27B |

Dewangga

Dia membiarkan kepalaku bersandar pada bahunya. Berada di dekat Ileana membuatku nyaman, tentram. Bukan karena ia seorang wanita, melainkan karena kami sama-sama tahu persis sakitnya dikhianati. Aku tak lagi merasa sendiri. Aku tak lagi menyalahkan diri sendiri.

Ya, menyalahkan diri sendiri.

Perselingkuhan Aya memunculkan serangkaian pertanyaan yang diawali dengan 'kenapa'.

Aku mulai meragukan diriku karena tak cukup baik dalam memperlakukannya. Aku menganggap bahwa aku belum mampu memenuhi kebutuhan batin Aya. Aku mulai meyakini kalau kekuranganku begitu banyak dan selama ini Aya mati-matian merahasiakannya.

Aku jatuh dalam lubang tak berdasar.

Parahnya, aku bahkan menyangsikan caraku bercinta. Aku malu pada diriku sendiri, aku kurang memuaskan Aya. Aku minder, insecure. Ya, aku hancur.

Tetapi adanya Ileana di sampingku menepis semua kerendahan diriku.

Lihatlah, wanita secantik dan sehebat dirinya pun dikhianati. Apa yang kurang dari Ileana? Tidak ada. Dan mengingat lagi penjelasan Raihan tempo lalu semakin menuntunku untuk bergegas pulih.

There's nothing wrong with Ileana, with me. The problem lies with them.

Orang yang tidak bisa menjaga komitmen memiliki kehampaan tak berdasar pada jiwanya. Mereka pikir kekosongan itu bisa terisi dengan kucuran perhatian. Mereka haus kasih sayang dan tidak pernah merasa puas.

Bukan aku yang kurang, tetapi Ayalah yang rendah diri. Dia mungkin butuh validasi dari orang lain.

Aku menggenggam jemari lentik Ileana. Memainkan telunjuknya yang ramping hingga tawa merekah dari bibirnya. Ada sensasi candu untuk menempel lebih ketat dengan Ileana. Dia seperti ganja yang membantuku menghilangkan semua ingatan menyakitkan. Ileana mendorongku untuk kembali bangkit. Untuk berhenti menyalahkan diri. Move on.

Akan tetapi, aku mendadak terhantam oleh realita kala menemukan cincin melingkari jari manisnya.

Dia adalah milik orang lain.

Aku buru-buru melepas untuk menciptakan jarak pemisah di antara kami.

"Ehm," dehamku. "Ngomong-ngomong, aku nggak bermaksud mempengaruhimu dengan prinsipku."

"Maksudnya?" Ileana berkernyit bingung.

"Aku memang tidak menoleransi peselingkuh, tapi Raihan adalah pengecualian," ujarku. "Aku tahu aku sempat membencinya tanpa alasan. Kita sempat bersitegang karena itu, bukan?" Aku melirik Ileana sambil terkekeh. "Hanya saja bertemu Raihan dan mengobrol intens beberapa hari belakangan ini, membuatku yakin jika dia adalah lelaki baik."

Ileana mengangguk. "Ya ..." gumamnya.

"Raihan tulus padamu, Ileana. Dia benar-benar mendapatkan pelajaran berharga dari ulahnya."

Ileana menunduk, lalu kembali mengangguk mengiakan.

"By the way, Raihan tahu kamu ke mari?" selidikku.

"Oh, dia tahu, kami bicara di telepon saat aku berhenti di rest area," jawab Ileana.

Aku tersenyum. "Baguslah. Aku nggak mau ada salah paham."

"Salah paham?" Ileana cekikikan. "Apa yang mau disalah-pahamkan dari kamu?" ledeknya.

"Yakin? Dia nggak merasa terintimidasi olehku?" Aku menengadah pongah membanggakan diri sendiri.

Ileana semakin terbahak geli.

"Pede amat, sih?!" ejeknya.

"Raihan belum lihat muka baruku yang bersih ini. Aku bertaruh dia akan minder karena melihat kemiripanku dengan ..." Aku mengusap dahi untuk mengingat-ingat. "Siapa itu ... orang Korea iklan biskuit kelapa?"

