8
"Mbak, Nin. Baby Luna sudah tidur?" pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Glory saat mengunjungi kakak iparnya sepulang bekerja.
"Sudah, kenapa? Mau bicara sesuatu?"
"Ketahuan banget, ya."
"Ya, kamu berubah-akhir-akhir ini."
"Berubah, bagaimana?"
"Nggak pecicilan dan suka teriak-teriak lagi."
"Masak, sih? Setahuku biasa aja."
"Kamu kayak terkontaminasi sama seseorang. Siapa dia?"
"Pasti pertanyaan titipan Kak Matt. Kayaknya aku jatuh cinta beneran. Di depan dia aku nggak bisa ngomong." jawab Glory sambil memutar kedua bola matanya.
"Dia pasti sangat istimewa."
"Banget mbak."
"Dokter Ettore?"
"Kok tahu?" kali ini teriakan khas itu terdengar kembali.
"Sepertinya kali ini mbak harus mengingatkan kamu. Jangan sampai patah hati. Semua perempuan yang naksir sama dia berakhir dengan sakit hati. Karena dia nggak respon sama sekali."
"Dia... Gay?"
"Nggak tahu juga. Tapi memang tidak pernah terlihat dekat dengan siapapun. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya."
"Mbak sudah lama kenal?"
"Cukup lama. Sejak awal pegang yayasan. Dikenalkan mama."
"Aku kadang bingung. Dia nggak ganteng berlebihan. Tapi kenapa aku tertarik, ya?"
"Karena dia memperlakukan kamu seperti ratu?"
Glory terdiam. "Kadang, kalau lagi nggak sibuk."
"Dia memang begitu. Makanya banyak yang berujung patah hati."
Glory menghembuskan nafas panjang. Benarkah itu?
"Punya tips bagaimana cara mendapatkannya?"
"Kamu yakin suka beneran? Nggak cuma kagum?"
Glory mengangguk tanpa ragu.
"Jadilah diri kamu sendiri. Dan jangan mundur. Tapi hati-hati. Kamu sedang dipantau oleh Om Brandon dan Mas Matthew. Mereka khawatir kalau kamu salah pilih orang."
"Atau karena beda kelas?"
"Bisa jadi. Tapi mbak rasa bukan itu. Terutama masmu, dia tidak pernah menilai orang dari status sosial. Lebih kepada melindungi kamu sebenarnya. Padahal kamu sudah besar. Tapi kenapa suka sama dia, sih? Usia kalian beda jauh banget. Nggak ketuaan?"
Gadis itu segera tertawa sambil berusaha berpikir. "Gimana ya. Dia itu memang ibarat benda tua, Mbak. Antik, tapi terawat."
Jawaban Glory segera membuat Nina tertawa keras. "Kamu kok bisa-bisanya mikir seperti itu?"
"Tapi benar, kan? Buat aku dia itu beda. Orang yang bisa berjalan diatas keinginannya sendiri. Membangun sebuah komunitas yang solid. Dan aku yakin itu nggak mudah. Aku saja sampai sekarang masih bingung mau ngapain."
"Semoga yang kamu rasakan bukan hanya karena kagum."
"Enggak sih. Dia pintar banget. Dan aku suka."
"Baru sekali ini mbak lihat kamu jatuh cinta. Dan Sukanya langsung sama Ettore lagi. Tapi nggak mengherankan sih, pria diusia mereka memang menarik. Mbak juga dulu gitu sama mas kamu. Mereka tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan. Nggak tergesa-gesa, tapi pasti."
"Mbak enak, sejak awal Mas Matthew sudah ketahuan suka. Nah aku, cuma dibaikin doang."
"Berusaha lebih keras lagi dong."
"Sepertinya." Jawab Glory sambil mengedipkan matanya. "Dan jangan panggil aku Glory, kalau nggak bisa mendapatkan dia."
Mereka berdua kembali tertawa.
***
Ettore tengah meneliti status pasien yang akan dioperasi hari ini. Sambil sesekali menatap hasil rontgen. Di sebelahnya ada Dokter Dana yang juga tengah melakukan hal yang sama. Dihadapan mereka berbaring seorang lelaki tua yang memiliki luka cukup parah.
"Apa kaki saya nanti mau diamputasi, Dok?" tanya sang pasien.
"Tidak, Pak. Hanya kami bersihkan lukanya saja."
"Saya takut. Kata orang kalau luka diabetes seperti saya, nanti dipotong."
"Kami tidak akan sembarangan memotong kaki, Pak. Jika harus, itu akan menjadi tindakan terakhir untuk menyelamatkan nyawa pasien. Bapak tenang saja. Supaya kadar gula dan tekanan darahnya normal. Itu akan sangat membantu nanti."
