30 | Dia Yang Ditinggalkan

Ileana

Tumpukan pakaian menggunung pada ranjang. Tercecer ke mana-mana hingga memenuhi setiap sisi lantai kamar. Pada akhirnya, aku tidak menggunakan semua gaun-gaun cantik itu, melainkan memilih mini skirt jeans dan black top berlengan panjang.

Bingung dan resah — takut dicap 'lebai' sama Dewa.

Kalau berdandan terlalu menor, nanti dikiranya aku berusaha mengesankan Raihan, padahal aku cuma mau kelihatan memesona di hadapan Dewa.

Hari ini dia janji akan menemaniku mengambil Sultan dan koperku di rumah Raihan. Hari ini — hari pertama kami sebagai kekasih. Ya, nggak, sih? Perasaan tidak ada penegasan baik dariku mau pun Dewa. Jadi, status kami apa?

Aku melirik pantulanku pada cermin, tiba-tiba meringis sendiri. Entah kenapa rasanya berbunga-bunga sekali. Macam ABG yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta.

Dewangga Satya dan aku - sama-sama saling suka. Cieee ...!

Toktoktok.

Aku refleks tersentak. Itu pasti Dewa. Sebelum membukakannya pintu, aku memeriksa penampilanku satu kali lagi. Memulas lipbalm rasa cherry pada bibirku, jaga-jaga siapa tahu hari ini kami bakal berciuman.

Ciuman?

Seketika mukaku memanas. Salah tingkah macam remaja stres.

Toktoktok. Pintuku kembali terketuk. Aku memang terlalu lama membukanya. Sibuk mengkhayal porno akan segala kemungkinan yang akan aku dan Dewa lakukan. Dasar, sinting.

"Ya!"

Langkahku memburu — lututku agak gemetar, begitu pula jantungku yang berdebar serasa mau lompat keluar.

"Hei," sapa Dewa ramah. Ia mengulas senyum ketika mata kami saling tertaut.

"Masuk, yuk."

Tidak dapat kupungkiri, kecanggungan menyelimutiku. Meski pun bergelimang kebahagiaan, kebersamaanku dan Dewa kali ini sulit terasa wajar seperti dulu.

"Okay." Dewa melangkah masuk. Postur tubuhnya lebih membungkuk dari biasa, kurasa, dia sama tegangnya layaknya aku.

"Kita pakai mobilku aja, ya. Soalnya bawa koper dan Sultan, kalau pakai motor nanti agak repot," kataku.

Dewa mengangguk. "Okay," sahutnya. "Kalau gitu mana kontaknya? Kukeluarin sekarang."

Buru-buru amat — padahal aku masih mau ngobrol.

"Nanti ajalah," sanggahku. Aku mengambil tempat di sisinya.

"Jam berapa janjian sama Raihan?" tanya Dewa.

"Jam 11," jawabku.

Dewa melirik pada arloji. "Masih sejam lagi," gumamnya.

"Iya."

Lalu, kami kompak membisu. Hening.

Seolah ada biji kedondong tersangkut pada kerongkonganku. Aku heran kenapa otakku mendadak kosong melompong. Padahal dulu, ada saja obrolan kami. Dewa juga biasanya cerewet, entah mengomentari rumahku yang berantakan seperti kapal karam, atau sibuk menceramahiku tentang betapa cerobohnya aku sampai bisa melupakan Sultan.

Sekarang Dewa cuma terdiam di sebelahku. Mengulas senyuman yang terkesan agak kaku sambil menunduk menggulir gawainya.

"Kamu mau kuambilin minum?" tawarku memecah sunyi.

Dewa gesit menggeleng. "Nggak usah. Makasi. Kamu nggak perlu repot-repot," tolaknya. Ia tidak sengaja menahan lenganku. Sentuhan Dewa mengakibatkan aliran darahku bergejolak. Sayang, ia bergegas melepaskannya lagi. "Kamu sudah makan?" dehamnya kikuk.

"Udah, sarapan," terangku. "Baliknya mau mampir makan Padang, nggak?"

"Boleh. Kali ini aku yang traktir," ucap Dewa. "Tapi Sultan nggak rewel kalau kita berhenti sebentar buat makan?"

"Paling ngeong-ngeong bentar. Nggak apa-apalah, kan dia di dalam pet cargo-nya."

"Kasihan," gumam Dewa. "Kita bungkus ajalah. Makan di rumah."

"Ya udah," timpalku. "Terserah."

Lalu, kami berdua lagi-lagi membisu.

