37 | Milky Way

Ileana

Salah satu bilik self potrait di studio disulap Dewa menjadi ruangan romantis bertabur lampu tumblr warmwhite. Pada dinding, tayangan video milky way terpancar dari proyektor. Sementara di tengah-tengah, terbentang karpet wol lengkap dengan bantal-bantal empuk.  Netraku juga menemukan paperbag makanan cepat saji terhidang di atas meja lipat.

Entah dari mana Dewa dapat ide seperti ini?

"Kamu yang siapin semua?" tanyaku terperangah.

Dewa mengangguk. "Semua properti studio, sih. Tinggal masang doang." Ia coba merendah.

Aku memandangnya penuh binar.

Bukankah ini Dewangga Satya - lelaki yang tidak punya romantic sense sama sekali? Aku ingat kalau dia pernah ngaku jijik dengan hal-hal berbau romantis. Dia bahkan geli sendiri tiap memergoki cara Raihan memperlakukanku dulu. Kata dia cowok romantis itu pasti gay, atau buaya darat. Sekarang dia termasuk yang mana?

"Seriusan ini kamu yang nyiapin?" selidikku lagi.

"Yaiya. Emang siapa lagi? Om Jin?" kelakar Dewa.

Aku kembali terkesima. Bibirku rasanya susah terkatup. Tercengang, terperangah.

"Seriusan?" cecarku.

Dewa mendecih. "IYA!" geramnya. "Kenapa? Norak, ya?" Dia lalu mengambil remote proyektor dan mematikannya. "Aku juga merasa video bintang-bintang ini alay, serasa di diskotik dangdut."

"Kok dimatiin?!" protesku. "Nyalakan lagi."

"Norak, ah!" tolak Dewa.

Aku menggeleng. "Sama sekali nggak. Ini romantis banget malah ... aku beneran nggak nyangka."

Dewa berdeham salah tingkah. Ia lalu menyalakan kembali proyektornya. Kemudian, menuntunku untuk duduk.

"Perasaan kita belum makan," kata Dewa.

"Aku, sih, udah tadi di rumah Aya," gumamku pelan.

Dewa meringis kecut. "Padahal aku bela-belain nunggu kamu pulang buat makan bareng, lho. Eh, kamunya ternyata udah makan duluan. Dari siang ini perut belum diisi," gerutunya. Ia lantas menyambar bungkus makanan dan membukanya secara impulsif. Kemudian Dewa gesit melahap burger dengan gigitan besar.

Aku mengulum senyum.

"Jadi ... kamu sengaja nunggu aku buat makan bersama?" tanyaku.

"Ya-iya, Nyonya," sahut Dewa. Pipinya menggembung — penuh oleh campuran roti, beef patty, dan selada. Ia sibuk mengunyah. Dewa memang lapar berat.

Netraku tiba-tiba memburam.

Kuamati sosok Dewa lamat-lamat. Mataku memanas.

Dewa hampir tersedak. "Kenapa kamu?" Ia berhenti makan untuk memeriksaku.

"Nggak." Aku menunduk, memalingkan mukaku. Sekuat tenaga kumasukkan kembali air mata yang memaksa keluar.

"Kamu kenapa, sih, Ileana? Nggak apa-apa, tapi mau nangis?" buru Dewa.

"A-aku cuma terharu, akan semua ini ..." jawabku. Lagi-lagi pelupukku berembun.

"Dibanding apa yang sering dilakukan 'mantanmu' dulu, ini nggak ada apa-apanya," kilah Dewa. "Kamu jujur sama aku, ada apa? Hmm?"

"Seriusan aku emang terharu, Dewa. Kamu bela-belain seperti ini buatku padahal kamu, kan, cowok kaku kayak kanebo kering kalau urusan hal-hal berbau manis ..."

"Sialan ..." decih Dewa lirih.

"Aku ngerasa penting, aku ngerasa berharga," akuku.

Dewa mengernyit. "Maksud kamu apa? Jelas, kamu berharga buatku, memang kamu pikir aku menganggapmu bagaimana?"

"Entahlah." Aku mengedikkan bahu. "Kamu rela pindah ke Surabaya demi bersama Aya. Kamu menyewa tempat sebesar ini dan memindahkan pekerjaanmu ke mari. Aku merasa—"

"Hei," sela Dewa. Ia menggeser duduk mendekatiku. "Have you ever fallen in love so hard for someone that, all of a sudden, and all you want is that one person because there isn’t going to be another?" sorotnya dalam.

Aku membalas tatapan Dewa.

Ia kembali melanjutkan, "I have fallen desperately in love and you became my world."

"Instantly?"

