33| Fairy Tale
• Dewangga •
Aku mungkin seorang manusia yang terobsesi pada presisi atau akurasi. Perfeksionis — istilah lainnya.
Aku tak menganggap itu suatu kekurangan, justru kelebihan yang menjadikan hidupku tertata dan terarah. Aku terbiasa memperhatikan hal-hal secara mendetail. Aku juga latah mengoreksi kesalahan-kesalahan terkecil sekali pun.
Awalnya aku mengecap Ileana sebagai wanita yang memiliki banyak flaws. Mulai dari sikap ketusnya, sampai lengkung alisnya yang tidak simetris. Yep, aku memperhatikan itu semua. Namun, semakin lama bersamanya, semakin aku mengenal Ileana, semua yang semula kuanggap ambiguitas malah menjadi simbol dari kesempurnaan. Imperfections make her unique, and beautiful.
Entah itu rambut senjanya yang tampak kontras dengan kulit pucatnya. Atau noda kecil kecokelatan yang menghiasi area-area tertentu pada tubuhnya. Aku menyukai semuanya. Tidak, aku tergila-gila.
Tiap lekuk tubuh Ileana adalah kuil untuk kupuja.
Hanya dengan menyentuhnya, nafsuku membumbung. Hanya dengan menyaksikannya menggeliat kegelian, gairahku menyala. Dan hanya mendengar desah Ileana, kelelakianku terbakar.
Dia sangat murni. Bagai kapas yang terlalu takut untuk kukotori. Ileana punya pesona langka yang menjadikannya polos sekaligus seksi.
Aku ingin menggodanya, aku mau melumatnya, aku mencintainya.
"Dewa, keluarin pakai punyamu ..." jawab Ileana mengiba.
Setiap sel-selku sontak memanas.
"Tapi, aku masih mau menyentuh tiap jengkal tubuhmu. Boleh, kan?"
Ileana mengerang kepayahan.
Aku tidak berbohong. Aku memang masih betah berlama-lama menjamahnya. Miliknya sudah basah, sempit, dan ... kian memerah. Jariku tiada bosan berlama-lama bermain di sana. Mengobrak-abrik mimpitan daging hangat miliknya. Terjepit dalam liang berdenyut tiada henti.
Aku begitu gemas hingga menyelipkan dua jariku masuk ke dalam. Kemudian menggoda biji sensitifnya menggunakan ibu jariku. Aku tahu Ileana menyukainya. Terbukti dari miliknya yang semakin basah, dan licin bukan main.
"Uhmh, Dewa ..." Ileana menggelinjang.
Atensiku teralih pada dua buah dadanya yang bulat. Puncak merah mudanya sangat menggoda, menggemaskan. Aku mengisapnya buas, memperlakukan pucuk itu laksana permen. Sungguh — aku betah melakukan ini seharian.
Jemari Ileana meraba-raba, ia sibuk mencari batangku yang teracung bebas. Kemudian saat sudah menemukannya, Ileana mengurutnya secara impulsif. Ulahnya semakin membuatku turn on. Kusalurkan birahiku dengan memainkan miliknya lebih kencang, Ileana memekik, mendesah tak karuan.
Kurasa kelelakianku sudah enggan bersabar. Aku pun bangkit dan memposisikan tubuhku di atas Ileana. Ia menerimaku pasrah, malahan tangannya menuntunku agar bergegas menghunjamnya.
"Kumasukin, ya?"
Ileana menatapku sayu. "Masukin," pintanya.
Kedua tungkai Ileana menyambutku, lalu kuarahkan batangku pada ambang liang basah miliknya. Wajah si cantik ini memerah malu, lalu berubah terpejam kuat menahan sakit.
"Dewa, pelan-pelan," lirihnya.
Aku memasukkan punyaku sedikit demi sedikit, milik Ileana terlalu rapat. "Sakit?" telisikku.
"He'ehm." Ileana mengangguk.
Punyaku bahkan belum terbenam sepenuhnya, tetapi ia terlihat meringis nyeri. Raut Ileana membuatku tak tega untuk melanjutkan. Miliknya begitu sulit kutembus.
"Kita lakukan lain waktu saja," kataku.
Ileana menahanku. Ia menggeleng.
"Lakukan sekarang, please," bujuknya.
"Tapi kamu kesakitan," tolakku.
"Aku rasa, aku hanya belum terbiasa. Aku sangat menginginkanmu, Dewa." Ileana menarikku agar mencium bibirnya.
