36 | Playdate

Ileana

Meski menyimpan kenangan saat aku memergoki Raihan berselingkuh; ada alasan kenapa aku tidak membuang lingerie ini, bahannya sutra, harganya mahal.

Aku secara khusus memilih sutra karena Raihan punya kriteria ketat dalam pemilihan pakaian. Dia suka barang-barang branded, suka hal-hal pricey. Makanya, aku pikir bisa mengesankannya dengan gaun tidur ini. Otherwise, it was him who did such an amazing thing that really impressed me.

Anyway, the past is over.

Aku akhirnya berkesempatan menggunakan lingerie cantik ini sekarang. At the perfect time, with the perfect person.

Berulang kali kucek lagi penampilanku di depan cermin. Kain halus yang kukenakan membingkai lekuk tubuhku elok, warna salem-nya juga berbaur dengan kulitku, selain itu, aku yakin penampilanku benar-benar seksi. Kalau Dewa sampai nggak tergoda, dia pasti homo.

Alisku bertaut iba ketika memandang wajah pulas Dewa. Kasihan juga harus membangunkannya, akan tetapi bukankah dia juga yang nanti lebih banyak menikmati?

Tanpa lagi ragu, aku bergegas menyusul Dewa di ranjang. Kutarik selimut dan membenamkan tubuhku di sebelahnya. Akibat ulahku, Dewa pun menggeliat dan perlahan-lahan membuka mata. Ia menatapku melalui netranya yang sedikit memerah. Butuh beberapa detik bagi Dewa melengkapi kesadaran.

"Ileana?" gumamnya berat. "Kamu udah pulang?"

Aku menjawab dengan anggukkan kepala. Sengaja kurapatkan selimut demi menyembunyikan penampilanku dari Dewa.

Dewa mengusap wajah. "Aku tadi bebersih, malah ketiduran sampai nggak sadar kamu udah balik." Ia lantas menguap.

"Makasi, ya, udah rapiin rumah," ucapku.

"Iya," kata Dewa. "Lain kali jangan dibiasain membiarkan tempat tinggal berantakan kayak rumah angker."

Hmmh, mulai ...

Sebelum Dewa semakin banyak mengomel, aku buru-buru membungkam bibirnya menggunakan bibirku. Kecupanku membuat Dewa meringis malu-malu.

"Gimana tadi sama Aya?" tanya Dewa.

"Semua berjalan baik," jawabku.

Dewa memandangku lekat, ia menelisik wajahku. "Kok, muka kamu merah-merah? Ini? Kayak dicakar?"

"Nggak, ah!" elakku.

"Nggak gimana? Bekas apa ini?" Dewa menegakkan badan. Ia menajamkan mata untuk memeriksaku dengan saksama. "Kamu abis berantem?"

"Ih, kubilang nggak," sergahku. Aku lantas mengangkat kepala dan menyibakkan selimut. Aku tersungging malu sambil menyorot Dewa, menunggu responnya.

Bibir Dewa menganga.

Ia sama sekali tidak berkedip. "As-ta-ga ...?" gumamnya. "Kamu pakai apa ini?"

"Nggak bagus, ya?" Aku mulai kehilangan kepercayaan diri.

Dewa melotot. "Nggak bagus, gimana? Ini keterlaluan ... seksi ... cantik." Ia lantas menelan saliva. "That dress suits you very well."

"So you like it?" tanyaku merona.

"I love it, Ileana," jawab Dewa. Tatapannya terpaku padaku, membuatku salah tingkah setengah mati.

"Aku sengaja ingin memamerkannya padamu."

Dewa menyeringai. Ia berpindah membelai bahuku yang terekspos, lalu menyisipkan helai rambutku ke belakang.

"Tapi gimana, dong?" Dewa menggodaku.

"Gimana apanya?" Aku menatapnya bingung.

"Aku harus melepaskannya." Dewa mengulum senyum.

Jantungku seketika berdebar kencang, apa lagi ketika Dewa mendaratkan kecupan pada pundak dan leherku. Kulit bibirnya terasa hangat. Napasnya juga.

"Maaf karena membangunkanmu," desahku tertahan.

"Please, don't be sorry," kata Dewa setengah membisik. Ia tak berhenti mengecup garis rahangku. "Aku suka dibangunkan seperti ini, dia juga suka ..." Dewa meraih jemariku agar menyentuh pertengahan celananya. Ada sesuatu yang terasa melonjak keras di dalam sana.

Kami pun saling memagut intim.