Demi Tuhan, jatuh cinta itu sungguh merepotkan. Sudah jantung deg-deg'an sampai kerasa mual di perut. Tenggorokan kering melulu padahal udah abisin air satu galon. Belum lagi, otak mendadak lemot sampai bingung mau ngomong apa.

Aku dan Dewa berubah jadi dua insan pendiam dan santun. Terlalu pengecut untuk saling berpandangan, juga takut melakukan kontak fisik. Jarak duduk kami bahkan terlalu jauh. Ketimbang disebut pacarku, Dewa lebih mirip petugas sensus penduduk yang sedang berkunjung untuk verifikasi.

"Ileana."

"Dewa."

Aku dan Dewa kompak bicara berbarengan.

"Kamu duluan, deh," kata Dewa mempersilakanku."

Aku menolak. "Nggak, kamu aja duluan."

"Ehm ..." Dewa membersihkan tenggorokannya. "Apa kamu ngerasa risi karena aku menawarkan diri untuk menemanimu menemui Raihan?" selidiknya. "Setelah kupikir lagi, kamu dan dia pasti perlu bicara berdua saja."

"Nggak gitu," sergahku. "Aku malah senang karena kamu mau antar aku ke sana. Nggak ada yang perlu kami bicarakan lagi."

"Kamu yakin?" Dewa akhirnya berani menatap mataku. "Kamu memutuskannya secara sepihak, bukan? Kurasa banyak hal yang perlu kalian bahas."

Aku tersungging.

"Raihan sudah tahu kalau aku jatuh cinta padamu. Apa lagi yang mau kami bahas? Semua sudah selesai." Aku menggeser bokongku mendekati Dewa. "Kamu sendiri, hari ini nggak kerja?"

"Aku ambil libur," terang Dewa.

"Kenapa? Karena mau anter aku?"

Dewa menjawab dengan anggukkan kepala.

Aku membelalak. "Astaga, sorry, ya. Aku jadi gangguin waktu kerjamu."

"It's okay," timpal Dewa. "Memang aku yang pengen libur, supaya bisa seharian sama kamu."

Pipiku rasanya mau meledak saking panasnya. Tapi aku berusaha menyembunyikan malu sekuat tenaga.

"Makasi, ya," ucapku tersipu.

"Terus, kamu tadi mau ngomong apa?" buru Dewa penasaran.

"Oh ..." dehamku gugup. "Soal kita, uhm, kita ini pendekatan, atau pacaran, sih?" Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Sialan. Salah tingkah banget karena pertanyaan yang kulontarkan.

Kedua alis tebal Dewa terangkat ke atas. Bibirnya melongo sambil menyorotku penuh bingung.

"Huh?" Ia berkernyit. "Pendekatan? Pacaran? Bukannya kita cuman temen?"

"Ap-Apa?"

Sadar dengan ekspresiku yang tiba-tiba memucat, Dewa sontak terbahak kencang.

"Bercandaaa!" Dewa mengacak-acak rambutku. Ia terkekeh geli, lalu membelai pipiku lembut. "Emang kamu maunya gimana?" Kedua irisnya membingkai sosokku dengan teduh.

Bibirku cemberut. "Nyebelin, kamu," dumalku. "Seneng banget bikin aku tengsin."

"Lucu lihat mukamu yang polos gitu, Ileana. Gampang banget dikerjain," ledek Dewa. "Maaf, ya. Jangan sebel lagi."

Nggak, sih, udah nggak sebel lagi. Apa lagi belaian tangan Dewa yang masih setia bersarang pada sisi wajahku, kemudian terus turun pada rahang dan leherku.

Aku menyukai sentuhannya.

"Jadi?" Kupandangi sosok Dewa dengan mata berbinar.

"Terserah maumu," jawab Dewa setengah membisik. "I'll be anything you want."

"Kok gitu?" protesku. "Kamu sendiri maunya gimana?"

"Aku nggak mau maksa kamu. Senyamannya kamu."

Aku bersikukuh. "Aku mau tahu kalau kamu sendiri, maunya gimana, Dewa?" desakku.

"Aku ..." Dewa menyisipkan helai rambutku ke belakang telinga. "Aku, sih, maunya kita pacaran."

Aku menelan saliva.

Aku yakin wajahku kini semerah kepiting rebus. Kupalingkan mukaku demi menyembunyikan rona.

"Ya udah, kita pacaran," timpalku sok cool.

"Hehe ..." Dewa meringis.

