27C |

Ileana

Aku menekan tombol stop di dashboard. Lalu terdiam cukup lama sebelum memutuskan keluar. Kuraih ponsel dan memeriksa waktu, sial, sudah hampir jam sembilan malam.

"Paling tidak aku akhirnya tahu kalau pengkhianatan Aya yang kemarin, bukanlah yang pertama."

"Dewa, tunggu dulu!"

"Tunggu apa, Ileana?" Dewa menatapku penuh frustrasi. "Kamu telah membohongiku selama berhari-hari. Kamu mendengarku berbicara soal persiapan lamaranku berulang-ulang. Dan kamu sama sekali tak mengatakan apa pun padaku!"

"Aya sahabatku," dalihku.

Langkah Dewa tertunda. Kedua iris noir-nya menyiratkan kepedihan mendalam. Itu menyiksaku. "Lalu apa aku ini untukmu? Lelucon? Seorang lelaki yang kalian berdua berhasil tipu?"

Kusandarkan kepalaku pada setir kemudi.

Hubunganku dan Dewa benar-benar sudah tamat. Tidak akan ada alasan baginya untuk memaafkanku. Dewa membenciku, bahkan mungkin ia lebih membenciku dari Soraya.

Lalu sekarang, Raihan juga berpotensi mencampakkanku.

Lihatlah - aku pulang begini larut karena menyusul lelaki lain yang bukan kekasihku.

Kehidupanku sudah berakhir, benar-benar berakhir.

Dengan langkah gontai, aku pun turun dari mobil. Berjalan masuk ke dalam rumah untuk mendengarkan rentetan kemarahan, (atau) kekesalan dari Raihan. Ya sudah, aku sudah siap. Toh, bagian terburuk telah kulewati.

"Malam," sapaku membuka pintu.

Kepala Raihan menengok dari balik dinding ruang belakang. "Beib, kamu sudah pulang? Ah, akhirnya!" Ia pun menghampiriku sambil mengulas senyum lebar.

"Raihan, maaf, aku ingkar janji. Aku menghabiskan seharian di sana, di shelter Dewa. Dia memang ada di sana dan aku ..." Tenggorokanku mulai tercekat hingga rasanya sulit sekali untuk bicara.

Kemudian bayangan wajah Dewa yang memandang penuh kekecewaan menari-nari dalam benakku. Sesuatu yang membuat mataku mendadak memburam dan memanas. Sangat menyakitkan. Sakit yang harusnya konyol untuk kurasakan. Tapi beginilah adanya.

"Hei." Raihan mengusap lembut pundakku. Ia lalu menunduk untuk mencari mataku. "Lei? It's okay," katanya lembut. "Apa yang sudah terjadi di Malang, denganmu dan Dewa, aku tidak peduli. Kamu tak ingin menceritakannya? Aku tak peduli. Kamu tahu apa yang kupedulikan?"

Aku menengadah dengan mata yang basah.

"Kamu kembali ke sini, menemuiku," lanjut Raihan. "Pulang ke sisiku, Lei."

Bibirku gemetar oleh isak yang tertahan.

"Tentu saja aku pulang, ini, kan, rumahku," godaku.

Raihan tertawa menyertaiku. Ia lalu mengecup pelipisku. "Iya, kamu benar," gumamnya.

"Maksudku, kamulah rumahku," kataku kemudian.

Raihan lantas mendekapku erat. Aku memang selalu bimbang setelah Raihan ketahuan berselingkuh. Patah hati membuatku terbuai oleh kebaikan hati Dewa. Menjadikanku luluh dan berpikir jika aku dan Dewa mungkin bisa bersama-sama. Sebagai pasangan.

Namun, aku tak butuh seseorang yang meninggalkanku. Lagi.

Pergi dengan mudah seperti apa yang papa, atau mama lakukan. Papa dan mama tak sadar betapa aku memuja mereka. Merekalah hidupku, duniaku. Dewa pun begitu, aku memujanya.

Brak! Dewa membanting pintu pantri dan menghilang. Tanpa ragu, aku pun menyusulnya keluar sembari mencarinya ke mana-mana.

