32| Ulat Sagu

Ileana

"Hah? Serius?" Mata Soraya yang bulat semakin membola setelah mendengar ceritaku.

Aku mengangguk. "Ya, Dewa kayaknya selalu ngehindar dari aku. Dia jaga jarak kalau aku mulai mendekat."

"Bentar-bentar," sanggah Soraya. "Aku masih mencerna yang tadi, Lei. Kamu serius goda Dewa duluan? Seorang Ileana, Ileana Ice Queen yang terkenal jual mahal, merayu cowok duluan?!" Ia terkikik geli.

Aku mendecak. "Udah, puas ngejeknya?"

"Sorry," ucap Soraya berusaha menghentikan tawa.

"Menurutmu Dewa kenapa, ya?"

"Mungkin ..." Senyum jail kembali terbit pada raut Soraya. "Punyanya mini," bisiknya.

"Ma-maksud kamu?!" Aku melotot.

"Cowok bakalan minder, kan, kalau ukuran senjatanya mungil. Mungkin aja punya Dewa super imut, makanya dia nggak Pede!" Soraya lagi-lagi berbahak.

"Sialan kamu, Ya!" makiku.

Apa iya begitu?

Tapi, bagiku ukuran tidak penting. Dewa membuatku nyaman, dia juga lelaki yang kucintai. Bukankah yang paling utama adalah kecocokan kami? Dan juga cara kami membagi keintiman? Lagi pula, selain 'pakai itu' bisa pakai jari, lidah, atau, mainan, kan?

Alah. Keparat.

Gara-gara omongan ngawur Soraya, aku jadi mikir yang enggak-enggak! Belum tentu juga itu alasan Dewa. Bisa jadi Dewa belum sepenuhnya mantap pada hubungan kami. Setahuku, dia tipikal lelaki yang enggan tergesa-gesa.

"Kamu bahas langsung aja sama Dewa, Lei. Minta pap," kelakar Soraya.

"Udah, ah. Jangan diterusin lagi. Bukannya kamu dan Dewa pernah bercinta? Seharusnya kamu tahu, dong, ukuran dia."

Soraya tercenung sesaat.

"Oh iya-ya? Kami bukannya pasangan kekasih? Dia baru saja putus denganku, kan? Cepat sekali Dewa sudah jalin hubungan dengan wanita baru. Wanita baru — sahabat baikku," tatap Soraya dingin.

"Aya ... kami jadian setelah kamu dan dia selesai," dalihku.

"Kamu pengkhianat, Lei. Apa jangan-jangan sejak dulu kamu udah incar Dewa di belakangku?"

"Ngg-nggak gitu!"

"Bohong! Pasti kamu juga membongkar kedekatanku dengan Dion ke Dewa, kan? Ngaku aja!" Soraya mendorongku keras. Ia menyorotku penuh amarah membabi-buta. "Kukira kita teman baik, ternyata kamu cuma parasit yang selalu ambil untung dariku. Dari dulu ... kamu cuma parasit, Lei."

"Aya ...!"

"Memang nggak ada cowok lain apa? Selain mantan sahabatmu?!"

Mataku terbelalak.

Napasku terengah-engah, diiringi ritme jantung yang meningkat.

Aku pun berusaha mengatur kembali sengal yang mencekik leherku. Kemudian menegakkan badan untuk mengecek waktu pada ponsel - jam dua dini hari. Shit. Aku mimpi buruk.

Tidak — mimpi tadi tak sepenuhnya buruk.

Ada bagian di mana aku dan Soraya mengobrol seperti dulu, bercanda, bertukar tawa. Aku rindu. Aku sangat merindukan Soraya Ivona.

Namun, bagaimana caraku menyatakan semua pada Soraya? Bahwa aku kini ... menjalin kasih dengan mantannya.

Selama bertahun-tahun berteman, aku dan Soraya tidak pernah punya tipe lelaki yang sama. Ini hal baru bagiku. Aku dulu pernah berjanji, menolak keras pacaran dengan bekas teman. Sekarang - aku menjilat ludahku sendiri.

