan, kenapa sih lo nggak mau nikah?" Pertanyaannya seketika membuat selera humor yang kupupuk terbang entah kemana. Aku hanya terdiam mendengarkan pertanyaannya yang mengandung 100% keseriusan. "Gue sama temen-temen yang lain khawatir sama lo. Kita udah coba berkali-kali jodohin lo sama banyak cowok. Tapi, nggak ada satu pun yang jadi."

"Al, gue rasa kita udah pernah bahas ini, kan?"

"Ya. Dan sesering apapun kita bahas masalah ini, sesering itu juga lo menanggapi ini semua dengan candaan. Are you still hurt inside?" Al menatapku lekat. Aku tak berani menatap balik kedua matanya. "Lo masih belum sembuh dari luka itu?"

"I am trying, Al. Gue sedang mencoba. Lo nggak tau kan gimana rasanya jadi gue." Pintu lift terbuka tepat ketika kuselesaikan kalimatku. Al merebut buku-buku yang ada di dekapanku. "Al..."

"Apaan?"

"Jangan cuma bukunya. Sekalian bawain tas gue." Kuacungkan tas selempangku ke arahnya. Al hanya melirik kemudian kembali melangkah sambil menggerutu.

"Dasar nggak tau diri." Aku tertawa sambil berjalan mengekor di belakangnya.

Ruangan serbaguna di lantai 6 sudah dipenuhi oleh dosen-dosen senior dan junior. Dua manusia tengah melambai-lambaikan tangannya ke arahku sambil menyeruput segelas minuman berwarna merah muda. Itu es doger bukan, sih?

"Lama banget sih?" ucap Nadine. Rekan dosen seperjuangan yang kutemui sejak pertama kali memenuhi panggilan tes mengajar di kampus ini. "Ngapain aja sih di kelas? Kita nggak ada upah lembur lho, Nan."

"Biasa lah. Ada sesi ngobrol dulu sama anak-anak. Kan mau ujian. Briefing untuk kuis minggu depan. Lo juga nggak WA gue sih?" jawabku. Kurebut gelas berisikan cairan berwarna merah muda yang ada di genggaman Nadine. "Ini es doger bukan, sih?"

"Es doger pale lo. Ini mah soda gembira. Lo bilang gue nggak WA lo? Minta diguyur atau gimana nih?" Kalem dong, Manis.

"Emang bener lo nggak WA gue. Nih kan ...." Kutunjukkan layar ponselku ke arahnya.

"Apaan yang nih kan nih kan? Hp lo aja mati." Nadine menggetok kepalaku dengan tangannya yang terkepal. Sakit, ih! "Punya hp tuh kalo batrenya abis, dicharge. Nggak bawa charger?"

Aku mengangguk. "Kelupaan. Tadi, gue buru-buru."

"Buru-buru, tapi sempet dandan lengkap ya, Nan." Nenek Lampir! Tugasnya memang selalu memanas-manasi suasanya. Bukannya ngademin. Namanya Ratu. Tak jarang, karena mulut pedas level jebolnya, kami sering bertengkar karena hal sepele. "Bedak sama blush on nggak lupa, Nan?"

Aku kembali mengangguk tanpa sadar. Dan, kembali mendapatkan jitakkan gelombang kedua di tempat yang sama. "Sakit, Din!"

"Biarin. Udah sana. Lo makan dulu. Ambil piringnya di sana." Nadine menunjuk ke arah dimana piring-piring ditumpuk di atas meja.

Di tengah-tengah acara makan bersama, kami berempat sempat membahas tentang pekan ujian akhir semester yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku dan tiga orang temanku ini masuk ke jajaran tim pembuat soal. Para dosen senior melimpahkan tugas ini pada kami, para dosen junior.

"Eh, ngomong-ngomong...katanya kampus kita mau kedatengan donatur kaya. Nggak tau deh gimana programnya sampe itu orang kaya mau nyumbang hartanya ke kampus kita. Tadi, Dekan bilang kalo untuk dana penelitian kita di PKM bakalan aman. Kita nggak perlu ribet cari dana. Udah difasilitasi sama kampus," ucap Ratu, manten anyar yang akhir-akhir ini lebih sering mendengarkan lagu-lagu milik almarhum Glenn Fredly, apalagi Januari. Bisa-bisa, dia nangis sesenggukkan tiap kali mendengarkan lagu itu. Padahal, lagu itu sama sekali tak memiliki arti khusus untuknya.

"Demi apa?" sahutku kaget.

"Gue kan dengerin apa yang dia omongin, Maemunahhhh." Ratu berniat untuk menggetok kepalaku dengan garpu yang ada di tangannya. Berhubung, Al berhasil mencegahnya. Nyawaku selamat.