Tubuhku dan Dewa merapat demi membagi kehangatan. Jari-jariku konsisten mengusap miliknya yang masih tersembunyi. Sementara, Dewa penuh mesra mengejar lidahku. Telapaknya menopang belakang kepalaku, sesekali ia mendesakku agar tautan kami kian lekat.

Darahku berdesir.

Kemudian berganti menjadi birahi membumbung tatkala Dewa beralih pada bukit kembarku. Tidak sulit baginya menurunkan tali tipis itu dari pundakku. Mempertontonkan buah dadaku yang menyembul bebas tanpa perlindungan apa pun. Dewa lantas menyesapnya.

"Ehmh ..." Aku merintih oleh nikmat.

Dewa tak berhenti, malahan mengisap makin kuat. Menyusu di sana seolah kehausan. Mempermainkan pucukku dengan tarikan gemas, lalu memperlengkap godaan dengan memilinnya menggunakan jari.

Kedua tungkaiku menggeliat-liat.

Jamahan di atas sana, berefek hebat di bawah. Liangku berdenyut frustrasi, membutuhkan milik Dewa yang perkasa untuk mengisinya.

"Dewa ..." desahku kegelian.

Dewa menjentik putingku menggunakan lidahnya. Ia belum puas dan ia enggan menyudahi semua. Suasana kian memanas antara kami berdua, terlebih aku semakin menginginkannya untuk menjajah diriku.

Namun,

Toktoktok. Pintu depanku mendadak diketuk keras. Gedoran itu mengakibatkanku dan Dewa kompak tersentak terkejut.

"Siapa malam-malam begini?" dengkusku.

"Biar aku lihat," kata Dewa berinisiatif.

Aku menahannya. "Jangan. Ini rumahku, biar aku yang buka pintunya."

Aku lantas memeriksa lemari dan meraih pakaian sekenanya. Bersungut-sungut karena tamu tidak diundang yang merusak momenku dan Dewa. Aku bergegas keluar kamar, lalu berjalan untuk membukakan pintu.

Netraku membeliak. "Tante Yoke?" sambutku. Tante Yoke, tetangga rempong, sudah berdiri di teras. Ia memanjangkan kepala untuk menyapu pandangan ke dalam. "Ada apa, ya?" Aku terusik.

"Ileana, sorry Tante ganggu malam-malam," ujar Tante Yoke. "Kamu sama siapa di rumah?"

"Kenapa memangnya Tante?" Aku berbalik tanya.

"Tante dari siang lihat Mas Dewa, orang yang ngontrak di sebelah rumah kamu, masuk ke sini. Apa kalian saling kenal?" selidik Tante Yoke.

"Kenal," jawabku singkat.

Dari belakang, Dewa datang menyusul. Ia mengulas senyum ramah pada wajahnya.

"Malam," sapa Dewa. Ia mengulurkan tangan untuk mengenalkan diri. "Saya Dewa, yang tinggal di E8."

Tante Yoke memasang ekspresi sinis.

"Ya, saya tahu." Ia menerima jabatan tangan Dewa dengan acuh tak acuh. "Mas ini kerabatnya Pak Arifin?"

"Om Arifin itu sepupu ayah saya, Tante," terang Dewa. "Mereka sekeluarga sekarang di Padang, jadi saya bisa mengontrak rumahnya."

"Oh," gumam Tante Yoke. Ia lalu berdeham sambil memandangku dan Dewa secara bergantian. Kedua tangannya disilangkan ke depan dada. "Gini, ya, Mas Dewa, langsung saja - tidak sepantasnya, lho, bertamu sampai larut malam begini. Apa lagi, kalian berdua sama-sama bujang."

Aku melotot tidak terima, namun, Dewa gesit mencengkeram lenganku. Aku pun menoleh padanya, dan Dewa menggelengkan kepala.

"Saya minta maaf, Tante. Saya akan pulang sekarang," kata Dewa mengalah.

"Jangan terlalu sering begini, ya, Mas. Nggak enak dilihat orang. Memangnya hubungan kalian ini apa?" cecar Tante Yoke. "Kalian pacaran?"

"Kami cuma teman. Kebetulan saya dan Ileana ada pekerjaan bareng, dia jadi model untuk proyek yang saya garap. Kita keasyikan ngobrol hingga nggak sadar sudah malam," dalih Dewa.

Tante Yoke manggut-manggut.

"Meski begitu, jangan diulang lagi," tegas Tante Yoke. Ia lalu menyorotku. "Ileana ini sudah Tante anggap anak sendiri, jadi sebisa mungkin Tante jaga dari fitnah."

Dewa mengangguk. "Iya."

"Tante tadi minta nomor orang tuamu dari Pak RT, apa kamu keberatan kalau Tante hubungi mereka?"

