26 |
• Ileana •
"Sudah. Baru saja masuk unitnya Aya."
Bibirku tersenyum ketika mendengar jawaban dari Dewa. Hari ini hari bahagianya. Dia sangat bersemangat mempersiapkan semua.
"Dewa, ingat tujuanmu ke sana. Buat dekorasi. Jadi, please jangan bebersih berlebihan!" ancamku. Aku ingat dia adalah neat freak yang suka lupa waktu jika menyangkut kebersihan.
Dewa terkekeh. "Ya, ya, kurasa aku tidak perlu berbenah. Ruangan ini rapi. Tumben."
Bukan tumben, kemarin lusa aku sengaja mendatangi Aya dan merapikan unitnya. Aku berdalih akan menggunakan apartemennya untuk kebutuhan konten, Soraya percaya-percaya saja. Sama sekali tidak curiga. Aku sudah hafal tabiat Dewa, semua rencananya akan gagal jika melihat unit Soraya yang berantakan. Lelaki itu seolah kerasukan kalau sudah mulai bersih-bersih.
"Kok tumben?" sahutku. "Bersyukurlah karena pekerjaanmu lebih ringan. Ya sudah cepat persiapkan semua."
"Okay." Dewa mengiakan.
Aku membelokkan setir kemudi ke arah kanan, beberapa kilometer lagi aku sampai di tempat Soraya bekerja. Rencananya, aku akan mengajaknya hangout demi mengulur waktu.
"Aku sedang di jalan, on the way menemui Aya untuk mencegahnya pulang tepat waktu. So, do your best," ucapku.
"You, too," kata Dewa dari seberang.
"Kalau gitu bye." Aku bersiap mematikan sambungan, mengingat aku sedang mengemudi dan membutuhkan konsentrasi penuh.
"Ileana." Panggilan dari Dewa mengurungkan niatku. "Thank you," gumamnya padaku.
Senyumku perlahan memudar. Ada seiris belati yang tiba-tiba mengiris jantungku. Well, I must admit that I still have a crush on him. Tapi aku sadar bahwa rasa suka ini hanya perasaan dangkal yang berdasar kekaguman semata. Kita nggak harus memiliki semua orang yang kita cintai, bukan? Sebagai contoh; aku nggak mungkin memaksakan Keanu Reeves agar mencintaiku balik, aku juga nggak mungkin ngotot agar kami bisa bersama.
"Ya," timpalku.
Setelah mematikan telepon, aku pun melanjutkan perjalanan.
Tak sampai sepuluh menit, aku tiba di klinik kecantikan milik Soraya. Secara gesit, seorang security memanduku parkir. Tempat itu masih ramai, penuh kendaraan roda empat mau pun roda dua.
Pak Sarwo tersenyum lebar tatkala menengokku datang.
"Mbak Ileana, lama nggak ke sini. Apa kabar?" sapa Pak Sarwo ramah.
Ada alasan kenapa aku jarang treatment di sini lagi. Dion, si setan itu.
"Baik, Pak. Bapak gimana?"
"Sehat, dong. Alhamdulilah," jawab Pak Sarwo. "Mau perawatan, to, Mbak? Biar saya parkirkan mobilnya di tempat yang adem. Jadi pas pulang nanti nggak kepanasan."
Seperti biasa, Pak Sarwo selalu saja perhatian padaku.
"Nggak usah, Pak. Cuman bentar, kok. Mau ngajak Soraya nongkrong," kataku.
"Oalah, sudah janjian?"
"Belum, sih. Tapi Soraya bilang dia bakal di klinik sampai malam," terangku.
Pak Sarwo mengangguk. "Berarti nanti Bu Soraya bakalan balik lagi. Mbak Ileana tunggu di dalam dulu saja." Ia membukakanku pintu masuk klinik.
"Apa, Pak? Soraya lagi keluar?" tanyaku bingung.
"Iya, Mbak. Barusan pergi, bilang sama saya mau pulang."
