9


Glory tiba-tiba muncul saat hari menjelang sore. Ettore menatap wajah cantik di depannya. Mata itu sembab, seperti habis menangis. Wajahnya juga sangat pucat.

"Mau bicara sesuatu? Saya ada waktu."

Perempuan itu duduk dengan wajah cemas. Menautkan kedua jemarinya.

"Bagaimana rasa sakitnya?"

"Masih sama."

"Kamu mau bicara apa dengan saya?"

"Tentang kesehatan."

"Kamu mau posisi saya sebagai teman atau dokter."

"Teman."

"Bicaralah."

Glory diam sejenak. Hingga akhirnya bicara.

"Saya memiliki masalah dengan menstruasi sejak berusia lima belas tahun. Setiap kali saat itu datang, saya merasa sakit. Awalnya tidak terlalu parah. Karena waktu itu saya dan mama sering mengunjungi dokter. Tapi akhirnya saya bosan minum obat. Tapi sejak dua tahun terakhir mulai berbau dan dalam jumlah banyak. Saya takut."

"Kapan terakhir kali periksa ke dokter?"

"Tiga tahun yang lalu. Saya takut dengan hasilnya."

"Kalau kamu cerita tentang hal seperti ini, sulit bagi saya untuk memposisikan diri sebagai teman. Setidaknya saya akan berbicara sebagai dokter umum."

"Tapi tolong jangan berbicara tentang kemungkinan terburuk. Saya tidak akan siap."

"Saya memang tidak boleh mengatakan itu. Karena bukan seorang dokter ahli dibidang penyakit kandungan. Dokter Obgyn lebih berhak mendiagnosa kamu secara lebih detail. Keluaga kamu sudah tahu?"

"Belum—maksud saya tidak! Apa saya harus mengatakan tentang masalah seperti ini? Orang-orang akan mengasihani saya. Lalu berlomba untuk memeluk. Sementara saya ingin sendiri."

"Kamu belum tahu tentang kebenarannya lalu sudah mendiagnosa sendiri?"

Glory menatap Ettore kesal. Pria di depannya sangat tidak peka tentang perasaannya. "Setidaknya saya sudah membaca banyak literasi tentang ini."

"Apa kamu paham tentang istilah yang ada di dalamnya? Karena setahu saya, buku kedokteran bukanlah bacaan untuk umum. Lagi pula kamu termasuk orang yang tidak suka bacaan serius. Yakin benar-benar membaca? Atau saat itu kamu memiliki emosi tertentu? Ada banyak sekali kata yang membuat kamu harus membuka kamus kedokteran. Itu sangat sulit."

"Kadang juga baca di situs dokter online."

"Saya lebih yakin kamu mendapatkan pengetahuan dari sana. Lalu? Kamu menyimpulkan sendiri?"

"Saya hanya membaca pengalaman orang lain. Dan arahnya—"

"Ya, itu merupakan salah satu sumber informasi yang tepat. Tapi jangan lupa, ada beberapa penyakit yang memiliki gejala sama. Dan kamu tidak bisa memutuskan sebelum memeriksakan diri."

"Apa yang harus saya lakukan pada tahap awal?"

"Mengunjungi dokter, lalu mendengarkan saran yang tepat."

"Bagaimana dengan second opinion?"

"Mulailah dengan yang pertama. Lalu boleh kunjungi dokter kedua lalu ketiga. Jika di dokter kedua jawaban sama, saya rasa memang ada kecenderungan kamu menderita penyakit tersebut. Carilah dokter yang membuat kamu merasa nyaman."

"Saya nyaman dengan anda, dokter."

"Saya Dokter Bedah, bukan Dokter Obgyn. Kamu mau saya buatkan janji?"

"Saya takut."

"Glory, saya mengenal kamu sudah dalam hitungan bulan. Tidak ada yang kamu takutkan. Kamu adalah orang yang paling berani dalam mengambil keputusan. Seorang yang sangat independent. Seseorang yang sanggup menghadapi dan menyelesaikan apapun sendiri. Kenapa hari ini kamu berubah?"

"Karena saya perempuan. Dan dokter tahu saya sangat suka pada bayi dan anak kecil. Saya pernah bermimpi memiliki banyak anak. Yang kelak akan saya ajak bermain, antar ke sekolah, memasak untuk mereka..."

Kini Ettore melihat mata itu mulai berkaca. Bahu itu bergetar hebat. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya. Kali ini Glory seperti tengah mengeluarkan sesak yang selama ini dipendam. "Saya boleh memeluk kamu?"