"Dewa!" panggilku. Kususuri lorong demi lorong, tapi nihil. Aku juga naik ke atas rooftop, tempat Dewa biasa melamun. "Dewa?" Dia tidak ada di sana.

Alih-alih, Dewa, aku justru menemukan Panca.

"Mbak Ileana ..." tegur Panca. "Mbak ... anu ..."

"Mana Dewa, Mas Panca?" tanyaku.

"Mas Dewa barusan pergi naik motor. Dia sempat pesan sama saya, katanya Mbak diminta balik ke Surabaya," ujar Panca. Rautnya menyiratkan ketidak-tegaan. "Mbak, Mas Dewa lagi emosi. Sabar, ya, mungkin nanti kembali lagi."

Well, just like that.

Segampang itulah Dewa pergi.

Dia selalu pergi ketika tak mampu menghadapi emosinya, permasalahannya. Just typikal Dewangga Satya.

Aku tak butuh lagi ditinggalkan - aku ingin seseorang yang mempertahanku. Menungguku.

"Kamu sudah makan? Aku tadi order burger, akan kuhangatkan di microwave," tuntun Raihan.

"Raihan," panggilku.

"Hmm?"

"Terima kasih." Aku menatap Raihan lurus.

Raihan mengernyit. "Terima kasih, buat?"

"Kamu sungguh nggak curiga dengan apa yang kulakukan di Malang? Bersama Dewa?"

Raihan mengembuskan napas.

"Lei, we all make mistakes," ujar Raihan. "Tapi aku percaya kamu bukan seseorang yang akan melakukan kesalahan fatal. Aku juga percaya pada Dewa. Dia adalah lelaki yang memiliki integritas."

Aku lantas tersenyum tipis.

Raihan mengeratkan rangkulan. Sudahlah - atas semua kejadian hari ini, Raihanlah satu-satunya yang kubutuhkan;

***

Aku mengaduk-aduk potongan salmon dalam piring salad menggunakan garpu. Dengan malas, aku mengambil seiris tomat ceri dan memasukkannya ke mulut. Kukunyah pelan-pelan, tiada berselera.

"Hei," tegur Raihan. Ia duduk di hadapanku sekembalinya dari kamar kecil. "Kamu yakin cuma pesan salad?"

Aku mengangguk.

"Aku belum seberapa lapar," jawabku.

Raihan tersenyum mafhum. "Baiklah, kalau begitu selamat makan, Sayang."

Ia lalu mengalihkan atensi pada short ribs barbeque pesanannya. Sesekali Raihan menengokku dan menawarkan makanan miliknya, tetapi aku lagi-lagi menggeleng.

Aku benar-benar kehilangan selera makan.

Satu minggu berlalu semenjak aku terakhir bertemu dengan Soraya, dengan Dewa.

Rumah Dewa selalu kosong. Sama halnya dengan Soraya yang enggan membalas pesanku. Hubungan kami bertiga kacau balau berantakan. Semua terasa berbeda.

Kalau dulu, tiap bertengkar sama Soraya, aku pasti memburunya ke apartemen. Memaksa Soraya agar kembali berbaikan, dan pada akhirnya, kita berdua akan kompak menangis. Lalu, tertawa terbahak-bahak oleh permasalahan sepele yang sudah berlalu.

Jika bukan aku, maka Sorayalah yang ngotot mencariku ke rumah. Dia akan membawa sekarung makanan sebagai permintaan maaf.

Namun, kali ini lain. Baik aku mau pun Soraya enggan berusaha melakukan apa pun. Jujur saja; aku masih membencinya, benci karena dia menyeretku dalam kebodohan yang ia ciptakan. Benci karena Soraya mengenalkanku dengan Dewa. Dan mempropagandaku dengan dongeng manis tentang betapa sempurnanya sosok seorang Dewangga Satya.

Meski begitu ... aku tidak dapat memungkiri jika aku merindukan sahabatku, Soraya.

Sialnya lagi, aku juga belum bisa lupa tentang Dewa.

"Kamu setuju, kan, Lei?" Pertanyaan dari Raihan membuyarkan lamunanku.

"So-soal apa?" Aku terbata.

