2
Dokter Ettore Abraham
Glory Wiratama
***
Glory melepas apron saat Nina memasuki dapur dengan gerakan lambat.
"Mbak, kok jalan kaki ke sini? Hamilnya udah gede begitu. Tadi bisa panggil Glo, kan?"
"Dokter bilang, harus banyak jalan kaki."
"Kak Matt dan Sam, ke mana?"
"Sam ada janji dengan temannya. Mas Matt sedang main tennis dengan Steven. Kamu masak, apa? Nggak ke kantor?"
"Buat cream soup dan puding aja. Malas, nggak berminat. Ini lagi nunggu rumah sakit dibuka. Bosan berkantor di Wiratama."
"Ya, mbak juga nggak berminat masuk ke bisnis. Lagian kalau di rumah sakit nanti ada Dokter Ettore. Dia pasti bisa bimbing kamu."
"Memang dia jadi nerima tawaran papi?"
"Jadi, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkan. Kalau rumah sakit pasti sangat dibutuhkan untuk kelanjutan programnya."
"Dia baik nggak sih orangnya, Mbak?"
"Baik, dan nggak aneh-aneh. Kenapa?"
"Nanya aja. Kayaknya cuek gitu."
"Ya, tapi kalau sedang berhadapan dengan pasien beda banget. Perhatian, teliti dan sabar. Mbak beberapa kali ketemu kalau ada kegiatan sosial. Terutama saat dia sedang di Jakarta."
"Memangnya dia jarang di sini?"
"Jarang banget. Ketemu dia saja susahnya minta ampun."
"Istrinya?"
"Setahu mbak, belum menikah."
"Masak, sih? Ada kelainan, nggak?"
Nina tertawa mendengar kalimat adik iparnya.
"Kayaknya ada yang penasaran, nih. Kalau tentang itu, nggak tahu. Tapi sepertinya aku nggak pernah dengar dia dekat dengan seseorang. Dia tertutup banget kalau tentang kehidupan pribadi. Dan orang disekitarnya juga nggak pernah bicara tentang itu."
Glory hanya mengangguk sambil menuangkan lapisan pudingnya.
"Mbak, kapan rencana melahirkan?"
"Bulan depan."
"Aku nggak sabar mau gendong keponakan baru. Pasti cantik banget nanti."
"Dia sehat saja sudah bersyukur banget, Glo. Kamu tahu, lama banget kami harus menunggu kehadirannya." Nina mengelus perutnya.
"Ya, aku kepingin banget punya baby. Tapi papi nggak mengijinkan."
"Kamu bisa bantu mbak mengurus si kecil nanti."
"Pasti."
"Oh ya, katanya rumah sakit dua minggu lagi sudah buka. Bener, Glo?"
"Kata papi. Tapi masih menunggu waktu dari Dokter Ettore. Sesibuk apa dia, Mbak?"
"Dia sering ke daerah terpencil. Yang kadang sinyalnya aja susah. Sudah panggilan jiwa mungkin. Padahal dia bisa praktek di Jakarta saja."
"Dia beruntung, sudah tahu mau ke mana. Daripada aku yang masih bingung dengan panggilan jiwaku?"
"Kamu bingung karena memiliki banyak pilihan. Dan semua sudah tersedia. Kamu harus bertemu dan sering berinteraksi dengan orang seperti mereka."
"Mungkin. Mbak berarti nggak ikut ke Milan, lusa?"
"Enggak. Bisa digantung Mas Matt kalau tahu mbak sedang hamil besar. Terus ikut kalian jalan-jalan ke Milan. Gauri ikut?"
"Ya, aku jemput dia di Singapura."
"Selamat-bersenang-senang. Sebelum rumah sakit dibuka."
"Ok, aku akan bawa oleh-oleh buat baby Luna."
***
Glory melangkah dengan hati-hati ke luar dari bandara. Beberapa orang di belakangnya mendorong tiga trolley berisi koper-koper dan juga kantong belanja dari brand ternama. Sebuah kebiasaan jika keluarga Wiratama mengadakan acara belanja. Hal tersebut bisa berlangsung tiga kali dalam setahun. Tidak perlu menunggu sale. Karena hal tersebut jelas menurunkan gengsi mereka.
Glory sudah memasuki mobil saat melihat ada seorang pria berkulit coklat dan rambut diikat menjadi satu tengah berlari kencang menuju bus yang ada di depannya. Hanya menyandang ransel besar. Langkah itu terlihat sangat ringan. Sayang tidak tahu lagi kelanjutannya karena sosok itu sudah tak tampak. Tapi Glory mendengar kabar, kalau mereka akan bertemu besok pagi. Saat rapat pertama.
"Kita ke mana, Mbak?" tanya sopir yang mengantarnya.
"Ke Wiratama saja, Pak. Saya mau ketemu papi."
"Baik, Mbak."