"Anjir, Lee Min Ho," kikik Ileana.

Sungginganku melebar ketika menyorot tarikan pada kedua sudut bibir plum milik Ileana. Aku senang melihatnya tertawa. Nggak tahu kenapa.

"Lee Min Ho wangi, ya!" Ileana berusaha menghentikan tawa. "Nggak ambu apek! Seriusan kamu harus mandi, deh, Dewa!"
(*bau keringat)

Aku mengendus aroma tubuhku sendiri. Ileana ada benarnya.

"Mana kamu tahu Lee Min Ho wangi? Siapa tahu aromanya mirip kulkas mati," sahutku.

"Sialan ..." Ileana kembali tertawa. Kedua matanya menyipit, sangat imut. "Kulkas mati katamu?" gelaknya.

Aku lantas berdiri dan menegakkan badan. Sebaiknya kami tak berlama-lama berduaan.

"Nanti aku mandi. Masih ada kerjaan menunggu di bawah," dalihku sambil berjalan menuju tangga.

"Kerjaan apa?" Ileana mengikuti dengan penasaran.

"Bantu Panca mandikan anak-anak," terangku. "Kamu lihat, kan, dia cuma sendirian hari ini. Ibnu kemarin pulang kampung."

Aku menuruni undakan tangga satu per satu. Kutoleh, Ileana menyusul di belakangku.

"Aku," sergah Ileana. "Boleh bantu juga nggak?"

***

Memang keparat si Panca.

Dia meminjamkan Ileana kaos distro miliknya, sepasang dengan kolor baru yang hang tag-nya saja belum dicopot. Sementara aku, cuma dipinjami pakaian lusuh (yang aku yakin) pernah dia gunakan menjadi lap pel.

"Yuk, Dewa," ajak Ileana.

Aku menyadari lirikan penuh makna dari mata Panca.

"Mas Dewangga dan Mbak Ileana mandikan asu-asu, sementara saya bagian ngeringin, deh."

"Terus kenapa mukamu cengengesan gitu?" sungutku.

"Maksudnya, aku nda akan memisahkan kalian berdua gitu, lho," bisik Panca setengah terkikik.

Aku membalas Panca dengan pelototan tajam.

Kami bertiga lantas masuk ke dalam ruangan grooming. Tempat ini terdiri dari beberapa zona yang dirancang khusus untuk mempermudah proses memandikan hewan. Ubinnya anti licin dan tahan air, lalu pencahayaannya pun cukup memadai karena dikelilingi kaca jendela lebar.

Di sebelah bak mandi, beberapa kandang berjejer menampung para anabul. Sementara pada dinding dekat bak, terpasang rak-rak yang berisi produk kebersihan hewan seperti sampo, kondisioner, dan sabun antijamur.

Setelah hewan selesai dimandikan, mereka dipindahkan ke zona kedua, yaitu tempat mengeringkan badan. Di sini Panca akan menunggu sambil mempersiapkan blower untuk mengeringkan rambut anabul yang basah. Kemudian setelah dikeringkan, rambut mereka akan disisir atau dicukur. Yang terakhir, dipotong kuku-kukunya.

"Jangan lama-lama main air, ya." Panca kembali menggodaku.

Aku memilih tuli.

Lalu mengajak Ileana ke tempat memandikan hewan. Ileana mengikutiku seperti anak ayam. Kalau dia diam dan anteng begini, cute juga ...

"Ini pada ngegigit, nggak?" tanya Ileana.

Anjing-anjing di dalam kandang seketika menggonggong riuh melihat kedatangan kami. Ekor mereka semua bergoyang.

"Kamu lihat-lihat dulu saja. Atau nanti bantu aku mengambil perlengkapan mandi mereka," ujarku.

"Iya," jawab Ileana menurut.

Aku lantas membuka salah satu cage anjing ras Labrador hitam dan mengeluarkannya. Anjing itu begitu bersemangat menyambutku. Lidahnya menjulur, sambil berkali-kali menghambur memelukku.

Aku melirik Ileana, dia tersenyum lebar sekali.

"Itu anjing ras, bukan?" selidik Ileana.

"Labrador," terangku.