Dewa tersenyum. "Sama sekali tidak. Silakan saja."

"Ya sudah."

Alih-alih pergi, Tante Yoke setia pada tempatnya. Rupanya, dia menanti Dewa untuk keluar bersama.

Betul-betul wanita menyebalkan yang gemar ikut campur!

"Aku balik," pamit Dewa padaku.

Aku menekuk muka enggan menyahut.

Netraku nanar mengikuti punggung Dewa yang perlahan menjauh. Ini tidak seperti yang kubayangkan. Kami berdua dipaksa menjauh demi memuaskan ego orang-orang yang haus moralitas.

Aku menutup pintu dan menguncinya.

Malam yang kukira bakal berakhir sempurna - ternyata nggak sempurna-sempurna amat. Aku kadang heran sama diriku, sepertinya nasib sial gemar mengikutiku ke mana-mana. Kalau aku sedang merasa bahagia sedikit saja, selalu ada seutas nahas menghampiri.

Kuhempas tubuhku ke atas ranjang, kesal bukan main.

"Ileana ini sudah Tante anggap anak sendiri, jadi sebisa mungkin Tante jaga dari fitnah."

Anggap anak sendiri sejak kapan?

Tante Yoke salah satu saksi hidup kelakuan papa; yang hobi mabuk-mabukan, main perempuan, dan suka mukul mama. Tante Yoke sering, lho, lihat aku nangis di depan rumah karena takut masuk ke dalam saat mama dan papa berantem. Tapi, dia sama sekali tidak memedulikanku, tuh. Malah melenggang cuek meninggalkanku. Kenapa sekarang tiba-tiba peduli?

Sambil menggerutu sendiri, aku meraih ponsel dan mengetik sebuah pesan untuk Dewa. Aku juga agak sebal dengannya.

'kami cuma teman', huh???

Kukirim segera, menanti balasan Dewa. Sedetik, semenit, sampai hampir sepuluh menit, Dewa tidak kunjung merespon. Hatiku semakin geram tidak karuan - masa, dia langsung tidur sesampainya di rumah? Tanpa memikirkan perasaanku gitu?

Aku pun beranjak untuk mengintip ke arah rumah Dewa; sepi, gelap gulita.

Benar-benar keterlaluan.

Kekesalanku memuncak. Aku lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Di mana-mana lelaki sama saja - nggak peka!

***

Sultan gelisah mondar-mandir di atas kakiku. Aku yang tadinya hampir mereguk mimpi indah, malah terbangun gara-gara ulahnya.

"Kenapa, sih, Sul? Udah malam ini. Ayo, bobok!" sungutku.

Sultan terus mengeong.

Aku memanjangkan tangan untuk menyalakan lampu tidur pada nakas. Pasti ada alasan kenapa kucing manja ini berisik tengah malam.

"Oh ...?" gumamku meraih ponsel. Ternyata sedari tadi gawaiku bergetar hingga mengganggu kedamaiannya. Netraku seketika membeliak saat mendapati tujuh panggilan tak terjawab dari Dewa. Ada apa?!

Meski marah dan tadi berjanji pada diri sendiri bakal mengabaikan Dewa sampai satu bulan, aku malah bergegas meneleponnya balik.

"Sudah tidur, ya?" tanya Dewa dari seberang.

Aku mendecih. "Bukannya kamu yang sudah tidur duluan?"

"Hmm?" gumam Dewa. "Aku belum tidur, kok."

"Terus kenapa pesanku nggak di balas?" buruku.

"Sorry-" jeda Dewa. "Tadi ibu telvon. Setelahnya, aku langsung balas pesanmu."

"Tante Hana?" Aku membeliak. "Karena aduan Tante Yoke?!"

"Ya-"

"Aduh! Tante Yoke tuh emang keterlaluan. Lihat aja besok, aku bakal bikin perhitungan sama dia!" selaku berapi-api.

"Hei," tegur Dewa menenangkanku. "Perhitungan apa? Dia begitu karena perhatian sama kamu. Kamu denger sendiri, kan, dia bilang udah anggap kamu anak. Seharusnya senang ada yang sayang sama kamu."

"Alah, bullshit. Itu cuman alasan dia aja buat ikut campur, buat bahan gosip baru di kompleks!" gerutuku.

"Udah ... udah ..."

"Eh, iya! Terus Tante Hana gimana?" selidikku cemas.

"Ibu kira aku selingkuh dari Aya sama kamu. Terus aku jelasin semuanya ke ibu," terang Dewa.

"Se-semuanya?"

"Iya." Dewa membenarkan. "Ibu titip salam."

Aku terdiam.