Soraya, merupakan sosok sahabat yang selalu ada membantuku. Ketiadaannya menciptakan lubang besar pada relungku. Dia sudah kuanggap saudari. Dia bahkan satu-satunya 'keluargaku'. Selisih paham kami kemarin seharusnya bukan hal besar, akan tetapi jadian sama Dewa merupakan masalah utamanya.

Bagaimana caraku mengaku?

Bagaimana respon Soraya ketika ia tahu?

Demi Tuhan — aku sungguh merindukan dia. Satu-satunya, sahabat yang kumiliki.

***

Apa salah kalau aku sangat menginginkan Dewa?

Bersama Raihan, aku terbiasa jadi submisif patuh. Raihan akan mengajakku bercinta tanpa kuminta. Raihan akan merayu atau memuji penampilanku tanpa ragu-ragu. Raihan akan menyiapkan kebutuhan pribadiku sebelum aku menuntutnya.

Tetapi dengan Dewa sekarang, aku sungguh kehilangan kesabaran.

Jauh dari Dewa, aku ingin cepat-cepat bertemu. Sudah bertemu, aku mau terus-menerus memeluknya. Setelah merasakan dekapan, aku tergoda berat untuk mencium bibirnya. Semua terasa kurang, kurang, dan kurang.

Menyebalkan.

Menyebalkan karena aku berubah jadi wanita agresif horny-an. Parahnya lagi, Dewa justru berlagak acuh tak acuh. Dia seakan tidak ada pikiran ke arah sana.

Apa karena aku kurang seksi? Body mirip papan triplek, pantas saja Dewa  kurang berselera. Sementara, sebagai fotografer pasti sering berhadapan dengan klien atau model yang punya badan aduhai. Montok.

Lagian ...

Mantannya Soraya Ivona, cewek cantik bersenyum menawan. Mau dipandang seribu tahun pun, wajah Soraya nggak bikin bosan. Meski tingginya mungil, baik dada mau pun bokong Soraya juga berisi. Aku jelas kalah jauh dibanding dia.

Sambil menggosok badanku menggunakan sabun cair, aku memeriksa ukuran payudaraku yang minimalis. Apa sebaiknya aku implan saja, ya? Supaya agak besaran dikit. Jadi Dewa puas.

"Ck!" Aku mendecih kesal.

Apa hubungannya kepuasan sama ukuran toket. Kenapa aku jadi wanita dangkal yang mengukur kadar cinta Dewa dari tampilan fisikku. Aku yakin Dewa bukan lelaki yang gemar menilai wanita dari luar. Aku saja bakalan terima Dewa apa adanya, walau pun (misal) punya dia cuma sebesar ulat sagu.

"Ck!" Mimpi semalam bener-bener mempengaruhiku.

"ILEANA?"

Aku berjingkat terkejut. Dewa, kok, sudah datang? Buru-buru kugosok merata sekujur tubuhku.

"Dewa, ya?" sambutku. Kuguyur sisa sabun untuk membersihkannya. "Masuk, aja!"

"Kok nggak dikunci?!" tanya Dewa setengah berteriak.

Aku gesit menggosok gigiku. Tidak perlu bersih-bersih yang penting wangi. "Karena aku tahu kamu mau dateng, makanya nggak kukunci."

"Tetep aja bahaya kalau ada orang asing masuk! Kamu di mana, sih?" omel Dewa tiada putus.

"Di kamar mandi. Bentar masih mandi, abis ini selesai," sungutku.

"Kamu mandi dan membiarkan gerbang serta pintu utamamu tak terkunci?"

Astaga!

Cerewet sekali, sih, dia ini?

"Ayo, buruan. Telat nanti," kata Dewa lagi. Tiba-tiba, pintu kamar mandi berulang kali diketuk-ketuk olehnya. "Duh, lama banget? Aku tinggal aja, ya!"

"Hiiiiisssh!" Aku mengenakan handuk seperti kesetanan. Baru kali ini mandi dalam kondisi tidak tenang. Mungkin begini rasanya kalau di akademi militer. "Bentar. Tinggal pakai baju!" Aku membuka pintu dan berpapasan dengan Dewa di ambang pintu.

Tadinya Dewa sedang meringis jail, tetapi begitu melihatku, senyumnya pudar.

"Ya sudah, kutunggu di ruang tamu." Dewa gesit melengos.

Tuh, kan.