"Hah?!" Aku melotot. Buru-buru kuambil ponsel untuk menghubungi Soraya. Kutempelkan gawai pada telinga dengan panik. "Duh, kok nggak angkat, sih?" dumalku.
"Mbak Ileana nggak apapa?" cek Pak Sarwo.
Aku memijat keningku yang pening. Bisa bahaya kalau Soraya pulang begitu saja sebelum persiapan Dewa selesai.
"Mungkin saya yang salah dengar, Mbak," lanjut Pak Sarwo. "Mungkin nanti Ibu Soraya balik lagi. Soalnya tadi keluarnya sama dr. Dion, jadi—"
"Dion?!" selaku menyentak. "Soraya pergi sama Dion?"
Pak Sarwo mengamatiku penuh khawatir. "Mbak?" selidiknya.
"Pak Sarwo yakin Soraya pergi sama Dion?"
"Iya, Mbak. Saya yang tadi bantu keluarkan mobil Bu Soraya," jelas Pak Sarwo.
Soraya, seharusnya kamu tidak boleh melakukan ini padaku, pada Dewa! Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Aku kembali menghubungi Soraya, tetapi puluhan nada sambung hanya mengantarku pada voicemail. Dia tidak mengangkat panggilanku, dan itu membuatku sangat, sangat frustrasi. Kegelisahan yang melanda membuat kedua tanganku gemetar tak terkontrol. Aku bahkan kepayahan untuk menggulir layar smartphone-ku sendiri.
"Ya, Ileana?" Suara Dewa dari balik speaker menyentakkan runguku.
"De-Dewa, kamu ... di mana?"
Aku yakin masih mampu menyelamatkan hari ini. Jika tidak bisa menemukan keberadaan Soraya, maka aku akan menunggunya di lobi apartemen.
"Aku tadi udah bilang kalau lagi di apartemen, kan? Ada apa? Terjadi sesuatu?" Dewa jelas curiga. "Ileana?!" panggilnya.
"Oh, ng-nggak, kok. Nggak apa-apa. Kamu di apartemen, ya?" Aku tergagu.
"Kamu lagi sama Aya?"
Aku menahan napas agar desah risauku tak terendus oleh Dewa. "Iya."
"Di mana kalian? Masih di klinik apa gimana?" Dewa bertanya lagi.
"Masih di klinik," jawabku sekenanya.
"Jadi? Bisa kulanjutkan kesibukanku di sini?"
"Dewa, harus, ya, hari ini? Gimana kalau besok? Raihan bisa bantu kamu ngedekor, besok dia libur." Aku mencoba memersuasi Dewa. Berharap ia belum membuat progress apa pun di sana.
Tawa Dewa terdengar renyah. "Aku sudah hampir selesai di sini. Kamu kenapa, sih?" selidiknya.
"Oh ..." lirihku putus asa. Aku lupa Dewa adalah lelaki gesit yang serba bisa. "Ya sudah, Dewa." Kumatikan sambungan kami tanpa berbasa-basi. Aku harus bergegas ke apartemen Soraya, berjaga seperti anjing herder, menunggunya pulang. "Pak Sarwo aku duluan, ya," pamitku setengah berlari.
"Nggeh, Mbak," balas Pak Sarwo.
***
Andaikan dia bukan Dewangga Satya, apakah aku bakal terlibat sejauh ini?
Pertanyaan itu terus menggulir dalam benakku, terulang-ulang lagi dan lagi. Jawaban dari tindakan ikut campurku yang keterlaluan. Seharusnya kubiarkan saja mereka menjalani hubungan sebagai mana mestinya. Toh, sejak dulu tabiat Soraya memang begini. Dan aku tidak pernah sekali pun mempermasalahkan kelakuannya.
Kenapa sekarang berbeda?
Apa karena Dewa satu-satunya pacar yang Soraya perkenalkan padaku? Atau karena Dewa merupakan orang yang tinggal persis di sebelah rumahku? Entahlah.