Glory mengangguk pelan. Satu detik kemudian ia sudah berada dalam pelukan pria itu. Tangisannya terdengar keras.

"Saya selalu memimpikan rumah yang ramai dengan suara anak-anak. Tapi—"

"Saya daftarkan kamu ke Dokter Adrian, ya?"

"Saya takut dengan hasilnya, Dok."

"Semakin cepat diobati akan semakin baik penanganannya. Kalau kamu tunda bisa semakin parah. Jangan khawatir berlebihan sebelum tahu kebenarannya. Kalaupun hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kamu. Tapi tetap lebih baik daripada tidak tahu sama sekali lalu menerka."

"Tapi saya sudah mengalami cukup lama."

"Tidak ada kata terlambat."

"Apakah mereka bisa menjamin rahasia saya?"

"Kami disumpah untuk itu. Kita bisa bicara setelah atau sebelum jam kerjanya selesai."

"Saya tidak ingin didampingi perawat. Mereka suka bergosip."

"Saya yang akan menjadi asisten dokter Adrian untuk kamu."

"Apakah ini akan menyakitkan?"

"Pemeriksaan awal seharusnya tidak."

"Pemeriksaan lanjutan?"

"Bisa jadi. Tergantung pada tindakan yang akan diambil."

Sebuah panggilan terdengar dari ponsel Ettore. Setelah menjawab pria itu berkata.

"Saya sudah harus berada di ruang operasi setelah ini. Kapan kamu siap, kabari saya. Sebaiknya jangan ditunda."

"Tolong rahasiakan dari keluarga saya, Dok."

"Baiklah."

Glory bangkit dengan ragu. Namun saat sudah hampir mencapai pintu Ettore mengingatkan.

"Sebaiknya setelah ini kamu mengganti pakaian."

"Kenapa? Nembus, ya?"

Pria itu hanya mengangguk. Membiarkan Glory setengah berlari meninggalkan ruangannya. Bergegas mengambil tisyu lalu membersihkan bekas tempat duduk gadis itu.

***

Ettore tengah mencuci tangan sebelum memasuki ruang operasi. Pikirannya bercabang kini. Memikirkan kondisi Glory. Meski mencoba untuk tetap berpikir positif. Sebuah tepukan pada pundak membuatnya terkejut. Dokter Dana kini berada dibelakangnya sambil tersenyum menggoda.

"Kenapa dokter seperti seseorang yang sedang bingung? Seharusnya sedang bahagia."

"Jangan asal menebak kamu.

"Dok, saya punya rahasia."

Ettore mendelik. "Jangan lagi bicara gosip dengan saya."

"Ini Bukan tentang gosip. Tadi saya mau mengunjungi ruangan dokter."

Sang senior segera menghentikan kegiatannya lalu menoleh.

"Lain kali kalau mau pelukan, tolong pintunya ditutup, Dok." Ucap sang junior sambil tersenyum puas.

"Itu tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Kalau dokter menemukan saya melakukan itu, apakah pikiran dokter tidak mengarah ke sana? Sementara semua orang tahu kalau saya sedang dekat dengan dia."

Mengabaikan kalimat Dana, Ettore segera masuk ke dalam ruang bedah. Membiarkan perawat memasang sarung tangan dan melakukan prosedur seharusnya. Ia tidka memikirkan perkataan Dana. Karena tahu, bahwa pria itu bisa dipercaya. Ia hanya resah dengan apa yang disampaikan Glory tadi. Hingga kemudian tersentak, saat semua orang disekitarnya sudah siap.

***

Glory kembali berkutat dengan rasa nyeri yang tak juga berhenti. Sampai Ettore muncul di ruangannya. Wajah pria itu terlihat khawatir.

"Ayo, saya antar sekarang."

"Saya takut."

"Ada saya."

Keduanya turun ke lantai satu. Tanpa harus antri segera memasuki ruang periksa. Ettore segera meminta perawat keluar. Dan itu jelas menimbulkan kecurigaan sang perawat. Namun ia tidak ambil peduli. Tadi ia juga sudah mengirim pesan pada Dokter Adrian.

"Dokter Ettore menghubungi saya untuk menunggu anda sore ini. Ada keluhan apa?" ucap Dokter Adrian saat mereka sudah duduk.

"Perut saya sakit sekali kalau sedang menstruasi."

"Apakah hanya dibagian perut?"

"Ada mual juga dan sakit kepala."

"Apakah darahnya banyak?"