Dewa mengulas senyum. "Honestly, I knew that something was going to happen in the moment I met you. Aku tahu kesannya memang bajingan karena saat itu aku pacarnya Aya, tapi Ileana, itulah cara takdir mempertemukan kita. Sejak awal, aku tertarik padamu. Aku nggak bisa kontrol perasaanku ke kamu, but I do have control over who I choose to spend my time with, at that time with Aya."

"Attraction might be instant, right?"

Dewa mengangguk. "Indeed." Ia mengiakan. "Beyond the instant attraction, it takes time and work to mature and grow a love that endures. Makanya, sama-sama aku terus, ya. Supaya kita semakin solid, semakin ngerti satu sama lain."

Raguku sirna.

Padahal aku yang bilang jangan lagi menoleh ke masa lalu, tetapi aku juga yang kembali membandingkan posisiku dengan Soraya.

"Kamu bijak banget, sih? Pinter ngomong pula," pujiku. "Nggak pengen nyaleg?"

"Kamu tim suksesnya, kan?" timpal Dewa.

"Bolehlah," kekehku.

"Yaudah, siap-siap aja kumpulin massa. Targetku ibuk-ibuk, ya. Mulai dari sekarang bagi-bagiin beras ama minyak, gih." Dewa serius menanggapi candaanku.

Aku mencomot burger miliknya. Ulahku membuat Dewa menggerutu dan membuka bungkus lain.

"Eh, ngomong soal ibu-ibu, Tante Yoke ngomong apa aja sama Tante Hana?" cecarku.

"Nggak tahu," jawab Dewa santai. "Kayaknya cuman nanyain kenapa aku sama kamu berdua-duaan sampai malem."

"Hah?" Aku melotot. "Terus?"

"Kan udah aku jelasin di telvon tadi," kata Dewa. "Udalah, nggak apa-apa. Dengan begini, orang rumah pada tahu kalau aku sama kamu sekarang pacaran."

Aku mendengkus. "Tante Yoke itu, ya ... nyebelin banget. Kesannya hubungan kita negatif di mata keluargamu. Mungkin saja, mereka mikirnya aku ini pelakor."

Tawa Dewa pecah.

"Segitunya imajinasimu, Ileana?" kikik Dewa. "Nggaklah. Ortuku nggak rempong gitu. Toh, aku udah dewasa bukan anak SD lagi. Udah, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang nggak ada. Nggak perlu overthinking."

"Tetep aja aku kesel sama Tante Yoke. Hubungan kita nggak seharusnya diungkap dengan cara begini."

"Dia tuh peduli sama kamu. Kalau nggak peduli, ngapain dia capek-capek ngawasin aku dari siang sampai tengah malam. Repot ke rumah Pak RT pula buat tanya nomor orang tuaku," sanggah Dewa.

"Nah, kan, itu namanya rempong. Kepo!"

"Ya, nggaklah," bantah Dewa. "Menurutku Tante Yoke memang mencemaskanmu. Kalau dia rempong, kenapa dia nggak suruh Pak RT buat gerebek kita? Kayak di berita-berita gitu, terus kita dikawinin paksa."

"Mau, dong, dikawinin paksa," cengengesku. "Ah, pokoknya aku masih marah. Dulu dia nggak berbuat apa-apa waktu aku ditelantarkan papa. Kenapa sekarang mendadak peduli?"

Dewa menghela napas.

"Mungkin saja karena ketidak-peduliannya dulu membuatnya menyesal. Sehingga dia coba menebusnya sekarang." Dewa menepuk kepalaku. "Hidup akan lebih tenang jika kita tidak melulu menyimpan amarah di dada."

Aku mengerucutkan bibir.

Perkataan Dewa mau tidak mau menyentil afeksiku. Baru kali ini ada sosok lelaki yang benar-benar mengisi kekosonganku. Ada celah menganga akibat ketiadaan figur 'lelaki' dalam fase kehidupanku. Umumnya, seorang wanita mendapatkannya dari ayah mereka. Tapi tahu sendiri, papa tidak pantas disebut 'ayah' karena dia pun belum selesai dengan dirinya.

Kukira kekasih sempurna tiada adanya.

Namun, lihatlah Dewa — dia baik, dia bijak, dia bahkan humoris. Bagian berongga di relungku perlahan-lahan menciut. Rasanya, aku tidak lagi pincang. Dewa kekasihku; dia juga bisa melengkapiku, bijak seperti ayah yang tak kumiliki, tulus melindungi bak saudara lelaki.

Tuhan, aku tak berharap lebih, aku hanya mau dia untukku.

"Terus, gimana kamu sama Aya? Aku tadi belum dengar detailnya," selidik Dewa.

"Kami—"

Belum selesai aku bicara, Dewa sudah memotong. "Berantem, kan? Cakar-cakaran kayak kucing," terkanya.