Kali ini Glory sudah memutuskan. Di mana ia akan bekerja setelah ini. Mungkin rumah sakit akan menjadi tempat yang cocok. Setidaknya akan bertemu dengan orang banyak berlalu lalang penuh kesibukan. Daripada duduk di kantor yang hanya menyajikan pemandangan yang itu-itu saja. Papinya pernah mengatakan kalau ia akan duduk sebagai salah seorang Dewan Pengawas Harian. Nantilah, ia akan meminta job description-nya. Karena memang sama sekali tidak tahu harus melakukan apa di sana.
Kini gadis itu sudah sibuk membayangkan gaun dan sepatu mana yang akan dipakai. Dia juga sepertinya akan meminta penata rambut Mbak Nina untuk bekerja padanya besok. Penampilan di hari pertama harus bisa membuat orang lain terpukau. Jangan sampai, gaun Diornya tenggelam diantara gaun milik orang lain yang bekerja padanya. Tidak boleh ada yang menyamai seorang Glory.
***
Pagi itu, Glory turun dari mobil. Sesuai rencana, ia mengenakan koleksi ready to wear keluaran Dior. Menenteng Louis Vuitton Onthego monogram. Dengan sepatu Louboutin berwarna hitam. Penampilannya segera menarik perhatian para karyawan yang juga akan berkumpul. Namun tak ada yang berani berbisik. Mengingat ia ke luar dari sebuah kendaraan dengan nomor polisi yang sudah sangat dikenal. Tiga huruf dibelakangnya, WMA sudah menunjukkan bahwa ia anggota keluarga tersebut.
Seseorang segera menjejeri langkahnya.
"Selamat pagi Ibu Glory. Saya Regina, asisten pribadi ibu yang baru. Bekerja atas perintah Bapak Matthew Wiratama. Kita akan segera menuju ruang pertemuan."
"Selamat pagi juga. Ya, saya sudah tahu dari kakak sepupu saya. Dulu anda bekerja pada kakak ipar saya, Mbak Nina. Apakah di sini ada lift khusus untuk petinggi Rumah Sakit?"
Langkah itu berhenti sebentar. "Tidak ada, Bu."
"Ruang kerja saya di lantai, berapa?"
"Sembilan, Bu."
"Artinya harus bergabung dengan pasien dan masyarakat umum yang tidak saya kenal, begitu? Dengan orang sakit?" Bola mata coklat itu tampak membesar karena sekarang.
"Ya. Ini rumah sakit, kan?"
Glory segera menghembuskan nafas kesal. "Tidak apa-apa. Nanti saya akan bicara pada papi untuk membuatkan lift sendiri. Bawa saya ke ruangan rapat sekarang."
Keduanya segera memasuki lift yang cukup sesak. Glory hanya menekuk wajah dengan kesal. Ia benar-benar benci pada keramaian seperti ini. Bercampur bersama orang-orang yang menggunakan parfum aroma menyengat. Kepalanya langsung pusing. Tapi ini sudah pilihan.
Tenang Glory, semua masih bisa diperbaiki. Hanya butuh sedikit waktu. Kalau papimu tidak menyetujui. Tinggal mengadu pada Kak Matt. Semua masalah akan selesai. Atau kalau keduanya tidak setuju, kamu bisa membangun lift dengan uang sendiri! Perfect!
Lift terbuka. Mereka segera ke luar. Beberapa laki-laki menatap nakal. Terutama pada bagian dadanya yang hanya ditutupi oleh kain tipis. Saat pintu aula terbuka, pertemuan sudah dimulai. Glory melangkah pelan dan ragu. Karena di sana sudah berdiri Dokter Ettore dengan pakaian seragam berbahan katun berwarna biru muda dan sepatu kets! Demikian juga orang-orang yang duduk di depannya. Sepertinya hanya bagian administrasi yang mengenakan rok. Itupun berseragam. Tidak ada yang memberitahukannya tentang seragam. Setelah ini, ia harus memarahi Regina.
"Selamat datang, Ibu Glory Wiratama. Semua! Perkenalkan beliau adalah salah seorang yang akan bertugas sebagai Dewan Pengawas Harian. Silahkan duduk." Dokter Ettore menyapa dan memperkenalkannya dengan sopan. Regina membawanya ke sebuah kursi yang berada paling depan dibagian bawah. Karena memang di ruangan ini tempat duduk dibangun seperti tangga berbentuk setengah lingkaran. Sehingga seluruh mata fokus ke depan. Akhirnya Glory menyadari, kalau pertemuan ini baru saja dimulai.
"Perkenalkan saya Dokter Ettore Abraham. Saya akan menjadi bagian dari tim kita. Saya bukan orang yang kaku terhadap aturan. Artinya siapapun yang ingin bertemu, tidak harus menunggu di depan kantor saya. Kalian bisa berbicara saat bertemu, di mana saja dan kapan saja. Sebagai seorang dokter tempat saya bukan di balik meja. Kemungkinan besar saya akan sering berada di ruang operasi.
