7
"Cake-nya beneran enak. Terima kasih, Bu Glory."
"Panggil nama saja." Glory mencoba untuk tetap menjawab sopan. Meski dalam hati kesal pada pria tengil yang sama sekali tidak memiliki tampang seorang dokter itu. Bagaimana bisa Ettore percaya padanya? Tapi lumayanlah dari pemilihan outfitnya. Jelas sepatunya jauh lebih mahal dari pada milik Ettore. Juga jam tangan yang terpampang dipergelangan tangan kiri.
"Kamu punya satu ruangan di lantai 1 untuk konsul pasien. Jadi tidak perlu ke lantai sepuluh untuk beristirahat. Nanti kontrak dan sebagainya akan saya minta disiapkan oleh bagian admin."
"Baiklah, saya sudah tidak sabar menunggu bekerja. Glory kantornya di mana?"
"Di sebelah ruangan Dokter Ettore."
Pria itu hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. Entahlah Glory merasa ada sesuatu yang tengah direncanakan pria yang baru datang itu.
"Pernah bertugas di mana saja, Dokter Dana?"
"Keluarga saya memiliki sebuah rumah sakit. Dulu saya sering ikut program Dokter Ettore. Kami ke daerah bareng-bareng. Masih jamannya Dokter Akandra dan Doktr Lyona. Waktu itu saya belum lama selesai. Oh ya, Dokter Lyona tidak kembali bekerja, Dok?"
"Waktu itu dia pernah bertanya pada saya. Apakah ada posisi untuknya. Tapi kemungkinan masih menunggu ijin suaminya."
"Yah, dia sudah memiliki 3 orang anak. Masih kecil-kecil, ya,"
"Kamu tahu dari mana?"
"Pernah bertemu di sebuah pesta. Tiga bulan lalu kalau tidak salah."
Ettore hanya mengangguk namun tidak menanggapi. Lebih suka menikmati cake yang akhir-akhir ini selalu dirindukannya. Tanpa tahu bahwa hati Glory sudah panas membara.
***
Ettore tengah melangkah terburu-buru ke luar dari ruangannya saat hampir bertabrakan dengan Glory.
"Dokter mau ke mana?"
"WH, tiba-tiba dipanggil rapat oleh Pak Matthew."
"Bareng saya saja kalau begitu."
"Ayo." Ettore bergegas menuju lift untuk turun ke lantai satu. Namun Glory segera menarik tangannya.
"Lewat lift saya saja. Lama nanti kalau di sana."
Bergegas keduanya memasuki ruang kerja gadis itu. Glory segera menekan tombol untuk naik ke roof top.
"Kenapa ke atas?" Ettore hampir berteriak.
"Kita naik heli. Tadi saya malas bawa mobil. Banyak banjir. Dokter pernah naik heli, kan?" tanya gadis itu dengan santai saat melihat lawan bicaranya yang terdiam.
Keduanya segera menuju heli yang sudah terparkir sempurna di heli pad.
"Ya, pernah. Yakin kamu yang akan—
"Dokter nggak percaya sama saya? Menganggap bahwa saya tidak tahu apa-apa?"
"Saya yakin. Hanya saja sedikit surprise. Karena merasa bahwa ini bukan bidang kamu."
"Saya bersertifikat dok. Meski Kak Matthew lebih ahli. Dia bahkan boleh bawa pesawat. Ayo, dipasang belt-nya."
Dengan santai Glory menyalakan beberapa tombol instrument lalu menghubungi menara pengawas. Heli perlahan naik dan akhirnya terbang dengan sempurna.
"Nggak usah takut, saya tidak punya keinginan mencelakakan kita berdua."
"Bukan takut, hanya saja kagum dengan kemampuan kamu."
Adik sepupu kesayangan Matthew Wiratama itu tertawa kecil. Akhirnya ada keahliannya yang bisa membuat seorang Ettore terkesima. Saat posisi heli sudah stabil, kembali Glory bertanya.
"Kenal Dokter Dana di mana, Dok?"
"Waktu saya sering ke daerah. Kenapa? Kamu naksir?"
Glory hanya melirik sekilas. Namun wajahnya segera cemberut, karena sangat tidak suka dengan kalimat itu.
"Waktu itu saya mendengar nama Dinda. Siapa?"
"Adik sepupunya Dana. Tapi tidak tinggal di sini."
"Kekasih dokter?"
"Saya?!" Ettore menunjuk ke dirinya sendiri. "Bukan. Cuma kenal sekilas. Dana memperkenalkan kami dulu. Kamu mau kenal?"
"Nggak kepingin kenal."
"Untuk apa bertanya tentangnya?"
