12
Pukul tujuh pagi, Glory sudah ke luar rumah menuju WH. Ia sendirian, dengan pakaian olah raga agar tidak terlalu menarik perhatian siapapun. Saat di mobil ia menghubungi Ettore.
"Halo, Dok. Saya sudah di jalan. Dokter sudah bangun?"
"Jam lima pagi saya sudah bangun. Kamu sudah buat janji?"
"Sudah, pemeriksaannya apa saja nanti kira-kira?"
"Profesor Randy adalah seorang yang sangat teliti. Kemungkinan besar dia akan mulai dari awal. Kamu tenang saja."
"Nggak bisa tenang." Rajuk Glory.
"Percaya saja, bahwa semua akan lebih baik kalau kamu tidak khawatir. Kamu masih puasa?"
"Masih."
"Bawa air putih, kan? Karena ada Sebagian pemeriksaan yang mengharuskan kandung kemih kamu terisi."
"Sudah siap. Nanti kalau selesai cepat, bisa makan siang bareng?"
"Saya akan ke klinik yang di Serang. Lalu lanjut ke area pedesaan Sudah lama tidak ke sana. Kemungkinan pulang malam."
"Nggak bisa ketemu kalau begitu. Dokter hari Senin baru masuk di SH, kan?"
"Ya, tapi saya akan temani kamu. By phone, sesuai janji saya."
"Berangkat jam berapa?"
"Sebentar lagi. Saya naik motor."
"Nggak bisa naik mobil saja?"
"Pertama lebih praktis kalau ada macet. Ini hari Sabtu, semua orang jalan-jalan. Kedua, akses ke daerah yang saya tuju jalannya berbatu. Memangnya kenapa?"
"Saya takut dokter kenapa-kenapa."
"Tidak perlu khawatir. Percayalah. Tidak semua harus kamu pikirkan. Fokus pada kegiatan kamu hari ini."
"Ok, hati-hati di jalan."
Glory kemudian memutuskan sambungan telfon. Ia sudah hampir sampai. Seperti biasa, mobilnya berhenti di depan lobby. Beberapa perawat sudah menunggu. Dan membawanya ke lantai dua. Glory meremas jemarinya saat memasuki ruang praktek Profesor Randy. Bila bukan karena janji dengannya, sang dokter senior itu pasti sudah berada di lapangan golf. Pria itu juga yang dulu menolong kelahirannya dan hingga kini menjadi Dokter Obgyn bagi para perempuan keluarga Wiratama. Wajah pria itu terlihat cemas setelah pemeriksaan USG selesai.
"Kamu masih puasa?"
"Ya, Dok."
"Kalau begitu ke lab dulu. Ambil darah dan pemeriksaan lain. Perawat akan antar kamu. Kita bertemu setelah pemeriksaan selesai. Sekitar satu jam lebih sedikit."
"Baik, Dok."
Gadis itu segera beranjak. Hari sabtu tempat ini sangat lengang. Di ruang laboratorium ia segera menuju bagian pemeriksaan darah.
Seorang perawat yang sejak tadi mengikuti segera berkata pada petugas. "Ibu Glory, dari Profesor Randy?"
"Silahkan masuk, Ibu."
Gadis itu segera duduk di sebuah kursi. Seseorang mengambil darahnya. Kembali gadis itu meringis. Lalu mereka pindah ke ruangan lain, hingga akhirnya semua selesai. Ia segera menghubungi Ettore.
"Dokter, di mana?"
"Dalam perjalanan ke klinik. Kenapa? Sudah periksa?"
"Baru ambil darah. Tadi sudah USG. Setelah ini harus ke ruang lain lagi. Nggak tahu mau periksa apa."
"Sudah USG trans Vagina ?"
"Sudah. Sakit banget ternyata. Apalagi waktu ambil cairan. Tapi hasilnya belum tahu."
"Ya, mungkin setelah pemeriksaan darah dan lainnya selesai. Mereka akan menyampaikan secara langsung. Jangan cemas. Nanti mempengaruhi tekanan darah dan emosi kamu."
