28| Kisah Sesungguhnya Baru Dimulai

Dewangga

"I have crush on you ..."

Ingatan akan pertemuanku dengan Ileana terus terputar. Ileana menyukaiku? Tidak, dia bilang dia jatuh cinta padaku.

"Menyukaimu, adalah hal terbodoh yang pernah kurasakan!"

Lalu? Dia sekarang sudah tak menyukaiku lagi?

Jadi sebenarnya, bagaimana perasaan Ileana padaku? Dia suka atau tidak? Alah! Masa bodoh. Bukan waktunya bagiku memikirkan soal perasaan Ileana. Bisa saja dia melakukan itu untuk mempermainkanku, dua sahabat sama saja.

"Pak, kopinya." Seorang pelayan meletakkan cangkir kopi ke atas mejaku.

"Oh, iya. Thanks," ucapku.

Kuamati pesananku, seharusnya aku minta minuman dingin. Bukan kopi panas di tengah suasana Surabaya yang terik begini.

Ya sudah.

Aku ke mari juga bukan untuk bersenang-senang. Atau nongkrong. Ada seseorang yang akan menemuiku.

"Dewa."

Aku menengok ke belakang. Dia yang kutunggu akhirnya datang.

"Duduklah, Ya." Aku mempersilakan Aya mengambil tempat tepat di hadapanku.

Ia mengulum senyum; melirik pesananku, lalu terkekeh. "Tumben minum kopi panas? Biasanya smoothie mangga," kata Aya.

Aku memilih bungkam. Ini bukan saatnya bernostalgia. Hubungan kami sedang tidak baik-baik saja; oh, berakhir lebih tepatnya.

"Kamu mau pesan?" tanyaku datar.

Aya menggeleng. "Nggak usah," tolaknya.

Lalu aku dan Aya terdiam untuk beberapa saat. Aku berkali-kali menelan saliva untuk menghilangkan kering di tenggorokan. Sementara Aya terlihat gelisah, mungkin ia canggung, atau tegang.

Penyejuk udara yang menusuk tulang menambah suasana suram di antara kami. Terasa menggigil, seolah ada lapisan es membungkus pada celah hatiku yang retak. Memandang wajah Aya lagi membuat lambungku mual. Tiada lagi kekaguman, apa lagi puja-puji yang dulu kurasakan. Setiap tatapan mata bagaikan jarum yang menusuk-nusuk, kucoba sekuat tenaga mencari sesal dari balik ekspresi Aya. Namun, aku gagal.

Aroma biji kopi menguar memenuhi udara, biasanya Aya akan memesan ice hazelnut latte, lalu membaginya padaku. Ironi sekali karena semua tinggal kenangan kelam yang memayungi pertemuan kami sekarang.

"Dewa, apa kamu meminta bertemu untuk mendengar penjelasan dariku?" ujar Aya memecah kebisuan.

"Ya," jawabku singkat.

"Penjelasan apa? Apa ini berarti ada kemungkinan kita bisa kembali bersama?"

"Tentu saja tidak, Aya," tegasku. "I need closure. Give me the reason to answer all my ambiguity." Aku memandang Aya lurus. "Why?"

"Hmmh." Aya berpaling. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengambil jeda yang cukup lama. Cukup lama untuk menyiksaku.

"Kamu mencintai dia? Dion itu?" selaku.

Aya buru-buru menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak. Dion sudah resign beberapa hari yang lalu. Kurasa dia tak nyaman lagi bekerja denganku," jelasnya.

"Jadi?"

Aya akhirnya mengarahkan bola matanya padaku. Menyorotku menggunakan iris bulat yang dulu berhasil menghipnotisku. Membuatku tergila-gila.

"Dewa," kata Aya. "Kamu ingat — kita sering menumpuk bahan pangan di kulkasku. Baik sayur mayur, buah, atau daging-dagingan. Kamu ingat apa yang paling membuatku tertarik?"

Aku menggeleng.

"Tomat ceri." Aya mengulum senyum. "Aku paling suka membeli tomat ceri; tampilannya mungil, merah, segar. Aku selalu berpikir akan menggunakannya nanti, entah untuk salad, atau whatever-lah ..." Ia lalu memandangku sendu — raut yang kubenci. "Tapi aku tak pernah menggunakannya. Aku hanya menyaksikannya membusuk perlahan-lahan di kulkas, mengering."

"Apa hubungannya dengan semua ini?" sergahku.