"Penasaran aja sama pacar dokter. Kira-kira orangnya yang mana."
Ettore kini benar-benar bingung dibuat Glory.
"Saya belum punya pacar, Glory."
"Waktu itu katanya sudah. Saya masih ingat lho."
"Kamu seperti orang yang sedang cemburu. Lalu kamu ngapain ke WH?"
"Kelihatan banget ya, setahu saya dokter bukan tipe orang yang suka memperhatikan orang lain. Mbak Nina mau melahirkan. Saya mau menemani."
"Hanya untuk itu? Saya kira ada hal penting tadi."
"Nggak ada. Selain itu cuma nganterin dokter."
"Boleh saya tanya sesuatu ke kamu?"
"Ya, silahkan."
"Kamu betah bekerja di SH?"
"Nggak tahu. Tapi saya suka ikut dokter saat berkunjung ke berbagai tempat. Menyesal kenapa dulu tidak kuliah kedokteran. Ternyata bidang ini menarik juga. Kecuali saat melihat darah dan jarum suntik."
"Kamu sangat beruntung. Kenapa tidak memanfaatkan apa yang kamu miliki untuk bisa berbuat lebih?"
"Keluarga saya tidak akan mengijinkan. Dok. Bagi mereka bisnis adalah tujuan hidup. Dan tidak ingin apa yang sudah dirintis oleh kakek buyut saya berhenti pada generasi kami. Sayangnya, saya sama sekali tidak tertarik pada bisnis. Kalau Dokter?"
"Sejak dulu saya ingin menjadi dokter. Kalau tidak bisa, jadi perawat saja. Karena tugasnya hampir sama. Ilmunya saja yang membedakan."
"Apa yang sudah dokter dapatkan?"
"Kepuasan batin. Dan itu tidak ternilai dengan uang."
"Seperti waktu menemukan Tissa dan mengusahakan agar ia bisa mendengar?"
"Ya, usia saya mungkin tidak lama. Sebagai manusia kita akan mati. Tapi, jika apa yang saya lakukan bisa berguna dan memperbaiki kualitas hidup orang lain. Saya sudah akan senang."
"Dokter sangat religius."
"Sekadar bersyukur dan memohon berkat setiap hari. Menikmati apa yang sudah diberi. Lalu melakukan apa yang sudah diperintahkan."
"Are you happy?"
"Yes, I am."
"Suatu saat saya ingin seperti dokter."
"Saya akan sangat senang. Bila saat itu tiba dan masih bisa bertemu kamu."
"Dokter pernah jatuh cinta?"
"Pernah. Kamu?"
"Baru kali ini."
"Kamu pasti bahagia."
"Ya, kalau ketemu dia."
"Tapi kenapa sepertinya kamu malah punya beban?"
"Di depan dia saya seperti tidak memiliki suara. Atau mungkin karena dia tidak menyadari perasaan saya."
"Kalau begitu kamu harus mengatakannya."
"Takut ditolak. Fansnya banyak."
"Laki-laki itu pasti sangat spesial. Sehingga kamu bisa suka."
Glory hanya mengangguk. Dan kini heli yang mereka tumpangi sudah bersiap untuk landing di atap WH. Percakapan terhenti karena gadis itu tengah bersiap-siap.
***
Tiga bulan kemudian di Lorong sempit Sudargo Hospital.
Sekelompok orang yang sedang beristirahat siang di tangga darurat membuat kelompok.
"Dokter Ettore dengan Bu Glory bener pacaran?"
"Dengar-dengar sih begitu."
"Iya, hampir tiap hari gue lihat mereka jalan bareng. Bu Glory antar makan siang ke ruang Dokter. Dan mereka makan siang bersama. Pintunya memang dibuka. Tapi siapa yang berani mengintip direktur medis dan yang punya rumah sakit lagi kencan."
"Kemarin waktu Dokter jogging sore. Mereka turun bareng. Bu Glory nunggu di dalam mobil. Begitu selesai dokter langsung mendekati mobilnya. Pintu dibuka, mereka ngobrol sebentar baru, deh, Bu Glo pergi."
"Waktu itu pernah, Pak Dokter kunjungan ke desa. Seharian Bu Glo bete berat. Mbak Regina kena omel melulu. Belum lagi dia ke luar ruangan dengan muka ditekuk. Lo bayangin, sehari aja nggak lihat muka dokter, dia langsung kecarian."
"Gue penasaran. Bener! Tapi menurut lo, yang ngejar, Pak Dokter atau Bu Glo."
"Bu Glory sih. Pak Dokter kayaknya biasa aja. Selama ini yang nyamperin, siapa? Si ibu, kan?"
"Iya, juga sih."
