13

Ettore memacu kendaraan dengan perasaan khawatir, melewati jalan raya yang cukup padat. Hari sudah malam, dan ia belum menerima kabar apapun dari Glory. Pria itu gelisah sepanjang hari. Dokter Adrian sudah menyampaikan kemungkinan terburuk. Bagaimana keadaan Glory sesungguhnya? Sejak tadi sudah berusaha menghubungi, tapi ponsel gadis itu tidak aktif.

Pukul sembilan malam ia tiba di rumah. Klinik ibu terlihat ramai. Kemungkinan ada yang melahirkan. Ia segera masuk dan mandi. Mencoba menimbang untuk menghubungi Matthew untuk menanyakan kabar Glory. Tapi tidak! Pria itu adalah atasannya. Siapa dia? Apalagi ia tidak punya hubungan apapun dengan gadis itu. Tapi perasaannya masih cemas. Akhirnya Ettore meraih sebuah buku, dan tak lama kemudian sudah tenggelam dalam bacaannya.

"Kapan pulang?" tegur ibu.

Ettore segera meletakkan bacaannya.

"Tadi jam sembilan, Bu."

"Kamu sudah makan?"

"Belum, nanti saja. Kepingin nasi goreng mawut di ujung jalan. Aku akan beli sendiri. Ada yang melahirkan?"

"Iya, warga RT sebelah."

"Sehat?"

"Syukurlah, mereka baik-baik saja. Kamu kelihatan capek."

"Ya, tadi ke tiga tempat. Kebetulan bareng Dokter Donny."

"Dia sudah lama tidak kemari."

"Sibuk, Bu. Dia masih ke daerah."

"Kalau sempat, kapan-kapan suruh mampir. Ibu kangen. Dulu sering menginap di sini. Sekarang sudah tidak ada tamu lagi."

"Ibu rindu rumah ramai saat kami siap-siap mau ke daerah bencana?"

"Iya, saat kalian merindukan masakan ibu dan minta dibuatkan banyak sambal. Karena setiap kali ada bencana, makanan kadang datang terlambat. Sekarang kamu sudah di rumah sakit dan mereka juga sibuk denga pekerjaan masing-masing. Tapi itulah hidup. Semua berubah. Ibu harap kalian semua bahagia. Ibu istirahat dulu, nanti harus melihat pasien."

Ettore hanya mengangguk. "Biar aku nanti yang melihat. Ibu istirahat saja. Aku belum ngantuk, kok."

Ibu Asih mengangguk sambil tersenyum.

***

Ettore baru memejamkan mata saat ponselnya berdenting.

Dok, masih bangun?

Masih, bagiamana keadaan kamu?

Saya telfon, ya,

Saya saja.

Buru-buru Ettore menekan tombol nomor Glory.

"Halo, Glo."

"Kok Dokter belum tidur?"

"Ada pasien ibu yang baru melahirkan. Saya bantu jaga. Mumpung besok masih libur. Kamu? Bagaimana hasil pemeriksaan?"

"Tidak baik. Tumor! Harus operasi. Apa kemarin dokter sudah tahu?"

"Saya sempat membicarakannya dengan Dokter Adrian"

"Dok, saya mau nangis tapi nggak bisa. Biasanya saya cengeng."

"Kamu sama siapa di rumah sakit?"

"Papi menemani tapi sudah tidur. Saya sedang di luar."

"Kapan akan mulai pengobatan?"

"Belum tahu. Saya sedang berpikir apakah bisa menunggu sampai saya punya anak."

"Kamu bisa bicara dulu dengan Profesor Randy."

"Kalau nggak bisa? Apa yang harus saya lakukan?"

"Bicaralah dulu dengan dokter kamu. Dia bisa menjawab dengan pasti."

"Saya ingin bisa hamil. Merasakan seperti perempuan lain. Morning sickness, mengunjungi dokter dan melihatnya tumbuh."

"Kamu butuh teman bicara?"

"Besok saja. Kita ketemu di luar. Bawa saya ke tempat yang sepi. Saya akan meminta waktu untuk berpikir."

"Baik, kamu tentukan waktunya."

"Dokter sudah mengantuk?"

"Belum, saya temani kamu."

"Kita jadi kayak orang pacaran. Ngobrol sampai tengah malam. Tapi enggak deh, saya mundur jadi calon pacar dokter. Nggak mungkin dokter bisa suka sama saya. Saya sehat aja dokter nggak mau."

