3


Ettore kembali memasuki ruang kerjanya. Setelah seharian berkeliling rumah sakit. Besok adalah acara peresmian. Selama ini yang baru dibuka hanya klinik, yang setelah ini akan difungsikan sebagai IGD. Tubuhnya letih hingga akhirnya memilih berbaring di sofa. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Ia baru saja selesai bertemu dengan para petugas security. Menjelaskan tentang standar di rumah sakit. Memastikan bahwa semua akan berjalan sesuai SOP.

Ini adalah mimpi sejak dulu. Tapi jelas ia tidak akan mampu membangun rumah sakit sendiri. Itulah alasan hingga akhirnya menerima tawaran keluarga Wiratama. Setelah selama tiga bulan ini memastikan niat mereka. Bukan sekali dua ia dibohongi oleh pihak donatur. Yang di hadapan orang banyak menjanjikan bantuan sedemikian besar. Namun pada akhirnya tidak sampai memberi sepuluh persen dari angka yang dijanjikan.

Mulai besok, tempat ini akan ramai. Bagian luar rumah sakit pasti diisi oleh jejeran warung makan. Hingga pada malam hari, ia takkan kesulitan membeli makanan saat harus bekerja. Meski berada dalam ruangan bukanlah tujuannya, tapi Ettore yakin akan menikmati pekerjaannya kali ini. Perlahan pria itu meraih jaket yang ada dibahu kursi. Ia harus pulang lalu kembali besok pagi. Sedikit menyesal karena tidak sekalian membawa perlengkapan dan menginap di sini saja. Perlahan langkahnya menuju lift yang sepi. Ditekannya angka 1. Dia sendirian kini. Sesampai di bawah, beberapa orang security yang tengah bertugas menyapa.

"Selamat malam, Dok."

"Malam, saya pulang dulu."

Perlahan Ettore menaiki motornya. Udara cukup dingin. Berpikir seandainya tadi membawa mobil. Usianya sudah empat puluh. Stamina tidak seperti dulu lagi. Setidaknya harus lebih berjaga-jaga. Tidak lucu kalau nanti dialah yang harus menjadi pasien.

***

Memasuki bagian dalam rumah sakit melalui pintu samping. Ettore sedikit lebih lega. Tidak banyak orang di sini. Di depan, para awak media sudah menunggu. Termasuk jaringan televisi milik keluarga Wiratama. Pria itu segera menuju lantai sembilan. Bergegas mengganti pakaian dengan kemeja resmi, dasi dan jas.

Saat hendak turun ia bertemu Glory. Sedikit bersyukur, gadis itu mengenakan gaun yang cukup sopan. Tertutup dibagian atas, dan panjang gaunnya melewati lutut. Mungkin ada yang mengingatkan semalam, pikirnya.

"Mau ke bawah, Dok?"

"Ya, mari,"

Keduanya melangkah menyusuri gang sepi menuju lift. Saat masuk, putri Keluarga Wiratama tersebut berkata.

"Saya sudah meminta papi untuk membangun lift dibagian samping rumah sakit."

Ettore menatap tak percaya. "Bukannya sudah ada beberapa lift di sini? Apa masih kurang?"

"Maksud saya, ingin memiliki privacy. Tidak bergabung dengan yang lain."

"Saya rasa tidak masalah. Paling hanya menunggu sebentar. Lagi pula kalau membangun dibagian samping berarti harus mengubah seluruh dinding yang ada."

"Bukan begitu maksudnya."

"Jadi?"

"Lift tersebut hanya akan beroperasi di lantai 1, 9, 10 dan rooftop."

"Untuk anda sendiri maksudnya?"

Kini gadis itu menatap ke arah lain. Kini ia paham.

"Anda bisa melakukan apapun yang anda sukai. Rumah sakit ini milik anda." Suara Ettore terdengar sedikit kesal.

Tepat selesai mengucapkan kalimat itu, pintu lift terbuka. Ettore segera meninggalkan Glory. Tidak suka dengan yang dilakukan gadis itu. Sang pemilik sudah menunjukkan kekuasaannya. Dan ia sebagai bawahan, bisa apa? Terlalu banyak orang egois dimuka bumi ini. Dan keinginan sang putri mahkota, berada di luar kekuasaannya. Ini bukan tentang pasien. Juga tidak melibatkan dana rumah sakit. Hanya tentang lift yang akan dibangun untuk seorang Glory Wiratama. Karena tidak bersedia bergabung dengan orang lain. Inilah yang tidak disukainya saat harus berada dalam sebuah sistem dimana keluarga sebagai pucuk pimpinan tertinggi.