"Padahal di rumah sakit ini banyak yang naksir Dokter Ettore. Ada Dokter Lidya, Dokter Intan. Belum lagi perawat dan bidan. Tapi siapa yang berani mendekat kalau ada perempuan cantik yang selalu nempel."
"Menurut lo, Bu Glory cantik? Menurut gue biasa aja. Cuma karena putih dan anak orang kaya. Lagian kayaknya cuma dia di sini yang nggak punya kerjaan."
"Ada kerjaan dia. Ngikutin dan ngawasin Dokter Ettore."
Semua tertawa keras.
"Gue pernah, Pak Dokter lagi operasi. Bu Glory ngelihatin dari ruang kaca diatas. Nungguin sampai Pak Dokter ke luar. Padahal lama banget dokter di sana. Dan dia cuma diam doang di situ."
"Gila memang kalau menurut gue, sih. Ini bakalan jadi bahan berita. Ada crazy rich yang lagi ngejar crazy poor."
"Jangan begitu, Dokter Ettore juga nggak miskin-miskin amat. Meski setahu gue dia tinggal di perumnas yang rumahnya sempit banget. Itu juga bersatu dengan klinik ibunya. Nasib baik aja dia bisa dipercaya keluarga Wiratama."
"Rumah dia boleh di perumnas. Tapi lo lihat prestasi dia. Jangan dilihat dari background-nya, dong. Pengalamannya sampai ke Afrika harus dipertimbangkan. Sirik jangan dipiara."
"Bukan sirik, nyet. Pakai pelet apa dia buat menarik perhatian Bu Glory."
"Buat gue yang perempuan, memang nggak sulit untuk jatuh cinta pada Dokter Ettore. Orangnya ramah, peduli dan profesional. Kalau salah, mau minta maaf dan kalau benar juga nggak menyalahkan orang lain. Perhatian, penyayang, religius. Kayaknya dia paket komplet. Kecuali satu hal. Dia nggak lahir dari keluarga kaya."
"Gue penasaran dengan akhir hubungan mereka nanti. Pasti ditentang keluarga Wiratama. Tahu sendiri bagaimana standar mereka untuk menerima menantu. Kalau sampai mereka tahu, Dokter Ettore harus siap-siap untuk dikeluarkan secara tidak hormat dari sini."
"Bisa jadi! Siapa yang berani melawan mereka? Nggak ada! Tapi masalahnya sekarang kelihatan banget. Yang ngejar itu si perempuan Wiratama. Sementara Pak Dokter kelihatan cuek aja."
"Kalau mereka bener jadian, akan ada hari patah hati di rumah sakit ini."
Yang lain tertawa keras.
***
Brandon merebahkan tubuh di samping istrinya Ester. Menatap perempuan yang sudah lebih dari seperempat abad mendampingi.
"Kamu, kenapa?"
"Aku mendengar kabar tak sedap dari rumah sakit. Tentang Glory."
"Dia membuat masalah lagi?"
"Kamu tahu Dokter Ettore? Glory mengejarnya."
Ester menghembuskan nafas kesal. "Dia putri bungsu kita. Dan sampai sekarang aku tidak pernah mampu memahaminya. Sudah bicara dengan Matt?"
"Aku mendapat kabar ini dari Matt."
"Sudah sampai tahap, apa? Bagaimana tanggapan Dokter Ettore?"
"Mencari waktu untuk bertemu secara terang-terangan. Makan siang berdua. Menunggui dokter itu bekerja. Pada awalnya aku memang meminta Ettore secara khusus untuk membimbingnya. Entah bagaimana dengan dokter itu."
"Lalu pekerjaannya?"
"Menurut Matt, dia memang sudah mulai bertanggung jawab. Tahu tentang keadaan rumah sakit. Kalau ditanya juga nyambung. Setidaknya memang Ettore memberikan pengaruh baik. Tapi kita jelas tidak menginginkan lebih dari itu."
"Aku selalu kehabisan kata-kata kalau sudah menyangkut Glory. Dia selalu melakukan hal yang tidak kita harapkan. Ingat ketika dia memutuskan kuliah di sini? Lebih sering berada di dapur daripada di kampus. Aku tidak tahu bagaimana lagi cara menasehatinya. Bicaralah dengan Matt, siapa tahu dia bisa membantu."
"Akan kuusahakan. Tapi sebelumnya akan bicara dengan Glory terlebih dahulu. Untuk lebih jelasnya. Meski sebenarnya tidak akan asap jika tidak ada api."
"Kuharap ia tahu akan batasannya."
"Semoga."
***
Happy reading
Selamat malam minggu
Maaf untuk typo
161021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top