14


"Makanya jangan sampai tua baru kepingin. Nanti malah sudah benar-benar terlambat. Sudah cukup Dokter Lyona yang lepas."

Ettore tertawa. "Kamu tahu tidak mudah untuk memutuskan hidup dengan saya. Katakanlah tentang masa lalu, pekerjaan, tingkat kemapaman dan terutama waktu. Saya sudah nyaman dengan pekerjaan dan aktifitas selama ini. Saya tidak mengatakan bahwa sebuah hubungan akan menghambat, tapi jelas akan memperlambat. Saya ingin memberikan yang terbaik pada pekerjaan saya. Membantu lebih banyak orang yang membutuhkan."

"Bagaimana jika perempuan itu juga tidak menginginkan anak dan juga pekerjaan?"

"Bisa, kami hidup dengan pekerjaan masing-masing. Mungkin berkomunikasi saat malam. Menua bersama, mungkin nanti kalau sudah tidak kuat mencoba mencari panti jompo yang sama. Supaya bisa tetap bersama."

"Untuk itu saya sedikit setuju. Anak bukan investasi. Mereka akan memiliki hidup dan passion sendiri. Dan kita orang tua akan tertinggal dibelakang. Itu realitas."

"See, jadi apa yang harus saya kejar dari sebuah pernikahan? Kalau mencari pasangan agar ada yang mengurus saat sakit dan tua, rasanya menjadi alasan klise yang akan menghancurkan perasaan anak orang."

"Bagaimana kalau menjadi teman berbagi, teman berbincang saat menjelang tidur. Belum coba, kan?" tanya Akandra sambil tersenyum lebar.

"Sejak kapan kamu saya ijinkan masuk ke ranah itu?" Ettore pura-pura marah. Wajah juniornya merah seketika. Namun senyumnya segera mengubah rasa bersalah Akandra. "Rasanya akan saya coba. Besok cari anak orang yang mau nemenin ngobrol sebelum tidur."

Kini Akandra kembali tertawa. "Mau yang sekadar ngobrol atau bisa diajak nemenin tidur sekalian?" pancingnya.

"Boleh, kalau bapaknya nggak menuntut."

Suara tawa mereka kembali terdengar keras. Beruntung di lantai sembilan, hanya ada mereka berdua karena karyawan lain sedang libur di hari minggu. Sudah lama Ettore tidak sesantai ini. Akandra adalah sahabat yang selalu ada sejak dulu. Karena kesibukan, lima tahun terakhir mereka jarang bertemu. Dulu sering bertiga dengan Chandra. Sebuah kenangan yang tidak mudah dihapus.

Ettore paling senior diantara mereka. Mengkontaminasi pemikiran para rekannya yang masih muda saat itu. Mengembalikan sisi kemanusiaan ditengah bisingnya industri kesehatan juga obat-obatan. Menjadi dokter membutuhkan banyak uang, maka tidak salah jika akhirnya orientasi banyak dokter adalah mengejar kemapaman. Tapi tidak sedikit yang masih memilih mendengarkan hati nurani. Meski juga tidak mengenyampingkan materi. Karena pada kenyataannya manusia butuh uang untuk tetap bertahan. Itulah yang kini dilihat Ettore pada diri Akandra.

"Kapan kita bisa ngopi bareng di Pak Sanusi?" tanya Ettore.

"Boleh, sudah lama saya tidak ke sana."

"Saya baru kemarin."

"Oh ya? Masih sempat ke sana? Bagaimana kabarnya?"

"Baik, dan tidak bertambah tua. Kemarin ambil cuti. Rencana tiga hari, tapi dua hari saja bisanya."

"Saya sedikit aman minggu ini. Karena memang sedang ingin berhenti sejenak. Nanti saya hubungi Chandra. Kita bertiga ke sana."

"Ajak yang lain sekalian. Siapa tahu kita bisa reuni kecil-kecilan."

"Sebaiknya kita bertiga dulu. Nanti baru kita bicarakan selanjutnya."

Tak lama terdengar langkah mendekat. Ettore tahu siapa yang datang.

***

Tak seperti biasa, hari ini Glory memilih turun di lobby. Beruntung suasana sedikit sepi. Meski ia mendapat tatapan aneh dari beberapa orang staf yang bekerja. Karena ini bukanlah kebiasaannya. Semua orang tahu kalau ia selalu menjaga jarak dengan semua orang di rumah sakit. Kecuali Dokter Ettore tentu saja. Sebagian menganggapnya sombong. Tapi Sebagian lagi berpikir, wajar karena ia salah seorang pemilik rumah sakit ini. Seorang security segera menghampiri.