"Mengunjungi keluargaku di Jakarta. Orang tuaku sudah tidak sabar bertemu denganmu. Della juga, kamu tahu dia baru saja melahirkan anak pertamanya? Keponakanku." Raut Raihan berbinar.

"Tahu. Aku dan Della saling follow di sosmed," terangku. Della, teman satu agensiku dulu. Dialah yang mengenalkanku pada Raihan.

Raihan tersungging. "Jadi? Kamu bisa?" selidiknya.

Aku membisu.

Kepalaku tertunduk demi menghindari mata Raihan. Kuaduk-aduk isi saladku secara sembarangan.

Dikenalkan secara resmi ke keluarga besar Raihan memang impianku sejak dulu. Suatu tindakan yang menegaskan keberadaanku dalam hidup Raihan. Sebuah pengakuan. Juga jembatan menuju jenjang lebih serius dari pertunangan.

"Lei?" buru Raihan. "Kalau memang, okay, rencananya kita berangkat minggu depan."

"Aku ..."

"Ini big step untuk melanjutkan itikad baik kita. Aku nggak mau mengulur waktu pernikahan. Kamu harus tahu betapa pentingnya dirimu bagiku. Selain itu, aku tak muda lagi, tiga puluh lima."

Aku terkekeh. "Ah, ya, aku lupa kalau lagi pacaran sama Om-Om." Kucoba mengalihkan pembicaraan.

"Lei." Raihan menggenggam tanganku. "Kamu mau apa nggak? Sudah berhari-hari kamu belum memberiku jawaban. Setelah itu kita bisa atur waktu untuk terbang ke Makassar, giliranku untuk menyapa mamamu."

Sebuah tarikan melengkung tercipta pada kedua sudut bibirku. Suatu reaksi semu untuk mengelabui Raihan akan isi hatiku yang sebenarnya.

"Ide bagus, Raihan," timpalku.

"Jadi kamu setuju, ya? Aku akan kabari mereka semua. Mereka akan sangat senang mendengar kabarku." Raihan sumringah.

Ariadne Ileana - kehidupan impianmu sudah terpampang di depan mata. Suatu rancangan sempurna tentang standar keluarga bahagia yang sudah kupikirkan jauh-jauh hari. Hanya saja, kenapa saat segalanya hampir terwujud, aku justru merasa hampa?

***

Aku membasuh badanku di bawah pancuran air dingin.

Sisa busa luntur; meleleh melewati tungkaiku, lalu hilang pada drainase. Akhir-akhir ini jiwaku seolah-olah terbang melanglang buana meninggalkan ragaku. Tubuhku bak sistem autopilot yang menjalankan semuanya secara otomatis. Tidak ada yang berarti, tidak ada yang penting lagi.

Kuhabiskan waktu demi waktu untuk melamun.

Pada tiap detik yang kujalani, sosok Dewa selalu hadir menghantui. Berkali-kali aku memeriksa aplikasi perpesanan untuk memantau kontaknya. Sekedar mengecek apakah dia online atau mengetik, sungguh ironis.

Pesanku yang terakhir tak Dewa buka.

Padahal, aku sudah tahu kalau aku dan Dewa tidak memiliki hubungan apa pun. Dia hanya salah seorang 'kenalanku'. Lagi pula, Dewa adalah jenis lelaki redflag yang wajib dihindari. Dia mudah membuat siapa pun penasaran dengan sikapnya. Mungkin karena kepribadian yang sulit ditebak. Atau mungkin caranya tersenyum melalui bibir tipisnya. Dibalik semua karisma yang ia miliki, Dewa suka lari dari masalah.

Bukankah itu buruk?

Sebab ia tidak memikirkan dampak dari tindakan abainya terhadapku.

"Tenang saja, besok aku bakalan pulang."

Dewa juga ingkar janji ...

Lagi pula apa aku bodoh? Aku sudah memiliki tunangan. Untuk apa terbayang-bayang lelaki lain? Benar-benar kurang kerjaan!

Terlalu lama mandi menjadikan kulit tanganku keriput. Maka, aku pun bergegas mengeringkan diri dan masuk ke dalam kamar.