Dia menghindar banget kalau kita berdekatan. Kemungkinan cuma dua; aku yang nggak menarik, atau Dewa minder karena punyanya cuma segede ulat sagu.

"Hei," tahanku. "Kamu bilang aku pakai kemeja rapi, kan? Bantuin milih yang mana."

"K-kenapa nggak pilih sendiri?" elak Dewa.

Aku membuka pintu kamar. "Ayolah," ajakku.

"Astaga ..." Dewa terperangah. Pasti syok lihat kondisi yang berantakan. "Ini apa-apa'an, Ileana? Kamu betah tidur di kandang tikus begini?"

Kapal karam, sarang penyamun, sekarang kandang tikus.

"Sudahlah. Nanti aku rapikan. Katanya kita telat, ayo buruan, bantu aku milih, ya, Cinta," godaku.

Dewa menggeleng prihatin. Dia melangkah berjinjit demi menghindari tumpukan pakaian berceceran di lantai.

"Apa gunanya lemari kalau baju-baju pada—"

"Ssshh, diam," selaku. Aku lantas menunjukkan beberapa kemeja pilihanku padanya. "Yang mana?" tanyaku.

"Yang hitam," jawab Dewa tanpa pikir panjang.

Aku cemberut. "Kok nggak diamati dulu, sih?"

"Kamu pakai apa aja sudah cantik. Tapi yang warna hitam lebih sederhana. Nggak terlalu mencolok," ujar Dewa.

Aku sontak tersipu. "Masa', sih, cantik?" gumamku.

"Cantik pakai banget." Dewa lalu menjauhiku. "Kamu siap-siap, deh. Aku tunggu di depan, ya."

Jantungku mendadak bergemuruh.

Masa bodoh jika aku harus jadi wanita agresif. Aku tak bisa memungkiri jika aku begitu menginginkannya, sekarang.

"Dewa," panggilku. Lalu tanpa aba-aba aku memeluknya dari belakang. Berasa adegan Endless Love.

"Ileana?" Dewa sedikit gentar. "Kenapa?" tolehnya.

"Kamu kenapa selalu jaga jarak dariku? Apa salah kalau aku ingin dekat-dekat?" tanyaku menekan gengsi.

"Bukan gitu," sanggah Dewa. "Aku juga senang berdekatan sama kamu. Tapi kamu mending pakai baju dulu."

"Kenapa?" cecarku.

"Ilea—"

"Apa kamu nggak suka dengan tubuhku, Dewa? Apa sebenarnya aku bukan tipemu?"

"Kamu ngomong apa, sih?" Dewa mendecak kesal. Ia lalu melepaskan diri dari kaitan lenganku. Dewa memutar tubuhnya menghadapku. "Kok bisa mikir seperti itu? Asal kamu tahu, kamu itu cantik luar-dalam. Semua tentang kamu indah. Apa kamu nggak bisa lebih mencintai dirimu sendiri? Berhentilah rendah diri."

Aku tertunduk layu.

"Kalau kamu terima aku apa adanya, aku juga terima kamu apa adanya, Dewa."

"Iya. Makasi," ucap Dewa tersenyum.

"Maksudku, aku beneran terima kamu apa adanya. Jadi, jangan minder," tukasku.

Dewa menyorotku penuh tanda tanya. "Huh? Minder?"

"Ukuran bukan masalah," kataku pelan.

"Huh?" Ekspresi Dewa kian bingung.

"Anu," bisikku. "Aku beneran nggak mempermasalahkan kalau punyamu mungil. Meski seukuran ulat sagu."

"Punya—? Astaga!" Sontak tawa Dewa menggelegar kencang. "Kamu bilang apa — ulat sagu? Wahahahahahhaha!" Ia terbahak-bahak sendiri.

"Sorry, Dewa. Jangan tersinggung, ya."

Dewa menggelengkan kepala. "Nggak! Malah lucu banget!" Sudut matanya berkerut karena tarikan bibir yang maksimal.

"Aku tuh ngerasa kamu selalu menghindar kalau aku sentuh," jabarku.

"Dan kamu mengira karena aku minder soalnya punyaku seukuran ulat sagu?" sergah Dewa. "Hahahahha!" Ia lagi-lagi terkikik.

Aku berdecih.

