Mukena Untuk Pria

"Maka hadapakanlah wajahmu dengan lurus kepada Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah, manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".  (Qs: Ar-rum :30)

Tadi malam aku mimpi. Di mimpi itu aku tampak tenang: dua laki-laki menggunakan penutup wajah dan pakaian gamis hitam panjang menghampiriku ketika aku berdiri disebuah tanah kosong di tengah puluhan hingga ratusan orang. Semua mata memandangku pasti dengan banyak pertanyaan hingga bahkan gunjingan. Aku juga seolah tidak ingin melawan. Untukku apa yang terjadi pada saat itu sepertinya sudah takdirku atas segala keputusan yang ku ambil. Sejujurnya pada awalnya aku tidak mengenali , tapi kemudian aku tahu mereka itu Cik raihan dan Cik zainal setidaknya aku mengenal betul suara mereka sekalipun wajah mereka di tutup rapat. Cik Zainal sendiri adalah teman kerja ayahku dahulu. Mungkin itu pula yang membuatku tenang. Setidak aku tahu siapa yang mejalankan tugas untuk memberikan hukuman terhadapku. Jelas sekali apa yang ada di tangan Cik Zaenal. Sebuah rotan lurus panjang sudah ada di genggamannya.

Yang jelas entah bagaimana persisnya hingga akhirnya aku harus menjalani hukuman ini, yang jelas aku siap dan ini merupakan takdirku.
Semua pun seolah terjadi secepat kilat, sampai aku tak dapat merasakan sakit lagi. Aku sendiri tidak menghitung sudah berapa cambukan yang dijalankan dan berapa yang belum? Tidak berapa lama cambukan terakhir pun mendarat di tubuhku. Aku sendiri baru merasakan teramat sakit ketika semuanya selesai. Punggung dan leherku rasanya panas sekali. Kulitku menebal dan aku merasakan adanya sebuah garis memanjang di punggungku.

Tidak berapa lama, seorang dokter pun memeriksa keadaanku. Entah bagaimana yang terjadi berikutnya aku sudah berada di rumah sakit. Mungkin aku pingsan, karena apapun yang terlihat, tetap saja apa yang sebenarnya mengalir dan berada di tubuhku, aku memang terlahir dengan gen wanita yang paling dominan. Maka dari itu aku melakukan semua proses hukuman tadi dengan tenang. Aku tidak ingin lebih lagi, sedari kecil aku tidak pernah sekalipun ingin merubah segalanya yang bukan atas keinginan terbesarku. Aku hanya ingin menjadi seorang wanita sepenuhnya.

Seandainya aku bukan berasal dari sebuah tempat yang syariat islamnya sangat kuat, mungkin saja ini merupakan sebuah hal yang wajar. Namun tetap saja aku sadar betul bagaimana agamaku menilai manusia sepertiku. Namun satu hal yang pasti, sebersalahnya aku, aku sangat mengerti bahwa kondisiku berbeda dengan kebanyakan orang yang melakukan hal yang sama di luaran sana. Namun mungkin ya apalagi yang harus ku perbuat, hukum tetaplah hukum, dan syariat harus dilaksanakan. Meskipun aku tahu apa yang aku jalankan sekarang belum seberapa di banding kan apa ya harus kujalankan di akhirat nanti. Pasti akan sangat amat berat.

Aku sudah siap dan sadar apa yang akan terjadi nanti. Apapun itu, aku harus tahu akan segala konsekuensi dari semua yang sudah ku lakukan di dunia. Keputusanku adalah jalan takdir yang harus ku jalani berikutnya. Yang dapat kulakukan berikutnya hanya berserah di dengan sosok baru yang ada sekarang, tanpa harus terlalu memikirkan bisa atau tidaknya dosaku diringankan. Yang ku tahu untuk kehidupanku selanjutnya, aku hanya harus tetap menjalankan apa yang menjadi perintah-Nya dan apa yang sudah ditetapkan menjadi larangan-Nya.

Tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke masa sebelum aku membuat keputusan terbesarku. Namaku saat itu masih "Pria Wicaksana". Nama itu pemberian langsung ayahku. Nama yang seolah mengukuhkan siapa aku dan harus sepertia apa aku. Namun sekarang aku lebih nyaman di panggil Ria dibandingkan dengan nama itu. Pagi itu, Pukul empat tiga puluh, ketika ayah berangkat kerja, aku bangun. Ayah masih kerja sebagai seorang Pamong Praja. Keadaan keras di lapangan terhadap siapa pun yang melanggar peraturan daerah terkadang sampai di rumah. Aku ingat betul usia ku waktu itu sekitar 15 tahun. Itu adalah saat dimana aku telah merasakan perbedaan dalam diriku. Ayah sendiri bukannya tidak tahu. Ia sangat mengerti betul kelainan yang ku derita. Namun keegoisannya yang menginginkan seorang anak lelaki justru membuat ibuku yang bersusah payah mengurusiku. Kenapa ibuku? Iya beliau lah yang masih cukup sehat secara akal untuk membantu ayah mengurusiku. Walaupun terkadang ia mengalami sebuah tekanan yang teramat sangat di kehidupannya. Ayahku memang sangat keras, ia seolah kehilangan jiwanya dan menjadi sangat menyeramkan seketika ketika ia marah tanpa kejelasan. Ibuku lah korban pertamanya. Ibu sudah dalam keadaan stres berat kurang lebih dua tahun lalu. Namun sampai saat ini ibu masih berusaha kuat. Para tetangga pun seperti sudah paham betul dengan keadaan kami. Hampir tiap malam selalu ada suara keras yang terdengar dari rumah kami. Aku memang sudah mulai beranjak remaja, namun aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku sendiri punya masalah dengan ketidakjelasan diriku dan ketidakterimaan ayahku.