"Apakah hasilnya bisa saya dapat sekarang? Profesor Randy janji kami akan ketemu satu jam lagi."
"Saya rasa ia akan menyelesaikan hari ini. Kamu tidak harus menunggu lama. Jangan cemas, kalau kamu butuh teman bicara, saya akan selalu ada."
"Terima kasih, Dok."
Baru saja ke luar dari ruangan, Ester Wiratama ternyata sudah berada di sana.
"Glory! Kenapa kemari tidak memberitahu mami? Profesor Randy menghubungi tadi. Kamu sakit?"
Gadis itu mengangguk pelan. "Ya."
"Kenapa nggak bilang dari kemarin?"
"Aku nggak mau membuat mami khawatir."
Sang ibu segera memeluk putrinya. "Kenapa menyimpan ini dari mami?"
"Aku aja belum tahu sakitnya separah apa."
"Kamu capek?"
"Ya, terutama pemeriksaannya banyak sekali."
"Sebentar lagi papimu datang. Kita tunggu di ruang atas, ya,"
Dengan malas Glory menurut. Lift membawa keduanya menuju lantai teratas. Tempat yang menjadi milik pribadi keluarga Wiratama. Untuk memudahkan evakuasi melalui heli di roof top. Gadis itu kemudian memilih berbaring. Hingga akhirnya tertidur saat sang ayah datang.
"Bagaimana keadaannya?" bisik Brandon penuh rasa khawatir pada sang istri.
"Sedang istirahat."
"Apakah serius? Profesor Randy sampai mengumpulkan beberapa dokter sekaligus." Tanya pria itu dengan wajah khawatir.
"Jangan berpikir tentang yang terburuk. Aku tidak ingin Glory sampai tahu. Ia akan sangat syok."
"Apa benar, tumor rahim?"
Ester Wiratama kini benar-benar menangis.
"Menurut dokter begitu. Tapi kita tidak mungkin menyimpannya. Dia masih terlalu muda."
"Ya, dia akan curiga."
"Sudah ada kabar?"
"Belum, tadi katanya satu jam, tapi ini sudah hampir dua jam. Mungkin mereka masih mendiskusikannya."
Brandon mengangguk. Kemudian berbaring disisi putrinya. Berusaha menyembunyikan kekhawatiran. Pintu diketuk. Profesor Randy berdiri di depan pintu. Pria tua itu memasuki ruangan dengan wajah lelah dan sedih.
"Bagaimana, Dok?" tanya Ester.
"Kita masih menunggu hasil dari beberapa tes lagi untuk memastikan penyebarannya."
Wajah kedua orang tua itu kini memucat. Ester sampai menutup mulut agar tangisnya tak terdengar.
"Apa hasilnya bisa kami ketahui hari ini juga?" tanya Brandon yang berusaha tenang sejak tadi.
"Ya, kami akan berusaha memberikan informasi secepatnya. Sebaiknya Glory menginap di sini saja. Supaya kami bisa memantau keadaannya."
"Bagaimana cara memberitahukannya, Dok?"
"Dia harus tahu, karena lama pengobatan akan membutuhkan kerja sama darinya. Saya akan tunggu sampai dia bangun sambil menunggu hasil tes selesai. Sudah lama ia menyimpan masalah ini."
Brandon kini memeluk erat putrinya. Pagi ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Tidak ada ayah yang sanggup mendengar ini.
***
Glory terbangun, dan kaget saat melihat Brandon berbaring di sampingnya.
"Papi ngapain?"
"Menemani kamu. Gauri sedang terbang kemari."
"Apa ini tentang pemeriksaan kesehatanku? Kenapa semua orang jadi khawatir?"
"Karena kita keluarga, kita akan bicara bersama dengan Profesor Randy nanti."
"Apa hasilnya buruk?"
Brandon memeluk putri bungsunya. "Banyak hal datang yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sebagian sulit untuk diterima. Tapi percayalah semua akan bisa kita lalui. Kami akan menemani kamu."
Glory hanya mengangguk. Tak lama Profesor Randy dan beberapa dokter lainnya datang. Mereka mengelilingi Glory. Pria tua itu tersenyum ramah.