"Terima kasih, Dok. Saya masih ingin bisa ngojek. Kasihan istri, Hanya jualan nasi uduk."
"Kami akan berusaha." jawab Ettore sambil menepuk bahu sang pasien dengan lembut.
Glory yang menatap dari balik kaca hanya tersenyum. Ini adalah pemandangan biasa. Pria yang disukainya terkenal ahli dalam menenangkan pasien. Bahkan anak-anak sekalipun. Ettore bisa mendiamkan tangisan mereka hanya dalam hitungan menit. Hingga kemudian sang dokter menyadari kehadirannya. Bergegas langkah lebar sang pimpinan rumah sakit mendekati.
"Ngapain kamu di situ?"
"Kebetulan lewat. Dan mau nanya pasien."
"Tanya sekarang kalau begitu. Saya punya waktu sekitar lima belas menit."
"Nanti saja. Dokter, makan siang dengan siapa?"
"Akan sedikit terlambat. Kamu makan duluan saja."
Glory segera berlalu. Namun sempat melemparkan tatapan sinis pada Dokter Dana yang tersenyum menggoda. Ia benar-benar tidak suka pada pria tengil itu.
***
Suasana dapur di kediaman Brandon Wiratama tampak lengang. Ini memang sudah bukan jam memasak. Namun Glory yang sejak setengah jam lalu berada di sana masih berkutat dengan beberapa sayuran. Ia tidak pernah makan tahu isi. Sama sekali tidak tahu rasanya. Tapi entahlah, sejak beberapa hari lalu jajanan pinggir jalan itu terasa terus menerus menari di kepalanya. Jelas beberapa bahannya tidak ada di dapur mereka. Karena itu, tadi pagi ia memerintahkan pada seorang asisten untuk membeli. Meski harus melotot karena mendapatkan tatapan tak percaya.
Bagi Glory juga sebenarnya, hal ini terasa aneh. Setelah bertanya pada beberapa orang. Hingga akhirnya merasa sudah menemukan resep terbaik. Tahu isi itu ternyata hanya berisi sayuran tanpa daging sama sekali. Digoreng dengan tepung, tanpa ada tambahan butter ataupun susu. Dengan bumbu dasar tumisan sayur. Kenapa ia jadi membayangkan makanan vegetarian tanpa ada tambahan bawang?
Setelah menonton beberapa video tutorial, gadis itu akhirnya berani mengeksekusi resep. Kali ini ia membuat dua macam. Yang berisi sayuran dan daging. Setidaknya Ettore akan memiliki pilihan untuk mencoba. Seorang asisten yang sejak tadi mendampingi mendapat ijin untuk mencoba pertama kali. Mata perempuan muda itu segera terbelalak.
"Mbak Glory, ini tahu isi paling enak yang pernah saya makan. Bisa juga ya, mbak buat seenak ini."
"Ada kurangnya, nggak?"
"Pas, Mbak. Tinggal ditambah cabe rawit saja."
"Cabenya untuk apa?"
"Ya dimakan dengan tahu."
"Diblender gitu?"
"Bukaaaaan mbak, tapi digigit begitu saja."
"Utuh? Apa nanti nggak kepedesan?"
"Enggak, Mbak. Memang begitu. Di warung-warung di kampung saya makannya begitu. Kalau beli di pinggir jalan juga."
Glory sedikit bergidik. Kemarin ia sudah mencoba membeli. Tapi saat melihat minyak goreng berwarna hitam dipenggorengan. Ia mundur! Makanan ini sama sekali tidak sehat. Lalu bagaimana Ettore bisa tetap santai memakannya?
"Cabenya diletak dimana?"
"Kalau sudah digoreng. Ditusukkan aja dibagian tahu yang terbuka. Biar nempel mbak."
Glory menggoreng sekali lagi. Melakukan sesuai perintah sang asisten. Secara tampilan memang terlihat lebih baik. Akhirnya ia bisa tersenyum lega.
"Terima kasih ya, tampilannya memang jadi lebih cantik. Karena ada warna hijau dari cabe."
"Sama-sama, Mbak."
Selesai memasukkan semua kembali ke dalam kulkas, Glory ke luar dari dapur. Perutnya terasa mulai melilit. Sesuatu yang sebenarnya sudah ia tahan sejak tadi. Sebuah pertanda kalau tamu bulanannya akan datang.
***
Ettore tengah mencuci tangan ketika Dana menghampiri.
"Hari ini akan ada berapa pasien, Dok?"
"Tiga. Kenapa?"
"Wow, lumayan."
"Kenapa kamu kelihatan senang?"
"Bekerja di sini membuat saya merasa aman tanpa tekanan."
Ettore hanya menggeleng kepala.
