31| Monyet & Anjing

Dewangga

Wajah Ileana basah oleh air mata; bibirnya cemberut, sesekali menengok padaku, lalu kembali mengumpat penuh sumpah serapah. Ia memang fokus menyetir tetapi masih mampu membagi konsentrasi untuk memikirkan banyak hal sekaligus. Wanita memang luar biasa hebat. Sementara, para lelaki sepertiku, mana bisa mencabangkan otak dalam satu waktu.

"Kita tuntut saja Raihan. Dia, kan, dokter, pengikutnya di sosmed juga banyak. Kalau ini sampai viral, dia bakal kena sangsi berat."

Aku meringis. "Ngapain, sih, repot-repot mempersulit hidup?" sahutku.

"Dia ..." Ileana menoleh lagi ke arahku. Ia menelisik sisi wajahku yang memar, juga luka beset pada bibirku. Ileana kembali menangis. "Dia mukul kamu sampai begitu!" isaknya.

Aku mengembuskan napas berat. Kubelai puncak kepala Ileana agar ia sedikit tenang. "Aku nggak apa-apa. Tiga hari juga ilang." Sungguh, aku memang tidak apa-apa. Justru tangisan Ileana-lah yang lebih kukhawatirkan.

"Kenapa kamu nggak balas?" Ileana mendengkus emosi.

Aku terkekeh.

Gara-gara itu, Ileana sontak melotot heran. "Kok ketawa?" sergahnya. "Apa yang lucu?"

"Sebenarnya, aku senang Raihan memukulku," akuku. "Malahan aku ngarepnya lebih keras dari ini, lebih babak belur."

Ileana mengernyih. "Dewa? Kamu nggak masokis, kan?"

"Nggak, kok!" Tawaku makin bergemuruh.

"Terus?"

Aku berusaha menghentikan tawa. "Ya, senang," tegasku. "Jujur, aku ngerasa nggak enak sama Raihan. Mau bagaimana, pun, apa yang dia katakan semua benar. Aku memang berupaya merenggutmu dari dia. Dibalik kebahagiaan karena kita bersama, aku menyimpan rasa bersalah."

"Dewa, tapi, kita—"

"Ileana," selaku. "Raihan memukulku karena dia sangat kehilanganmu. Dia nggak salah, dan sikap inilah yang seharusnya ia lakukan. Karena itu aku nggak mau melawan. Sekarang, setelah dia melampiaskan sakit hatinya padaku, aku jadi lega."

"Lega?"

Aku mengangguk. "Lega karena kami impas. Yah, meski pun satu pukulan sebenarnya tak sebanding dengan memilikimu." Kubelai lengan Ileana yang duduk pada kemudi. "Berhentilah kesal pada Raihan. Memukul atau memakiku menandakan kalau dia memang mencintaimu." Aku memandang Ileana lekat. "Kamu tahu, kan, kalau kamu begitu mudah dicintai, Ileana."

Bibir Ileana merengut. Ia mengalihkan atensinya ke arah jalanan. Enggan membalas senyuman atau tatapanku. Tetapi aku menebak kesalnya sudah mereda. Ia tak lagi meracau atau berdumal.

"Kita periksakan lukamu di rumah sakit, ya?" tawar Ileana.

Aku berdecih. "Nggak perlu. Aku punya pereda nyeri di rumah."

"Tapi, gimana kalau bahaya? Kena pembuluh darah terus kamu mendadak buta? Atau jadi tumor!"

"Kamu kebanyakan gugling, Ileana. Makanya jadi parno begini. Sudahlah, aku nggak apa-apa, aku cuma butuh dikompres es batu. Kalau kamu memang khawatir, mending kamu bantu ngompresin aku."

Sikap Ileana tiba-tiba salah tingkah. "I-iya, nanti aku kompres," gumamnya kikuk.

Bibirku refleks tersungging.

Ada sensasi aneh yang masih sulit kupahami. Ileana dan aku resmi berpacaran.

Semula — aku kira Aya adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Ternyata aku salah. Ileana memang bukan yang pertama, namun entah mengapa, nuraniku yakin ia wanita terakhir yang kucintai.