"Kamu tomat ceri itu, Dewa," tukas Aya. "Kamu sangat indah, menawan, membuatku tertarik untuk menyimpannya buatku sendiri. Aku selalu membayangkan kita kelak akan memiliki hidup yang indah. Tetapi bersamamu, waktu terasa lambat, seperti menunggu kapan akhirnya tomat ceri itu membusuk."

"Maksudmu ... aku begitu membosankan?"

"Kita punya kesukaan, selera, dan pemikiran yang berbeda. Sangat berlawanan. Satu-satunya yang menyelamatkan hubungan kita hanyalah seks," jabar Aya. "Aku sering membayangkan andaikan itu hilang, betapa sepi dan kosongnya kita. We have nothing in common."

"Bagimu!" sergahku. "Bagaimana denganku? Pernah berpikir arti dirimu untukku? You are my whole world, Aya."

"Dewa—"

"Alih-alih membahasnya bersamaku, kamu malah cari pelarian ke orang lain. Aku bersedia menjadi apa pun untukmu. Apa pun!"

"Maafin aku," ucap Aya getir. "Aku sadar telah menyakitimu. Dan aku menyesal."

"Aku hampir melamarmu ..."

Mata Aya berkaca-kaca. "I know," timpalnya. "I'm a damn fool. I'm so sorry."

Tomat ceri.

Jadi nilaiku setara dengan sekotak tomat ceri yang selalu ia beli dari supermarket.

Cukup menyakitkan setelah tahu faktanya. No, it really hurts. Because I expected so much more from her.

"Terima kasih untuk penjelasanmu, Ya." Aku menorehkan senyum tipis. "Kurasa itu akan membantuku move on."

"Asal kamu tahu, aku benar-benar menyesal." Aya mengiba.

"Ya, aku tahu." Aku mengangguk. "Semoga kamu berhenti melakukannya pada lelaki-lelaki lain yang akan kamu temui berikutnya."

Aku lantas bangkit dari duduk.

Kalau diingat lagi, aku bahkan belum sempat menyentuh kopiku.

"Dewa," cegah Aya.

Aku menengok. Menunggunya melontarkan kata.

"Aku tahu mungkin akan tidak nyaman bagimu, karena harus bertetangga dengan Ileana," lanjut Aya. "Hanya saja, semoga hubungan kalian tetap baik-baik saja. Dia tak ada sangkut pautnya dalam permasalahan ini."

"Dia membantumu merahasiakan perselingkuhan; Ileana bukan tidak ada sangkut pautnya, dia ikut bermain di belakangku. Kemudian, berpura-pura menjadi seseorang yang mendukungku."

Aya menggeleng. "Nggak begitu," sanggahnya. "Dia terpaksa berbohong karena aku memaksanya. Ileana bahkan menggeret Dion pergi. Bukan dengan cara yang layak; by the way, dia menarik rambut Dion. Menyeretnya seperti hewan."

Aku bergeming.

Entah mengapa aku urung melanjutkan langkahku. Baik jiwa mau pun ragaku terpaku.

"Aku dan Ileana," lanjut Aya, "bahkan merenggang sejak kejadian itu. Dia membenciku karena berpihak padamu." Ia menarik kedua sudut bibir ke atas hingga menciptakan lengkungan. "Ileana juga membujukku untuk menyusulmu ke Malang. Dia yakin kamu di sana. Apa kamu sungguh berada di shelter Dewa?"

"Ya," jawabku pelan. "Aku memang di sana."

"Jadi, tebakannya memang benar," gumam Aya. "Kuharap kalian berdua tetap hidup nyaman sebagai tetangga. Dan kuharap, kamu menyampaikan salamku padanya."

"Kenapa nggak kamu sampaikan sendiri?"

"Ini pertama kalinya Ileana sangat kecewa padaku, Dewa." Tatapan Aya berubah nanar. "Aku terlalu takut menghadapi kemarahannya. Ileana, sungguh membenciku." Suaranya mendadak serak dan parau. "She is really on your side."

***

Hari demi hari berlalu.

Dari studio ke rumah, aku selalu mencari jalan alternatif lain demi menghindari sosok Ileana. Maksudku, billboard yang memajang wajahnya.

"Bayangkanlah seberapa besar sesal Raihan nanti."

Aku seakan tertampar oleh perkataanku sendiri. Bukan Raihan yang sekarang merasakan sesal, tetapi aku. Ya, aku.

Aku memang manusia paling munafik dan sok suci sedunia.

Sekuat tenaga aku membohongi diri akan perasaanku pada Ileana. Adik? Cih, menjijikkan, Dewa. Aku tak pernah menganggapnya sebagai adikku. Aku hanya mencari alasan untuk membenarkan ketertarikanku.