"I love you, Al. Muah." Kukecupkan bibirku ke udara. Dengan kurang ajarnya, Al menanggapinya dengan wajah seakan mau muntah. "Kurang ajar ya lo."

Dering ponsel Ratu menginterupsi obrolan kami berempat. Ratu meminta izin untuk menjawab panggilan di luar ruangan. Memang di dalam terlalu berisik saat ini.

Tak sampai lima menit, Ratu kembali dengan wajah yang berseri-seri.

"Telepon dari Andre, Tu?" tanyaku. Ratu mengangguk. "Pantesan senyum-senyum."

"Andre nanya gue bisa libur nggak tanggal 12 Februari nanti," jawabnya.

"Emang mau ngapain tanggal segitu?" sambar Al.

"Andre mau booking hotel tanggal 12 sampe 15 Februari. Dia ngajak gue ke Bandung. Buat ngerayain Valentine's Day katanya." Ratu mengakhiri ucapannya sambil menaruh kembali ponselnya di atas meja. Kulihat Nadine dan Al serentak menyenggol tangan Ratu. "Nan, sorry. Gue nggak bermaksud begitu."

"Nggak apa-apa kok, Tu. I am so happy for you. Your Valentine's Day won't be as dark as mine, Tu." Segera kusudahi pembicaraan ini. Membereskan piring bekas makan dan berniat untuk segera pulang. "Gue pamit balik duluan, ya. Ayah sama Ibu pesen jangan balik malem-malem. See you, ya."

Rumah adalah tempat ternyaman di jagat raya ini. Rumah tempat kembalinya setelah seharian lelah berjibaku dengan segala macam hal di luar. Rumah pula yang membuatku merasa selalu dilindungi. Terlebih, ada dua malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan di dalamnya. Malaikat tak bersayap yang bekerja sama bersatupadu meracik ramuan sehingga terciptalah makhluk sempurna yang Alhamdulillah tanpa cacat terlahir ke dunia, Kinanthi Maheswari.

"Bu, Adis mana? Kok di kamarnya nggak ada?" tanyaku. Ibu sedang duduk dengan santainya sambil menonton tayangan sinetron yang tengah digandrungi kaum hawa se-Indonesia Raya. Jangan harap bisa merebut remote TV dari tangannya.

"Adis belom balik lah, Mbak. Tadi abis Maghrib dia izin. Katanya mau ke rumah temennya." Benar apa kataku. Saat menjawab pertanyaanku pun, pandangan Ibu tetap lurus ke layar TV sambil menghimpit remote di selipan ketiaknya. Bu, bau lho itu.

"Yaudah. Aku mau tidur. Besok mau bangun siang ya, Bu." Aku bersiap melangkahkan kaki menaiki tangga ke lantai atas. Namun, panggilan Ibu berhasil mengurungkan niatanku.

"Mbak, nggak mau ngobrol dulu sama Ibu?" Tanpa kuduga sama sekali, Ibu mematikan layar TV dan meletakkan remote yang dari tadi dihimpitnya di ketiak ke atas meja. Ibu menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya.

Aku mengikuti instruksinya dan duduk dengan setenang mungkin. Walaupun sebenarnya aku yakin pembicaraan ini adalah yang paling kuhindari, sebisa mungkin. Tiap kali Ibu akan mengajakku berbincang perihal ini, aku akan selalu berdalih. Sakit perut sampai terus-terusan buang angin yang tak berhenti. Cara-cara itu selalu manjur. Tapi, rasanya ini tak akan berhasil jika kugunakan kali ini. Aku sungguh terlihat sangat sehat dan bugar.

"Ibu mau ajak ngobrol apa?" ucapku berbasa-basi. Kuputar-putar bola mataku untuk mendapatkan ketenangan.

"Mbak, mau sampe kapan kayak begini? Udah lima tahun, Mbak." Ibu menepuk pahaku dengan telapak tangan kirinya, sementara tangan kanannya merapihkan suraiku yang berantakan tak beraturan.

"Bu, kalo aku nggak nikah nggak apa-apa, kan?"

"Jangan ngomong sembarangan. Kamu nggak mau punya keluarga?" Aku hanya bisa terdiam. "Lima tahun sudah terlalu lama, Mbak. Kamu masih terluka?"

"Lukaku udah lama sembuh, Bu. Tapi luka karena Ayah dan Ibu juga ikut terluka yang belum sembuh."

-To be Continued-

Gimanaaaa?
Syuka nggakkkk?
See you on the next chapter, yaaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top