11

Ettore meletakkan sendoknya. "Bu, aku capek sekali mendengar pertanyaan dan pemikiran seperti itu. Semua orang di rumah sakit mengatakan kalau kami pacaran. Tapi sebenarnya tidak ada yang terjadi. Aku menganggapnya adik. Lagipula ia masih terlalu muda, jadi jangan berharap lebih."

Bu Asih kini tahu, dari mana perubahan putranya. Meski Ettore belum mengakui. "Ibu hanya menyarankan. Jangan menyangkal perasaan kamu terus menerus. Meskipun terdengar tidak mungkin, tapi mengakui jauh lebih baik untuk kesehatan jiwamu."

"Ibu bicara tentang Glory?"

"Mau tentang siapa lagi? Siapa perempuan yang pernah kamu bawa kemari selain dia? Kamu lahir ditangan ibu. Ibu paham seluruh arti tangisanmu meski saat itu kamu belum bisa bicara. Sama seperti sekarang, ibu tahu apa yang kamu rasakan meski tidak mau bercerita. Matamu sudah bercerita banyak."

"Ibu jangan jadi cenayang."

"Ibu sudah bertemu dengan ribuan wajah. Masak sih, tidak bisa membedakan perubahan wajah anak sendiri? Ada apa antara kamu dan Glory?"

Ettore yang baru selesai makan segera bangkit untuk mencuci piring. "Aku hanya ingin melindunginya. Mungkin kata yang paling tepat adalah... membuatnya lebih berani dalam membuat keputusan."

"Kamuy akin hanya itu?"

"Ya, tidak ada perasaan lain. Kalaupun nanti ada, aku bisa mengatasinya."

"Kamu tidak mungkin memilikinya. Ada perbedaan besar diantara kalian."

"Aku tidak pernah berpikir untuk itu. Dia sedang dalam masalah."

"Jauhi sebelum terlambat, kecuali kamu bersedia untuk patah hati kali ini."

"Akan kupertimbangkan nasehat ibu."

***

Ada saat di mana Ettore ingin sendiri. Pembicaraan dengan ibunya semalam, memaksanya berpikir. Hampir seluruh karyawan di SH juga mengatakan itu. Setelah tidak pernah mengambil waktu libur selama bergabung dengan SH. Akhirnya pria itu merasa harus mundur dari seluruh kegiatan agar bisa kembali fresh. Ia sering melakukan ini dulu saat belum terikat pada pekerjaan seperti sekarang. Hal pertama yang dilakukannya adalah menaiki motor menuju sebuah area pemakaman. Tempat persemayaman terakhir ibu kandungnya. Ia jarang kemari karena kesibukan. Ditatapnya makam sederhana yang masih terlihat bersih. Juga batu nisan yang seusia dengannya.

Ibu kandungnya meninggal tanpa pernah sempat mengatakan siapa ayahnya. Tidak ada jejak sama sekali. Karena ibu kandungnya diantar orang ke rumah ibunya dalam keadaan hamil besar karena menjadi korban tabrakan. Pendarahan parah membuatnya harus pergi untuk selamanya. Beruntung Ettore selamat. Sehingga bisa hidup sampai saat ini.

Ia masih menyimpan foto ibu kandungnya yang dulu tersimpan di dompet. Hanya foto tanpa identitas sama sekali. Cantik dan sederhana. Pernah berpikir bahwa ayahnya berkebangsaan asing, mengingat wajahnya yang menunjukkan itu. Tapi mau ditelusuri ke mana? Ia juga tidak ingin tahu. Takut menyakiti perasaan ibunya di rumah. Setidaknya ini adalah balasan sederhana yang bisa ia berikan. Ibu sudah tidak sekuat dulu.

Sejenak ia berdoa, memohon tempat terbaik bagi perempuan yang telah melahirkannya. Setidaknya ia bersyukur karena telah berada pada posisi seperti sekarang. Kejadian tabrakan kemarin mengganggu pikirannya. Sebenarnya ini adalah salah satu alasan kenapa sejak dulu tidak pernah bersedia bekerja secara formal. Entah apa yang terjadi dulu, sehingga ia selalu merasa harus menghindari kasus tersebut. Terutama bila terjadi kematian.

Perlahan pria itu bangkit setelah mengecup pusara itu.

"Bu, Ettore pergi dulu."

Langkahnya kini menuju ke area parkir. Terhenti saat sebuah panggilan masuk.

"Ada apa, Glo?"

"Kok, nggak masuk? Tadi saya bawakan tiramisu."

"Saya libur selama tiga hari. Selama ini belum pernah ambil, kan? Ada sesuatu yang penting?"

"Kenapa nggak bilang kemarin? Padahal kita ketemu, kan?"