Semenjak pertemuanku dengan Aya, aku juga tersadar bahwa apa yang dia katakan seratus persen benar. Kami berdua bagai selada layu yang bersanding bersama. Aku dan Aya cuma bersemangat ketika bercinta, selebihnya kami mirip pasangan manula yang sudah terjerat pernikahan selama 50 tahun. Hambar, anyep.

Aya bilang humorku terlalu sarkas.

Hanya Ileana saja yang menertawakan semua lelucon yang kulontarkan. Bahkan, selera candaanku dan dia hampir sama. Using sarcasm as defense mecanism against genuine emotion.

Tapi, belum saatnya bagiku memulai asmara baru. Lukaku masih menganga. Amarahku belum mereda.

Kutengok sosok Ileana dari balik jendela, dia sedang memasukkan kendaraannya ke garasi. Rambut terikat tinggi, senada warna senja. Kaos polos seadanya dipadankan jeans biru tua. Wanita itulah yang akan kulewatkan.

Senyum dan tawa Ileana mendadak terbayang-bayang. Bukankah aku paling suka ketika ia tampak ceria? Membuat hatiku terasa hangat.

Wanita itulah yang akan kulewatkan.

"Hah ..." Dengan segera kupalingkan mataku darinya.

Bisa saja segala perasaan yang aku dan Ileana rasakan bersifat temporary. Cuma ketertarikan sesaat karena punya banyak kecocokan. But, what if she is the one?

Grrrt. Grrt. Grrrrrt.

Aku tersentak oleh suara garukan pada celah pintu. Aku tahu siapa pelakunya.

"Sultan?" Aku membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Kucing dempal itu langsung menerobos tanpa sungkan. Mengeong seolah-olah tidak pernah diberi makan satu minggu. "Kamu kangen aku, ya? Sudah lama sekali nggak ketemu," tegurku. "Pasti kamu mau minta wet food yang biasanya aku kasih, kan?"

Sultan lagi-lagi mengeong, kali ini lebih nyaring.

Aku pun bergegas berjalan ke dapur. Ia mengikutiku. Belum sempat membuka kabinet penyimpanan, terdengar ketukan dari depan.

"Ya?" Netraku seketika membeliak. "Ileana?"

Ileana melipat kedua tangan. Rautnya galak. "Mana kucingku?"

"Mau masuk dulu? Sultan sepertinya kangen makan wet food dariku," dehamku.

Ada keterkejutan terpancar dari ekspresi Ileana. Mungkin karena caraku bicara padanya tak sekasar tempo lalu.

"Mana kucingku?" sentak Ileana lagi.

"Sultan, dia ..." Aku melongok ke kitchen, Sultan duduk manis menungguku. "Biarin dululah dia di sini, nanti aku antar."

Ileana mendecak. "Nggak bisa. Dia mau kutitip di pet hotel!" sergahnya. "Mana, bawa sini, apa susahnya?"

"Ngapain Sultan dititipin pet hotel?" selidikku.

"Aku mau berangkat ke Jakarta," decih Ileana. "Sebentar lagi Raihan datang. Buruanlah, Dewa!" Ia melotot.

Jantungku serasa diremas.

Oh iya, kapan hari dia bilang mau ke Jakarta untuk menemui keluarga besar Raihan.

Alih-alih ikut senang untuk kebahagiaannya, kenapa aku justru keki begini?

"Masuk dan ambil sana sendiri!" gertakku.

Ileana mendengkus. Ia seolah anti menginjakkan kaki di rumahku.

"Okay!" geram Ileana.

Kemudian, Ileana melangkah gusar mendekatiku yang berdiri menantang pada ambang dapur. Ia melewatiku begitu saja, secepat kilat tanpa sedikit pun memandangku.

"Ayo, Sultan!" Ileana merenggut Sultan dalam gendongan. "Ngapain, sih, kamu itu kabur ke sini?" dumalnya.

Debaranku semakin tak terkontrol. Ada gelombang adrenalin yang mendadak naik ketika Ileana mengabaikanku. Ada sesal bertumpuk karena sudah berkali-kali membentaknya, menolaknya, bahkan menghinanya. Ada perih menyilet relungku karena aku akan kehilangan Ileana sedetik lagi.

Oh, Tuhan, apakah terlalu cepat jika aku ternyata — menaruh hati padanya?

"Heh!" cegahku. "Kamu yakin mau menemui orang tua Raihan? Ketika itu terjadi, kamu bakal sulit untuk mundur lagi!"