Ileana membuatku nyaman menjadi diriku sendiri. Ia bisa mengimbangi leluconku. Ia bahkan lawan setara dalam segala perdebatan kami. Ya, perdebatan. Bersama Aya, aku sadar bahwa hubungan yang sehat bukanlah hubungan yang jauh dari perdebatan. Malahan pertengkaran atas ketidak-sepahaman itu penting. Aku jadi tahu apa yang Ileana suka, atau tidak. Begitu pun sebaliknya.

Aku tidak melulu mengalah. Aku juga tidak terus menerus menekan egoku demi menyenangkan hati pasanganku. Nyatanya — Aya tetap saja berselingkuh. Atas semua yang berusaha kuredam, ia justru menyamakanku dengan tomat ceri.

Tomat ceri ...

"Kamu nggak lupa sesuatu?" celetukku ketika Ileana berbelok masuk ke dalam kompleks perumahan.

"Huh?" Ileana mengernyit.

"Rencananya abis dari rumah Raihan, kita—" Belum tuntas kalimatku, Ileana mendadak menginjak rem sampai tubuhku hampir berciuman dengan dashboard. Beruntung ada seatbelt menahanku.

"Padang!" pelotot Ileana.

***

Sultan mengibaskan badan gemuknya setelah keluar dari pet cargo. Ia cuek menelusur ke dapur seolah-olah rumahnya sendiri. Mata Sultan lantas melirikku sinis karena menemukan mangkuk makannya yang kosong.

"Sultan lapar, tuh," kataku. Ileana berjongkok sibuk memeriksa kabinetku satu per satu. Ia sama sekali tidak menggubris ucapanku. "Kamu cari apa?"

"Piring buat kita makan," jawab Ileana.

Aku menggelengkan kepala. "Piring ada di rak dekat sink, Sayang," tunjukku.

Ileana sontak melotot tajam. "Hih, Sayang? Jijiknya ..." Ekspresinya sangat meloya.

"Dipanggil 'Sayang' kok jijik?" dengkusku.

Ileana mengedikkan bahu. "Entahlah, kayak bukan kita."

"Terus yang kayak kita, apa, dong?" tanyaku. "Nyet? Monyet? Piring di sini, Nyet." Aku menahan cekikikan.

Ileana mengumpatku melalui matanya. "Iya, Njing," balasnya.

"Padahal ada di depan mata, lho. Kok bisa nggak kelihatan? Malah sibuk jongkok-jongkok bongkar kabinet."

"Cerewet, namanya juga bukan rumahku. Mana kutahu!" sungut Ileana. Ia mengambil dua piring dari rak dan meletakkannya ke atas counter table.

Aku tersenyum geli.

Senang bisa menggoda Ileana dan melihatnya cemberut. Sebut saja aku aneh karena salah satu love language-ku adalah bersikap usil. Kalau dulu, Aya langsung ngambek berhari-hari oleh kejahilanku. Beda sama Ileana, aku bisa jadi diri sendiri.

"Kamu udah laper banget, ta?" tanyaku sembari membuka kulkas.

Ileana menggeleng. "Belum, kenapa?"

"Kalau gitu, aku mau dikompres dulu, dong, Sus," rengekku. Ternyata lama-lama rahangku makin nyeri juga.

"Mana sini esnya?" Ileana menungguku di depan meja.

Aku pun membuka salah satu laci dan mengambil ice bag. Kemudian mengisinya dengan balok-balok kecil es batu dari freezer.

Ileana tiba-tiba terbahak-bahak. "Astaga, apa itu yang kamu pegang?" kikiknya.

"Apa, sih? Ice bag?" Aku keheranan. Apa yang lucu dari sebuah ice bag?

Tawa Ileana makin nyaring. "Namanya ice bag? Kamu kok punya barang begituan? Kayak mamak-mamak!" ledeknya. "Aku aja nggak ada."

"Ya, kamu memang hidup di zaman jahiliyah," hinaku.

"Sialan." Senyuman Ileana pudar. Ia merebut ice bag di tanganku. "Ya sudah. Ayo, sini, kukompres."

Aku menurut.

Duduk pada kursi yang sudah ia tarikkan untukku. Sambil memejamkan mata, jariku menunjuk bagian mana saja yang terasa sakit. "Sini, ya," titahku. "Pelan-pelan. Jangan terlalu ditekan."

"Iya, Cerewet."

Ileana tiba-tiba menjatuhkan bokongnya ke atas pangkuanku. Aku sama sekali tak menduga ia akan bersemayam di sana.

