Part 2

Pukul 16.30 waktu Aceh, Sebuah pintu kayu tampak tak berubah sejak kutinggalkan. Tanpa menginginkan banyak waktu terbuang, kulipat jemari tanganku dan kuputar membelakangi. Ada sedikit keraguan ketika pintu tersebut ku ketuk. Perlahan tanpa membuatnya bising aku pun mencoba mengetuk lagi, karena di ketukan pertama belum ada tanda-tanda ada orang dari balik pintu yang merespon.
"Assalamualaikum." Ucapku agak sedikit keras dengan suara wanitaku.

Akhirnya tidak beberapa lama terdengar respon dari dalam rumah. Tapi itu bukan suara ayah atau ibu. Melainkan suara lain yang juga ku kenal, Suara nenek. Perlahan Pintu Pun terbuka dan terlihatlah seorang wanita tua yang benar sesuai dugaanku.

"Iya nak, mencari siapa?" Sapanya pertama kali.

Sudah kuduga, perubahan ini membuat aku benar-benar tak dikenali, bahkan tidak sedikitpun. Dan entah mengapa suaraku seperti tidak dapat keluar. Rasanya kelu untuk menjelaskan panjang lebar ke seorang nenek, yang tidak lain nenekku sendiri. Aku lama terdiam tidak menjawab pertanyaan nenekku. Entah apa sebabnya Anisa juga ikut terdiam. Seperti ia paham betul apa yang kurasakan. Hingga akhirnya terdengar suara dari dalam rumah. Suara lain yang sangat kukenali.

"Ma, ada apa?" Suara ibuku.
Ada perbedaan ketika ia datang dan melihat ku. Ia sempat terdiam sejenak. Lalu perlahan bibirnya seperti gemetar mengucap sesuatu.

"Pria?" Ucapnya dengan gemetar memandang sosok Perempuan yang wajahnya tidak ia kenali. Namun nalurinya sangat mengenali sosok tersebut yang tidak lain darah dagingnya sendiri.

Tanpa buang waktu, terlepas dari segala kesalahanku. Kerinduan kami pun mengalahkan segalanya. Air mata kami pun pecah, nenek yang awalnya tidak mengenaliku pun ikut menangis haru dan ikut memeluk. Tangan tuanya berkali-kali meraba bagian wajahku. Sebuah isyarat keterkejutan ia terhadap perubahanku.

Selepas kangen-kangenan usai, ibuku menggiringku ke sebuah kamar. Aku sudah paham ingin dibawa kemana aku. Sampai di depan kamar aku tidak begitu saja langsung masuk. Ada keraguan yang amat sangat bergolak di hatiku. Apa jadinya kalau ayahku melihat ku dengan keadaan sekarang. Namun perlahan tapi pasti ibuku menguatkanku. Di tuntunnya lenganku perlahan dan ia pun membantu membukakan tirai.

Di kamar itu lagi-lagi air mataku jatuh melihat seorang pria tulang punggung keluargaku tidur sangat lemah, tidak beberapa lama ayah sepertinya menyadari kehadiran seseorang yang masuk dalam kamar. Ia pun menengok perlahan ke arah kami. Tiba-tiba tanpa banyak kata sedikit pun, ia langsung menangis namun seperti di tahan. Entah karena sakit ia seperti tersengal-sengal melihat kedatanganku. Air matapun tidak turun sempurna, hanya sedikit namun cukup menunjukan apa yang ia rasakan saat itu. Seperti ibu, ia mengenal betul siapa sosok yang ada di hadapannya. Dengan kerinduan sangat, aku pun langsung memeluknya dalam kondisi yang hanya bisa tertidur. Mau bagaimana lagi ayah ku mengalami struck parah sehingga beberapa saraf tubuh sebelah kirinya tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Ku rebahkan kepalaku di dadanya. Tak berapa lama aku merasakan ada tangan yang memegang kepalaku. Dengan tangan kanannya yang masih berfungsi ia membelai rambutku perlahan.

"Pr...ia...." Ucap ayahku tidak begitu jelas, tapi aku paham maksdunya. Ia memanggil namaku.

Aku mengangkat kepala ku dan menatap matanya dalam.

"iya, ayah." Ucapku

"Ma..aafkan...aayah." Ucapnya perlahan dan sedikit terbata-bata

"Iya ayah, aku yang seharusnya meminta maaf." jawabku "Pria tidak kuat lagi dengan apa yang pria alami, Pria hanya ingin mempertegas kodrat yang Tuhan sematkan."

"Mah..."Ucap ayah memanggil ibuku yang kali ini menunjuk ke satu arah. Sebuah bungkusan yang entah isinya apa?

Ibuku yang tanggap, langsung mengambil bungkusan tersebut. Ia pun mengeluarkan isinya. Hingga akhirnya aku dapat mengenali apa isi dari bungkusan tersebut. Sebuah "Mukena" berwarna putih.
Ibu langsung memberikan mukena tersebut kepadaku. Aku yang sedikit bingung dengan apa maksud dari ini semua, menatap dalam kearah mata ayahku. Berharap ayahku dapat menjelaskan semuanya. Namun aku sadar ini akan sangan sulit, dengan keadaan ayah sekarang. Seolah tidak ingin membiarkanku dalam kebingungan terlalu lama, ibu mengambil secarik kertas dalam bungkusan itu. Sebuah surat rupanya.