"Saya harap apapun masalah yang kalian temui nanti. Bisa saya ketahui secara langsung. Sehingga tidak perlu menebak, atau mengetahui dari pihak ketiga yang menyebabkan informasi berubah. Karena saya bukan orang yang suka memperlambat pekerjaan orang lain. Di rumah sakit kita butuh sesuatu yang cepat dan akurat.
"Saya juga mau mengingatkan bahwa rumah sakit ini dibangun dengan tujuan kemanusiaan. Jadi ingatlah sumpah yang sudah kita ucapkan ketika lulus dulu. Pasien nomor satu. Jangan pernah memilih siapa yang anda tangani. Dan jangan juga meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan rumah sakit. Jika ada kendala, silahkan hubungi saya. Ada pertanyaan?"
"Dokter Ettore, bagaimana dengan ruang istirahat para dokter."
"Sudah ada di lantai sepuluh."
"Makanan?"
"Ada kantin. Dengan menu yang diawasi. Hanya saja jangan cari makanan enak. Karena di sana hanya ada makanan sehat." jawab Ettore sambil tertawa kecil.
Masih banyak pertanyaan, tapi mata Glory terpaku pada pria itu. Yang mampu menjawab pertanyaan dengan cepat dan lugas. Tidak bertele-tele, mirip seperti Eyang Azka dulu. Terlihat sekali pria di depannya menguasai pekerjaan sampai pada hal terkecil. Ia terpesona pada rahang kokoh dan juga lengan berotot yang mungkin di dapat dari hasil nge-gym. Tapi apa sempat dia melakukan itu? Pikirnya. Ia juga menikmati tatapan ramah dan bersahabat pada para staff rumah sakit.
Pria ini jauh berbeda dengan saat bertemu tiga bulan lalu di kediaman mereka. Telihat lebih tampan, cerdas dan tahu apa yang dimauinya. Sejak dulu Glory selalu suka pada pria dengan tipe seperti Ettore. Tapi bagaimana ia bisa mendekat? Kalau dari pembicaraannya tadi ia akan sibuk sepanjang waktu?
Tak terasa pertemuan selesai. Beberapa orang segera mendekati sang dokter dan menjabat tangan pria itu. Beberapa juga ikut menyalaminya. Hingga akhirnya saat Glory ingin meninggalkan ruangan, Ettore mengulurkan tangan padanya.
"Hai, senang bisa melihat kamu, di sini."
"Ya, saya sedikit terlambat tadi."
"Sudah baca job desk?"
"Sudah, tapi ada beberapa yang tidak saya pahami. Ini bidang baru buat saya." jawab Glory jujur.
"Kita akan bicara hari ini. Saya punya waktu sebelum acara pembukaan besok."
"Terima kasih, Dok. Kita bisa ke ruangan saya?"
Dokter Ettore mengangguk. Mereka dipimpin oleh Regina. Ini pertama kali Glory memasuki ruang kerjanya. Namun wajah gadis itu segera terlihat masam. Membalikkan tubuh lalu berkata.
"Regina, bisakah membelikan saya sebuah kulkas yang lebih besar dan kursi yang lebih baik dari ini? Saya juga mau tirai diganti dengan yang berwarna pink. Lalu ada tanaman kecil di depan jendela. Ruangan ini kaku sekali. Oh ya, jangan lupa mengganti sofa dengan warna putih dan ukuran lebih besar. Saya akan merekomendasikan tempat untuk membeli seperti yang saya inginkan."
"Baik, Bu. Saya akan mengajukan permintaan pada—"
"Tidak usah, lama nanti. Saya gunakan uang pribadi saja."
"Oh ya, Dok. Bisa beritahu apa saja sebenarnya yang menjadi tugas saya sehari-hari? Pusing kalau harus membaca buku panduan yang tebal itu."
Dokter Ettore duduk di depannya sambil tersenyum. Mata Glory kini bisa menatap lebih dekat. Bagaimana wajah pria yang sepertinya baru bercukur. Rambut pendek yang dipotong rapi. Bulu yang ada dibagian tangan dan juga dada yang terlihat sedikit melalui krah berleher V. Oh my God. Kenapa pria ini begitu seksi? Berapa usianya? Pria itu berbicara meski tidak ada satupun kalimat yang masuk kedalam otaknya. Glory hanya memasang wajah seolah mengerti. Hanya itu yang harus dilakukan para perempuan cerdas, bukan?
Hingga setengah jam kemudian, Dokter Ettore pamit. Saat itulah Glory tersadar akan sesuatu. Kenapa tadi lupa menanyakan tentang lift? Ia hanya mampu menepuk keningnya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
21021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top