"Saya dengar gossip tentang dokter." Bisik Dokter Dana.
"Saya!?" pria itu segera menunjuk dirinya sendiri.
Dana mengangguk. "Dokter dan Glory pacaran?"
"Tidak! Gossip dari mana?"
"Semua orang di rumah sakit ini membicarakannya."
"Saya sama sekali tidak tahu tentang itu. Bagi saya dia seperti pekerja magang yang harus mendapatkan bimbingan."
"Yakin?"
"Kenapa, tidak?"
"Kalau saya naksir dia, bagaimana?"
"Silahkan, selama dia juga mau."
Dana berhenti sejenak. Menatap wajah sang dokter yang benar-benar datar. Tidak ada kesal atau kecewa terlihat di sana. Semua biasa saja. Benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran atasannya.
"Dokter nggak akan patah hati?"
"Tidak! Buat saya dia adalah seorang adik yang harus dijaga. Orang tuanya menitipkan pada saya."
"Sepertinya dokter harus belajar lebih banyak tentang perempuan." Dana kemudian meninggalkan Ettore sendirian.
Sang senior menatap punggung juniornya tidak mengerti. Sedikit merasa aneh. Kenapa Dana menyampaikan ini? Apakah memang karena pria itu menyukai Glory? Kalau seperti itu, kenapa seolah meminta ijinnya? Baginya gadis itu tak lebih dari seorang anak muda yang belum menemukan tujuan. Tugasnyalah untuk membimbing agar kelak tidak tersesat dan salah jalan. Lagi pula hubungan mereka selama ini hanyalah sebagai rekan kerja. Tidak lebih!
***
Glory tengah mencoba membaca sebuah buku, atas anjuran Ettore. Tapi tetap merasa sulit untuk berkonsentrasi. Entahlah sejak dulu ia paling benci membaca. Meski saat kecil senang membaca dongeng dan komik. Tapi bukan tentang hal serius. Sibuk membolak balik buku tanpa tertarik membaca satu halaman pun. Membuatnya kesal.
Perlahan gadis itu kembali meringis memegangi perut. Rasa nyeri benar-benar tidak tertahankan lagi. Ini adalah hal rutin saat akan datang bulan. Ia menganggap semua sangat biasa. Karena sudah mengalami sejak remaja. Juga tidak memberitahu pada siapapun. Karena malas dengan kehebohan dikeluarga besar. Lagi pula ia malas disuntik.
Sambil berusaha mengurangi rasa mual, Glory melangkah menuju kamar mandi untuk mengganti pembalut. Seharusnya tadi tidak usah masuk kantor. Lebih baik tidur saja di rumah seperti saat-saat sebelumnya. Tidak akan ada yang memarahinya. Selesai dari kamar mandi, ia menuju sofa. Memilih berbaring sebentar. Meraih bantal kursi untuk mengganjal perut. Rasanya sedikit lumayan. Bukan ia tak menyadari kondisi akhir-akhir ini. Perutnya semakin membesar. Meski berat badan justru turun. Glory sangat takut.
Bagaimana kalau yang ditakutkannya terjadi? Ia tidak akan punya kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Dokter Ettore tidak akan mau padanya. Lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya? Ia masih berbaring saat seseorang yang selama ini diimpikannya muncul.
"Kamu, kenapa?"
"Sakit perut. Biasa mau mens." jawabnya lemah.
"Mau kompres air hangat? Supaya kamu lebih nyaman?"
Glory hanya mengangguk. Pintu kembali tertutup. Tak lama sang dokter kembali lalu duduk sampingnya. Pada bagian sofa yang masih kosong Menatap penuh rasa kasihan. Menyerahkan kantong karet yang sudah berisi air hangat. Kemudian meletakkan pada perut Glory.
"Mau saya antar ke Obgyn?"
"Nggak usah, Dok. Nanti juga baikan."
"Sudah lama begini?"
Glory mengangguk.
"Sebaiknya kalau mau periksa ke WH saja. Di sana peralatan lebih lengkap."
"Saya baik-baik saja. Nanti juga berhenti."
"Berapa lama biasa sakitnya?"
"Kadang sepanjang waktu mens."
"Darahnya banyak?"
Glory mengangguk.
"Seharusnya kamu tidak usah ke kantor. Istirahat di rumah saja. Kamu juga pucat sekali."
"Saya sudah sering begini. Santai saja."
Kali ini Ettore mengerenyitkan kening. "Saya sarankan kamu ke Obgyn. Nanti saya antar. Oh ya, terima kasih atas tahu isinya. Enak sekali."
Untuk pertama kalinya, Glory tersenyum hari ini. Kalimat itu sudah cukup membuat mood-nya membaik.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
191021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top