6


Pukul delapan malam pekerjaan mereka selesai. Ettore menatap Glory yang terlihat sangat kelelahan. Meski yakin, penyebabnya hanya karena bosan menunggu. Janji dua jam itu akhirnya menjadi tiga jam lebih. Karena bagi masyarakat sekitar, kedatangan Ettore adalah sebuah keajaiban sekarang. Sehingga banyak yang berobat. Belum lagi beberapa ibu yang sukarela mengantarkan gorengan sebagai pengganjal perut. Untuk yang terakhir, Glory enggan mencicipi. Meski tetap mampu tersenyum manis pada sang pemberi. Berbeda dengan pujaan hatinya yang dengan santai melahap empat buah tahu isi dalam sekejap.

"Saya pulang naik gojek saja, kamu sudah ngantuk." ujar Ettore saat membereskan tasnya.

"Kenapa tidak saya antar saja?"

"Sudah malam. Kamu pasti capek sekali."

"Sekalian aja."

"Baiklah." Pria itu tak ingin berdebat. Karena putri dari kerajaan Wiratama pasti akan menang. Keduanya memasuki mobil. Kali ini tak banyak pertanyaan yang keluar dari bibir Glory. Hanya menatap dari samping sang dokter yang memejamkan mata. Membuat tangannya gatal untuk mengelus rambut tebal tersebut. Namun tetap menahan diri, Glory, kamu harus berkelas di depan dokter ini. Hingga akhirnya mobil tiba di depan rumah sederhana milik Ettore.

"Kamu mau mampir?"

Terdengar suara serak nan seksi Ettore. Wajah itu terlihat letih. Awalnya gadis itu tampak ragu, namun akhirnya mengangguk pelan. Sebenarnya lebih pada rasa penasaran. Seperti biasa, ibu yang membukakan pintu. Dan segera terkejut saat melihat ada seorang gadis cantik di sana.

"Bu kenalkan rekan kerjaku."

"Nama saya Glory, Bu."

"Dia putri Pak Brandon Wiratama bu."

Bu Asih mengulurkan tangannya sambil tersenyum tulus. Namun jelas ada rasa kecewa. Karena pada awalnya mengira bahwa gadis itu adalah kekasih putranya. Tapi begitu mendengar nama belakang gadis itu, perempuan paruh baya tersebut merasa bahwa harapannya tadi tidak mungkin.

"Mari masuk Glory. Oh ya, kalian sudah makan?"

"Belum, ibu masak apa?" jawab Ettore.

"Sayur lodeh sama pepes ati ampela kesukaan kamu."

"Enak, nih. Aku mandi dulu bu. Glory kamu duduk dulu."

Pria itu segera memasuki kamar lalu kembali ke luar dengan handuk di bahu melangkah ke arah belakang.

"Ibu siapkan dulu, Glory di sini saja."

"Apa saya boleh ikut ke belakang, Bu?"

"Ayo kalau begitu."

Glory melangkah mengikuti sang ibu. Dapur terlihat sempit namun rapi dan bersih. Ibu segera menghangatkan sayur. Sementara guyuran air dari kamar mandi terdengar keras. Glory sedikit membayangkan tubuh sang dokter yang basah. Namun segera melenyapkan karena takut ketahuan.

"Glory pernah masak?"

"Kebetulan saya suka masak bu."

"Oh ya? Ettore suka makan. Tapi beruntung dia tidak terlalu mudah gemuk. Kalau di rumah selalu cari camilan. Suka kerupuk dan tahu isi. Kalau ada dua makanan itu, sudah pasti dia yang menghabiskan."

Kerupuk ... tahu isi ... kerupuk... tahu isi. I got it!

Ibu kemudian mengeluarkan cobek. Lalu mengulek cabai, bawang, dan tomat dalam jumlah banyak. Kemudian menyiram dengan minyak panas.

"Ini sambal kesukaan Ettore. Ibu selalu buat kalau dia mau makan."

"Itu kalau di blender saja tidak bisa bu?"

"Kurang enak. Kamu tidak pernah mengulek?"

Glory menggeleng cepat. Lagi pula ia tidak pernah bersentuhan dengan masakan tradisional Indonesia. Jadi kenapa harus mengulek? Pintu kamar mandi terbuka. Ettore ke luar mengenakan celana training dan kaos yang membentuk tubuhnya. Membuat Glory kembali menahan nafas. Aroma sabun masih menguar. Mereka kemudian makan bersama. Dan kembali Ettore yang memimpin doa.

