Bagian 3
"El, ada apa ini? Siapa gadis itu?" Hilda yang mendengar keributan dari ruangan tengah segera menghampiri kedua putranya yang kini sudah berada di kamar tamu tengah membaringkan tubuh seorang gadis.
El menghela napas dalam-dalam. "Nanti El jelaskan Mi, sekarang lebih baik Ami bantu El untuk mengganti baju gadis ini agar tidak kedinginan karena baju gadis ini basah," jelas El sembari menjauh dari ranjang setelah membaringkan gadis itu di atas ranjang.
Reza yang merasa hendak menabrak gadis itu merasa bersalah karena sedari tadi ia hanya diam tak menyahuti ucapan aminya.
"Baiklah, kalian keluar dulu. Bilang pada Bi Iyam agar mengambilkan baju tidur Asya." Hilda menyuruh salah satu putranya.
El hanya mengangguk sembari keluar dari kamar itu bersama Reza. El menatap ke arah tangga dan terlihat Asya berjalan turun. "Sya, Ami minta diambilkan baju tidurmu dan bawa ke kamar tamu."
"Buat apa, Bang?" tanya Asya bingung.
"Ambil saja. Nanti kamu tau sendiri." El berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri, karena ia juga basah dan harus segera mandi.
Hilda menatapi gadis yang kini masih menutup mata. Hilda memeriksa tubuh gadis itu dan ternyata gadis itu mengalami demam.
Kenapa El dan Reza membawa pulang gadis ini ke rumah? Apa yang terjadi dengan gadis ini? Apa .... Tidak, tidak, tidak. Aku yakin putrs-putraku tidak mungkin melakukan sesuatu pada gadis ini. batin Hilda.
Tok ... tok ... tok ...
Terdengar suara ketukan dari arah kamar.
"Masuk!" teriak Hilda pelan.
"Ami ini ..." ucapan Asya terpotong ketika ia melihat seorang gadis terbujur di atas ranjang.
"Nanti Ami jelaskan." Hilda meraih baju tidur milik Asya, dan saat itu pula Bi Iyam masuk ke dalam kamar itu.
"Bi Iyam, tolong bantu saya untuk mengganti pakaian gadis ini," pinta Hilda.
Iyam pun melaksanakan perintah Hilda. Setelah menggantikan pakaian gadis itu, Hilda segera mengompres kening sang gadis agar suhu tubuhnya turun.
"Bi Iyam, tolong lanjutkan mengompresnya, aku akan menemui El." Hilda beranjak dari duduknya bergegas menuju kamar El, sedangkan Iyam mengompres kening gadis itu.
Hilda mengetuk pintu kamar putra sulungnya. "Assalamu'alaikum ..." Hilda masih mengetuk pintu kamar El.
"Wa'alaikumussalam."
Terdengar jawaban dari dalam kamar dan pintu pun terbuka. El mendapati Hilda berdiri di depan pintu kamarnya.
"Maaf kalau Ami mengganggumu." Hilda menatap putranya terlihat rapi mengenakan baju koko, sarung dan peci.
"Enggak, Mi. El sudah selesai." El pun masuk ke dalam kamar di ikuti Hilda.
Hilda memasuki kamar El dan duduk di tepi ranjang. El segera melipat sajadah yang telah ia pakai untuk shalat magrib. El pun duduk di samping Hilda. Ia sudah tahu maksud kedatangan Hilda ke kamarnya.
"Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Hilda langsung to the point karena merasa ada yang mengganjal di hatinya mengenai kedua putranya dengan gadis itu.
El tersenyum lembut. "Tadi enggak sengaja Reza mau nabrak gadis itu ketika kami akan pulang setelah bertemu dengan klien yang katanya sahabat Paman. Secara tiba-tiba gadis itu melintas di depan mobil Reza, tapi mobil Reza tak sampai menyentuh tubuh gadis itu," jelas El.
Hilda masih diam mencerna ucapan putra sulunya itu. Hilda tidak akan memotong ucapan putranya sebelum penjelasanya selesai.
"Ketika El dan Reza akan memastikan keadaan gadis itu, mendadak gadis itu pingsan, Mi. Karena Reza panik, akhirnya Reza ingin membawa gadis itu pulang. Awalnya El ingin gadis itu dipulangkan saja atau di bawa kerumah sakit, tapi El pikir, El tidak tau identitas gadis itu dan agar keadaan tidak menjadi rumit, El mengizinkan Reza membawa gadis itu ke rumah. Ami tidak marah, kan?" lanjutnya lagi.