Jantungku mendadak berdebar tak karuan. Senang, sih, tapi ... gawat kalau ada yang mendadak 'bangun'.

Ciuman singkat kami tadi saja sudah membuatku grogi setengah mati. Aku sekuat tenaga menidurkan milikku selama perjalanan ke rumah Raihan. Beruntung, bogem mentah Raihan berhasil memupuskan hasrat 'adikku'.

Namun, kalau sekarang Ileana mendekatiku lagi, apa bisa aku menahannya?

"Aku kompres, ya," kata Ileana.

Napas dari hidung Ileana menerpa kulit wajahku. Jarak kami begitu dekat, hingga berulang kali netraku berpaling demi menetralisir buncah. Kulit paha Ileana yang seputih kertas terekspos karena rok pendeknya. Demi Tuhan, kenapa dia memakai bawahan sependek itu? Membuat otakku otomatis traveling - menerka-nerka area di antara tungkainya.

"Tomat ceri ..."

Shit. Suara Aya tahu-tahu merusak mood-ku.

"Aku hanya rindu permainannya ..."

Aku masih ingat alasan Ileana menginap di rumah Raihan meski status mereka sudah putus. Ileana menyukai 'permainan' Raihan.

Aya juga sering cerita, kalau selama pacaran, Ileana dan Raihan punya fantasi gila.

Segala informasi haram itu mengendap dalam memori. Mengakibatkan nyaliku ciut memulai kontak fisik apa pun yang berpotensi menuntun kami untuk bercinta. Aku terlalu takut.

Aku takut Ileana kecewa padaku.

Hubungan kami masih dini, dan dia belum lama mengenalku luar-dalam. Bagaimana jika rasa suka Ileana luntur selepas kami bercinta? Bagaimana jika 'skill-ku' tak sebanding dengan Raihan? Bagaimana jika ekspektasi Ileana padaku terlampau besar, dan ujungnya ia kecele sendiri?

"Sakit?" cek Ileana lembut.

Aku berdeham. "N-nggak," sahutku singkat.

Batangku mulai berdenyut, tergoda luar biasa akibat aroma powdery yang menguar dari tubuh Ileana. Apa lagi pantat Ileana berada tepat di atas milikku. Semoga saja ia tak merasakan kebangkitan dari senjataku.

"Jadi memar kalau ditempel es bisa mendingan?" Ileana memandangku. Ia konsisten mengompres sisi wajahku menggunakan kantong berisi es batu.

Mata kami saling beradu.

Entah dia sedang mengkodeku atau tidak, yang jelas, kedua iris cokelatnya berbinar dan membulat. Pipi Ileana lebih bersemu merah. Ia juga berkali-kali menggigit bibir bawahnya yang plumpy, menunjukkan raut malu-malu.

Sebagai lelaki normal — tentu saja aku tergoda.

"Iya, lama-lama bengkak dan lebamnya memudar," jawabku. Aku tak mau nafsu sesaat mengacaukan kelangsungan hubungan baru ini. Aku pun memutus tautan mata kami. "Kayaknya sudah cukup, deh. Kita makan, yuk."

Alih-alih berdiri, Ileana justru mengalungkan leherku menggunakan lengannya. Ia merapatkan tubuh padaku.

"Bayaran buat kerjaanku barusan mana?" tagih Ileana.

"Mau bayaran apa?" Aku balik tanya.

"Kiss, boleh," pinta Ileana manja.

Mana mungkin, aku tidak tergoda!?

Mau sekuat apa niatku, jika sudah dihadapkan pada momen begini, aku ngaku kalah. Tanganku bergerak sendiri menarik pinggangnya yang ramping. Kususuri lekuk badan Ileana, nyaris tiada lemak bersarang pada pinggulnya.

Pelan tapi pasti — bibir kami saling mencari, lalu menempel erat seperti kutub magnet.

Pengecapku merasakan strawberry atau mungkin, cherry. Entahlah. Pokoknya aku hanya ingin melumat bibir ini lebih dalam. Ia tak menolak tautanku, sebaliknya, Ileana membalasnya. Ia mengizinkan lidahku menerobos masuk untuk mengejar lidahnya. Aku mampu menemukan desah Ileana yang tertahan. Napas kekasihku ini ... memburu.

Kami terhanyut dalam suasana romantika. Khusyuk menyelami jiwa satu sama lain.