Ettore akhirnya duduk di atas motor. "Saya hanya sedang ingin sendiri."

"Mau saya temenin?" Suara Glory terdengar lebih pelan.

"Tidak usah."

"Dokter sedang di mana sekarang?"

"Di jalan. Mau makan siang di tempat favorit saya."

"Boleh ikut?"

"Kamu di mana?"

"OTW pulang. Abisan dokter nggak ada."

Kembali Ettore menggelengkan kepala. "Tapi tempatnya sederhana. Yakin mau makan di sana?"

"Dokter menganggap saya berasal dari planet mana, gitu? Asal tahu saja, saya sering beli soto kaki lima di daerah Rawamangun."

Ettore kemudian menyebutkan alamat. Namun setelah itu ia sedikit menyesal. Kenapa tidak bisa menolak Glory?

***

Ettore tiba terlebih dahulu di sebuah tempat makan yang terkenal dengan pempeknya. Ia memang suka makanan khas Palembang tersebut. Terutama pempek kulit ikan. Akhirnya setelah harus menunggu tiga puluh menit sampai kemudian Glory tiba di sana. Gadis cantik berkulit putih dan merona itu segera menarik perhatian pengunjung yang tengah menikmati makan siang. Terutama pada gaun mini yang menunjukkan kaki mulusnya. Juga pada tas keluaran rumah mode ternama yang baru seminggu lalu launching. Hampir semua mata terbelalak saat dengan santai ia duduk dihadapan seorang pria berpenampilan sederhana yang duduk di sudut sejak tadi.

"Sorry sedikit terlambat."

"Tidak apa-apa. Saya sedang santai. Kamu mau pesan apa?"

"Disamain saja. Saya jarang makan seperti ini."

"Dibedakan saja kalau begitu. Jadi nanti kamu bisa mencoba."

"Oke, Dokter yang pesan."

Ettore segera memanggil pelayan.

"Tekwan satu, mie celor satu, pempek lenjer, adaan, dan kulit masing-masing tiga. Minumnya es kacang merah dan satu jus jeruk tanpa gula."

"Banyak amat pesannya?" protes Glory.

"Supaya kamu coba. Kalau tidak habis nanti saya yang makan."

"Ok, Dok."

"Kalau di luar begitu jangan panggil saya dokter. Dengan nama saya saja."

"Nggak enak, ketuaan."

"Bisa kamu tambahkan dengan mas, kak atau bang."

"Kalau begitu, jangan pakai kata saya dong. Ganti dengan aku!"

"Kamu selalu ingin mendebat saya."

'Untuk hal tertentu, sih."

"Kenapa kamu ingin bertemu saya hari ini?"

"Nggak tahu mau ngapain kalau di kantor sendirian. Nggak punya teman."

"Kamu terlalu tergantung pada saya. Ada Regina, kan?"

"Saya susah punya teman baru."

Pesanan minuman mereka datang. Glory mencoba es kacang merahnya. "Kemanisan." Protesnya.

"Mau saya pesankan jus dengan sedikit gula?"

"Boleh, atau minuman dokter saja. Kok masih pakai kata saya?"

Ettore tersenyum sambil menukar minuman yag belum diminum. "Kamu juga masih pakai kata dokter."

"Eh iya, lupa. Ya udah deh kayak biasa aja manggilnya. Saya jadi ribet."

Ettore hanya mengangguk sambil menyuap minumannya dengan sendok. Akhirnya pesanan makanan datang. Setelah mencicipi keduanya gadis itu memilih mie celor.

"Dokter nggak apa-apa makan bekas saya?"

"Tidak, saya dan teman-teman dulu biasa saling mencicipi. Karena kami tidak mungkin membeli semua."

Glory tampak menikmati makanannya. Sesekali meraih pempek dan segera menyukai. Tapi tidak bisa menghabiskan porsinya. Sementara mangkok pria dihadapannya sudah kosong.

"Dokter makannya banyak banget."

"Porsi makan saya memang banyak. Apalagi sudah lama tidak makan di sini. Bagaimana kunjungan ke lab? Ini sudah hampir dua minggu."

"Ini jumat."

"Besok sabtu. Kamu puasa nanti malam. Besok ke lab." Suara Ettore terdengar tegas.

"Malas sendirian."

"Kalau saya temani malah tambah bahaya. Nanti bisa menimbulkan gosip. Pikirkan tentang keluarga kamu. Saya tidak masalah."

"Saya masih takut."

"Saya sudah bilang berulang kali. Jangan menunda. Janji, nanti malam kamu puasa, besok pagi ke lab. Telfon WH lalu buat janji setelah ini. Saya akan temani kamu by phone."