Bukannya kasih penjelasan, Dewa malah asyik cekikikan. Apa dia nggak sadar kalau selama ini aku kepikiran banget sama sikapnya.

"Ya udah, kalau kamu memang nggak punya alasan khusus menghindariku. Aku mau pakai baju, sana keluar," ketusku.

"Hei?" Dewa mendorongku merapat pada lemari. Ia menyisipkan helai rambutku ke belakang telinga. Air mukanya masih sedikit memerah gara-gara kebanyakan tertawa. "Kutegaskan sekali lagi, ya. Aku sama sekali nggak berniat menghindarimu. Dan aku minta maaf kalau kamu merasa demikian."

"Aku tahu hubungan kita masih baru, tetapi aku selalu ingin lebih tiap kali kita bersama. Apa aku salah?"

"Aku juga sangat menginginkanmu, Ileana. Tapi ..."

"Tapi?" buruku.

Dewa mendesah berat. "Bagaimana jika aku tak cukup baik dari Raihan?"

"Ma-maksudnya?" Aku membeliak. "Kok jadi bawa-bawa Raihan?"

Dewa berdeham.

"Ini memalukan," aku Dewa. "Hanya saja aku menduga kalian memiliki permainan luar biasa yang mungkin ... sulit kuimbangi."

"Dewa ...?"

Dewa melepaskanku. Ia memilih duduk di ranjang sambil menghindari mataku. "Kamu tahu, nggak, diselingkuhi membuat harga diriku down," terangnya. "Ditambah, Raihan juga bukan tipikal orang yang mudah untuk disaingi. Itulah kenapa aku kemarin bilang ingin menjalani semua dengan perlahan. Aku cuma mau kamu benar-benar jatuh cinta padaku, pada kepribadianku. Aku ingin menunjukkan sisi diriku, agar bayangan Raihan sepenuhnya terhapus dari ingatanmu, Ileana." Dewa lantas terkekeh masam. "Kamu tadi bilang aku minder? Ya, memang aku minder, tetapi ulat sagu bukan penyebabnya."

Aku menghampiri Dewa. "Kamu tahu, nggak," kataku mengikuti gaya bicaranya, "kenapa kita bisa berjodoh?"

"Hmh?" Dewa menengadah.

"Karena apa yang kita rasakan sama. Apa yang kita pikirkan sama. Kekhawatiran kita pun sama," beberku. "Sama kayak kamu, aku juga sebenarnya terusik oleh bayangan Aya. Dia cantik ... menawan, seksi lagi. Makanya semula aku menduga kamu nggak tertarik sama aku Dewa."

"Aku nggak tertarik sama kamu? Jangan bercanda," sergah Dewa.

Aku mengulum senyum.

"Tapi setelah mendengarkan penjelasanmu, aku jadi sadar kalau nggak ada yang perlu kukhawatirkan. Nggak ada yang perlu 'kita' khawatirkan - lebih tepatnya." Aku menggeser tubuh Dewa, lalu berpindah ke atas pangkuannya. "Aku nggak akan membahas soal Raihan karena dia ada di masa laluku. Apa yang terjadi padaku dan Raihan, tidak ingin kuungkit lagi. Dan aku juga nggak akan membandingkan diriku dengan Aya."

Kedua sudut bibir Dewa tertarik ke atas hingga menciptakan garis melengkung.

"Aku suka itu, memang sepatutnya begitu," kata Dewa. "Jadi, pada intinya kita berdua saling menginginkan. Hanya saja, sama-sama ragu oleh masa lalu masing-masing."

Mata kami beradu. Kedua tangan Dewa merengkuh pinggulku. Ia menahanku agar tak terjatuh. Aku enggan berpaling dari figur Dewa yang rupawan.

"Sekarang katakan padaku, kamu ke mari lebih awal, kan?"

Dewa tersungging membenarkan. "Aku terlalu tak sabar untuk menemuimu."

"Kalau begitu, kita masih punya banyak waktu?"

"Banyak waktu?" Dewa belum paham akan maksudku.

Aku mengangguk. Alih-alih menjabarkannya, aku justru mengecup bibir Dewa. Ia cukup tersentak oleh ulahku.

"Lama-lama aku kedinginan karena dari tadi cuma pakai handuk," kataku.