Kami pun kembali berpagut dalam keintiman syahdu. Dengan bibir yang saling mencecap, aku pun berusaha menerobos pertahanannya di bawah sana. Kemudian, saat milikku sepenuhnya melesak, ada rintihan tertahan yang terbungkam dari mulut Ileana.
Kami masih setia berciuman.
Sementara pinggulku mulai aktif bergerak memompa tubuhnya. Ileana mencengkeram pundakku dengan kuku-kukunya. Aku sendiri berusaha mati-matian mengatur napas yang kian memburu karena kenikmatan luar biasa. Batangku terhimpit dinding-dinding sempit. Begitu memabukkan sekaligus menggairahkan.
Akan tetapi semua tiada berarti jika Ileana tidak menyukainya.
"Katakan padaku," bisikku. "Apa kamu menikmatinya?"
"Semula memang terasa menyakitkan, tetapi lama-kelamaan tidak," ujar Ileana tersengal. "Lakukan lebih cepat."
Aku pun menggeram menekan gairahku yang hampir meledak. Kuhunjamkan milikku dalam jepitan liang Ileana berkali-kali. Ileana semakin menggelinjang, ia mendesah keras. Kepala Ileana menengadah hingga menampakkan urat-urat lehernya yang tegang. Ia mengejan. Bibir plumpy-nya sedikit menganga.
"Kamu cantik, Ileana," kataku.
Ileana memandangku melalui matanya yang berpendar.
Ia menangkupkan telapak tangannya pada rahangku. Ileana membelai lembut setiap inci garis wajahku. Dalam penyatuan ini, kami saling membagi kasih sayang. Ileana menyampaikan berjuta perasaan melalui sorotnya yang berbinar.
"Dewa," ucap Ileana tersipu. "Aku mau keluar."
"Keluarin."
Aku lantas mempercepat tusukanku hingga tubuh Ileana berguncang hebat. Bukit kembarnya memantul oleh hentakanku. Pipinya kian merah padam.
"Dewa ... Dewa ..." Ileana berulang kali meracau.
Sampai pada akhirnya ia memekik seraya meremas kain seprai kuat-kuat. Batangku merasakan denyutan intens di bawah sana. Denyut yang diiringi oleh semburan hangat dari cairan klimaks Ileana.
Damn.
Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Baik hati mau pun otakku hanya tertaut pada Ileana. Aku tak terbebani oleh manuver apa lagi yang harus kulakukan demi memuaskannya. Aku tak lagi menahan-nahan mauku sendiri. Aku dan Ileana saling memberi, kami saling membagi.
Ileana mencintaiku dengan sederhana; nyaris tanpa tuntutan, atau kungkungan.
Aku mencumbu bibir Ileana yang semanis madu. "Kamu udah keluar?"
Ileana menjawab melalui anggukkan.
Aku menyeringai puas.
Lalu membalikkan tubuhnya agar membelakangiku. Ileana mengikuti bimbinganku. Bokongnya menungging menerima tusukan dariku. Kedua tanganku menahan pinggang ramping Ileana. Punggungnya meliuk erotis tiap kali aku menusuknya. Ia menghipnotisku sedemikian rupa. Ileana telah memantraiku.
Ileana terus mendesah.
Suaranya bagaikan nyanyian pembangkit syahwat bagiku. Batangku semakin sensitif, tetapi pikiranku tidak mau egois.
"Kamu masih mau keluar lagi, nggak?" tanyaku kepayahan.
"Mau," jawab Ileana setengah merintih.
Aku pun mati-matian menunda klimaksku. Berharap ia akan segera meraih puncak yang kedua. Gelenyar-gelenyar nikmat menggerayang sekujur tubuhku. Apa lagi dalam posisi ini, milikku mampu tertancap lebih dalam dari sebelumnya.
"Ileana, keluarin dong, aku udah nggak kuat—" buruku.
Ileana menoleh ke arahku. Ia tersenyum tipis menggodaku.
Ileana menukik lebih tinggi, kemudian ikut menggoyangkan pinggulnya mengimbangiku. Oh, shit. Felt so good.
Milikku terjepit kuat di sana. Serasa diremas dan dicengkeram dalam waktu yang bersamaan. Ileana lantas melenguh, lalu tubuhnya gemetaran. Mungkinkah ia sudah keluar?
"Udah keluar?" Aku membungkuk untuk menggapai sisi wajahnya.
Ia mengangguk lemas.
Tanpa menunggu lagi, aku lantas mempercepat gerakanku. Liar membabi buta, tak terkontrol. Hingga pada akhirnya — aku pun berhasil mereguk puncak dari persenggamaan. Menyusul Ileana yang letih di atas ranjangnya yang basah. Kemudian kami saling menghimpit tubuh satu sama lain. Kupandangi ia lekat-lekat, dia yang sedang tersenyum padaku.