Ileana tak menggubrisku, terus saja berjalan menuju pintu keluar.

Aku pun tak tinggal diam dan mengejarnya. Lalu membanting pintu agar Ileana terkunci bersamaku. Ulah impulsifku membuat Sultan terkejut bukan main, hingga berontak dari gendongan Ileana.

"Aduh! Sakit!" Ileana memegang lengannya yang tercakar. Sultan melompat begitu saja, dan bersembunyi ke belakang.

"Kamu nggak apa-apa?"

Ileana melotot. "Kamu apa-apa'an? Bisa-bisanya gebrak pintu di depanku!" bentaknya. Ia lalu mundur selangkah. "Kamu nggak berniat membunuhku, kan?"

"Membu—" Aku sontak terkekeh. "Kamu kira aku psikopat apa?! Nggaklah! Aku hanya mau bicara."

"Mau ngomong apa sih, Dewa?!"

"Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menahan semuanya? Berpura-pura bahagia untukku dan Aya, padahal hatimu mungkin terluka bukan main. Padahal kamu mungkin cemburu setengah mati?" cecarku.

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Dasar, gila!" elak Ileana.

Aku menghampiri Ileana. "Kamu bilang kamu jatuh cinta padaku, kan? Jika kamu benar mencintaiku, kamu nggak akan baik-baik saja setiap kali melihatku bersama Aya. Apa kamu Malaikat, huh?" Kutatap Ileana lekat. "Bagaimana bisa kamu melakukan segalanya demi hubungan kami? Bagaimana bisa kamu mengesampingkan perasaanmu?"

"Dewa—"

Aku memotong kalimatnya. "Karena aku nggak bisa! Aku nggak bisa melakukan apa yang kamu lakukan."

"Huh?" Ileana berkernyit penuh tanda tanya.

"Aku nggak pernah ketemu orang setulus kamu, Ileana," ujarku. Kupandangi paras Ileana lamat-lamat. "Mengorbankan perasaanmu asal aku tidak terluka."

Ileana membuang muka. "Kalau ini soal pengakuanku kapan hari, tolong kamu segera lupakan. Pikiranku sekarang sudah jernih dan aku sadar kalau kemarin aku cuma terbawa suasana. Paham?"

"Lihat aku kalau bicara. Lalu, katakan kalau perasaanmu padaku memang benar-benar sudah hilang," buruku.

"Dih, ngapain?" Ileana mengelak.

"Karena aku sadar kalau sekarang aku yang nggak bisa berhenti memikirkanmu," akuku. "Nggak, kalau aku boleh jujur, kamu sudah menahan pikiranku semenjak pertama kali kita bertemu."

Mata bulat Ileana berkilat. Bibir plumpy-nya sedikit gemetar.

"Aku memang berengsek, Ileana. Aku memang menggodamu tetapi munafik untuk mengakuinya. Setelah kupikir lagi, mungkin aku memang pantas menerima perselingkuhan Aya."

"Berhenti bicara, aku nggak mau mendengarnya lagi."

"Tapi biarlah aku jadi berengsek ketimbang melewatkan wanita sepertimu," lanjutku.

"Sudahlah, berhenti sampai sini." Ileana melengos. Ia berusaha membuka pintu utama. "Aku mau pergi, kalau kamu mau memiliki Sultan, ambil saja. Aku nggak peduli."

"Ileana!" Aku menghadangnya. "Semua orang berhak mendapatkan cinta yang berbalas, termasuk Raihan. Kamu pikir dia akan bahagia jika hidup bersamamu yang tak lagi mencintainya? Lalu, kamu. Kamu pikir kamu akan bahagia bersama Raihan?"

"Sok tahu," hardik Ileana. "Tahu apa kamu soal perasaanku ke Raihan?"

"Kalau gitu katakan dengan lantang kalau kamu memang masih mencintainya. Di depan wajahku sekarang," tantangku.

"Paling tidak Raihan tak akan pernah meninggalkanku." Ileana menyorotku nanar. Ada pancaran emosi dari caranya melihatku.

"Apakah aku tipikal orang yang akan meninggalkanmu?"

Ileana tertawa getir.

"Waktu kita di Malang, kamu pergi meninggalkan Aya selepas bertengkar dengannya. Kamu juga pergi begitu saja tanpa penjelasan setelah membuat kekacauan di klub. Yang terakhir, kamu pergi menghilang berhari-hari demi menghindariku dan Aya. Kamu selalu lari tiap kali terbakar emosi," beber Ileana. "Aku nggak butuh pasangan sepertimu. Aku butuh seseorang yang stabil. Raihan, contohnya."