Kuberanikan diri untuk meraih jemari Dewa, tak kusangka ia membalas dengan menggenggam tanganku erat. Aku lalu memainkan jari-jari Dewa yang kokoh. Mana pernah mengira — takdir akan menjadikan kami sepasang kekasih.

"Raihan bilang ..." celetukku. "Perasaanmu padaku nggak tulus, cuma pelampiasan. Dan, aku diam-diam mulai bimbang apakah ucapan Raihan ada benarnya. Kamu sangat mencintai Aya, kan? Aku sendiri saksinya, kamu begitu menggilainya."

"Aku memang pernah mencintai Aya," kata Dewa. "Tapi kamu sudah mencuri semua perhatianku, Ileana. Aku tahu tidak mudah bagimu mempercayai perkataanku, hanya saja, bisakah kamu mempercayai perasaanmu? Bukankah hati nurani tak pernah salah?"

"Aku cuma—"

"Hei," sela Dewa. "Bukankah kamu juga pernah mencintai Raihan sepenuh hati? Lalu, apakah aku patut meragukan perasaanmu kepadaku?"

Aku tertunduk. "Hmh, kamu benar," gumamku mengiakan.

"Cinta itu seperti tanaman. Perlu dirawat, dipupuk. Jika kamu menuang racun, maka dia akan layu dan mati. Mau berusaha menghidupkannya lagi sudah terlambat. Sama seperti perasaan manusia, mudah berubah jika terlalu sering dikecewakan. Makanya, sebelum berniat menyakiti orang lain, harus pikir dulu seribu kali."

"Gimana kalau perasaan kamu ke aku berubah?"

Dewa mengulum senyum. "Aku percaya kamu bukan tipikal orang yang tega menyiram racun, Ileana."

Aku membalas tatapan Dewa — teduh sekaligus menenangkan. Mungkin hubungan kami masih sangat dini, tetapi Dewa membuatku percaya. Mungkin saja aku naif. Namun, perlahan-lahan Dewa menyembuhkan luka hatiku.

"Kamu tahu, nggak," kataku. "Kita adalah dua orang yang bernasib sama. Dua orang menjenuhkan yang akhirnya dikhianati dan anehnya, sekarang aku mensyukurinya."

Dewa kembali mengusap pipiku. Hanya saja kali ini aku tak menjauh, justru menengadahkan kepalaku padanya. Meski jantungku hampir meledak, aku tetap memberanikan diri. Aku ingin merasakan Dewa menyatu denganku. Aku ingin mereguk gairah itu bersamanya. Aku mau memberikan inti jiwaku untuknya.

Dewa bergeming.

Ada getaran kuat luar biasa menguar menyatukan kami. Aku tahu dia menginginkanku juga.

Hanya saja, Dewa menginginkanku dengan cara yang istimewa. Dia menolak egois, memaksa, atau terburu-buru. Dewa seakan-akan menunggu persetujuanku. Dewa memperlakukanku bak porselen rapuh yang mudah pecah berkeping-keping. Ia sungguh berhati-hati.

"Lakukan sesuatu padaku." Aku membisik. Aku melihat jakun Dewa naik turun - menelan saliva. Bibirku semburat melengkung untuk menenangkannya.

Dewa lagi-lagi membelaiku. Kurasakan kulitnya lebih hangat dari sebelumnya. Jarak kami juga sangat dekat, saling menukar napas.

"Boleh aku cium kamu?" tanya Dewa.

Aku mengangguk malu-malu.

Kemudian mataku memejam. Diiringi debaran dahsyat menanti kecupan manisnya. Tapi akhirnya senyumku kian melebar karena alih-alih menyerang bibirku, Dewa justru mencumbu pipiku. Geli dan sedikit menusuk dari bakal janggutnya. Ia menciumku kecil, lalu menjalar pada sudut bibirku.

Apa yang Dewa lakukan teramat manis.

Akan tetapi membangkitkan desirku hingga titik maksimal. Aku mampu menangkap getaran emosinya saat menyentuhku. Ia menyampaikan sayangnya melalui ciuman ini. Begitu intim — begitu penuh perasaan — begitu mendalam.

Selama ini Raihan adalah ice cream bordeaux chocolate bagiku. Dia dahsyat. Extraordinary magnificent. Kini, Dewa hadir menawarkanku sesuatu yang sangat light. Vanilla flavor. Sensasi manis nan sederhana. Hal yang tak akan membuatku bosan - less boredom.

Mataku setia terpejam, meresapi setiap jamahan kecil yang Dewa berikan. Lalu, bibir kami akhirnya saling menyapa, dengan cara yang luar biasa indah.