"Kok anjing seperti dia dibiarkan terlantar?"

Aku menyalakan pancuran dan mulai membilas badan si Labrador. "Seperti yang kamu lihat, di sini, tidak hanya anjing kampung saja yang ditelantarkan, anjing atau kucing ras juga banyak. Tidak tahu apa alasan pasti pemilik sebelumnya, tapi rata-rata karena mereka pindah rumah, atau sudah bosan saja."

"Kasihan," lirih Ileana.

Aku mencibir. "Alah. Kucingmu di rumah juga sering kamu cuekkin," ledekku.

"Sialan." Air muka Ileana seketika berubah. "Bukan aku yang cuekkin Sultan, tapi dia." Ia menghampiriku lalu merebut selang air dari tanganku. "Sini, kubantu."

"Awas, hati-hati," pesanku. Kupegangi tubuh anjing Labrador itu agar ia tetap tenang.

Ileana berlutut. Ia mulai menuang sampo dan menggosoknya perlahan. Senyum kembali terbit di bibirnya. Si Labrador menghentakkan kaki agar bisa menghambur pada Ileana, hewan itu sangat bersemangat. Ileana berulang kali cekikikan geli.

Dia, cantik.

Seolah tidak tahu diri, aku pun berpindah ke sampingnya. Kupandangi wajahnya secara sembunyi-sembunyi, tanpa riasan, akan tetapi memesona luar biasa.

"Sudah, ayo bilas. Satu anjing dimandiin sejam, kapan kelarnya?" gerutuku.

"Dih." Ileana mendecih. "Nggak pernah bisa lihat orang seneng, emang." Ia pun menyalakan keran air dan mengguyur badan si Labrador. Sementara aku menggosok untuk menghilangkan busa sabun.

Anjing ini cukup tenang, tidak melawan sama sekali. Malahan senang bermain air lama-lama. Syukurlah - pengalaman pertama Ileana memandikan anjing berjalan mulus.

Tiba-tiba Ileana menyiram tubuhku tanpa permisi.

"Ileana?!" Aku membeliak.

"Dewa, kamu juga harus mandi!" Ileana terbahak-bahak penuh sukacita.

Aku menolak pasrah dan berusaha membalas perbuatannya. "Oh, ngajak perang rupanya!" serangku.

Ileana justru menyemprotku keras. "Dewa, ini demi kebaikanmu. Baumu udah mirip kambing!" Ia memekik.

Aku berhasil merebut selang air di tangan Ileana. Ia sontak berjongkok seraya meringkuk memeluk Labrador demi melindungi diri.

"Dewa, ampun! Ampun!"

"Tidak semudah itu, Ki Sanak!" kelakarku semena-mena. Aku berdiri di hadapan Ileana. Lalu mengarahkan selang padanya. "Any last words?" Aku mengintimidasinya.

Kedua tangan Ileana mencoba menyerangku. "Membalasku hanya akan menciptakan perang yang lain!" ancamnya.

"Aku tak peduli," seringaiku. "Siapa yang mulai duluan?"

Ileana melotot garang. "Tapi kamu, kan, cowok, masa bales cewek?"

"Sekarang zamannya kesetaraan gender," sanggahku.

Kemudian aku pun mengguyur badannya sekeras-kerasnya. Ia berteriak kesal sambil melindungi tubuhnya dari air. Sia-sia saja, Ileana basah kuyup.

"Nyebelin, ih! Nyebelin!" kesal Ileana. "Awas kamu, ya!"

Tanpa ampun aku menyemprotnya lebih kencang. Tawaku menggelegar seperti antagonis di film kartun. Ileana tampaknya menyerah karena ia kembali berjongkok meringkuk dengan mata terpejam akibat semburan air.

"Nyerah, nggak?" selidikku.

Tangan Ileana lagi-lagi berayun-ayun, berusaha menyabet selang di tanganku. Belum kapok juga ini anak.

Sialnya - Ileana berhasil merenggut ujung celanaku. Dengan sekuat tenaga, ia menariknya.

"Eh!" hardikku. "Lepasin. Melorot, tahu!"

"Biar!" Ia mencengkeram kain kolorku erat.