"Saya antar ke lantai sembilan, Bu?"

"Eh.., ya. Apa Dokter Ettore sudah selesai?"

"Saya kurang tahu, Bu. Tapi beliau tadi datang karena ada operasi. Dan sepertinya sedang ada tamu."

"Siapa?"

"Katanya Dokter Akandra."

Glory hanya mengangguk, ia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Pria itu memiliki banyak teman. Adalah hal bias ajika mendapat kunjungan di rumah sakit. Karena memang ini adalah tempat satu-satunya yang paling mudah untuk menemukannya. Ettore bisa menghabisakan belasan jam perhari di sini. Semua orang membutuhkannya. Entah kenapa kesadaran tentang itu baru terasa. Glory kembali melirik petugas yang mengikuti langkahnya.

"Bapak mau nemenin saya sampai atas?"

"Ya, kata Dokter Ettore, ibu takut bersama orang asing di dalam lift."

"Dia bilang begitu? Kapan?" Sekuntum bunga kembali mekar dihatinya yang kini terasa gersang.

"Dulu, sudah lama sekali."

Kembali Glory mengangguk. Tapi kenapa debaran jantungnya kali ini terasa sakit sekali? Saat lift terbuka di lantai sembilan. Keduanya mendengar suara tawa keras berasal dari ruang Ettore yang pintunya terbuka.

"Terima kasih sudah mengantar saya. Sepertinya tamunya belum pulang. Saya akan tunggu di ruangan saja."

"Baik, Bu. Saya permisi."

Melangkah pelan, ia bisa mendengar sekilas percakapan di dalam. Sepertinya tentang masa lalu. Berusaha menetralkan debaran di dada, akhirnya Glory melangkah memasuki ruangan setelah mengetuk pintu. Tidak berniat mengganggu, hanya agar Ettore tahu kalau ia sudah tiba. Kedua pria yang masih tertawa itu tiba-tiba terdiam saat melihatnya di pintu.

"Kamu sudah datang?" sapa Ettore lembut sambil menyambutnya ke pintu.

"Sudah, saya tunggu di ruangan saja, Dok."

"Kenalkan sahabat saya dulu. Beliau adalah dokter penyakit dalam dengan sub spesialisas diabetes."

"Hai, saya Glory Wiratama."

Akandra melirik Ettore dengan tatapan menggoda. Namun pria itu segera mengulurkan tangannya.

"Hai Bu Glory. Saya Dokter Akandra. Kami sudah berteman lama."

"Silahkan dilanjut saja."

"Tidak, sebenarnya saya sudah mau pamit. Karena memang mau ke rumah ibu dulu sekalian."

"Nggak apa-apa. Selesaikan saja." Glory segera meninggalkan ruangan. Namun masih terdengar suara keduanya dengan nada lebih pelan.

"Apakah dia?" terdengar suara Akandra. "Cantik, Dokter pasti tidak salah pilih."

"Dia yang salah pilih sebenarnya."

"Jangan dilepas. Kelihatannya cocok dengan dokter."

"Bisa saja dengan kamu."

Glory segera memasuki ruangannya. Ia tidak mampu lagi untuk mencerna kalimat. Kepalanya terasa penuh. Putri bungsu Brandon segera menyalakan AC lalu berbaring. Tubuhnya terasa lemah. Mungkin akibat kurang tidur semalam. Apalagi pikiran kacaunya tidak bisa dihentikan. Saat ini ia benar-benar lelah dan ingin tidur. Tapi bagaimana caranya? Kalau otaknya terus berkelana dan tidak bisa diajak bekerja sama?

Glory kembali berusaha mencerna kehidupan yang sudah ia lalui. Kenangan-kenangan tentang masa kecil, remaja dan masa kini muncul kembali. Tidak pernah ada masalah besar. Ia bisa mengatasi semua. Bahkan para pem-bully terhebat di sekolah. Ia takkan menjadi pihak yang kalah atau mengalah. Tapi Sekarang? ia tidak siap menerima kenyataan. Begitu banyak mimpi dimasa depan. Termasuk membangun keluarga seperti manusia normal lainnya. Lalu apakah kini ia tidak normal?