***
Dua stafku siaga menjaga venue photo booth, di mana para undangan bisa foto bersama dan langsung menerima cetakannya. Dua lainnya kebagian mengurus videografi; mengabadikan seluruh rangkaian acara, karena akan ada penampilan seni dari anak-anak didik, sekaligus lomba kekompakan orang tua dan anak. Sementara, aku akan berkeliling, menjepret momen apa pun yang layak diabadikan.
Aku menenteng senjata tempurku, kali ini menggunakan Sony A6500. Mencantolkan kamera berlensa Sony 24 mm f/1.8 pada pergelangan tangan kananku dan membawanya ke mana pun. Tidak sulit karena beratnya yang cukup ringan.
Suasana ballroom masih lengang, didominasi staf sekolah dan guru-guru. Belum banyak yang datang karena kami memang tiba lebih awal. Momen itu kugunakan untuk memotret Ileana diam-diam. Dia sedang sibuk menelisik pajangan berupa karya gambar para murid. Ileana serius mengamatinya satu per satu. Seakan-akan sedang menelaah goresan Picasso.
Well, mungkin memang sedikit mendekati, ya? Mengingat coretan anak-anak TK itu terlihat abstrak bagiku.
Bibir plumpy Ileana mengerucut, sementara kedua alisnya bertautan. Ia serius sekali. Ia juga luar biasa cantik ... Hmmh. Kalau teringat lagi apa yang baru saja kami lakukan, rasanya hatiku kembali membuncah. Aku dan Ileana — sudah menjadi satu.
Kupotret ia dari kejauhan, kemudian kuamati hasilnya satu per satu. Dia tak ubahnya Dewi Yunani yang turun dari langit. Salah satu kesempurnaan mahakarya Tuhan.
"Serius amat?" tegurku menghampirinya. "Kayaknya ada niatan ubah haluan jadi guru TK, ya?"
Ileana meringis kecut.
"Aku cuma lagi nebak-nebak ini gambar apa," jelasnya.
"Itu mungkin beruang." Aku ikut memperhatikan coretan yang Ileana teliti.
Ileana mendecih. "Beruang?" Ia lagi-lagi berkernyit.
Aku mencuri pandang ke arah Ileana. Bibirku secara otomatis mengembang ketika berlama-lama menatap parasnya. Beruntung sekali aku bisa mendapatkan dia. Betapa berterima kasihnya aku pada Tuhan karena dipertemukan dengan Ileana. Indahnya jatuh cinta ...
"Aku tadi motoin kamu," kataku.
"Oh ya?" Ileana menengok penasaran. "Sekali jepret seratus ribu, ya."
"Maksudnya kamu bayar aku sekali jepret seratus ribu?" balikku.
"Kamulah yang bayar aku. Aku, kan, model. Foto yang ada akunya bernilai seni tinggi," sanggah Ileana. Ia mengubah ekspresinya menjadi pongah bukan main.
Aku tak mau kalah. "Tapi, aku fotografernya. Apa yang kupotret, meski kotoran sekali pun, bisa kelihatan estetik."
"Dih!" Ileana merengut.
Aku menyenggol lengan Ileana. "Gitu aja ngambek. Ya udah nanti aku bayar," ujarku.
"Pakai apa?"
"Cinta," jawabku terkikik.
Ileana kembali mendecih.
Aku memanjangkan kepala untuk menyapu pandangan ke sekeliling ballroom, beberapa orang tua dan anaknya mulai berdatangan satu per satu.
"Aku kerja dulu. Acara mau dimulai," pamitku.
"Nanti aku susul." Ileana tersenyum. "Aku mau di sini dulu sebentar."
Sebelum pergi, aku menunjukkan fotonya melalui layar kamera. "By the way, yang ini bagus banget, kan?" pamerku.
"Eh, iya, lho, bagus," sambut Ileana berbinar.
"Nanti aku masukkin sosmedku, ya." Aku lantas melenggang untuk meninggalkannya.
Ileana sontak menahan lenganku. "Apa? Mau kamu masukin sosmed?" Ia melotot.
"Iya, a—"
"Jangan!" Ileana melotot sambil mencengkeram tanganku lebih kuat.
"Kenapa emang?" selidikku.
"Kamu masih follow-follow'an sama Raihan dan Aya, kan? Aku nggak mau Aya tahu kita jadian." Raut Ileana memucat.