Selang pada genggamanku terjatuh karena aku berusaha mempertahankan celanaku. Bisa gawat kalau sampai lepas.

"Pelecehan ini namanya!" tahanku.

"Sudah kubilang, kan, membalasku hanya akan menciptakan perang yang lain!" Ia konsisten berjongkok sembari terus menerus memegang celanaku.

Saat kami sedang tarik-menarik, tiba-tiba Panca masuk, melongokkan kepala ke dalam.

Ia tersungging.

"Basah ... basah ... basah ... seluruh tubuh, ah ... ah ... ah ... mandi madu ..." senandung Panca dengan cara yang super menjengkelkan.

***

Panca membantuku membawa piring bersih ke atas meja. Ia lalu mengeluarkan bungkusan bebek goreng dari dalam kantong plastik. Sementara, aku sibuk membuat es teh untuk kami bertiga.

Ileana masih mandi di bangunan sebelah, ia meminjam kamar milik Panca dan Ibnu.

"Jarene menenangkan diri karena abis patah hati? Mbujuk'i pean," ledek Panca.
(*Katanya memenenangkan diri karena habis patah hati? Bohong kamu)

"Mbujuk'i apa, sih, Ca?" sergahku.

"Ta lihat Mas Dewa baik-baik saja semenjak Mbak Ileana datang. Wes, Mas, sudah ada ganti yang lebih baik, ngapain patah hati segala," lontar Panca seenaknya.

Aku mendesis. "Jangan ngawur kamu!"

Iya, ya, Panca benar.

Saat bersama Ileana, aku sejenak lupa tujuanku minggat ke shelter. Bukankah aku sedang broken heart? Bisa-bisanya aku malah ... amnesia total.

"Ileana itu sudah punya pacar," gumamku lirih.

Panca mencibir. "Sudah punya pacar, kok, mbelani ke sini? Sendirian pisan. Surabaya - Malang, ya, lumayan, to, Mas," tukasnya.

Aku membisu.

Entah mengapa, aku sedikit terhasut oleh perkataan Panca. Apa iya, Ileana, menyimpan perasaan spesial untukku?

Aish! Sebaiknya aku sadar.

Hubunganku dengan Aya masih gantung. Selain itu, Raihan merupakan tunangan Ileana, dan mereka cukup serius. Bagaimana mungkin pikiranku bisa begitu busuk?

Hanya saja ...

Kedatangan Ileana ke mari benar-benar memunculkan tanda tanya besar bagiku.

"Hei," sapa Ileana membuka pintu pantri. Ia sudah membersihkan diri dan mengenakan pakaiannya yang semula.

"Makan dulu, Mbak," tawar Panca.

Ileana menatap nasi bebek yang sudah Panca persiapkan. "Oh ..." Ia lantas menggeleng. "Makasi, tapi, sebaiknya aku pulang. Ini sudah mau malam."

Aku menarik kursi makan.

"Makan dulu, Ileana," ajakku. "Sedikit saja."

"Okay." Ileana menurut. Ia duduk pada kursi yang sudah kusediakan.

Panca tiba-tiba beringsut membuka pintu dan bersiap keluar.

"Lho, mau ke mana?" selidikku.

"Rokok'an dulu di luar," jawab Panca. Ia sempat menyeringai jail sebelum pergi. Pasti dia sengaja meninggalkan kami.

Berdua saja; kami tak lagi banyak bicara, entah kenapa tiba-tiba canggung. Mungkin, Ileana teringat kelakuan konyol kami saat tadi saling tarik-menarik celana.

"Aku harap kamu ikut pulang denganku," deham Ileana.

"Motorku gimana?" sahutku.

Ileana tertunduk. "Oh iya," timpalnya.

"Tenang saja, besok aku bakalan pulang," ujarku.

Ileana berbinar seraya menatapku. "Beneran?" tanyanya.

Jantungku mendadak berdebar tak menentu.

"Iya," kataku memalingkan muka.

"Kuharap kamu memikirkan jalan keluar terbaik untuk kelanjutan hubunganmu dan Aya," lanjut Ileana.

Aku mengernyit. "Kelanjutan? Tidak akan kelanjutan. Aku sudah bilang, bukan?"