Tiada bosan-bosannya aku menciumi bibir Ileana yang penuh. Kulit bibirnya lembut sekali, juga kenyal. Sungguh memabukkan. Aku mungkin sudah mendahului takdir, namun bibirnya adalah bibir yang ingin kucium selamanya. Sampai ujung usiaku.

"Ileana," bisikku. Kulepaskan pagutan kami untuk menatap mata lentiknya.

"Hmm?" Ileana tersipu.

"Boleh nggak, kalau aku mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku jatuh cinta sama kamu," ucapku.

"Aku juga sama, Dewa." Ileana tersungging manis. "Karena saling cinta makanya kita jadian, kan?"

Aku kembali mengecup Ileana, kali ini lebih singkat. "Kalau kita jalani hubungan ini dengan perlahan, apa kamu keberatan?" Kutatap ia penuh harap. "Aku mau tahu semua tentang kamu. Kamu mau, kan, membuka diri padaku?"

"Dengan senang hati," jawab Ileana. Ia lantas beralih dari pinggangku, lalu menarik kursi di sisiku. "Ya udah, kita makan, yuk."

Aku tersenyum.

"Selamat makan, Nyet," godaku menahan geli.

Ileana cuma mendecih.

Ia lebih tertarik membuka bungkus nasi Padangnya ketimbang meladeniku.

"Njing, emang boleh makan kuah santan? Nanti mules, lho, Njing." Ileana menyeringai. "Nih, makan tulang ayamku aja."

Ternyata aku keliru. Kita memang satu frekuensi.

Aku langsung melahap makanan di piringku dengan impulsif. Masakan Padang memang tidak pernah membosankan — kuah santan bercampur bumbu rendang. Apa lagi rasa sambal ijo-nya yang bikin nagih.

Saat sedang serius makan, Ileana tiba-tiba meletakkan segelas air di samping piringku. Aku agak terkejut oleh perhatian kecil yang ia lakukan.

"Pelan-pelan makannya, Njing."

Aku meringis. "Iya, Nyet. Maklum kelaparan," kataku.

"Eh, kamu besok ke studio?" tanya Ileana.

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Boleh aku mampir buat bawain kamu makanan?" tawar Ileana.

"Sangat bolehlah!" sambutku antusias. "Tapi, sorean, ya. Soalnya pagi sampai siang, aku ada job di luar."

"Job apa?"

"Ada birthday party event TK Sun Academy di hotel Ayana."

"Wow? Sun Academy? Sekolah elit itu, kan? Yang dari preschool sampai SMA?"

Aku mengangguk membenarkan. "Iya," jawabku. "Sebenarnya aku sekarang udah jarang turun langsung lapangan karena ada staf lain yang bisa handle. Cuman, ini event anak-anak gitu lho. Seneng dan terhibur, sih, lihat kelakuan mereka. Enjoy kerjanya."

"Kamu suka anak-anak, Dewa?"

"Suka," sahutku. "Kamu sendiri?"

Ileana mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu. Jarang banget ketemu atau berhubungan langsung sama anak-anak kecil," ujarnya. "Tapi, kalau dipikir-pikir anak-anak TK lucu-lucu juga, sih. Mukanya kayak blo'on."

Aku sontak terkikik.

"Blo'on? Astaga. Untung kamu ngomongnya di depanku, kalau di depan orang tuanya, bisa-bisa ditempeleng itu mulut, ya!" Aku mencubit hidung Ileana gemas. "By the way, besok mau ta ikut aku kerja?"

"Memang boleh?"

"Boyeh, Cayang!" Aku memonyongkan bibirku untuk meledek Ileana.

"Nanti nggak ganggu kamu dan timmu?"

"Nggak. Aku, kan, bosnya. Terserah mau bawa siapa juga. Mau kakek, nenek, pacar, bebas!" ucapku pongah.

Ileana mencemo'ohku.

"Jadi besok kita berangkat bareng, ya!" Ia antusias sekali.

"He'em." Aku tersungging. "Tapi besok pakai baju biasa-biasa, aja. Jeans panjang, kemeja polos rapi!" titahku. "Jangan pakai dress-dress mini. Kamu di sana bukan buat konser."

"Dih ..." Ileana mengerut. "Iya-iya."