Kembali pria itu ke luar dari pintu samping hingga akhirnya bergabung dengan para tamu undangan. Bisa dilihat, Menteri Kesehatan sudah berada di sana. Juga para perwakilan dari perusahaan farmasi yang tidak akan melewatkan kesempatan. Para pejabat pemerintah daerah dan yang pasti keluarga besar Wiratama. Ia hanyalah sebutir debu yang kebetulan dipercaya memimpin. Kejadian tadi membuatnya tidak nyaman.

Setelah menyapa seluruh undangan yang dikenal, akhirnya Ettore memilih bergabung dengan beberapa dokter spesialis ternama yang dikenalnya. Mereka membentuk sebuah lingkaran dan berbincang tentang berbagai hal. Hingga kemudian waktunya tiba dan namanya dipanggil. Segera pria itu duduk di sebuah kursi barisan depan. Sejajar dengan Menteri, Gubernur dan Bupati. Acara pemberian kata sambutan terasa membosankan. Karena hanya berisi pujian manis. Yang sebenarnya bagi Ettore sedikit memuakkan. Karena mereka akan memanfaatkan Wiratama pada saat kampanye nanti. Sudah menjadi rahasia umum bisnis dan politik akan selalu berdampingan. Kini pengguntingan pita dilaksanakan. Dan Rumah Sakit Sudargo, resmi dibuka.

***

Acara ramah tamah dilakukan di lantai 10. Setelah para pejabat berkunjung ke seluruh bagian rumah sakit. Kali ini perhatian tertuju pada Ettore. Karena tugasnya untuk menjelaskan pada para tamu tentang fungsi dan kapasitas ruangan. Beberapa pertanyaan dijawab dengan jelas. Termasuk dari Menteri Kesehatan. Pengalaman mengelola rumah sakit darurat dan juga di daerah konflik membuatnya paham tentang seluk beluk rumah sakit.

Selesai makan siang, Ettore kini duduk bersama Bragy, Bryan dan Brandon Wiratama, sang pemilik sesungguhnya. Ia terlihat lebih santai. Sudah melepas dasi dan jas. Hanya mengenakan kemeja biru yang digulung hingga siku. Karena para undangan kehormatan telah pulang.

"Dulu, saya adalah seorang dokter. Tapi akhirnya berhenti saat suami saya kecelakaan." Ujar Sidney Wiratama saat mereka sedang menuangkan kopi.

"Saya baru tahu, Bu." Seperti biasa, Ettore menjawab dengan sopan.

"Ini adalah impian saya dan juga ayah mertua. Rasanya senang sekali saat tahu, kalau rumah sakit ini berhasil berdiri. Tidak hanya untuk mencari keuntungan. Tapi sekaligus berperan untuk membantu masyarakat."

Keduanya kini menuju dinding kaca lalu menatap ke area belakang rumah sakit.

"Kapan program bulanan akan dimulai, Dok?"

"Secepatnya bu. Untuk tahap awal operasi bibir sumbing. Lalu nanti dilanjutkan operasi katarak."

"Apakah nanti akan ada pengobatan masal langsung ke masyarakat?"

"Kita lihat dulu, sampai di mana puskesmas dan pihak pemerintah daerah bergerak. Kita tidak mungkin mengambil alih pekerjaan mereka. Supaya lebih tepat sasaran."

"Harus survey dulu kalau begitu?"

"Ya, tapi biasanya untuk daerah yang sulit dijangkau dan jarang mendapat perhatian. Ke sanalah nanti kita bergerak."

Tak lama Ester Wiratama, istri dari Brandon menghampiri mereka.

"Dok, saya titip Glory."

"Ya, Pak Brandon sudah menyampaikan tadi, Bu."

"Dia anak bungsu di keluarga besar kami. Tidak pernah betah bekerja. Terlalu banyak yang memanjakannya. Dia tidak suka berteman dan berada ditengah kerumunan. Sikapnya nanti mungkin sedikit menyulitkan. Kami berharap, inilah titik balik untuknya agar bisa bergaul lebih luas. Dan mengenal dunia luar sepenuhnya. Saya sedikit kesulitan dalam memahami kemauannya."