"Kenakanlah pakaianmu."

"Aku nggak mau," tolakku. "Aku mau kamu yang menghangatkanku."

Dewa mengerjap - bibirnya gemetar sebentar.

"Kamu pikir ini saat yang tepat?" tanya Dewa.

"There is no perfect time, we create it."

Tangan Dewa bergerak ke atas, membelai pipiku dengan telapaknya yang memanas. "Berjanjilah untuk tidak mempermainkanku, Ileana."

Perkataan Dewa menunjukkan betapa rapuhnya dia. Selama ini, dia berlindung di balik sikap tangguh.

"Berjanjilah untuk tidak mempermainkanku juga, Dewangga," sahutku.

Ada binar pada tatapan Dewa saat kami saling berpandangan.

Sekat di antara kami hanya selembar handukku dan pakaian yang ia kenakan. Suatu kondisi erotis yang kian membangkitkan desirku. Aku tak memedulikan apa pun selain kebersamaan kami. Senyum Dewa lebih manis dari biasa. Senyum itu juga terpatri tanpa putus dari bibirnya. Senyum yang hanya untukku seorang.

"Sini kamu." Dewa menarik daguku.

Kami lantas berpagutan mesra dalam kobaran membara. Kali ini Dewa menciumku dengan liar, begitu panas. Tidak butuh waktu lama bagi lidahnya mengejar lidahku. Lalu melepaskannya demi mengisap gemas bibir bawahku.

Sesekali aku mengerang karena sesapnya yang ganas. Tapi bukan berarti aku ingin ia berhenti. Aku menikmatinya.

Oh, Tuhan.

Kurasakan bagian bawah tubuhku mulai berdenyut frustrasi.

Aku sudah terbakar dalam kobaran gairah. Jemariku mengusap bakal janggut Dewa, begitu maskulin. Aku menyukainya. Lalu menyusuri jakun pada lehernya, dan turun membelai dada Dewa. Meski belum melihatnya secara langsung, aku menebak postur Dewa lumayan atletis. Aku bisa merasakan tubuh liatnya dari balik kaos. Napas Dewa tertahan ketika aku meraba puncak dadanya melalui telunjukku. Aku tahu - lelaki juga bisa terangsang karena itu.

Dewa membalasku.

Bibirnya turun menjangkau leherku, menggerayang penuh nafsu.

Lalu, jantungku sontak meledak ketika Dewa akhirnya melepaskan kaitan handukku. Dengan mudahnya kain berbahan katun yang membelit tubuhku jatuh meluncur. Aku malu bercampur gugup. Ini pertama kalinya Dewa melihatku telanjang bulat.

"I-ini nggak adil," protesku tersipu.

"Apanya?"

Aku merapatkan pahaku untuk menyembunyikan bagian intim di bawah sana. Sementara tanganku kikuk menutup dadaku yang terekspos.

"Aku bugil dan kamu masih berpakaian lengkap," jawabku.

Dewa menyeringai.

Ia lantas memindahkanku agar berbaring di ranjang. Sambil penuh tanya, netraku mengekori Dewa yang bangkit dari duduk. Dia berdiri di hadapanku.

"Kalau begitu akan kubuat adil," kata Dewa.

Aku menelan saliva.

Mataku melebar, menolak berkedip. Dewa membuka atasannya tanpa ragu, mempertontonkan dada bidang serta barisan otot perut yang menawan. Terdapat rambut-rambut halus di sepanjang garis perut menuju pusarnya.

Sambil menatapku lurus, Dewa menurunkan risleting jeans-nya. Ia tanpa segan melucuti celananya. Ulah Dewa sontak membuatku melotot takjub. Ada tonjolan menukik dari celana dalam hitamnya, sesuatu yang kembali membuatku berdebar bukan main.

"Siap ketemu ulat sagu?" goda Dewa.

Aku tak mampu membuka suara. Mulutku serasa terkunci. Lidahku kelu. Atensiku tertuju seutuhnya pada apa yang akan Dewa lakukan atau perlihatkan.

Ia lebih mendekat. Dewa berpijak tegak kemudian menarikku menuju tepi kasur. Ia menuntun tanganku dengan lembut. "Kamu yang buka," titahnya.

Nafsuku semakin menyala-nyala.