"Ileana?" panggil Dewa. "Halo?"

"Apa Tante Hana illfeel sama aku, Dewa? Dia mendengar anaknya bermalam di rumahku. Pasti di matanya aku ini cewek nggak bener, cewek nakal ..." ratapku.

Dewa sontak terkekeh. "Apa, sih, kamu?" Ia tertawa. "Ibu nggak gitu orangnya. Awalnya ibu cuman salah paham, dikiranya aku nyeleweng dari Aya. Ibu, kan, belum tahu aku sama Aya udah putus. Begitu aku jelaskan, ibu malah senang karena kita jadian."

"Bohong," lirihku.

Dewa mendecak. "Issh. Nggak percayaan banget!" sungutnya. "Ehm, betewe, kamu ngantuk, nggak?"

"Kenapa?" Aku balik tanya.

"Kamu pasti belum baca balasan pesan yang kukirim, ya?"

"Belum," jawabku.

"Aku nggak di rumah, Ileana. Aku di studio. Menunggumu," kata Dewa.

"A-apa?!"

"Kupikir - aku masih bisa menyelamatkan malam ini. Makanya, setelah bicara dengan ibu di telvon, aku bergegas meluncur ke studio. Eh, lupa memperhitungkan kalau kamu mungkin sudah tidur."

Aku masih terperangah. "Kamu di studio ngapain? Malem-malem?"

"Udah lupain aja. Kamu mending lanjutin boboknya. Kita ngobrol lagi besok."

"Dewa!" cegahku. "Aku akan ke sana."

"Nggak usa-"

"Tunggu!" tukasku.

Aku lantas mengakhiri pembicaraan kami. Dengan tergesa-gesa, aku mengambil tas dan berangkat menyusul pujaan hatiku berada.

Seutas sesal berkelindan pada dada, maaf karena telah meragukanmu, Dewangga Satya.

***

Areal parkir studio Dewa hanya diisi oleh mobilku.

Sepi dan gelap tiada satu orang pun. Aku ngeri sendiri hingga setengah berlari menuju ke dalam bangunan. Kususuri jalanan setapak berbatu dengan terburu-buru, khawatir ditampakkan oleh 'penampakan' dedemit. Heran - kenapa halamannya seluas ini, sih?

Barisan tanaman ilalang hias melambai-lambai tertiup angin malam; kalau siang suasananya estetik, malam begini, entah kenapa, horor sekali.

Di tengah ketakutan akan kemunculan hantu, aku mendadak tersadar akan satu hal. Dewa rela membayar mahal untuk membuka studio di sini. Lokasinya cukup strategis dan berada di pingiran jalan raya. Dia pindah ke Surabaya ... demi Soraya, bukan?

Langkahku yang tadinya memburu, berubah pelan dan gontai.

Lelaki ini - melakukan segalanya demi Soraya, ia benar-benar serius akan cintanya. Sedangkan aku hanya wanita baru yang ia temui. Jadi, apa artinya aku untuknya? Mungkinkah aku memang pelampiasan sesaat demi meredam luka hatinya? Segalanya jadi tak sebanding lagi. Aku merasa kalah telak.

"Ileana?"

Aku tersentak. "D-Dewa?!"

"Kok diam di situ? Ayo masuk!" ajak Dewa.

Aku mengangguk. "Iya," kataku mengulas senyum palsu. Kesembunyikan rendah diriku dalam-dalam.

Jika pun Dewa memang cuma setengah hati, aku sudah terlanjur mengambil keputusan. Tiada jalan untuk mundur, tak ada tempat untuk kembali. Aku mencintainya - itu yang terpenting. Soal perasaan Dewa padaku, biarlah jadi urusannya dengan Tuhan.

"Kamu ngantuk, ya?" tegur Dewa.

"Oh, nggak," gelengku. "Kita mau ngapain di sini?"

"Ikut aja," kata Dewa. Ia menggandeng tanganku erat.

Jantungku bergemuruh. Kami sudah bercinta, tetapi ini kali pertama ia menggandengku sebegini kencang. Buku-buku jari kami terkait rapat. Hangat, menenangkan.

Ia membawaku masuk ke salah satu ruangan, seketika netraku membelalak.

"Dewa?" Aku membeliak.

Dewa memandangku. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk garis melengkung.

"Suka nggak?"

MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Kalian bisa baca jalur cepat dengan harga terjangkau. MR. VANILLA ini salah satu work yang aku kerjainnya enjoy banget. Plot-nya juga sewru menurut aku, hehe.

Semoga kalian suka!

Doain Dewa dan Ileana lebih banyak dikenal pembaca lainnya, ya!

- Ayana Ann





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top