***

"Ibu mau bicara sesuatu, kamu ada waktu?" Kalimat ibu adalah perintah yang harus dilaksanakan oleh sang putra. Meski tubuhnya terasa letih sekali.

"Ya, aku akan mendengarkan."

"Sepertinya gadis itu suka padamu."

Pria itu tertawa. "Glory, maksud ibu? Nggaklah, dia cuma lagi nggak ada kerjaan. Jadi ikut aku tadi ke klinik."

"Mata tidak bisa berbohong, Mas."

"Tidak, dan aku tidak berencana suka padanya. Kami hanya rekan kerja."

"Kalau begitu jangan memberi harapan."

"Aku tidak memberi harapan apapun."

"Jauhi dia."

"Kenapa?"

"Kita tidak sepadan dengannya. Lagi pula dia tidak cocok denganmu. Terlalu manja."

"Ibu mikirnya kejauhan. Tidak akan terjadi apa-apa."

"Kita mengenal keluarganya. Mereka bisa membeli apa dan siapa saja." Suara ibu terdengar semakin khawatir.

"Maksud ibu, mereka memilihku karena Glory?"

"Ibu tidak tahu, hanya ingin memperingatkan kamu. Jangan terlalu jauh. Ibu takut kamu yang tersakiti nanti."

Ettore memeluk lalu mengecup kening ibunya. " Dia anak bungsu di keluarga Wiratama. Orang tuanya menitipkan padaku agar membimbingnya. Dia memang manja, tidak pernah bekerja. Mungkin tidak perlu bekerja, adalah kata yang lebih tepat. Mereka memiliki semuanya. Aku hanya menjalankan tugas, tidak lebih."

"Berhati-hatilah. Jangan lupa nasehat ibu tadi."

"Baik bu."

***

"Kenapa pulang terlalu lama?" tanya Brandon saat Glory tiba di rumah pukul sebelas malam.

"Ikut Dokter Ettore ke klinik di tempat kumuh."

Seluruh keluarga yang berkumpul mengerenyit kening tanda tak percaya. Ada apa dengan si putri bungsu?

"Kamu yakin nggak bohong sama papi?"

"Enggak. Di kantor aku di suruh baca buku tebal. Karena malas akhirnya aku ikut dia kerja."

"Di sana bukan rumah sakit, kan?"

"Dia ngasih tahu aku secara langsung. Bagaimana kriteria seseorang bisa dirawat di rumah sakit."

Gauri mengerenyit kening. Sang kakak yang memang sedang menginap semalam di Jakarta tak percaya. Kalau adiknya bisa mengatakan itu. Seorang Glory tidak pernah seperti ini. Setelah sang adik berlalu, ia segera bertanya.

"Papi yakin dia baik-baik saja?"

"Papi juga bingung. Seharusnya dia tidak melangkah terlalu jauh. Sebentar, papi hubungi Dokter Ettore." Segera pria itu meraih ponselnya.

"Sudah malam, Pi. Besok saja. Aku sebenarnya senang kalau perubahan itu memberi positive vibes untuk Glory. Tidak masalah. Papi yang bilang kalau dokter itu baik, kan?"

"Semoga adikmu tidak membuat masalah setelah ini. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dia rencanakan."

Gauri mengangguk setuju. Karena baginya Glory selalu ajaib.

***

Suasana rumah sakit terlihat sangat ramai pada saat memasuki bulan kedua. Pasien rujukan semakin banyak datang. Apalagi Ettore membuka kerjasama dengan beberapa kelompok pemerhati kesehatan. Yang selama ini melakukan open donation di beberapa media sosial. Membantu banyak kaum kurang mampu untuk mendapatkan kesembuhan.

Ettore tengah meneliti beberapa kasus yang akan berujung di ruang operasi. Saat pintu diketuk pelan.

"Masuk!" perintahnya.

"Pagi, Dok."

Pria itu menoleh, dan terkejut saat melihat seseorang berdiri di sana. "Dokter Dana!"

Segera Ettore memeluk Dana dengan erat. Salah seorang yang sangat dipercaya ketika masih aktif dulu. Ia sudah menawarkan beberapa bulan lalu untuk bergabung. Hanya saja Dana masih menolak. Dengan alasan belum ada yang menggantikan di rumah sakit milik keluarganya. Dana adalah dokter spesialis bedah ortopedi.