Ketika sedang memilih pakaian, runguku mendengar suara berisik dari rumah sebelah. Astaga, Dewa pulang? Kupakai baju secara sembarangan, kemudian bergegas berlari ke luar rumah. Benelli Dewa terparkir tepat di depan gerbang.

Tanpa permisi, aku pun menerobos masuk untuk bertemu dengannya.

"Dewa? Kamu sudah pulang?" seruku.

Dewa muncul dari balik pintu kamar. Netranya memandangku tajam. Ia berdiri di sana, tanpa kata. Aku melihat sosok Dewa yang dulu, facial hair yang menjadi ciri khasnya. Memang - ia lebih cocok seperti ini.

"Sorry, aku masuk begitu aja," kataku lagi. "Aku cuman sedikit khawatir dengan keberadaanmu beberapa hari ini. Syukurlah kamu sudah pulang."

Dewa menyeringai sinis.

"Kamu pikir aku masih betah tinggal di sini? Bersebelahan dengan salah satu komplotan penipu?" sahut Dewa ketus. "Aku kembali untuk mengambil pakaian, lalu pindah selamanya ke apartemen di dekat studioku."

"A-apa?" gumamku. "Komplotan penipu?"

Dewa melengos, cuek meninggalkanku ke dalam kamar.

Aku memilih menyusulnya. Netraku pun menemukan tas besar yang Dewa coba isi dengan tumpukan pakaian dan beberapa barang.

"Kamu ngapain, sih?!" kecam Dewa melotot.

"Kamu tadi bilang apa? Komplotan penipu?" Aku membeliak garang.

Dewa menghadangku. "Iya, kenapa emang? Nggak terima?"

"Aku sama sekali nggak pernah berniat membohongi kamu, ya!"

"Terus yang kemarin-kemarin namanya apa? Jangan-jangan kamu cuma mata-mata Aya untuk mengecek kondisiku yang memprihatinkan? Kalian seneng, ngobrolin aku di belakang. Iya?!"

"Semua perkataanmu salah!" sergahku.

"Udahlah, nggak usah ngeles terus. Jelas-jelas kamu tahu Aya selingkuh, tapi membiarkanku mati-matian ngurus surprise buat dia. Kalau bukan menganggapku badut, terus apa?"

Mataku sontak memanas.

Dewa tertawa kecil untuk mencemoohku. "Kamu nggak bisa jawab, kan? Bingung mau cari alasan apa?"

"Berhenti mengintimidasiku," tampikku.

"Kamu juga berhenti nangis. Jangan playing victim. Di sini, aku yang dibohongi. Tahu?"

"Aku cuma nggak mau kamu terluka!" Air mata terjun bebas membasahi pipi dan daguku. "Aku benci melihatmu sakit, Dewa. Itulah sebabnya aku memperingatkan Aya untuk berhenti gegabah. Dan ia janji akan menebus segala kesalahannya padamu. Saat itu Aya sangat frustrasi, dia bilang takut kehilanganmu. Untuk itulah aku berbohong!"

"Apa-?"

"Dewa, aku peduli padamu," akuku. "Aku sangat ... peduli. I have crush on you."

"Apa kamu bilang?"

"Itulah sebabnya aku ingin kamu bahagia, dengan wanita yang kamu cintai, yaitu Aya. Aku mana tahu kalau dia akan mencurangimu lagi?" ujarku. "Aku tersiksa tiap kali kamu dan Aya bermesraan, tetapi aku lebih tersiksa saat membayangkan kamu bersedih."

"Kamu ... bercanda, bukan, Ileana?" Dewa memandangku lekat. Dua alis tebalnya saling bertautan, lengkap dengan rahang yang mengeras.

Aku terisak.

"Membuang harga diriku demi mengakui perasaanku, kamu bilang bercanda?" jawabku. "Aku serius. Karena itulah, aku benci ketika kamu menganggapku sebagai adikmu. Itu terlalu menyakitkan ... bagiku, yang jatuh cinta, padamu."

"Demi Tuhan!" Dewa berpaling seraya membenamkan wajah dalam tangkupan telapak tangan.

"Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini padamu, Dewa. Tapi, jika hubungan kita harus berakhir karena kesalah-pahaman, aku nggak rela. Aku lebih memilih kamu tahu yang sebenarnya. Meski pun, aku yakin setelah ini kamu nggak akan mau bertemu denganku lagi." Aku menyeka wajahku yang basah. "Paling tidak, kamu tidak akan mengingatku sebagai 'komplotan penipu."

"Ileana." Dewa berbalik menatapku. "Apa ini memang kebiasaanmu dan Aya? Menjebak lelaki di saat kalian sudah memiliki kekasih?"

Bibirku sontak gemetar. Tangisku kembali pecah.

"Tega sekali kamu, Dewa?" lirihku.

"Kamu tahu rasanya diselingkuhin, kan? Terus ini apa? Kamu bilang suka sama aku sementara Raihan masih menjadi tunanganmu!" Dewa mengejekku melalui tatapan mengintimidasi. "Kalian pikir bisa mempermainkan lelaki dengan wajah cantik dan derai air mata? Huh?"

"Apa aku pernah menggodamu?" tanyaku getir.

"Apa?"

"Apa aku pernah menggodamu?!" Intonasiku berubah meninggi. Aku lantas mendorong Dewa demi melampiaskan amarah. "Apa aku pernah mendatangimu dan merayumu selama kita hidup bersebelahan? Aku menyimpan perasaanku rapat-rapat! Demi Raihan, demi Aya! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu terus menerus mengejarku tanpa menyerah! Kamu menerobos personal boundaries yang setengah mati kubangun Dewa."

"Maksudmu? Aku cuma mencoba bersikap baik!" sanggah Dewa.

"Dan aku berkali-kali bilang, kalau aku nggak butuh kebaikanmu."

Dewa berkacak pinggang. Mata kami saling beradu. Sama-sama berkilat; menyimpan emosi, sekaligus kemarahan.

"Jadi, aku harus bertanggung jawab untuk ke-ge-er-anmu atas perlakuan baikku?" sergah Dewa.

Aku menahan napas.

Kuputuskan untuk menyudahi tautan mata kami. "You know what? Screw you, Dewa!" umpatku.

"Apa katamu?" Dewa mengejarku.

"Aku menyesal mengakui perasaanku padamu. Alangkah lebih baiknya kalau aku membiarkanmu menilaiku sebagai penipu. Dari pada menerima penghinaan seperti ini!"

"Heh, Ileana-"

Aku buru-buru menyela, "Sebaiknya kamu tidak perlu pindah karena aku yang akan pergi dari sini. Sepulangnya dari Jakarta kamu tak akan lagi melihat wajahku. Aku lebih baik tinggal di rumah Raihan," ujarku. "Itu lebih baik ketimbang harus bertetangga denganmu!"

"Jakarta?"

"Aku akan menemui orang tua Raihan untuk segera meresmikan hubungan kami," tegasku. "Terima kasih atas 'keramahanmu', aku tak lagi menyimpanmu dalam hatiku, Dewangga Satya. Menyukaimu, adalah hal terbodoh yang pernah kurasakan!"

"Tunggu!" Dewa menahanku yang hendak pergi, tetapi aku menepis tangannya.

"Ngapain? Kamu, kan, terganggu sama kedatanganku," bentakku. "Satu lagi, ya, berhentilah lari dari masalah Dewa. Bagiku kini, kamu hanya salah satu dari mereka."

"Mereka?"

"Orang tuaku. Kalian semua orang-orang yang memilih pergi dari masalah, sama sepertimu," kataku dingin. "Alih-alih intropeksi, kamu memilih melampiaskan kekesalanmu pada dunia, termasuk padaku. Apa kamu pernah berpikir kenapa Aya berselingkuh darimu?"

Kemudian aku pun melenggang pergi sembari membawa segala laraku. Dewangga Satya, hanyalah lelaki keparat, yang pernah kucintai.

Sekarang, mungkin tidak lagi.

KISAH ILEANA, DEWA, RAIHAN, DAN AYA bisa kalian baca jalur cepat di KARYAKARSA. SUDAH TAMAATTT 🖤🖤🖤

Dukungan kalian di sana berarti banget buat Ay bayar token, hehe. Thank You. Salam sayang - AYANA ANN










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top