Sebelum memenuhi perintahnya, aku memilih menunduk untuk menjelajahi otot-otot perutnya menggunakan bibirku. Napas Dewa terdengar berat. Ia tak henti-hentinya membelai belakang kepalaku.

Dalam posisi berdiri, Dewa menikmati sentuhanku. Sementara, sambil duduk di atas matras, aku terlalu hanyut menjamah tiap jengkal abs-nya.

Mulai penasaran, aku pun menurunkan celana dalam Dewa. Sontak - miliknya melompat keluar, teracung di depan wajahku. Untuk sepersekian detik, aku terbelalak terkejut. I'm wrong. I was totally wrong. Punya Dewa sangat panjang dan besar, menantangku. Pantas ia tadi tertawa terbahak-bahak ketika aku menebak ukurannya. Dia tahu betul miliknya jauh dari kata 'mungil'.

Aku tercekat.

Jemariku gamang menyentuh miliknya yang berurat. Pelan-pelan kubungkus batang itu dengan jari-jariku, lalu membenamkannya dalam kuluman.

Dewa refleks meremas erat rambutku. Ia menggumam parau ketika aku mengisap miliknya kuat.

"Ini gila," desis Dewa.

Batang Dewa tak sepenuhnya masuk dalam mulutku. Aku bahkan mulai sangsi apakah miliknya itu bisa muat di bawah sana.

Ketika aku masih fokus memainkan batangnya, Dewa tiba-tiba menariknya menjauh. Ia mengajakku ke tengah ranjang dan ikut berbaring denganku. Dewa lantas melumat bibirku. Menjejalkan lidahnya menerobos masuk. Dia sangat bergairah. Sama sepertiku.

"I love you," bisik Dewa. "I love you, Ileana."

"I love you way more," balasku.

Tangan Dewa beralih meremas gundukanku, ia melakukannya dengan sangat lembut. "Penuh kehati-hatian. "Suka, nggak?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk.

Dewa melanjutkan permainannya. Jemarinya memelintir putingku yang sudah tegak, kemudian menarik-nariknya impulsif. Lalu, kembali memilin-milinnya kecil.

Desahku tak lagi bisa tertahan.

Ruang kamarku begitu riuh oleh erangan birahiku. Tubuhku meliuk bak cacing kepanasan. Apa lagi bagian sensitifku sudah terasa sangat, sangat membengkak.

"Kamu sangat cantik," bisik Dewa. "Lihatlah dirimu." Telunjuk Dewa menari-nari pada pucuk dadaku. Lalu menelusuri lekuk pinggangku. Ulahnya semakin membuatku menggelinjang kegelian. "Hmmh ..." Dewa menggumam berat ketika tangannya sampai pada milikku. Ia menyelipkan jemarinya di antara kedua lipatanku, kemudian menggosoknya pelan. "Udah basah banget."

Aku hanya bisa merintih pasrah.

Kubuka lebar-lebar kedua pahaku sebagai persetujuan akan semua perlakuan Dewa.

Ia pun menyambutnya dengan menggesek klitorisku secara konsisten. Dewa menekannya, sesekali telunjuk dan jari tengahnya meluncur menerobos ke dalam liangku. Ia seolah-olah memancing di dalam sana, jemarinya adalah kail yang berusaha menjebak klimaksku. Permainan Dewa di bawah sana menggetarkan seluruh tubuhku. Terlalu nikmat hingga aku tak sanggup menghentikannya.

Dewa mengecup pelipisku. "Enak, Sayang?" godanya.

"Jangan berhenti," lirihku.

Ia pun membenamkan wajahnya pada ceruk leherku. Sementara, jemarinya terus bekerja tanpa henti mempermainkanku.

Kemudian ketika nikmat itu semakin intens, Dewa kembali membisikku.

"Mau dikeluarin sekarang, apa nanti?"

Mr. Vanilla sudah tamat di Karyakarsa. Silakan cek di sana untuk baca maraton lebih cepat n no censor. Aku tidak ada waktu pasti kapan update di wattpad. Jadi, mohon sabar menunggu ya!

Tinggalkan vote dan komen kalian sebelum lanjut ke bab berikutnya. Salam sayang! Ayana Ann 🖤


















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top