"Ya, bisa berganti pembalut sampai enam kali perhari. Dan selalu banyak."

"Ada bau? Maksud saya selain aroma normal?"

"Ada."

Dokter Adrian mengangguk pelan. "Kita USG ya."

Glory mengangguk patuh. Sementara Ettore hanya mendengarkan dengan tekun. Sebagai dokter, ia bisa melihat perubahan raut wajah rekannya. Namun pria itu memilih diam tanpa bertanya. Takut Glory khawatir. Nanti ia berencana membicarakan secara pribadi.

"Mulai menstruasi usia berapa?"

"Sekitar sepuluh tahun, Dok."

"Apakah pernah ada pendarahan di luar jadwal menstruasi?"

"Sering, tapi saya kira karena belum selesai."

"Sering merasa sakit dibagian panggul?"

"Lumayan."

"Sering merasa sakit dibagian perut bawah?"

"Kalau lagi mens saja."

Dokter Adrian menghembuskan nafas kasar. "Maaf Bu Glory, kalau pertanyaan saya sedikit sensitif. Apakah anda pernah berhubungan seks sebelum ini?"

Putri bungsu Wiratama itu segera melotot pada sang dokter. "Saya masih perawan, Dok."

"Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung anda. Tapi ini adalah bagian dari tugas saya."

"Terus saya, kenapa?" suara Glory terdengar tak sabar.

"Berapa lama masa menstruasi anda?"

"Nggak ngitung, sih."

"Sampai sepuluh hari? Atau lebih?"

"Pernah dua minggu."

"Kenapa baru sekarang ke dokter?"

"Takut disuntik."

Kembali Dokter Adrian mengembuskan nafas kesal. Ada raut kecewa pada jawaban Glory. Kembali Dokter Adrian berusaha tersenyum. "Saya akan memberi obat untuk tiga hari. Sekaligus surat pengantar untuk pemeriksaan laboratorium. Saya sarankan anda ke WH saja. Di sana ada professor Randy. Laboratorium juga lebih lengkap."

"Saya baik-baik saja, kan?"

"Baik, ini hanya pemeriksaan rutin yang seharusnya dilakukan oleh setiap wanita. Jangan lupa diminum obatnya."

Glory hanya mengangguk. Diam-diam dibelakangnya Dokter Ettore mengirim pesan pada Dokter Adrian. Meminta waktu bicara secara pribadi setelah nanti Glory pulang.

***

"Bagaimana?" tanya Ettore setelah ia hanya berdua dengan Dokter Adrian.

"Untung tadi dokter sudah chat saya duluan. Saya juga tidak percaya dengan hasilnya. Tapi nanti kita tunggu hasil pemeriksaan lanjutan." Sang dokter memberikan surat pengantar untuk pemeriksaan Laboratorium.

Segera Ettore membaca kolom yang diberi tanda centang di sana. "Bisa seperti ini?"

"Sepertinya sudah lama. Diabaikan begitu saja."

"Tapi usianya baru 23 tahun."

"Kita sama-sama dokter, jadi tahu bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Lihat hasil USGnya? Saya hanya perlu memastikan dengan hasil pemeriksaan lebih lanjut. Karena menyangkut putri dari pemilik rumah sakit ini. Seharusnya saya memberitahukan langsung padanya atau keluarganya.."

"Tidak, biar saya saja. Dia tidak akan bisa menerima."

"Ya, Sebagai kekasih, anda pasti lebih tahu bagaimana cara menyampaikan."

Ettore tidak menjawab, sebagai gantinya ia menatap tajam pada Dokter Adrian. Hingga kemudian sang junior merasa bersalah. Pria itu kemudian bangkit setelah mengucapkan terima kasih. Sendirian ia berjalan menuju lift dilantai 9. Berkali-kali menghembuskan nafas keras. Saat melewati ruang kerja Glory, ia berhenti sejenak. Regina masih di sana.

"Glory sudah pulang, Regina?"

"Belum, Dok."

Pria itu kemudian masuk dan menemukan Glory duduk bersandar di kursinya. "Sudah diminum obatnya?"

"Barusan."

"Pulang saja, lalu istirahat. Tidak usah ke kantor besok. Kamu lemas sekali."

"Apa ini perintah?"

"Ya."

"Sebagai seorang dokter, atau...""

"Maksudnya?"

"Lama-lama dokter nanti bego beneran."

"Lama-lama kamu menggemaskan."

Ada sedikit rona pada wajah Glory.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

221021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top