"Kenapa Aya nggak boleh tahu kalau kita sudah pacaran?" cecarku.
"Pokoknya jangan. Aku nggak mau, Dewa." Ileana mengiba. Ia enggan melepaskanku dari genggamannya. "Aya satu-satunya sahabatku dan aku mau dia tahu soal hubungan kita dariku sendiri. Aku masih ingin memperbaiki hubungan dengannya."
Sebenarnya masih banyak yang ingin kubahas dengan Ileana. Ia seharusnya tak perlu merasa segan terhadap Aya. Hubungan kami berakhir karena Aya-lah yang berselingkuh. Ileana bukan orang ketiga. Justru, Ileana terlalu sering membantu Aya merahasiakan perilaku-perilaku buruknya.
Namun, ini bukan saat yang tepat untuk berdebat. Ada pekerjaan yang menungguku.
"Okay," balasku tak ikhlas. "Nanti kita obrolin lagi, ya?"
Ileana mengangguk.
"Janji nggak kamu masukin sosmed?"
"Iya," desisku pelan.
Ia akhirnya melepaskanku, tak lagi memburu ketika kakiku melangkah menjauhinya.
Hatiku mendadak bergemuruh. Ada saja masalah di tengah kebahagiaan yang kurasakan. Tampaknya — hubunganku dan Ileana bergantung di tangan Soraya Ivona, mengingat Ileana punya loyalitas tinggi sebagai sahabat. Apa lagi, kebersamaan mereka lumayan lama juga. Kalau dipikir ... aku ini cuma orang baru di hidup Ileana.
Oh, tidak.
Tidak mungkin, kan, kalau nasib hubungan kami tergantung restu Aya?
***
Acara berlangsung lambat; tetapi sangat menghibur menyaksikan tingkah polos para murid, mereka semua menggemaskan.
Terlalu sibuk bekerja, aku hampir saja melupakan soal Ileana. Aku jadi menyesal karena sudah sibuk sendiri dan mengabaikannya. Dia pasti bosan. Apa lagi tidak ada yang ia lakukan di sini.
"Ga," panggilku pada salah satu stafku, Yoga. "Kayaknya ini udah bisa kutinggal, ya?" kataku. "Aku mau keluar sebentar."
"Bisa, Bos. Nanti kita yang back up."
"Sip." Aku memeriksa hasil-hasil jepretanku yang terpampang di layar kamera, kutelisik satu-satu dengan saksama. "Ini nanti sekalian kamu pindahin ke laptop, ya," titahku pada Yoga."
Secara kebetulan aku mendapati satu foto yang menangkap Ileana. Kuperbesar untuk memandangi ekspresinya, akan tetapi senyumku memudar karena hal yang terpampang di sana.
Ileana sedang menyeka air mata?
"Bos?" tanya Yoga yang kebingungan karena aku hanya termangu.
Aku terkesiap. "Mindahinnya nanti aja, Ga. Aku pergi dulu, ya." Kubawa kamera itu bersamaku.
Perasaanku seketika cemas.
Entah apa gerangan yang membuat Ileana sampai menangis? Bodohnya, aku bahkan tak menyadari semua itu. Padahal kami berada dalam ruangan yang sama.
Sambil celingak-celinguk mencarinya, aku menempelkan ponsel pada telinga.
"Halo," buruku. "Kamu di mana?"
"Ground floor, lagi di restorannya," sahut Ileana.
"Tunggu, ya. Aku ke sana," ujarku agak panik.
"Udah selesai acaranya?"
"Udah," jawabku singkat. Tidak sabar menemui Ileana dan menanyakan alasannya menangis.
Aku lantas masuk ke dalam lift dengan tergesa-gesa. Sibuk menerka-terka alasan Ileana bersedih. Dia tadi baik-baik saja, kan? Apakah karena Aya? Atau karena kesal akibat kuabaikan selama berjam-jam?
Demi Tuhan, ini sungguh menyiksa.
Ting. Saat pintu elevator terbuka, aku pun melenggang mencari restoran yang Ileana maksud. Terletak di lantai paling dasar, tepat di samping area swimming pool.
Netraku menangkap Ileana di sana, duduk sendiri sambil terpaku pada ponsel. Sambil berjalan menuju padanya, aku memandangi suasana restoran yang lengang. Pasti diakibatkan karena masih jam nanggung. Waktu breakfast sudah usai, dan belum cukup siang untuk lunch.
"Hei," sapaku.
Ileana menengadah. Ia menarik kedua sudut bibir ke atas, rautnya ceria, seolah tak terjadi apa pun.
"Eh, Dewa." Ileana meletakkan ponsel ke atas meja.
