10

Danny-Kania sudah tersedia di playstore. Silahkan dibaca. Ada 11 extra part. Di bab 14-15 dan selebihnya diakhir cerita.

Jadi buat yang penasaran. Jangan lupa yaaaa.

Satu lqgi, mohon jangan melakukan transaksi melalui ALFAMART. Karena ada beberapa pembaca yang sudah membayar, tapi novel tidak bisa didownload.

Terima kasih...

Salam.....

***

Sudah hampir jam sebelas siang, saat Ettore ke luar dari ruang operasi. Lelah berada di sana sejak jam tujuh pagi membuatnya ingin mencari udara segar sejenak. Turun ke lantai satu mata sang Direktur Medis menatap tajam pada tumpukan pasien lobby. Seorang ibu yang tidak mendapat tempat duduk bersender di dinding sambil duduk di lantai. Di sampingnya seseorang membantu memijat kakinya.

"Sudah berapa lama di sini?"

"Dari jam sepuluh, Dok."

"Sudah mendaftar?"

"Sudah, tapi belum dipanggil."

Pria itu kembali menemui pasien lain, dan mendapat jawaban yang sama mengecewakannya. Bergegas langkah lebarnya menuju pintu ruangan yang tertutup. Seluruh petugas yang sedang asyik menyantap kue ulang tahun terkejut. Yang tadinya ingin menyapa mendadak kaku, karena wajah tak sedap sang dokter.

"Kenapa banyak pasien menunggu di luar?" tanyanya dengan wajah memerah dan nada suara keras. Bahkan terdengar hingga ke luar.

Semua diam. Sebagian segera sibuk kembali ke meja masing-masing. Ia kemudian menyentuh kasar bahu bagian penerimaan pasien yang baru saja duduk. Sebagai tanda untuk berdiri. "Biar saya yang mengerjakan. Mana berkas mereka?"

Dengan takut petugas tersebut menyerahkan lembaran kertas dan juga kartu. Dengan cepat Ettore mengisi formulir yang ada di komputer. Kemudian meminta seorang petugas lain untuk mengambil berkas pasien di lemari arsip. Dilanjutkan memanggil pasien dan meminta mereka segera melanjutkan ke bagian yang dituju. Tak sampai setengah jam, tumpukan pasien sudah habis.

"Rasanya saya perlu mengingatkan lagi. Rumah sakit ini memang untuk orang kurang mampu. Tapi bukan berarti para petugas bisa bekerja sesuka hati. Lambatnya pekerjaan kalian membuat pekerjaan para dokter di dalam juga ikut terlambat. Orang yang datang kemari pasti sakit. Lalu untuk apa memperlambat penanganan? Apa kalian senang melihat mereka kesusahan bernafas, sulit berjalan, dan wajah yang pucat! Sementara kalian bersenang-senang sambil merayakan ulang tahun? Apa tidak bisa ditunda sampai jam istirahat?

"Saya akan memberi surat peringatan untuk kalian semua! Tidak ada pengecualian! Dan setelah ini, saya sendiri yang akan mengawasi pekerjaan kalian. Tidak akan ada satu orangpun yang akan luput dari pengawasan saya!"

Selesai mengucapkan itu, Ettore segera meninggalkan ruangan dalam keadaan marah. Namun begitu ke luar dari pintu, sebuah bercak darah di dinding menarik perhatiannya. Dokter itu berhenti sejenak untuk meyakinkan. Hingga kemudian terdengar suara keras dari dalam ruangan.

"Jelas dia berani, calon menantu Wiratama. Gue juga bisa kalau jadi dia!"

Kesal dengan gosip yang berkali-kali terdengar, pria itu kembali memasuki ruangan.

"Sebaiknya kalian jangan bergosip. Selesaikan saja seluruh pekerjaan. Itu jauh lebih baik, daripada membicarakan yang tidak benar."

Kembali ruangan hening seketika.

***

Glory meminum obatnya pagi itu. Sudah dua malam ia bisa tidur dengan nyenyak. Meski saat bangun kesal setengah mati. Karena banyak darah berceceran di atas sprei. Ia tidak mengganti pembalut saat tengah malam sebagaimana biasa. Beristirahat di rumah tidak membuatnya merasa tenang. Hingga akhirnya memutuskan untuk mandi dan berangkat ke kantor pagi ini.

"Kamu sudah sembuh?" tanya sang ibu saat ia tiba di ruang makan dengan pakaian rapi.

"Sudah, makanya malas di rumah."

"Kerjaan kamu banyak?"

"Nggak juga, tapi lumayan sibuk kalau di sana. Aku bisa ketemu dengan banyak pasien yang punya semangat untuk sembuh."