Gadis itu memejamkan mata. Sulit sekali menerima bahwa ia harus berdampingan dengan cancer, sama seperti papinya. Masih bertanya hingga sekarang, apa pemicunya? Bukankah segala sesuatu harus memiliki alasan? Kepalanya kembali terasa penuh. Tak lama, suara langkah Ettore terdengar memasuki ruangan. Seperti biasa, sosok menjulang itu terlihat tenang. Meski hari ini tak mengenakan seragam. Tapi sepatu running yang digunakannya menjelaskan, bahwa pria itu memang sedang bekerja.

"Kamu yang taruh tiramisu di lemari pendingin."

"Ya, kemarin dokter nggak masuk. Kunci ruangannya saya minta ke OB. Nggak apa-apa, kan?"

"Nggak, terima kasih."

Ettore meraih kursi lain untuk duduk di sampingnya. Menatap Glory yang masih berbaring. Pria itu kemudian meraih jemari pucat yang ada dihadapannya. Sang gadis berusaha menelan saliva yang tersangkut ditenggorokan. Ini bukan sesuatu hal yang diinginkan. Akan lebih mudah bila mereka kembali menjadi teman atau rekan kerja. Tapi tubuhnya tidak mampu menolak. Ia sedang membutuhkan orang lain untuk memahaminya.

"Yang tadi siapa?"

"Sahabat lama saya. Ia adalah teman setia saat saya mulai membangun klinik. Kami sudah lama tidak bertemu. Dan saya senang melihat keberhasilannya sekarang. karena tahu tidak mudah untuk dijalani."

"Ya, kadang semua terasa sulit, Dok. Apalagi seperti saya sekarang."

"Sorry, to hear that." Suara pelan Ettore terdengar sedih.

"It's okay. At least, I see everything clearly. Mungkin ini yang terbaik meski menyakitkan."

"Kapan rencana operasi?"

"Kemarin saya bicara dengan Profesor Randy. Dia bilang saya bisa bekukan sel telur dulu. Habis itu radioterapi. Untuk memperkecil ukuran kanker katanya. Atau supaya nggak berkembang. Lupa." jawab Glory dengan malas.

"Ya, itu beberapa jalan keluar."

"Meski tidak menjamin bisa hamil dimasa depan, kan?"

"Kenapa jadi pesimis?"

"Karena saya ingin menjadi ibu. Dan tidak semua masalah ada jalan keluarnya. Ada saat saya harus menahan diri untuk melepas keinginan. Banyak orang yang begitu mudah hamil. Tapi mungkin bukan saya."

"Jangan putus asa. Anak kadang bukan sebuah tujuan. Hidup itu adalah tentang bagaimana kamu menjalani dan apa yang menjadi fokus kamu selanjutnya. Lakukan dan jalani."

"Apa dokter tidak ingin punya anak?"

"Saya belum memutuskan untuk itu. Buat saya anak bukan prioritas hidup. Mungkin bagi orang lain terdengar egois, tapi buat saya, ini adalah kebenaran. Saya bahagia dengan pekerjaan saya. Itu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Mencintai apa yang menjadi pilihan kita."

"Dokter bisa berkata seperti itu karena sudah menemukan tujuan dan jalan sejak awal. Tapi saya? Harus berhenti sebelum memulai."

"Kamu bisa menetapkan yang baru kalau begitu. Dalam hidup ada plan A dan plan B. Bahkan tidak menutup kemungkinan dengan rencana selanjutnya."

"Saya masih belum bisa berpikir untuk menjalani, ini saja rasanya sulit. Sakit banget." Akhirnya Glory menangis.

Ettore membiarkan. Tidak ada orang yang bisa menerima vonis cancer begitu saja. Akan ada tahap yang harus dilewati hingga akhirnya bisa kuat untuk menerima. Ia meraih tubuh Glory lalu memeluknya. Cukup lama membiarkan gadis itu menangis. Ada rasa sedih yang menusuk perasaannya. Selama ini Glory adalah sosok yang kuat dan terkesan tidak mempedulikan apapun. Tapi kini terlihat rapuh.

"Ini pasti berat buat kamu."

Glory mengembuskan nafas kasar. Seolah mencoba mengeluarkan sesak yang ada dalam dadanya. Meski sebenarnya ia sedang putus asa.

"Sangat. Apalagi saya belum menikah. Gimana mau menikah? Punya pacar aja enggak. Siapa juga yang mau sama perempuan yang bermasalah dengan rahim?"

"Kenapa jadi tidak yakin?"

"Itu kenyataan. Dokter dari dulu nolak saya, kan?"

***

Maaf  untuk typo

51121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top