"Ya, saya akan berusaha, Bu."

"Satu lagi, tolong paksa dia untuk MCU. Selama ini dia paling susah. Karena takut jarum suntik."

Ettore melihat ada kekhawatiran di sana.

"Akan saya usahakan."

Perbincangan akhirnya selesai. Seluruh tamu pulang. Saat akan ke luar ruang pertemuan ia kembali berpapasan dengan Glory. Mereka berjalan bersisian menuju ruang kerja masing-masing.

"Hai, Dok. Hari yang melelahkan?"

"Ya, tapi kita sudah bisa memulai."

"Saya tidak sabar menunggu besok. Agar bisa melihat rumah sakit ini penuh."

"Saya malah lebih suka melihat rumah sakit ini kosong. Dengan harapan tidak ada orang sakit. Bukan karena manajemen atau perlakuan kita buruk terhadap pasien."

Glory terdiam dan berhenti sejenak. Ettore ikut menunggu hingga kemudian langkah mereka kembali dimulai.

"Iya, sih. Tadi saya tidak melihat keluarga Dokter hadir?"

"Saya memang tidak mengundang siapa-siapa. Lagipula tidak ada sesuatu yang harus dilihat, bukan?"

"Biasanya orang terdekat akan hadir di sebuah acara penting, Dok."

"Ibu saya punya kesibukan sendiri. Nanti juga saya akan cerita setelah sampai di rumah."

Glory mengangguk pelan. Ingin bertanya lebih jauh tapi tidak yakin.

"Setelah ini dokter ke mana?"

"Saya akan jogging sebentar. Lalu ke IGD. Melihat kondisi di bawah. Sudah ada beberapa pasien yang masuk dan akan di rawat hari ini."

"Kerja sampai jam berapa?"

"Belum tahu. Kita belum full team. Masih menunggu beberapa dokter lain yang akan bergabung. Jadi saya harus siap saat dibutuhkan."

"Jangan terlalu capek, Dok."

"Ya, saya akan mengingat kalimat anda."

"Boleh nggak kata anda dihilangkan?"

"Kenapa?"

"Panggil Glory saja. Saya lebih suka seperti itu."

"Baiklah, Glory. Oh ya, kapan terakhir kamu medical check up?"

Wajah gadis yang berada di depannya itu kini pias. Melihat raut wajahnya, Ettore merasa bahwa Glory sedang menyimpan sesuatu.

"Nanti kalau sudah ada waktu."

"Kamu punya waktu setiap saat di sini. Kalau sudah puasa kabari saya."

Kini gadis itu menghembuskan nafas sepelan mungkin. Bisa terlihat jemarinya bergetar. "Akan saya kabari."

"Baiklah, kalau begitu."

"Oh iya, Dok. Ini tentang keinginan saya membangun lift."

"Itu adalah hak kamu. Saya tidak bisa melarang. Sepanjang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Silahkan."

"Tapi akan mengubah letak jendela dibeberapa lantai. Karena saya ingin membangun langsung ke ruangan saya."

"Jendela lantai 1sampai 8 maksud kamu?"

Perlahan Glory mengangguk. Akhirnya sang dokter mendekat kemudian menatapnya lama.

"Artinya kamu akan menganggu ketenangan beberapa ruangan. Apakah itu sepadan dengan kepuasan kamu nanti?"

"Tapi saya tidak terbiasa menaiki lift bersama dengan orang lain. Terutama yang tidak saya kenal."

"Kamu boleh melakukan apapun. Kalau benar-benar mau membangun lift khusus, lakukanlah secepatnya. Sebelum ruangan tersebut digunakan. Pasien berhak mendapatkan ketenangan selama dirawat. Jangan karena berbiaya murah atau bahkan gratis. Kita mengorbankan kenyamanan mereka."

Ettore segera memasuki ruangannya lalu berganti pakaian dan sepatu. Kemudian turun ke bawah dan langsung berlari mengelilingi rumah sakit. Ia harus mencari kegiatan agar tidak terlalu berpikir tentang keinginan ajaib Glory. Hari ini lift, besok entah apalagi.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

41021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top