"Sebegitu khawatirnya dokter sama saya?"

"Saya tidak ingin kamu menyesal karena terlambat."

Akhirnya Glory mengangguk.

"Tapi janji telfon saya besok pagi. Pokoknya sampai selesai!"

"Saya janji. Awas kalau telfon saya nggak diangkat."

"Saya akan angkat. Kapan janji saya tidak ditepati?"

"Nggak pernah, sih."

"Boleh saya sarankan sesuatu?"

"Tentang?"

"Kalau kamu ke luar. Terutama ke tempat seperti ini, jangan berpakaian seterbuka sekarang."

"Tadi, kan, niatnya ke kantor?"

"Ya, kalau kamu ada pakaian lain di mobil. Nggak enak kalau orang lain ngelihatin kaki kamu terus dari tadi."

"Salahin mata mereka, dong. Masak saya?"

"Terserah kamu kalau begitu."

Glory menatapnya dengan kesal. "Iya, lain kali, enggak lagi. Puas!?

Pria di depannya itu menggeleng sambil berusaha tersenyum.

***

Selesai makan siang yang berakhir dengan wajah cemberut Glory, Ettore tidak langsung pulang. Kali ini duduk di sebuah warung kopi di tepi jalan. Langganannya dulu ketika masih di klinik. Lalu kemudian memilih duduk di sebuah kursi.

"Bagaimana kabarnya sekarang, Dok?" tanya Pak Sanusi sang pemilik warung.

"Baik, Pak. Iya, sekarang saya sudah bekerja di rumah sakit."

"Klinik masih buka?"

"Masih." jawabnya sambil tersenyum. Pemilik warung kembali ke belakang gerobak. Membiarkannya sendirian. Ettore menatap jalanan yang padat. Selalu seperti ini setiap kemari. Ia menyeruput kopi yang masih panas. Ada sensasi rasa yang berbeda. Sesuatu yang selalu membuatnya rindu  kemari.

Saat inipun ia sedang rindu untuk kembali ke daerah seperti dulu. Tapi kontrak dengan SH sudah ditandatangani. Ia harus berada di sana selama dua tahun. Jiwa bebasnya merindukan Mentawai, Ternate, Atambua dan banyak daerah lain yang pernah dikunjungi. Masih terbayang menghirup udara segar khas pantai. Berada di daerah panas yang membuat kulitnya terbakar. Beberapa hari yang lalu sempat berpikir untuk mundur. Tapi tidak mungkin.

Kembali pria itu mengembuskan nafas dalam. Mencoba berpikir akan keputusannya. SH sudah berjalan sesuai dengan prosedur. System sudah lebih baik. Keluarga Wiratama juga masih memegang teguh janji mereka. Lalu apa yang membuat kakinya seolah terikat? Mungkin semua tentang mimpi. Ketika ia berhasil membuka jalan agar mimpi banyak orang terwujud. Ia juga bisa berada di ruang operasi sambil memastikan bahwa banyak pasien tertolong di ruang lain.

Tapi kenapa jiwanya justru mulai terasa kosong? Apa yang terjadi? Apakah ini berarti saatnya untuk kembali ke bangku kuliah? Mengambil subspesialis. Tapi tidak, tabungannya belum cukup. Untuk yang kemarin saja ia harus mengeluarkan banyak uang. Untung ada Profesor Suryo. Ponselnya berdering, dari Glory.

"Ya, Glo."

"Saya sudah sampai di rumah. Dokter di mana?"

"Lagi ngopi di warung."

"Warung apa? Tadi kenapa nggak bilang?"

"Bukan tempat kamu."

"Karena kasus baju saya? Emang jelek banget, ya?"

"Tidak, baju kamu cantik. Tapi pakainya bukan untuk ke warung seperti ini."

"Dokter nggak pulang?"

"Belum, sebentar lagi."

"Ya sudah, saya cuma mau bilang hati-hati kalau nyetir."

"Kenapa memangnya?"

"Kalau nanti dokter kecelakaan, besok nggak jadi nemenin saya by phone waktu pemeriksaan, kan? ingat, janji adalah utang."

"Saya akan menepati janji. Ayo istirahat. Supaya kamu kamu fit."

"Males."

"Jangan membantah, saya mau kamu sehat."

"Cuma sehat doang? Nggak kepingin yang lain gitu?"

"Kamu selalu menggoda saya."

"Ya baguslah kalau kegoda. Artinya saya berhasil, kan?"

Ettore kini tertawa. Rasanya selain alasan diatas tadi. Glory adalah salah satu alasan kenapa ia masih bertahan di sana. Hatinya bertanya, apakah kali ini ibu benar?

***

Happy reading

Maaf untuk typo

271021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top