"Apa itu penting buat kamu?"

"Nggak tahu, tapi aku jadi merasa bahwa keputusan papa dan Om Bragy untuk membangun rumah sakit itu sudah tepat. Setidaknya ada yang membantu mereka. Apa yang kita bangun, bisa memberikan dampak langsung bagi kehidupan banyak orang."

"Bagaimana kabar Dokter Ettore?"

"Baik, tumben mami tanya seseorang?"

"Dia pimpinan di sana. Menurut kamu orangnya bagaimana?"

"Disiplin, pekerja keras, dan bisa memimpin."

"Baguslah, papimu berencana memindahkanmu ke WH. Supaya tidak terlalu jauh dari sini."

Mata Glory melotot. "WH bukan tempatku." Jawab gadis itu sambil menggelengkan kepala.

"Di sana juga banyak pasien. Kamu bisa berinteraksi dengan mereka. Tanpa harus pergi ke daerah kumuh atau terpencil."

"Justru disitu perbedaannya. Aku bisa melihat langsung manfaat rumah sakit. Kalau di WH apa yang mau dilihat? Tiap kamar cuma berisi 1 pasien. Dan mereka mampu membayar seluruh tagihan tanpa mengeluh. Di SH satu ruangan bisa sampai enam sampai delapan orang. Dan jelas mereka semua membutuhkan bantuan."

"Tapi akhirnya pengeluaran di SH besar sekali. Matthew sampai harus memotong anggaran pendidikan di sekolah unggulan. Belum lagi kemarin Dokter Ettore meminta perubahan ruang pendaftaran pasien di lobby."

"Dia sudah bicara tentang alasannya melalui telfon. Aku memang jarang melewati lobby karena memiliki lift sendiri. Banyak petugas yang memperlambat prosedur dengan berbagai alasan. Sehingga terjadi tumpukan pasien. Padahal rumah sakit adalah sarang kuman. Aku rasa pihak yayasan akan menyetujui rencana untuk membuat ruang pendaftaran menjadi tanpa sekat. Supaya para petugas bisa bekerja lebih professional dan diawasi oleh banyak orang.

Aku akan bicara dengan Kak Matt tentang itu. Semoga dengan alasan yang tepat, pihak yayasan lebih paham."

Glory segera bangkit setelah meminum susunya. Kemudian mencium pipi sang ibu. Sepeninggal gadis itu, Ester menghubungi suaminya yang tengah bermain golf di lapangan belakang rumah.

"Dia memang sudah berubah menjadi lebih profesional dan fokus. Ettore berhasil membimbingnya dengan baik."

"Baiklah, aku akan bicara dengan Matthew dan Nina."

***

Ettore tidak pulang semalaman. Kecelakaan beruntun di ruas tol yang tak jauh dari rumah sakit membuatnya harus tetap siaga. Tenaganya dibutuhkan di ruang operasi. Hingga pagi ini pria itu mandi di ruang kerjanya. Setelah selesai, berencana untuk tidur sebentar. Baru kemudian kembali beraktifitas. Beruntung ada pakaian dinas yang sudah bersih. Ke luar dari kamar mandi, Ettore tersenyum lebar saat menemukan segelas kopi panas dan dua potong cake sudah ada di atas meja. Pria itu tersenyum, artinya Glory sudah kembali bekerja. Segera ia menuju ruang sang gadis sambil membawa kopi dan cake-nya.

"Hei, sudah baikan?" sapanya.

"Sudah, obatnya manjur. Kok dibawa ke sini lagi?" tanyanya sambil melirik tangan Ettore.

"Kepingin sarapan di sini sambil ngobrol dengan kamu. Setelah ini saya akan tidur sebentar."

"Ya, di bawah tadi ramai sekali. Katanya ada tabrakan yang korbannya banyak yang meninggal."

"Ya, karena salah satunya adalah bus yang berpenumpang penuh. Kamu mampir ke lobby tadi?"

Glory menghembuskan nafas kasar. Namun segera tersenyum saat pria di depannya mengunyah cake dengan lahap.

"Ya, untuk membicarakannya nanti siang dengan Kak Matt. Kasihan melihat keluarga korban, tapi namanya juga kecelakaan. Masih mau cake-nya?"

"No, kalorinya pasti tinggi sekali. Bagaimana dengan kesehatan kamu?"

"Obatnya cukup manjur untuk mengatasi nyeri perut. Tapi, pendarahannya masih seperti biasa."

Ettore kemudian bangkit untuk menutup pintu.

"Kenapa ditutup?"

"Saya ingin berbicara secara pribadi. Tentang kondisi kamu."

"Parah?" nada suara Glory terdengar khawatir.