Ettore terdiam. Entah kenapa ia tidak suka pada kalimat itu. Ia bisa merasakan sakit yang ada dalam diri Glory. "Jadi pacar saya itu berat. Karena ada banyak kegiatan yang saya lakukan di luar. Kamu nggak akan sabar nungguin saya."

"Dan sekarang saya sudah nggak kepingin. Dokter pasti cari perempuan yang sehat."

"Peraturan pertama, jangan menebak pikiran saya. Karena kamu sering salah."

"Ok, kalau begitu saya juga buat peraturan pertama. Dokter jangan suka php-in saya. Saya nggak mau patah hati untuk kedua kali."

"Memangnya saya begitu?"

"Dokter nggak sadar?"

"Enggak."

"Dokter kayaknya sering nge-ghosting orang."

"Kata siapa? Nggak pernah. Kok kamu bisa bilang begitu?"

"Dokter nggak ngerasa aja. Sering memperlakukan perempuan seperti princess. Seakan dokter sayang banget sama dia."

"Saya nggak pernah memperlakukan perempuan lain seperti itu. Kalau ada yang merasa, berarti saya memang sayang sama dia."

Terdengar suara diujung sana.

"Glory?"

"Iya, Pi."

"Kamu ngapain?"

"Cuma lagi buka ponsel aja."

"Sudah tengah malam. Ayo tidur. Tadi minta papi temani. Papi tidur kamu malah ke luar kamar."

Tanpa berkata apa-apa, Glory segera memutuskan panggilan. Namun tak lama kemudian gadis itu mengirimkan pesan.

Ingat janji buat jalan-jalan. Saya nggak mau diphp-in besok.

Baiklah, saya tunggu kabar dari kamu.

Ettore meletakkan ponsel di samping tempat tidurnya. Kemudian mengunjungi pasien di klinik. Menggantikan tugas ibu yang sudah letih.

***

"Jadi kapan kamu akan memulai pengobatan?" tanya Brandon saat keduanya sarapan.

"Bisa nggak, kita ngomongin yang lain dulu?"

"Jangan ditunda."

"Aku mau tanya. Apakah masih ada waktu sambil menunggu hamil. Mau nego dokter."

"Maksud kamu? Punya anak dulu? Kapan menikah?"

"Aku mungkin nggak akan menikah pi. Hanya mau punya anak sendiri."

"Apa ini hasil merenung kamu sepanjang malam?"

"Cuma berpikir. Aku nggak mau menghabiskan waktu sendirian. Karena itu akan bicara dengan Professor Randy."

"Dia pasti tahu apa yang terbaik. Apa rencana kamu hari ini?"

"Menikmati Jakarta. Banyak yang belum kukunjungi."

"Mau papi temani?"

"Enggak, aku mau sendiri."

Brandon mengangguk. "Take care, kalau butuh papi, langsung hubungi saja."

Keduanya kemudian berpisah di depan lift. Glory segera turun ke bawah sambil menghubungi Ettore.

"Dokter di mana?"

"Saya sedang di rumah sakit. Ada operasi mendadak pagi ini."

"Terus, kita? Batal?"

"Kamu di mana?"

"Baru ke luar dari rumah sakit. Ini mau jalan."

"Saya harus bekerja sampai satu jam ke depan. Kamu mau kita bertemu di sini, atau di luar?"

"Saya ke sana aja."

"Saya tunggu kalau begitu.

Glory segera melangkah ke luar. Mobil sudah menunggu di depan.

"Kita ke mana, Mbak?"

"SH."

"Lho, ini bukannya hari Minggu?"

"Pak, jalan aja." balas Glory sewot. Ia tidak punya tempat untuk didatangi. Kecuali Ettore.

***

Ettore baru saja ke luar dari ruang operasi saat seorang perawat menghampiri.

"Dok, ada tamu."

"Siapa?"

"Katanya Dokter Akandra."

"Di mana dia?"

"Masih di lobby."

"Minta menunggu di ruangan saya."

Pria itu segera melangkah ke menuju lift. Kemudian menekan tombol angka sembilan. Ternyata kedua sahabat lamanya sudah menunggu di depan pintu. Mereka segera berpelukan.

"Apa kabar Dokter Ettore?" sapa Akandra.

"Baik, baru tadi malam saya bicara dengan ibu. Dia bilang kangen sama yang dulu sering menginap di rumah. Ternyata malah sudah ada di sini."

"Wah, ibu masih ingat saya? Yang sering numpang makan kalau akan ada acara? Setelah ini saya akan mampir. Bagaimana kabar ibu, Dok?"

"Ibu sehat. Tapi sudah tua."