"Hai, Glory? Tidur kamu nyenyak?"
"Lumayan, Dok. Bagaimana keadaan saya?"
Professor Randy kini menarik sebuah kursi. Lalu duduk di dekatnya.
"Begini Glory, saya tidak akan menyimpan apapun dari kamu. Karena tidak ada orang yang mau dibohongi meski dengan alasan untuk kebaikan. Tapi kami minta kamu juga siap dengan kebenaran. Saya dan beberapa dokter sudah memeriksa semua." Pria itu berhenti sejenak. Wajah Glory tidak berubah, hanya matanya yang seolah bertanya.
"Kami menemukan tumor pada ovarium dan tuba falopii kamu sebelah kiri. Ini akan sangat mengganggu kesehatan reproduksi kamu sehingga harus secepatnya diobati."
"Separah apa?"
"Apapun yang seharusnya tidak berkembang di dalam tubuh bisa menjadi berbahaya."
"Apa yang harus dilakukan?"
"Operasi, dan serangkaian pengobatan lain dalam jangka waktu cukup panjang. Ini akan melelahkan dan juga menyakitkan."
"Apakah rahim saya akan diangkat?"
"Keselamatan kamu adalah yang utama."
"Apakah saya masih bisa hamil? Melahirkan?"
"Kami harus memeriksa tumor yang ada terlebih dahulu."
"Apakah kemungkinannya ada?"
"Kita akan membekukan sel telur kamu. Ini bisa menjadi pilihan jika kelak kamu ingin memiliki bayi sendiri."
"Apa itu menjadi satu-satunya pilihan?"
"Sayangnya, Ya!"
"Leave me alone." Glory mengucapkan itu dengan sangat pelan.
***
Sebuah berita akan selalu cepat tersebar di keluarga Wiratama. Namun sampai saat ini Glory tidak ingin ditemani siapapun kecuali oleh papinya. Brandon masih memeluk putri kesayangannya dengan erat. Kalau Glory menangis, ia merasa semua akan lebih mudah. Tapi gadis itu sama sekali tidak menangis. Hanya diam dan memeluknya erat. Sedikit saja Brandon bergerak, tangannya segera menahan kuat.
"Matthew mau ketemu kamu." Bisik sang papi.
"Aku cuma mau sama papi. Aku nggak mau ditanya, disuruh cerita, dinasehati. Capek!"
"Tidak akan ada yang bertanya."
"Papi capek nungguin aku?"
"Tidak, semua baik-baik saja."
"Papi belum makan malam, belum minum obat."
"Kamu butuh teman."
"Bagaimana kalau nanti aku nggak ada?"
Brandon kini benar-benar menangis."
"Kita masih punya pilihan."
"Apa karena aku malas ke gereja?"
"Tuhan tahu, kita sanggup untuk menerimanya. Papi juga cancer survivor. Dan sampai sekarang masih bisa lihat kamu."
"Aku ingin orang lain punya kenangan yang baik tentang aku."
"Kita lakukan prosedurnya, ya, supaya kamu masih bisa melakukan banyak hal."
"Nanti aku jelek kalau dikemo."
"Papi dikemo, tapi kamu bilang tetap ganteng."
"Iya, kata Aunty Chaca dulu, papi sejak kecil sering sakit."
"Ya, tapi masih bisa bertahan sampai usia sekarang. Kamu mau menangis?"
"Enggak, aku kuat, kok. Tapi aku takut sendirian. Nanti kalau tiba-tiba meninggal terus nggak ada yang tahu."
Brandon mengembuskan nafas pelan. "Dokter akan berusaha sekuat mungkin. Kalau di sini tidak bisa. kita lakukan di tempat lain. Di negara lain."
Brandon tahu, putrinya berbohong. Glory tidak sekuat itu. Ia adalah sosok yang rapuh dan selalu membutuhkan penopang. Saat ini putrinya sedang berusaha menyangkal. Sama seperti ia yang tidak bisa menerima kenyataan. Mereka tidak lagi berbicara. Hanya saling memeluk.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
Penghujung Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top