"Saya ingin kamu menjalani pemeriksaan yang lebih intensif. Lebih cepat kita mengetahui, akan lebih baik dari segi pengobatan."

"Apakah diagnosanya seperti perkiraan saya?"

"Kita harus memastikan. Tapi ingatlah, dunia kedokteran sudah sangat canggih. Selalu ada harapan."

"Saya jadi takut."

Ettore menatap gadis itu dengan lembut, "Lebih baik tahu sekarang daripada menunda."

"Apakah pemeriksaan akan menyakitkan?"

"Tidak selalu."

"Saya tidak siap."

"Dalam hidup, kadang kita berhadapan dengan sesuatu yang sulit dan tidak bisa diterima oleh akal. Sayangnya, keputusan harus tetap diambil untuk sebuah kebaikan. Percayalah, akan ada jalan keluar dari setiap permasalahan kamu."

"Bagaimana dengan kemungkinan terburuk."

"Dokter tidak akan melakukan itu kecuali untuk urusan nyawa. Karena nyawalah yang paling berharga."

"Akan saya pikirkan."

"Mau ikut visit siang nanti?"

Glory mengangguk. "Dihabiskan dulu sarapannya."

"Dua hari ini saya kehilangan kue kamu."

"Apa saya harus masuk hari minggu juga supaya bisa membawakan sarapan?"

Ettore tertawa. "Tidak usah, cukup saya yang harus bekerja. Kamu di rumah saja."

"Kenapa saya merasa dokter seperti ngomong ke istri sendiri, ya?"

"Masak, sih?"

"Ya, atau dokter sudah jatuh cinta pada saya?"

"Kamu ada-ada saja."

"Kalau kemungkinan terburuk itu terjadi, apa dokter masih mau sama saya?"

Langkah pria itu terhenti, meski pelan ia bisa mendengar dengan jelas kalimat yang diucapkan Glory. Kemudian tubuh tegap itu berbalik.

"Sampaikan pada saya kalau kamu sudah siap untuk memulai pengobatan. Saya akan menemani kamu."

"Jangan beri saya harapan, Dok. Jadi perempuan yang berharap terus menerus nggak enak banget. Apalagi dengan kondisi seperti saya."

Seperti biasa, Ettore tidak menjawab namun kali ini ia tersenyum kecil.

***

Ettore pulang ke rumah setelah tiga hari menginap di rumah sakit. Ibunya menatap sang putra seolah tengah menyelidiki sesuatu. Ada sesuatu yang berubah pada wajah tegas itu.

"Ibu, kenapa?"

"Kamu berubah. Sepertinya sedang bahagia."

"Masak, sih? Biasa saja. Siapa yang tidak bahagia kalau akhirnya bisa pulang ke rumah?"

"Maksud ibu, bukan karena itu. Hati yang gembira akan terlihat jelas diwajah kamu."

Kembali sang anak tersenyum. Menganggap bahwa ibunya sedikit berlebihan. Ettore mengeluarkan beberapa pakaian kotor dari ransel.

"Kamu baru gajian?"

"Tidak. Apa ibu butuh sesuatu?"

"Bukan itu maksud ibu." jawab perempuan itu singkat lalu segera melangkah ke dapur. Ia penasaran pada yang terlihat berbeda hari ini. Tapi bagaimana cara bertanya? Sementara putranya bukan orang yang suka membicarakan tentang hal pribadi. Kembali terdengar senandung Ettore saat memasuki kamar mandi. Sesuatu yang sangat jarang terdengar.

Hingga kemudian pria itu ke luar dengan rambut basah. Tersenyum lebar saat menemukan sudah terhidang makanan favoritnya diatas meja. Sayur lodeh dan pepes ayam jamur.

"Aku selalu kangen masakan ibu."

"Ibu juga selalu kangen sama kamu, tapi kamu malah pergi melulu. Dulu ibu kira, kamu bekerja di sini kita bisa lebih mudah bertemu. Tapi ternyata sama saja."

"Aku di sana untuk memastikan kalau semua berjalan sebagaimana mestinya, Bu. Bukan hal mudah menjabat Sebagai Direktur Medis."

"Kamu makan di mana selama tidak pulang?"

"Di kantin. Kalau pagi kadang dibawain sama Glory."

"Glory yang anak Pak Brandon?"

"Ya, kalau aku menyebut nama, artinya ibu kenal, kan?"

"Bagaimana kabar Glory?"

"Dia baik. Progresnya bagus. Sebentar lagi aku sudah bisa melepasnya. Enam bulan ini dia belajar dengan sangat keras."

"Kamu suka sama dia?"

***

Happy reading

Maaf untuk typo

251021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top