Yang jelas, aku tidak ingin senyum Dewa pupus dari bibirnya. Aku tidak sanggup menerima fakta dia akan menderita akibat ulah sembrono Soraya. Aku tersakiti saat membayangkan Dewa merasakan sedih. Aku secara otomatis membenci semua orang yang berusaha mengusiknya, contohnya Dion.
Selama perjalanan, aku merapal doa tiada putus. Berharap Soraya dan Dion bermesraan di hotel, bukan apartemennya. Oh, demi Tuhan! Mendadak perselingkuhan Raihan kembali menyeruak mengganggu batinku. Dia membawa wanita itu ke rumah, kan? Apa mungkin Soraya akan melakukan hal yang sama.
"Fuck!" Aku memukul kemudi keras-keras. Ingin rasanya punya pintu ajaib yang membawaku langsung ke unit Soraya.
Di sela-sela traffic light, aku berusaha menghubungi Soraya, tetapi ia benar-benar mengabaikanku.
Tanpa kusadari, air mataku meleleh turun membasahi pipi. Hatiku sakit — sakit karena seseorang sebaik Dewa disia-siakan begitu saja. God, dia sedang mempersiapkan kejutan untuk Soraya! Ini tidak adil, sangat tidak adil.
Aku menekan klakson kuat-kuat agar kendaraan di depanku bergegas melaju. Beberapa pengendara motor melotot tajam ke arahku. Ada yang terang-terangan mengumpat, makian khas Surabaya. "Cok, matamu!" Aku bisa mendengarnya. And I don't care. Aku hanya ingin segera sampai. Aku harus tiba duluan sebelum Soraya. Harus.
Perjalanan dari klinik ke apartemen terasa panjang dan menyiksa. Aku seharusnya bersyukur masih selamat, mengingat caraku berkendara tadi.
Kuparkir mobilku secara sembarangan di basement, lalu berlari masuk ke dalam building.
"Pak Adi!" pekikku. Thanks, God, Pak Adi yang berjaga. Kalau security lain mungkin aku akan kesusahan mendapat izin naik.
Bibir Pak Adi mengembang. "Walah. Mbak Ileana, pasti mau gabung ngasih surprise juga, ya! Tadi siang Mas Dewa pacarnya Mbak Soraya sudah duluan."
"Soraya-nya?" selidikku gemetaran.
"Mbak Soraya juga sudah naik, barusan aja. Sama sepupunya juga, kok." Pak Adi mengulum senyum. "Nanti kalau ada sisa kue, bagi ke sini, ya."
Sepupu? Sepupu, iblis!
Aku meremas helai rambutku seperti orang hilang akal. "Pak, bantu aku naik, Pak. Cepet, Pak!" buruku menuju elevator.
Pak Adi ikut tergopoh-gopoh, setelah aku masuk ke dalam lift, ia menempelkan kartu akses-nya. Lalu aku segera menekan lantai di mana unit Soraya berada.
Gagal sudah. Aku gagal menyelamatkan hari ini.
Lututku lemas seolah tanpa tulang, meski begitu, aku memutuskan tetap pergi ke medan perang. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Mungkin saja, Dewi Fortuna masih berpihak padaku atau pada Dewa.
Ting. Pintu lift pun terbuka.
Seketika, aku tahu kalau Dewi Fortuna tidak berpihak padaku, atau Dewa. Sosok Dewa tertangkap oleh netraku. Dia berdiri tegak. Namun sorot matanya nanar.
Ah, dia menuruti saranku, facial hair yang menjadi ciri khasnya musnah tak berjejak. Ia ternyata masih sama tampannya, baik tanpa brewok mau pun tidak. Tapi ini bukan saatnya mengagumi fitur wajah Dewa yang manly! Sadarlah, Ileana.
"Dewa?"
Dewa mengulas senyum. Dibanding mengungkap kebahagiaan, tarikan melengkung pada bibirnya menyiratkan kegetiran.
"The surprise worked," gumam Dewa. "All is done."