Mendengar penjelasan putranya, Hilda hanya mengangguk-angguk. "Ami enggak marah. Mungkin kita harus menunggu sampai gadis itu sadar. Saat ini gadis itu hanya mengalami demam karena terlalu lama hujan-hujanan. Biarlah dia istirahat dulu di sini." Hilda menenangkan sang putra agar tidak di rundung rasa bersalah.
El menghela napas syukur karena gadis itu tidak mengalami sesuatu. "Syukurlah kalau gadis itu tidak terjadi apa-apa."
"Assalamu'alaikum."
Terdengar salam dari balik pintu.
"Walalaikumussalam." El beranjak dari duduknya dan segera menghampiri pintu. "Ada apa, Sya?" tanya El, mendapati adik bungsunya di depan pintu kamarnya.
"Ami di sini?" Asya tersenyum menatap El.
El mengangguk.
"Asya boleh masuk?" Asya menatap El dengan tatapan berharap.
"Ya." El membuka pintu kamarnya lebar agar Asya memasuki kamarnya.
Asya pun memasuki kamar El dan tersenyum menatap Hilda. Ia pun duduk di samping Hilda.
"Ada apa Sya? Tumben ke kamar Abangmu?" tanya Hilda pada putrinya yang tak biasa mengunjungi kamar El di waktu magrib.
"Enggak ada apa-apa, Mi. Cuma mau nanya itu, yang ada di kamar tamu. Itu calonnya Abang atau calonnya Kak Reza?" celetuk Asya.
"Hust ... jangan ngawur kamu, Sya. Dia tadi hampir ditabrak Kakakmu, jadi di bawa kerumah sama Abangmu biar dibicarakan secara kekeluargaan setelah gadis itu sadar." Hilda menjelaskan pada putri bungsunya.
Sejak Asya masih kecil, dia selalu memanggil El dengan sebutan 'Abang', Dan memanggil Reza dengan sebutan 'Kakak', supaya dia tak bingung memanggil saudara laki-lakinya. Dan penyebab lainnya karena Asya merasa komplit memiliki nama kakak yang dipanggil berbeda.
"Maaf, Mi." Asya tersenyum bersalah, karena ucapan ngawurnya. Ia pun minta maaf pada aminya dan abangnya.
"Ya sudah, Ami mau lihat keadaan gadis itu." Hilda beranjak dari duduknya, melangkah keluar kamar putra sulungnya sembari meninggalkan salam. El dan Asya menyahuti salam Hilda.
El kembali berkutat pada tugasnya setelah kepergian sang ibu.
"Bang ..." gumam Asya, masih bisa di dengar El.
"Hmmm ..." hanya gumaman yang El berikan karena masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Abang! Asya mau ngomong serius." Asya cemberut karena panggilannya tak di gubris oleh abangnya yang masih sibuk dengan lembaran-lembaran tugasnya.
El menghentikan aksifitasnya, ia memutar kursi agar menghadap sang adik. "Ada apa?" tanya El singkat, menatap adik bungsunya yang kini tengah tersenyum ramah padanya.
"Bang ... kapan Asya boleh pakai mobil? Asya kan sekarang udah kuliah. Terus, Asya kaloTau musim panas suka kepanasan, kalo musim hujan juga sering hujan-hujanan karena tak bawa mantel. Tadi aja Asya kehujanan karena tak bawa mantel," eluh sang adik.
Sejak dulu, El selalu mengajari adik-adiknya agar tidak menikmati fasilitas yang diberikan oleh ayahnya secara cuma-cuma. El selalu memberi tantangan pada adiknya ketika adik-adiknya menginginkan mobil, uang jajan lebih, atau bahkan fasilitas yang lain. Seperti Reza, dulu Reza bisa menikmati fasilitas mobil setelah berhasil lulus ujian yg diberikan El dengan tidak meninggalkan shalat jama'ah selama 40 hari. Puasa sunah selama satu bulan dan nilai ujian yang lebih bagus dari nilai-nilai sebelumnya. Semua itu pun atas persetujuan sang ibu. Dan Hilda menyetujui ujian yang El berikan pada adiknya agar adik-adiknya tidak manja. kali ini El pun akan memberikan ujian pada adik bungsunya. El memahami, memang Asya sedikit ribet karena dia wanita berbeda dangan Reza yang laki-laki, tapi El tak ingin membeda-bedakan adik-adiknya agar tidak salah paham.
"Bang ... kok ngelamun?" Asya menepuk pundak El.