Setiap pagi saat teman-teman sebayaku sudah sibuk dengan menggunakan rok dan pakaian berwarna manis. Aku malah tampil dengan celana dan pakaian yang ukuran sizenya agak besar. Aku sendiri bingung dengan keadaanku. Ibuku pernah bilang kalau aku memiliki ke istimewaan. Tidak hanya satu, tapi dua. Iya aku memiliki kelainan memiliki dua kelamin sekaligus. Aku sendiri tidak paham dengan apa yang kualami. Terkadang aku bisa sekuat anak laki-laki waktu pelajaran olahraga lari di sekolah. Namun aku juga bisa melemah seperti wanita ketika aku lebih nyaman bersama teman-teman perempuanku. Namun apapun itu aku tetap saja sebagai seorang pria di mata ayahku. Ibu sendiri seolah mengiyakan apa yang diyakini ayahku, walaupun dengan tepaksa. Aku sendiri memang belum jelas menjadi seorang wanita. Karena sudah di umur sekian aku belum saja mengalami Haid. Simbolisasi pengukuhan menjadi seorang wanita sepenuhnya. Namun itu juga tidak serta merta mengukuhkan aku sebagai seorang Pria. Karena entah mengapa perbedaan pun muncul dari luar tubuhku. Dimana bagian dadaku mulai tumbuh berbeda dengan banyak lelaki kebanyakan. Setidaknya hampir setiap pagi Ibu membantuku melilitkan kain sekencang-kencang agar ke anehan ini tidak terlihat di mata ayahku, karena sudah barang tentu Ibu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketidakterimaan memiliki anak yang cacat membuatnya gelap mata.

Selepas ayahku berangkat bekerja aku bergegas pergi berangkat kesekolah. Tidak mengunakan rok tentunya. Namun dengan mengunakan celana panjang berwarna biru gelap. Aku sendiri bersekolah di sekolah islam. Dimana itu semakin membuatku tidak menerima keadaanku. Setiap hari aku mendengar pak arman membacakan beberapa surat sebelum memulai pelajaran Quran dan hadist. Tidak jarang surat tersebut berkenaan tentang penciptaan manusia. Mungkin ia tidak bermaksud menyindir keadaan ku. Karena tidak banyak teman sekolah ku yang tahu akan keadaanku. Terkecuali mereka yang tinggal satu kampung denganku di meulaboh, Aceh. Sejujurnya aku sangat terganggu dengan beberapa ayat di dalam Al-Quran. Aku ragu akan teori penciptaan manusia adanya laki-laki dan perempuan. Kalau memang seperti itu mengapa aku mengalami kelainan seperti ini.

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah meciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan daripadanya Allah menciptakan isterinya (Hawa); dan daripada keduanya memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga mengawasi kamu." (An-Nisaa: 001)

"Mba Ria, jam berapa kita akan sampai meulaboh?" Belum sempat aku melayangkan pikiran ku terlalu jauh, tiba-tiba aku disadarkan oleh panggilan salah satu asistenku. Namanya Anisa, bisa di bilang kami sudah cukup lama bekerja bersama. Setidaknya hanya dia yang mengerti apa yang selama ini kurasakan. Sedari tadi aku hanya menatap keluar jendela bis yang kami tumpangi. Rasanya sudah lama sekali aku tidak pulang.  Perjalanan menuju meulaboh masih cukup jauh, kurang lebih 7 hingga 8 jam kalau dari bandara Sultan Iskandar Muda. Setidaknya jarak tempuh itu lumayan cukup lama dan membuat Anissa gelisah. Walaupun sebenarnya untuk apa dia gelisah karena perjalanan ini? Bukannya aku yang seharusnya memiliki perasaan itu. Ayah dan ibu tahu aku sudah merubah total semuanya. Perubahan yang menurutku sudah sesuai kodratku sepenuhnya. Wanita yang dulu hanya ada didalam tubuhku, sekarang sudah menyeruak keluar bereksistensi di pencitraan indera penglihatan. Aku tetap bersikukuh aku bukanlah seorang waria. Justru aku wanita sepenuhnya yang ingin diakui keberadaannya. Memiliki dua sekaligus merupakan tekanan kehidupanku. Namun akhirnya aku disadarkan oleh salah seorang dokter bahwa wanita lah yang dominan menguasai gen ku. Aku tidak serta merta nekat merubah segalanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Namun apa Tuhan dapat menerimaku? Apa keluarga tidak sedikit pun merasa jijik dengan penampilanku sekarang? Perasaan itulah yang harusnya menggangguku. Namun aku masih cukup tenang memandang jendela menatap indahnya bumi serambi mekah.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #mukena#pria