"Ya, sudah lama sekali. Sebelum dokter ke Afganistan dan ambil spesialis."

"Ya, dan sebelum kamu ke Mentawai karena patah hati."

Keduanya tertawa keras.

"Bagaimana kabar Alea?"

"Sehat! Anak-anak juga."

"Saya kalah selangkah dari kamu yang sudah mengambil sub spesialis, ha!?"

"Bukan tentang kalah. Dok. Tapi dokter sudah mewujudkan semua keinginan. Saya bangga pada dokter."

"Terima kasih, saya juga senang melihat keadaan kamu sekarang. Sepertinya kamu harus lebih sering olahraga."

"Ya, itu salah satu yang masuk dalam daftar rencana tahun ini."

"Mulailah besok pagi."

Ettore bangkit menuju meja untuk membuat kopi. Teringat akan sesuatu, Akandra suka minum kopi susu, ia segera membuka lemari pendingin. Cukup kaget saat melihat ada tiramisu dalam jar dan masih penuh. Baru teringat, Glory mengatakan membawa saat hari jumat. Berarti gadis itu memasuki ruangannya. Akhirnya pria itu meraih dua buah mangkok kecil dan sendok lalu meletakkan di atas meja. Batal sudah rencana membuat kopi. Ia hanya mengambil dua botol air putih.

"Wow tiramisu? Selera dokter berubah?" tanya Akandra.

"Tidak juga, seseorang membawakan kemarin."

"Apakah gossip yang berembus itu benar?"

"Gosip yang mana? Setahu saya kamu bukan penggosip."

"Jangan menyangkal, Dok."

"Pasti dari Dokter Dana."

Akandra kini tertawa. Lantas menyuapkan sesendok kemulutnya. "Ini enak banget."

"Sejak kapan kamu pecinta tiramisu? Bukannya dulu suka gorengan?"

"Gorengan kelasnya kita dulu, Dok. Punya uang sepuluh ribu bisa bikin perut kenyang seharian apalagi kalau dimakan pakai nasi. Saat tahu makanan bergizi tapi tidak sanggup memenuhi standar sehat. Kecuali saya mampir ke rumah ibu, dan mendapatkan semangkok besar sayur asem atau sayur lodeh. Boleh bawa pulang lagi."

"Ya, setiap kali tahu kamu akan datang, ibu selalu memasak banyak."

"Saya kangen ibu." kalimat terakhir diucapkan Akandra dengan mata berkaca. "Saya salah karena tidak pernah berkunjung lagi. Dulu ibu sering masak banyak supaya kami-kami bisa bawa pulang."

"Bukan salah, kamu sekarang sudah memiliki kehidupan sendiri. Saya tahu bagaimana sibuknya kamu. Waktu membawa kita pada perubahan. Ibu juga mengerti itu."

"Setelah dari sini, saya akan mampir. Apa ibu di rumah?"

"Ya, dan tadi dia masak pepes jamur. Salah satu kesukaan kamu juga, kan?"

"Jangan buat saya nggak betah di sini karena ingin langsung ketemu ibu."

Keduanya kembali tertawa keras. Meski sudah berada pada posisi sekarang dan tidak kekurangan apapun. Akandra masih terlihat menghormati seniornya. Seseorang yang mengenalkannya pada dunia filantropi. Membantu meski dengan kehidupan yang juga sederhana. Sikap rendah hati dan profesional Ettore masih terlihat hingga sekarang. Bagaimana di hari minggu seperti ini masih bersedia dipanggil ke rumah sakit. Bertahan tetap menjadi dokter sesungguhnya. Sementara rekan mereka yang lain memilih kehidupan berbeda. Tetapi setiap orang pasti memiliki prioritas sendiri.

"Lalu bagaimana dengan gadis Wiratama, Dok."

Ettore mengerenyit kening sambil tersenyum kecil.

"Ayolah, Dok. Saya malas harus mendengar curhatan Dana tentang sikap dokter terus menerus."

"Memangnya menurut dia sikap saya bagaimana?"

"Denial. C'mon, Dokter sudah empat puluh. Mau kapan lagi?"

"Tidak ada masalah dengan usia. Saya merasa menikah bukan prioritas. Jadi hubungan asmara juga bukan tujuan."

"Tapi kali ini Dokter sudah bersinggungan dengan perasaan lain."

"Saya ketuaan untuk itu. Kalaupun menikah, punya anak umur 42. Lalu saya masih harus membimbing seorang anak kecil untuk tumbuh. Kasihan anaknya."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

31121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top