Aku mendengkus.

"Dia tidak lagi memiliki hatimu," kataku.

"Pernikahan bukan melulu soal cinta," tegas Ileana. "Dan penyesalan Raihan membuatnya tak akan pernah menyakitiku lagi."

"Ilea—"

"Dewa!" sela Ileana. "Kita adalah dua orang berwatak keras yang tidak boleh bersama. Bayangkanlah berapa banyak pertengkaran di mana salah satu dari kita enggan mengalah." Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas, sebuah senyum manis yang luar biasa. "Ya, kita memang saling jatuh cinta, tapi, perasaan kita berdua nggak masuk akal. Kita sama-sama dua orang yang mengemban patah hati karena pengkhianatan. Kita merasa senasib, dan salah mengartikan getaran yang muncul."

Leherku serasa tercekik. Seolah-olah ada sesuatu yang menghimpit jalan napasku. Sesak.

Aku mengangguk.

Tanpa kata, aku melenggang ke belakang dan mengambil Sultan. Kubawa kucing tabby itu kembali pada pemiliknya.

"Ini," sodorku.

"Thanks," ucap Ileana pelan.

Aku lantas memanjangkan tangan untuk membuka pintu, mempersilakan Ileana keluar menuju kebebasan.

"Safe flight," kataku. Nyaris tanpa ekspresi.

Ileana mengangguk.

Ia melangkah menyusuri halamanku, menjauh, lepas dari jangkauanku.

Tapi, tiba-tiba Ileana menengok. "Ini terakhir kalinya kita bertemu. Aku akan pindah ke rumah Raihan sepulangnya dari Jakarta. Aku harap kamu selalu sehat, Dewa. Juga baik-baik saja."

"Hmm," sahutku menorehkan senyum segaris.

Sunggingan yang kupalsukan demi menyamarkan lubang menganga dalam hatiku.

Sakitnya dua kali lipat ketimbang sakit yang kurasa waktu memergoki Aya berselingkuh. Rasa pedih ini menghantamku ganas; menyadarkanku bahwa, she is the one.

Wanita yang kulewatkan.

Ileana pergi, dan aku memutuskan kembali bersembunyi dalam 'gua'ku.

Semua telah berakhir. Semua pupus karena egoku.

***

Langit mulai memerah; seperti zombie, aku berjam-jam melamun di depan laptop. File foto di hadapanku kuabaikan begitu saja. Gelisah pasca kepergian Ileana.

Sesak di dadaku masih setia bersarang. Dalam pelukan kesendirian, aku terus terlarut dalam pusaran sesal.

Kuatur napas berkali-kali demi menenangkan jiwa, mau pun ragaku. Namun gagal. Seharusnya aku ikhlas. Meyakinkan diriku bahwa kehilangan Ileana adalah takdir yang harus kuterima. Tetapi, lagi-lagi dadaku bergemuruh jika mengingat ke belakang betapa banyaknya pertanda yang kulewatkan begitu saja.

Tolol.

Toktoktok.

Bunyi seseorang menggedor-gedor pintu membuatku tersentak. Amarahku sontak meletup karena 'tamu tak sopan' ini.

"Siapa?" ketusku.

Aku berjalan menuju pintu, kukepalkan tanganku kuat-kuat. Gebrakan pada daun pintuku makin semena-mena. Masa, satpam kompleks nggak sopan begini?

Begitu kubuka pintu, mataku pun terbelalak. Tak disangka-sangka, Ileana menungguku. Bulir keringat membasahi dahinya. Napas Ileana tersenggal-senggal.

"Ileana ... bukannya kamu tadi sudah berangkat?"

Tanpa kuduga, Ileana melemparkan tubuhnya ke dalam pelukanku.

Aku mematung pasrah.

Seketika, sejuta butiran kristal es yang sempat membeku di hatiku mencair, berganti dengan kehangatan akibat dekapan Ileana.

"Aku ingin tenggelam dalam cinta tak masuk akal ini," bisik Ileana.

Oh, Tuhan.

Di tengah langit yang melabuhkan rona jingga di ufuk barat, baru kali ini kualami sore seindah ini.

Mr. Vanilla sudah tamat di Karyakarsa, silakan baca cepat di sana kalau gak sabar tunggu di wattpad.

Jangan lupa komen + like sebanyak2nya spy Ay makin semangat upload di sini ya! Love you All 🖤🖤🖤







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top