Drrrrrrrttttt.Drrrrrrttttttt.

Aku dan Dewa kompak tersentak. Telepon sialan!

"Kamu nggak angkat?" Dewa menegakkan punggung. Suaranya memberat, terdengar semakin seksi.

Ingin sekali kubanting ponselku. "Oh, ini Raihan?" Aku sedikit terbelalak.

"Mungkin penting," kata Dewa.

Aku pun menerima panggilan itu. Keparat kamu, Raihan. Mengganggu saja.

"Halo?" Aku menajamkan rungu. Mendengarkan kata demi kata Raihan dengan saksama. Lalu mengangguk paham. "Oke. Aku berangkat sekarang." Kemudian aku pun mengakhiri percapakanku.

"Kenapa?" selidik Dewa penasaran.

"Raihan bilang harus ke rumah sakit," terangku. "Dia minta aku buruan ke tempatnya."

Dewa lantas bangkit, sementara aku menelan senyum kecut.

"Ya udah, kita berangkat sekarang, yuk."

Aku mengiakan meski pun hatiku nelangsa. Momen romantisku dan Dewa, mendadak terputus begitu saja. Berakhir menggantung.

***

Dewa menelisik dengan raut serius. Sesekali kepalanya mengangguk, seolah menyiratkan kekaguman akan selera Raihan dalam mendesain fasad rumahnya. Dewa memang agak aneh - punya obsesi tersendiri dengan bentuk-bentuk proposional dan presisi.

Belum sempat tanganku menekan bel di samping pintu utama, Raihan tahu-tahu sudah membukakanku. Makin jelas kalau dia sudah menungguku dari tadi.

Senyum yang semula Raihan ukir, mendadak sirna ketika menemukan sosok Dewa di belakangku. "Oh, jadi kalian berdua sudah terang-terangan go public rupanya?" sindirnya dengan nada mengejek.

Aku menengok Dewa, waswas jika emosinya terpancing.

"Siang, Raihan," sapa Dewa tenang. "Kuharap kehadiranku tak menganggumu. By the way, aku suka arsitektur rumahmu."

Raihan mendecih.

"Aku nggak nyangka kamu menusukku dari belakang, Dewa. Dan tanpa malu sekarang muncul di hadapanku seolah tiada dosa."

"Raihan!" sentakku.

"Nggak apa-apa, Ileana." Dewa menyabarkanku. Ia lalu beralih pada Raihan. "Aku minta maaf jika ikut andil dalam menyakiti hatimu. Tapi, aku sama sekali tidak pernah menusukmu dari belakang. Aku dan Ileana murni berteman ketika kalian masih bersama."

"Teman? Teman macam apa yang langsung jadian sehari setelah dia memutuskanku?!" Raihan melotot.

"Kurasa, Ileana hanya mengikuti kata hatinya," jawab Dewa. "Dan aku tak ingin mengulur waktu lebih lama untuk memilikinya. Meski mungkin ... terkesan tak menghormatimu. Tapi, alangkah baiknya kamu menerima keputusan Ileana."

"Sudahlah," alihku. Aku mendekati Raihan sambil memasang ekspresi mengiba. "Boleh kuambil koper dan Sultan?"

Raihan mendengkus. Lalu melengos ke dalam; tak lama, ia kembali dengan dua tangan yang sibuk. Satu menggeret koper, dan satu lagi menenteng pet cargo berisi Sultan.

"Ini," sodor Raihan padaku.

"Thanks." Aku berusaha melempar senyum. Raihan enggan menanggapi. "Kalau gitu aku pamit."

"Ya." Raihan acuh tak acuh.

Dewa maju selangkah, berniat menghampiri Raihan.

"Aku sungguh-sungguh meminta maaf untuk semuanya."

Raihan menatap Dewa dingin. Kemudian tiba-tiba ekspresinya melunak. Ia menyodorkan tangan. "Jaga dia baik-baik," ucapnya.

Dewa sumringah.

Ia bergegas menyambut jabatan yang Raihan tawarkan. Akan tetapi, belum sempat telapak mereka saling bersalaman, Raihan melakukan manuver secepat kilat. Telapaknya beralih mengepal dan melesat menonjok wajah Dewa. Serangan mendadak itu belum sempat diantisipasi oleh Dewa. Ia pun terkena pukulan telak hingga terjerembap.

"Dewa!"

Aku sontak memekik histeris.

MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Bagi yang penasaran dan kebelet sama endingnya, silakan merapat ke akun Ayana Ann ya!

Salam.sayang 🖤🖤🖤









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top