"Tapi kalian masih saling sayang," sanggah Ileana.

"Saling sayang?" tanyaku. "Bukannya aku yang bertepuk sebelah tangan?"

"Dewa-"

"Ileana," tukasku. "Aku dan Aya akan baik-baik saja." Aku menenangkannya. Tanpa ragu, aku menggenggam punggung tangan Ileana. "Mengalami kesedihan setelah putus merupakan hal yang wajar, termasuk bagiku dan Aya. Kami mungkin menghadapinya dengan cara berbeda; aku yang memilih pergi, dan Aya yang mungkin ... sibuk menangis. Namun, kelak semua akan baik-baik saja."

Raut Ileana muram.

"Aku nggak suka melihat kalian berpisah," aku Ileana.

"Itu aneh," kekehku. "Boleh aku tahu kenapa?"

"Karena kalian berdua temanku. Dan aku nggak bisa memilih salah satu di antara kalian," terang Ileana. "Semua akan jadi aneh. Aya bakalan enggan main ke rumah karena ada kamu. Kamu akan menjauhiku karena tidak ada alasan lagi bagi kita saling berhubungan."

"Kamu pikir begitu?"

"Tentu saja," tukas Ileana.

Aku mengeratkan genggamanku. "Aku memang bukan pacar sahabatmu lagi, tetapi aku adalah tetanggamu. Kita punya berjuta alasan untuk terus berkomunikasi."

"Serius?" Ileana menyorotku lekat.

Aku menganggukkan kepala. Hal itu membuat bibir Ileana merekah lebar.

Kami saling beradu pandang.

"Dewa," panggil Ileana. "Apa kamu pernah berpikir kalau mungkin ... ini semua bukan semata-mata salah Aya, mungkin saja Dion ngotot mengejarnya."

Aku mendecak, lalu menghela napas.

"Ileana, sudahlah," alihku.

"Kamu tahu, Dion sepertinya tipikal lelaki agresif. Saat kami pertama bertemu, dia sudah mengajakku berciuman. Tapi, sudah kuceritakan, kan, kalau aku mendadak buang angin," beber Ileana.

"Ileana ..."

Ileana kembali melanjutkan, "Jadi, mungkin Dionlah yang patut disalahkan. Dia nggak tahu malu. Muka tembok. Aku bahkan sudah menjambak rambutnya tapi dia-"

"Apa?"

Ileana mendadak bungkam.

"Kenapa berhenti?" Aku melepaskan tautan jemari kami. Kupandangi ia yang membeku. "Ileana?"

Ileana menghindari mataku.

"Nggak, maksudku, aku menolak Dion waktu itu, aku ..." Ileana terbata.

"Kamu sudah tahu dia dan Aya punya hubungan di belakangku?" selidikku.

"Dewa," kata Ileana panik. "Aku ..."

Aku sontak bangkit dari duduk.

Oh, jadi ini alasan Ileana menyusulku jauh-jauh. Dia - menyimpan rasa bersalah.

"Jadi, selama ini kamu membohongiku? Kamu dan Aya, menertawakanku di belakang."

"Siapa yang menertawakanmu, Dewa? Kamu salah!" Ileana memburuku.

"Kalau begitu kenapa kamu nggak mengatakan yang sebenarnya padaku?" Aku meringis getir. "Apa Raihan juga terlibat?" Kuusap keningku yang mendadak pening. "Astaga, kalian pasti mengejekku karena berusaha keras mempersiapkan kejutan sialan itu."

"Raihan tidak ada kaitannya dengan ini," tegas Ileana.

"Jadi hanya kamu dan Aya?"

"Dewa, kumohon tenangkan dirimu. Kujelaskan baik-baik."

"Semua sudah cukup jelas, Ileana." Aku menghindari Ileana dan bersiap meninggalkan pantri. "Paling tidak aku akhirnya tahu kalau pengkhianatan Aya yang kemarin, bukanlah yang pertama."

Darls!

Mr. Vanilla sudah tamat di KK, yang penasaran dan pen baca jalur ngebut bisa melipir ke sana. Traktir Ayana beli Mixue ya! xixixi













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top