"Dewa, apa yang terjadi?" Aku berusaha menjangkau Dewa. Tetapi ia memundurkan langkah sambil menahanku dengan gerakan tangannya.
"Ileana, sorry, tapi aku cuma mau pergi dari sini secepatnya. Kalau kamu penasaran dengan apa yang terjadi, sebaiknya tanya ke temanmu," kata Dewa.
"Please, bicaralah denganku sebentar," bujukku.
Dewa menggeleng. "Maaf." Ia melengos dan masuk ke dalam lift.
Aku hanya bisa tercenung menyaksikan Dewa hilang di balik tertutupnya elevator.
Alih-alih menghampiri Soraya dan 'sepupunya', aku justru terpaku di koridor. Enggan menemui Soraya, juga terlarang menyusul Dewa. Untuk waktu yang cukup lama, aku hanya melamun di sana. Semua euforia mendadak lenyap, dalam satu jentikan jari.
***
Aku mendesah berat saat menemukan Raihan berdiri di ambang pintu masuk. Aku lantas memiringkan tubuh untuk memberinya celah ke dalam rumah.
"Hei," sapa Raihan lembut.
"Hei," sahutku seadanya. Aku melongok ke luar dan mendapati rumah Dewa masih gelap.
"Kamu nggak angkat telepon mau pun menangapi pesanku, Lei," kata Raihan. Ia bersandar pada meja jati di dekat televisi sambil menatap lurus padaku.
Aku menghela napas sambil menjatuhkan bokong ke atas sofa. "Maaf, tapi aku nggak mood ngomong sama siapa-siapa," ujarku.
"Aya juga tadi telepon aku, dia kedengaran syok. Dia membutuhkanmu," terang Raihan.
Aku mendengkus. "Dia bisa ke mari kalau memang memerlukanku," ketusku.
"Mungkin dia khawatir akan bertemu Dewa di sini." Raihan berpindah ke sisiku.
"Kamu lihat sendiri, kan, kalau rumah Dewa kosong! Dia belum pulang dan tidak mengangkat teleponku!"
"Kamu nggak mood terima panggilanku tapi menyempatkan diri menghubungi Dewa?" tanya Raihan. Intonasinya tenang, tetapi lumayan mengintimidasiku.
Aku seketika melotot. "Dewa pengecualian. Dia korbannya di sini!" dalihku.
"Ya, aku tahu," gumam Raihan. "Aku nggak nyangka kejadian naas ini terjadi pada Dewa. Dia sangat sibuk mempersiapkan semua. Setiap hari Dewa tidak pernah absen bertanya pendapatku seputar dekorasi atau cincin."
Aku mendecih. Penjabaran Raihan semakin membuat hatiku diremas-remas.
Raihan kembali melanjutkan, "Tapi Aya sahabatmu, Sayang."
"Aku sudah memperingatkannya, Raihan. Tetapi ia sendiri yang melanggar janjinya."
Raihan terhenyak. "Apa? Maksudmu, sebelumnya Aya juga — ?"
"Ya, yang pertama, aku yang memergokinya," akuku. "Kebetulan kami sama-sama di Shangri-La."
"Kamu, kok, nggak cerita sama aku?"
"Buat apa? Apa karena kamu lebih memahami alasan dari sisi pelaku?"
Aku dan Raihan saling beradu pandang. Iris Raihan yang segelap malam memandangku sendu. Aku sudah keterlaluan.
"Maaf," sesalku. "Aku nggak bermaksud begitu."
"It's okay." Raihan memalingkan wajah.
Kami seketika membisu. Suasana berubah tegang dan dingin. Ada sesak yang mencekik leherku, kurasa Raihan juga merasakan hal yang sama. Ia berkali-kali berdeham seraya tertunduk, menyangga badan dengan kedua siku yang bertumpu pada lutut.