"Senang bertemu dokter lagi."

"Akhirnya kamu bisa bergabung."

Pria berusia 34 tahun itu segera memasuki ruangan. Lalu duduk di hadapan Ettore setelah saing berpelukan dan berjabat tangan. "Saya hampir tidak percaya kalau akhirnya Dokter bisa duduk di belakang meja dan berada di rumah sakit seharian. Teringat dulu, nyari dokter saja susah sekali. Saya kira masih di tenda, ternyata sudah sampai di desa lain."

Keduanya tertawa lebar.

"Sesuai kebutuhan sebenarnya. Tapi jujur saya rindu dengan kebebasan dulu. Kita bisa menyentuh daerah manapun sesuai kebutuhan. Sekarang saya lebih banyak dibalik layar sebenarnya. Karena kami memiliki tim untuk memverifikasi pasien masuk. Jadi saya seperti berada di dua tempat. Beruntung kamu datang, jadi kita bisa berbagi tugas."

"Karena itu saya datang, Dok. Tapi tetap tidak menutup kemungkinan, suatu saat akan kembali karena rindu."

"Jangan khawatir, kami punya program rutin untuk itu. By the way, kenapa lama sekali baru datang?"

"Menunggu kedua adik saya sudah pada posisi aman. Oh ya, ada salam dari Dinda."

Ettore tertawa lebar. "Bagaimana dia sekarang?"

"Sehat da masih sendirian. Kadang kami sekeluarga bingung. Kenapa perempuan yang cantik sempurna malah susah cari pasangan. Dan kebetulan saya akan tinggal di rumahnya. Kasihan Tante Nandhita tidak ada yang menemani."

"Dinda?"

"Pekerjaan membuatnya jarang pulang ke rumah. Tahu sendirilah kalau karyawan di McKinsey & Company."

"Yang saya ingat, dia pintar sekali."

"Makanya jodohnya susah."

Pembicaraan terhenti saat Glory masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis itu segera menahan langkah, menyadari ada seseorang di dalam.

"Sorry, biasanya tidak ada tamu."

"Kenalkan, ini Dokter Dana yang kemarin saya ceritakan. Dana, ini Glory, perwakilan dari keluarga Wiratama."

Keduanya segera bersalaman. Saling menyebut nama masing-masing.

"Dok, saya mau antar cake."

"Oh, terima kasih. Kebetulan ada Dokter Dana. Kamu harus coba kue buatan dia. Enak sekali." Ettore segera menuju meja dimana coffe maker berada.

"Glory mau saya buatkan kopi juga?"

"Nggak usah, mau ke ruangan aja, Dok. Nanti kalau sudah kosong kabari, ya,"

"Di sini saja dulu. Kamu tidak punya pekerjaan, kan? Sekalian kenalan dengan Dokter Dana. Dia adalah salah seorang yang selalu saya andalkan. Dan selain dokter, dia juga atlet Anggar nasional." ujar pria itu segera memotong cake yang dibawakan Glory.

"Sebelum lupa, sampaikan salam saya untuk Tante Nandhita dan Dinda."

"Kalau Dinda pulang ke Jakarta saya akan bawa dia ke sini. Supaya kalian bertemu. Siapa tahu jodoh, dan dokter bisa jadi adik ipar saya."

Kedua pria lajang itu tertawa. Tanpa satupun bisa melihat perubahan pada wajah Glory.

"Saya belum kepikiran untuk menikah. Masih ada beberapa target yang harus dicapai."

"Tapi dokter tambah putih semenjak bertugas di sini."

"Bagaimana nggak putih? Saya jarang kena matahari sekarang. Kalau dulu kita harus bekerja di bawah terpal. Kadang malah di alam terbuka kalau tenda belum terpasang sementara pasien sudah menunggu lama."

"Ya, pengalaman yang akan selalu saya ingat, Dok. Menyenangkan sekali mengenang masa itu. Makan mie instant sepanjang hari karena bahan makanan terlambat datang."

"Ya, dan pulang sambil ditangisi puluhan warga."

Keduanya tertawa keras. Kopi datang, mereka segera memakan cake.

***

Happy reading

maaf untuk typo

131021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top