"Hah?" Kok tahu?

"Memang terkadang, aku merasa menjadi tampan itu kutukan."

"Cuih!" Aku memasang raut seolah-olah hendak muntah. "Pede amat, sih!"

Dewa meringis.

"Kamu pegang janjimu untuk tidak merendahkan dirimu, kan?"

Aku mengangguk pelan. "Ya."

"Good girl." Dewa menepuk puncak kepalaku.

Aku semakin manyun.

Dewa menyandarkan sebelah sisi tubuhnya padaku. "Ileana, kamu harus tahu kalau kamu itu berharga. Kamu wanita sempurna yang sanggup membuat lelaki tampan sepertiku bertekuk lutut."

Aku sontak tertawa geli.

"Kok kamu lama-lama jadi narsis, ya?" ledekku.

"Hehe."

Kami lantas terdiam. Aku menyelipkan lengan untuk bergelayut pada Dewa.

"Should we sleep here?" tanya Dewa mendeham.

"Di sini nggak ada hantu, kan?" balasku.

"Nggak usah diomongin biar nggak merasa terpanggil," gerutu Dewa.

Aku mendesis. "Ih, kok jadi serem!"

"Jadi mau pulang?"

"Maunya sama kamu," jawabku.

Dewa menunduk untuk mencari mataku. Kami sama-sama tersipu. Malu-malu.

"Lanjutin yang tadi, mau?"

Aku tersenyum merona. "Ya," kataku.

Dewa lantas mengecup pipiku, lalu menjelajah ke telingaku. Sementara sela-sela jemarinya meremas tiap helai rambutku.

"Wangi ..." bisik Dewa.

"Aku tadi habis mandi," akuku.

"Curang."

"Kenapa?" tanyaku.

"It makes me can't stop to kissing you."

"Then don't."

Bibir kami lantas saling bertemu, melepas rindu, hasrat, dan gairah menjadi satu. Tiap sentuhan mengakibatkan gelora kian berkobar. Nyala asmara antaraku dan Dewa menyala-nyala. Pendarnya bahkan sanggup menerangi palung tergelap jiwaku yang telah lama koma.

Aku mencintai Dewa. Sangat.

Kami melepaskan pakaian satu sama lain, menyatukan kulit dengan kulit. Lalu kembali menautkan garis bibir yang serasi mencecap.

"Aku belum puas mengagumi gaunmu tadi." Suara Dewa merayuku.

Aku mendesah ketika ia menaikkanku ke atas pangkuannya. "Masih ada lain waktu," timpalku.

Dewa menuntun tubuhku penuh dominasi. Anehnya, aku tak keberatan. Dan, oh ... aku menikmatinya. Ia dengan mudah mengangkat bokongku agar naik pada pinggangnya. Kemudian, aku pun menyambut miliknya yang teracung. Membantu batang liat Dewa melesak menembus pertahananku.

Kami sama-sama melenguh.

[ CUT. BACA UTUH DI KARYAKARSA ]

Bercinta tidak lagi mengerikan.

Bercinta tidak menakutkanku. Aku menjadi diriku. Aku tak perlu berpura-pura.

Aku dan Dewa memuja satu sama lain. Kami mencurahkan perasaan terdalam dan meluapkannya melalui tiap sentuhan. Dewa memberiku, dan aku menerimanya. Pun sebaliknya.

Hingga pada akhirnya, gelenyar-gelenyar kenikmatan meledak membakar raga kami. Aku dan Dewa membumbung tinggi dalam sengatan cinta teramat dahsyat.

***

Alunan musik lembut pengantar tidur sengaja Dewa putar. Dia benci suasana yang terlalu sunyi di studio. Kurasa, Dewa juga merasa takut, tapi tak menunjukkannya padaku.

Meski terpejam dan berulang kali menguap, Dewa konsisten membelai-belai pundakku.

"Gimana kalau kita bangun kesiangan dan stafmu pada datang?"

"Aku sudah pasang alarm," ujar Dewa.

"Gimana kalau aku ngebo dan nggak dengar?"

"Maka aku nggak akan tidur, kamu aja," kata Dewa.

Aku mengulum senyum. Bisa-bisanya bilang begitu padahal matanya sudah setengah watt.

Aku pun mengeratkan dekapan. Lalu berusaha terpejam untuk mengistirahatkan pikiran. Berada di sisi Dewa menentramkanku. Damai.

"Ileana," panggil Dewa secara tak terduga.

"Ya?"

"Kuharap kamu memaklumi keputusanku, aku pikir — aku akan pindah dari kontrakanku yang sekarang."

MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Yuk, maratonan sama Dewa n Ileana!

Salam Sayang — Ayana Ann

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top