"Aku," kataku memecah hening. "Aku mengerti apa yang dirasakan Dewa. Bukan sekedar pemahaman karena mencoba berempati, tetapi karena aku juga mengalaminya. Kejadiannya hampir sama, Raihan. Itulah sebabnya aku enggan menemui Aya. Aku seolah-olah mengulangi peristiwa yang pernah terjadi padaku."
"Ya, aku tahu," gumam Raihan setengah berbisik. Ia mengambil jeda panjang sebelum kembali bicara. "Sampai kapan pun, pengkhianatanku akan abadi dalam memorimu."
Aku mengusap lengan Raihan lembut. "Maaf. Maafkan aku," ucapku mengiba.
Raihan menggeleng. "Justru aku yang seharusnya minta maaf. Maaf karena telah menggores luka yang begitu dalam padamu. Maaf, Ileana," tukasnya. "Dan terima kasih ... karena memilih menerimaku lagi."
"Eh-hmm." Aku mengangguk pelan. Air mataku tiba-tiba menggenang dan terjatuh deras.
Raihan meraih jemariku dan menempelkannya pada bibirnya. "Baby, katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar sakitmu terobati? Agar kita kembali menjadi kita yang dulu?" tanyanya. "Asal kamu tahu, tidak sehari pun aku menjalani hari tanpa rasa bersalah."
"Raihan, bukan maksudku mengungkit-ungkit yang sudah lalu," sanggahku.
"Tanpa kamu membahasnya, aku sadar kalau kejadian itu masih membekas dan berefek padamu." Tatap Raihan sayu.
Aku menyeka sisa tangis dan mengatur napas yang tersendat.
"Apakah ... karena aku sangat membosankan, Raihan?" tanyaku lirih. "Apakah karena bersamaku, kamu merasa jenuh?"
Raihan mengernyit. "Baby?" sergahnya.
"Aya," jawabku. "Aya bilang bersama Dewa terasa menjenuhkan. Dia bilang apa yang dia lakukan bersama Dion bukan perselingkuhan karena cuma sebatas seks. Apakah itu juga yang ada dipikiranmu?"
Raihan tersergap dalam bisu.
Ia menarik napas panjang dan melepaskan tautan jemari kami.
"Lei," ucap Raihan. "Alasan masing-masing orang berselingkuh berbeda-beda. Mungkin, itu adalah Aya, tapi tidak denganku. Aku, aku hanya terlalu takut kehilanganmu."
"Apa?" kernyitku menuntut penjelasan. "Aku nggak ngerti."
"Kamu adalah wanita cantik. Seorang model, muda ... dan memikat. Sementara aku, hanya lelaki membosankan berkepala tiga. Masa bersenang-senangku sudah lewat, aku merasa terjebak dalam keraguan atas diriku sendiri. Aku ... insecure."
"Padaku?"
Raihan mengangguk. "Ya," jawabnya. "Mencari-cari perhatian dari wanita lain adalah caraku membuktikan diri bahwa kondisiku masih prima. Membuktikan kalau momenku belum terlewatkan. Dan, ya, ketika aku mendapatkan apa yang kumau, aku merasa powerfull. Aku lupa daratan dan berpikir jika aku tak membutuhkanmu."
"Bukankah memang begitu, Raihan?" selidikku pahit.
"Aku memang tak membutuhkanmu, Lei. Tapi tanpa keberadaan jiwamu di sisiku, aku gila."
Mataku memanas. Sosok Raihan mendadak buram karena cairan bening yang memenuhi pelupukku.
Raihan kembali melanjutkan, "Jika kamu berpikir kamu satu-satunya orang yang menderita dari perselingkuhanku, maka kamu salah. Aku juga sama menderitanya, Lei. Aku membenci diriku sendiri, setiap hari, aku malu dengan diriku sendiri."
"Oh, Tuhan." Aku lantas memeluk Raihan dalam dekapan erat.
Wajah Raihan tertunduk; terbenam dalam pelukanku, ia terisak. Selama enam tahun kami bersama, ini pertama kalinya aku melihat Raihan serapuh ini. Bukankah ia adalah dominan yang selalu menundukkanku? Raihan yang selalu mengekspos dirinya setiap kali kami berbincang. Lelaki yang kulabeli menderita Narcissistic Personality Disorder.