El terkesiap, segera menoleh ke arah adiknya. "Nanti Abang musyawarahkan dengan Ami. Asya siap-siap saja menerima ujian yang akan Abang berikan jika Asya ingin mobil. Shalat hajat sudah?" El memberi pengertian pada adiknya.
"Abang mah, selalu kasih ujian. Asya kan anak bungsu, Bang. Jadi kasih keringanan dong? Lagian Abang sendiri yang ngajarin Asya, kalau mau tidur shalat taubat sama shalat hajat lebih dulu," jelas sang adik sambil merajuk.
"Sya, Abang enggak mau pilih kasih. Dulu Kak Reza juga begitu. Nanti kalau Kak Reza tau Abang enggak kasih kamu ujian, nanti bisa salah paham dan pecah hati. Ini sudah ketentuan yang Abang dan Ami berikan ketika kalian ingin mendapatkan fasilitas sebelum pada waktunya." El berusaha membuat adiknya paham.
"Bilang saja pingin buktiin sama temen-temen kalau sudah bisa naik mobil," potong Reza.
El dan Asya menoleh ke arah pintu. Reza berdiri di sana dengan sambil menatap Asya mengejek. Asya cemberut mendengar ucapan sang kakak. El menyilangkan tangan di dada menatap garang pada adiknya yang kini berjalan masuk kekamarnya.
"Keluar!" perintah El tegas pada Reza. El tidak mentolerir adik-adiknya masuk kamar seseorang tidak disertai ketukan dan salam, karena itu tidak sopan. Reza selalu kelupaan dan menyeleweng masuk ke kamar siapa saja tanpa ketukan dan salam.
Asya hanya menjulurkan lidahnya singkat kearah Reza. Reza mengakui kesalahannya, lalu segera keluar dari kamar El untuk kembali mengucapkan salam. Ia merutuki kesalahan yang selalu dilakukannya karena lupa. Dengan gontai Reza keluar dari kamar El.
"Sya, kamu kembali kekamarmu, dan ingat pesan Abang jika kamu mau pakai mobil." El memperingatkan adiknya lagi. El sengaja menyuruh Asya keluar karena El tahu, jika Reza dan Asya bergabung dikamarnya, mereka akan berujung saling mengejek. Jadi, lebih baik El memisahkan mereka. Asya pun patuh dan menerima konsekuensinya jika harus menerima ujian terlebih dulu.
"Assalamu'alaikum." Reza mengucapkan salam sembari mengetuk pintu. Dan di saat bersamaan Asya beranjak keluar dari kamar El.
"Wa'alaikumussalam," sahut Asya pada Reza sambil berlalu keluar dari kamar El. "Jangan kebiasaan lupa salam kalau masuk kamar orang," lanjut Asya dan segera berlalu pergi.
Reza pun menghampiri kakaknya dan langsung menerjang ranjang sang kakak.
"Kak, gimana gadis itu?" tanya Reza yang kini tengah berbaring di ranjang El.
El sudah kembali berkutat pada tugasnya. "Gimana apanya?" Sahut El singkat.
"Keadaannya, Kak?" Reza menatap El serius.
"Enggak tau. Kenapa kamu enggak tanya Ami saja?"
Reza beranjak duduk menghadap kakaknya. "Aku takut Ami marah, Kak."
El menghela napas lagi dan kembali berhenti dari tugas-tugasnya. "Marah kenapa?" kini El menatap wajah sang adik yang terlihat risau.
"Aku takut gadis itu bertindak macam-macam setelah sadar."
El menahan tawa. "Kamu terlalu banyak nonton drama Korea. Berpikir positif aja dan yakin sama Allah, semoga semuanya baik-baik saja. Jangan berfikiran yang macam-macam, Za. Lagipula, kita enggak melakukan apa-apa pada gadis itu," jelas El pada sang adik dan berusaha menenangkannya.
Reza mengangguk dan tersenyum hambar. Pikirannya masih menyisakan rasa khawatir. "Kakak beneran mau ngasih Asya mobil? Lebih baik jangan deh, nanti takutnya malah ngelunjak itu anak," protes Reza mengenai adiknya yang meminta fasilitas mobil.