***

Aku menyalakan keran shower sambil menyenandungkan lagu-lagu random. Lalu membiarkan air dingin membasuh kulitku. Yap, air dingin. Meski bisa menggunakan air hangat, aku lebih sering mandi pakai air dingin. Ajaran ayah dari kecil.

Ayah bilang, air dingin baik untuk kesehatan, selain itu bisa membantu menaikkan konsentrasi.

Kugosok setiap jengkal tubuhku dengan sabun secara terburu-buru. Tidak sabar bertemu lagi dengan Ariadne Ileana di sebelah.

Namun, senyumku mendadak pudar. Memang boleh aku sebahagia ini? Aku baru saja putus dari seorang wanita yang semula kuanggap akan menjadi calon istriku. Kehadiran Ileana melenyapkan semua luka hatiku. Dia menjadikan hari-hariku penuh warna. Apa aku dosa?

Aku jadi takut pada diri sendiri.

Mungkinkah aku adalah lelaki bajingan yang gampang berubah haluan?

Akan tetapi, Tuhan — yang kurasakan pada Ileana terjadi begitu saja tanpa rencana. Aku benar-benar jatuh cinta. Aku seratus kali lebih bahagia ketimbang saat bersama Aya dulu.

Semula aku menyimpan kemarahan atas pengkhianatan Aya. Kini, semua benci itu hilang berganti rasa bersalah. Bersalah karena begitu mudahnya aku melupakan Aya. Seolah-olah Soraya Ivona tak pernah hadir dalam hidupku. Seakan-akan, apa yang kulalui bersamanya cuma mimpi, tak nyata.

Mungkin memang begitulah cinta.

Caranya datang dan pergi sangat tidak bisa tertebak. Cinta memang misteri. Dan, aku salah satu yang beruntung karena diperbolehkan lagi meresapi cinta. Hanya saja, untuk kali ini, aku sangat berharap agar cinta menolak mencurangiku. Kumohon, berpihaklah padaku.

***

"Ileana?"

Belum sempat kuketuk, pintu rumah Ileana terbentang mudah oleh dorongan tanganku. Ileana sungguh teledor, bagaimana bisa pintunya tidak dikunci?

"Dewa, ya?" sahut Ileana jauh. "Masuk, aja!"

"Kok nggak dikunci?!" dumalku.

"Karena aku tahu kamu mau dateng, makanya nggak kukunci."

Aku mengernyit. "Tetep aja bahaya kalau ada orang asing masuk! Kamu di mana, sih?" selidikku yang tak menemukan keberadaannya.

"Di kamar mandi. Bentar masih mandi, abis ini selesai," jawab Ileana.

Aku melotot. "Kamu mandi dan membiarkan gerbang serta pintu utamamu tak terkunci?" cecarku.

Ileana tidak merespon. Kutebak, ia sedang bersungut-sungut akibat rentetan omelanku.

"Ayo, buruan. Telat nanti." Aku memburunya. Padahal, memang aku saja yang sengaja datang lebih awal. Aku mengulum senyum. Membayangkan raut Ileana yang kesal sambil tergopoh-gopoh nanti.

Aku bangun dari sofa ruang tamu Ileana. Kemudian berjalan menuju bathroom yang berada tepat di depan kamar pribadinya. Aku lantas bersandar pada ambang pintu kamar mandi sambil menggedor - mengganggu Ileana.

"Duh, lama banget? Aku tinggal aja, ya!" godaku.

"Hiiiiisssh!" geram Ileana dari dalam.

Aku terkekeh kecil.

Kesabaran Ileana memang setipis tisu, tetapi itu justru membuatnya kian menggemaskan.

Tak lama, pintu pun terbuka dari dalam. Segala tawaku lenyap seketika saat menangkap sosok Ileana yang hanya terlilit handuk. Kulitnya masih lembap oleh sisa bulir air. Belahan dadanya menyembul mengintip. Handuk yang ia gunakan sangat mungil hingga tak mampu membelit sebagian tubuhnya yang jenjang.

Aku seketika menelan ludah kasar.

May God forgive me ...

Hayoloh, Dewa ...

Siapa yang nggak tergoda disuguhi pemandangan? Ileana juga mancing-mancing, nih. Hehe

Btw, MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Kalau kalian mau bantu Ayana bayar listrik dan pdam, bisa banget mampir ke sana buat kasih dukungan 🖤🖤🖤 salam sayang!

— Ayana Ann






















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top