"Berhentilah menangis," bujukku.
"Maafin aku, Lei. Aku tahu ini tidak mudah."
Semua tentang Dewangga Satya mendadak kabur, kelabu, dan samar. Ada seorang lelaki dewasa yang tersedu karena perasaannya untukku. Raihan Argantara; milikku, dia takluk dan bertekuk lutut. Raihan menangis seperti bayi. Untuk apa aku memikirkan lelaki lain yang berada di luar kuasaku? Lelaki yang belum seberapa kukenal. Lelaki yang memilih pergi tiap kali emosinya berkecamuk. Dewangga Satya, bukan seseorang yang seharusnya kupedulikan.
"Raihan." Kulepaskan dia dari pelukanku, lalu kukecup bibirnya dengan lembut. "Mari kita lupakan semuanya."
Segaris senyum terukir pada bibir Raihan yang merah.
Aku lantas kembali mendaratkan ciuman dan memindah badanku ke atas pinggang Raihan. Jemariku membelai rahang Raihan penuh gairah, lalu turun ke lehernya. Ia menerima tautanku, Raihan mengimbanginya dengan lumatan tanpa ampun. Memburu lidahku serta melilitnya.
Penyatuan bibir kami sangat impulsif.
Suatu gairah yang sudah lama tak kurasakan. Nafsu yang semula kupikir telah mati, ternyata masih menggelora.
Ketika aku terlena oleh ciumannya, Raihan melepaskan bibirnya dari bibirku. Ia menurunkan wrap top-ku hingga kedua buah dadaku yang tanpa bra menyembul keluar. Raihan meremasnya, kemudian mengisap salah satunya. Menarik pucukku yang sudah menegang akibat perbuatannya. Aku mendesis. Kurasakan bagian bawahku sudah berkedut meminta diisi. Namun aku memilih tak terburu-buru. Apa yang Raihan lakukan sekarang sangat membuatku ketagihan.
Meski terpejam, sesekali aku menunduk dan menemukan putingku sudah mengilat oleh salivanya. Raihan terus memainkan itu; memelintirnya, lalu menggigitnya kecil.
Napasku memburu.
Kedua tanganku buru-buru melepaskan kancing dan risleting jeans yang Raihan kenakan. Tingkahku yang tergesa-gesa membuat Raihan menyeringai. Raihan pun membantuku melucuti celananya. Sontak miliknya teracung tegak tanpa perlindungan.
"Let's do it without roleplay," pintaku.
"Whatever makes you comfortable, Baby."
Aku seketika membungkam mulut Raihan dengan pagutan dalam.
Sementara ia menuntun miliknya menembus milikku. Kami kompak mengerang oleh kenikmatan yang menjalar memanaskan syaraf-syaraf tubuh. Aku bergerak mengendalikan permainan, batang Raihan terjepit rapat dalam mimpitan. Tak ada yang Raihan bisa lakukan kecuali menggeram parau. Sesekali tangannya meremas buah dadaku. Lalu ketika sentakkanku semakin kuat, Raihan pun mencengkeram pinggangku untuk memperlambatnya.
"Cum for me, Beib," bisik Raihan.
Aku mempercepat goyangan pinggul, milik Raihan yang terbenam di dalam menyentuh titik sensitifku berkali-kali. Suatu tindakan erotis bertubi-tubi dan membabi buta. Gelenyar nikmat penyatuan kami membuatku menggelinjang kepayahan. Apa lagi ketika Raihan menambah godaan dengan memainkan buah dadaku, lagi dan lagi.
Kemudian puncak birahi menghantamku kuat. Aku mendekap Raihan erat hingga kuku-kuku menancap pada punggungnya yang kokoh. Tubuhku gemetar hebat, kedua tungkaiku serasa mati rasa. Kenikmatan klimaks membuatku jantungku bergemuruh hebat.