"Keputusan ada ditangan Ami. Kamu enggak usah jelek-jelekin Adik kamu. Pasti Kakak sudah tau aturan-aturan yang akan Kakak berikan jika kalian sudah memakai mobil. Dulu kamu juga begitu. Lagian, kasian Adikmu kalau naik motor terus, terkadang harus dorong motor kalau lagi mogok atau kehabisan bensin. Kamu tau sendirilah Za, kalau lagi kayak gitu. Di tambah lagi kalau lagi musim kayak gini dan Adikmu enggak bawa mantel, dia pasti kehujanan di jalan." El memberi pengertian pada adiknya. Pasti Reza pun dulu mengalami hal yang sama seperti yang di ucapkan El.
"Iya, sih." Reza menyadari ucapan El, karena dia juga mengalami.
Tok ... tok ... tok ...
"Assalamu'alaikum. Bang ... gadis itu sudah sadar!" teriak Asya pada El dari balik pintu kamar El.
"Wa'alaikumussalam. Iya, Abang akan kesana setelah shalat isya." El menyahuti adiknya.
***
Hira mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia memijit pelipisnya yang masih terasa berdenyut. Lalu ia mengedarkan pandangannya mengitari ruangan yang menurutnya asing. Pandangannya tertuju pada Hilda dan Asya menatapnya dengan senyum ramah. Hira segera beranjak duduk, tapi Hilda menahan tubuhnya agar tetap dalam posisi berbaring.
"Apa ada yang sakit?" tanya Hilda.
Hira menggeleng. "Hanya sedikit pusing."
"Apa kamu membutuhkan sesuatu?" tawar Hilda.
Hira kembali menggeleng. "Aku dimana?" tanyanya
Hilda tersenyum. "Kamu ada di rumah kami," jelasnya.
"Assalamu'alaikum," sosok El memasuki kamar tamu dan berdiri di samping Hilda. Reza pun ikut masuk dan berdiri di samping El.
"Wa'alaikumussalam," sahut Hilda dan Asya.
"Bagaimana keadaannya, Mi?" tanya El pelan.
"Dia baik-baik saja, Nak. Mungkin hanya butuh istirahat. Badannya masih agak demam." Hilda kembali menatap Hira.
El mengangguk.
"Perkenalkan. Saya Hilda. Ini El. Ini Reza. Dan ini Asya." Hilda menunjuk putra-putrinya bergantian.
Hira tersenyum getir. "Saya Hira. Maaf sebelumnya, jika saya sudah merepotkan kalian." Hira segera beranjak duduk, tapi Hilda kembali menahannya agar Hira tetap pada posisinya.
"Tidak apa-apa, aku ingin duduk." Hira masih kekeuh ingin duduk. Hilda mengalah dan menyandarkan tubuh Hira pada kepala ranjang dan Hilda menyangga tubuh Hira dengan bantal.
"Kami yang seharusnya minta maaf padamu karena Adikku hampir saja menabrakmu." El angkat suara.
Hira hanya tersenyum ramah. "Tidak, ini semua kesalahan saya karena saya tidak hati-hati ketika menyebrang. Saya sedang ..." Hira menggantungkan kalimatnya karena ia tak mungkin membuka masalahnya pada orang lain.
Hilda mengelus rambut Hira lembut. "Kita saling memaafkan, karena dengan kejadian ini Allah mempertemukan kita."
Hira terenyuh dengan ucapan Hilda. Hira menatap kearah Hilda dan anak-anaknya beegantian dengan senyum ramah.
El, Reza dan Asya tersenyum ramah ketika Hira menatap mereka bergantian.
"Lebih baik, kamu hubungi orang tuamu agar mereka tidak cemas mencarimu." usul El, karena El yakin, orang tua Hira cemas memikirkannya. Apa lagi ini sudah memasuki waktu Isya. Dan El yakin, barang-barang milik gadis itu basah kuyup terutama ponselnya.
"Kalau masih lemas, kamu boleh menginap di sini malam ini." Hilda merasa kasihan pada Hira dan tak mungkin dalam keadaan seperti ini Hira di antarkan pulang. Terlebih kedua putranya yang bertanggung jawab atas kesehatan Hira.
Hira hanya mengangguk dan berterima kasih karena sudah diijinkan menginap di rumah itu.
El meraih ponselnya dari saku dan mengulurkannya pada Hira.
"Kak, gadis itu cantik yah?" celetuk Reza sembari mengamati Hira yang sedang menghubungi keluarganya.
"Astagfirullah, Za. Jaga tuh mata," bisik El pada adiknya.
"Tapi memang bener kan, Kak?" Reza menggoda kakaknya lagi.
El mencubit pinggang adiknya dan memilih tak melayani ucapan konyol adiknya.
***
Jika masih ada typo, mohon maaf.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top