"Kamu baik-baik aja?" tembakku.
Ileana mengernyih. "Huh? Emang aku kenapa?" Ia balik tanya.
"Aku tadi lihat kamu nangis." Aku menarik kursi mendekati Ileana. Kupandangi parasnya lamat-lamat.
"Aku nangis? Kapan?" Ileana penuh kebingungan.
Aku sudah menduga dia bakal mengelak. Jadi, kutunjukkan fotonya yang kulihat tadi. "Ini apa?" tukasku.
Ileana terdiam sesaat. Cukup lama ia menatap pada layar.
"Oh ..." gumamnya.
"Ayo sekarang cerita, ada apa? Apa karena aku yang mengabaikanmu selama berjam-jam? Aku tahu ikut ke sini bersamaku adalah ide yang buruk."
Ileana terkekeh kecil.
"Aku tadi nangis soalnya iri," aku Ileana. "Aku mana mungkin nangis cuma gara-gara ditinggalin kerja. Emang aku semanja itu di matamu, huh?"
"Bentar dulu — iri?" Gantian aku yang bingung.
Ileana mengangguk. "Ya, aku ngiri lihat anak-anak tadi sama papa-mamanya. Sedangkan aku nggak pernah ngerasain itu. Makanya aku tiba-tiba mewek, dan dari pada baper nggak jelas, aku mending kabur ke sini. Paham?" jelasnya.
"Hmmh ..." Aku menghela napas berat.
Kubelai puncak kepala Ileana dengan penuh kasih sayang. Masa kecil memang tak akan bisa terulang, sungguh miris karena kedua orang tuanya memilih menjadi orang tua tak bertanggung jawab.
Ileana menghindari sentuhanku. "Udahlah, aku nggak apa-apa, kok." Ia meringis. "Kalau kamu giniin nanti aku jadi meleyot lagi," protesnya.
"Aku merasa bersalah karena mengajakmu ke sini, aku nggak pedulikan perasaanmu. Aku minta maaf, ya?" ucapku. "Apa ada yang bisa kulakukan untuk menebus salahku?"
"Apa, sih, Dewa ..." elak Ileana.
"Hei." Aku menggenggam tangan Ileana demi mendapatkan atensinya. "Ayolah, bilang sama aku, apa ada yang mau kamu lakukan atau inginkan?"
Aku dan Ileana saling pandang.
Ia memutar bola mata ke atas, rautnya menyiratkan kalau dia sedang berpikir keras.
"Apa ya ...?" gumam Ileana. "Gimana ka—"
Drrrt. Drrrt. Drrrrrt.
Ponsel Ileana tiba-tiba bergetar tiada putus. Aku sempat melirik ada telepon masuk untuknya. Namun, alih-alih menerima, Ileana justru menolak panggilan tersebut. Ulah Ileana memunculkan tanda tanya bagiku.
Drrrt. Ddddrrrrrt. Drrrrt.
Lagi-lagi, Ileana menolaknya. Selain itu, ekspresinya juga berubah gusar.
"Sampai mana tadi?" alih Ileana.
"Siapa yang telepon?" tanyaku penasaran. "Aku tadi sempet baca namanya, 'Mbak Nanik'. Siapa itu?"
"Bukan siapa-siapa," jawab Ileana.
Drrt. Drrrt.
Si penelepon kembali menghubungi Ileana. Hal itu membuat Ileana mendengkus kesal, ia mematikan gawainya begitu saja. Jelas saja aku makin curiga.
"Ileana ..." panggilku lembut. "Ada apa? Yang barusan itu siapa? Kamu sampai matikan HP-mu, lho."
Ileana membeliak. "Kubilang bukan siapa-siapa!" sahutnya.
"Kenapa kamu jadi marah? Aku cuma mengkhawatirkan kamu. Apa salah?" sungutku.
Ileana bangkit dari duduk.
"Berhenti terlalu memaksaku untuk menjawab semua keingin-tahuanmu!"
Ia lantas menyambar tas dan bergegas pergi meninggalkanku. Kemarahan jelas terpancar pada wajah Ileana saat menyorotku.
Aku pun tercenung. Kakiku seolah terpaku hingga tak sanggup menyusul Ileana.
Aku tersadar — banyak hal yang tak kuketahui tentang seorang Ariadne Ileana. Aku juga otomatis menduga — akan kulalui bersama dia, jelas bukan tipikal fairy-tale.
MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Silakan cek ke sana untuk baca maraton, ya, Darls!
Dukungan kalian berarti banget buat Ayana beli jajan 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top