"surat ini ayahmu tulis sebelum ia separah sekarang." Jelas ibu. "ia tahu betul rasanya sulit memintamu untuk kembali pulang untuk memaafkan kesalahannya di masa lalu, tadinya ini semua ingin ia kirimkan ke Jakarta."
Hatiku bergetar mendengar penjelasan ibu.

"Bacalah." Ucap ibuku lagi
Aku pun langsung membaca surat yang di berikan ayahku.

Teruntuk anakku Pria
Pria anakku, Ayah tahu kesalahan ayah di masa lalu yang membiarkan mu berlaku seperti apa yang ayahmu ini inginkan. Ayah juga sadar ketika tangan tua ini melayang ketubuh kecilmu karena ketidaktrimaan ayah dengan apa yang kau alami. Kamu tetap anak ayah, yang paling ayah sayangi. Keegoisan ayahlah yang membuat kamu membenci ayah. Aku terlalu kesal dengan keadaan saat itu sehingga berimbas pada trauma masa kecilmu.
Ayah ingin semuanya kembali seperti sedia kala. Ketika ayah bahagia menyambut kelahiranmu putriku. Ketika ayah mengelus lembut kandungan ibumu. Ketika telinga ini mendengar kehidupan di balik perut ibumu. Semuanya terasa indah saat itu. Pria, ayah sadar betul bahwa ayah telah menyematkan nama yang salah kepadamu. Nama yang sungguh menjelaskan keegosian ayah. Walaupun begitu ayah masih berharap nama tersebut menyematkan takdirmu.
Ayah senang putriku yang cantik telah sukses saat ini. Bukan hanya berhasil membanggakan keluarga namun juga berhasil mengambil sebuah keputusan yang teramat sulit. Sebuah keputusan yang mungkin kamu sendiri tidak merasa yakin sepenuhnya. Trauma masa kecilmu pasti masih berbekaskan putriku. Putriku, izinkan ayah memperbaiki ini semua. Ayah tahu rasanya sulit memintamu kembali ke tanah tempat kau dilahirkan. Kebencianmu pasti mengalahkan kerinduanmu
kepada ayah. Izinkan ayah meminta maaf putriku. Izinkan ayah memperbaiki apa yang salah dengan keyakinan dan keegoisan ayah selama ini.
Bersamaan surat ini ayah mengirimkan sebuah "Mukena" untukmu anakku. Semoga kau bisa menerimanya. Ayah menghargai apa yang kamu pilih sekarang. Sebuah pilihan yang terbaik menurutmu bukan? Seperti surat yang kau kirimkan sebelumnya. Ini merupakan pilihan mempertegas kodrat yang kuasa bukan? Ayah hanya meminta satu hal dari pilihan yang telah kau ambil. Ayah hanya ingin kau beribadah dengan apa yang kau yakini. Dan mohon titipkan doa agar tuhan mau memaafkan kesalahan ayah di masa lalu ya anakku. Ketika kamu memiliki dua sekaligus mungkin membuat ayah gelap mata kala itu. Namun yang pasti kamu sekarang sudah sempurna anakku. Kamu adalah putriku yang tercantik.
Putriku, mudah-mudahan kamu bisa memaafkan kesalahan ayahmu ini. Mudah-mudahan pula kau berkenan menuntaskan kerinduan kami untuk kembali kerumah.
Sebuah cinta untuk putriku tersayang.
Dari
Ayahmu.

Derai airmata pun mengalir deras, selepas ku membaca surat dari ayah tersebut. Suasana pun menjadi penuh haru di ruangan kamar, ketika aku langsung memeluk ayahku karena perasaan bahagia yang meledak. Dengan penuh kerendahan ku sebagai makhluk-Nya, aku pun hanya dapat berjanji dalam hati ini untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginanku. Dengan "Mukena" ini aku akan beribadah dengan apa yang kuyakini. Di setiap ibadahku aku juga tidak lupa menyematkan doa untuk kedua orang tuaku yang selama ini tidak pernah lelah untuk tetap mencintaiku dan menerimaku dengan keadaan seperti sekarang ini. Sebuah keadaan yang bukan menjadi sebuah kesalahan, ini hanya sebuah keadaan yang perlu di pertegas. "Mudah-mudahan apa yang aku yakini benar ya Tuhan, sehingga aku dapat dengan sempurna bersujud di ribaanmu Sang Pemilik Kehidupan. Apabila yang aku yakini sebuah kesalahan, biarlah aku yang menanggung semuanya Ya Tuhan. Jangan engkau libatkan ayah dan ibuku." Pintaku, seorang hamba dengan segala yang diyakininya, yang hanya mampu berserah meminta tulus kepada-Mu. "Amin."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #mukena#pria