Mendapatiku lemas, Raihan sontak mencengkam kedua bokongku dengan tangannya. Ia mengambil alih persetubuhan; mengocok miliknya di dalam dari posisi bawah, dan aku menerimanya dengan pasrah. Liangku yang sudah basah, semakin berdenyut oleh hantaman liar yang Raihan lakukan. Ia menusuknya terus menerus hingga pada akhirnya miliknya memuntahkan cairan kental yang menghangatkan lorongku. Mani itu meleleh pada kedua pahaku.
Aku dan Raihan masih saling berpelukan. Letih di atas sofa yang sebelumnya tidak pernah kami gunakan untuk bercinta.
"Kamu tidak harus membenci tempat ini, Ileana."
"Mengganti semua memori kelam dengan hal-hal menyenangkan. Jadikan tempat ini sebagai istana milikmu sendiri."
"Kita nggak bisa melupakan masa lalu, tetapi kita bisa menciptakan kenangan baru agar menempatkan segala memori pahit terdesak di tempat paling dasar."
Senyum Dewa terukir jelas dalam benakku. Suara beratnya juga menari-mari pada ingatanku. Ini bukan yang kumau, namun semua memori mendadak muncul begitu saja tanpa permisi.
"Lei, boleh aku menginap di sini malam ini?" tanya Raihan membuatku agak tersentak.
Aku menyingkir dari atas pangkuan Raihan. "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu ..." Raihan bangun dari duduk dan menawarkan gandengan ke arahku. "Mau mandi bersama?"
Aku menjawab dengan anggukkan kepala.
"Dan aku dengan senang hati menawarkan bantuan jika kamu membutuhkan seseorang untuk merenovasi tempat ini."
***
Mataku terbuka berat akibat sinar terang dari arah jendela. Pelan-pelan, aku melirik pada Raihan yang masih tidur di sebelahku. Oiya, hari ini dia libur, bukan?
Aku menegakkan badan dan meloloskan diri dari pelukan Raihan secara hati-hati. Kuraih ponsel dan mengecek puluhan pesan yang kukirimkan untuk Dewa. Akan tetapi, bibirku refleks mendecak ketika mendapati tanda centang satu. Ponsel Dewa belum aktif juga dari kemarin.
Aku mengenakan robe untuk menutup tubuh telanjangku.
Kakiku melangkah ringan menuju keluar rumah, membuka gerbang dan berdiri memeriksa rumah Dewa. Benelli-nya tak ada di garasi, Dewa masih belum pulang.
"Sultan ..." Aku berjongkok dan menjulurkan tangan.
Sultan, duduk manis di depan pintu rumah Dewa. Aku bahkan tidak menyadari kucing ini tidak ada di rumah.
"Sultan, Dewa nggak ada di rumah, ayo pulang," rayuku. "Ayo kita makan enak. Ada daddy di rumah."
Sultan melirikku sinis.
"Sultan, ayo, agh!" Kesabaranku mulai runtuh.
Aku pun bangkit untuk meninggalkan kucing sombong itu, biar nanti Raihan yang membujuknya. Sultan memang peliharaanku, tapi caranya memandangku sangat remeh. Mungkin di matanya aku ini cuma babu tiada guna. Sultan lebih suka bergaul dengan Raihan atau Dewa. Aku di luar circle-nya.
Tunggu dulu, aku jadi teringat sesuatu.
Dengan buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Seperti orang kesetanan, aku melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka. Lalu membuka lemari untuk memilih pakaian.
"Beib?" Raihan menggeliat dari atas ranjang.
Aku menengok. "Kamu kebangun gara-gara aku berisik, ya?"
Raihan menggeleng.
"Nggak." Ia mengamatiku dengan raut penuh tanya. "Kamu lagi ngapain? Kenapa berpakaian rapi?"
"Lagi siap-siap. Mau ke apartemen Aya," jawabku.
"Sepagi ini?" Raihan mengernyih.
Aku mengangguk.
"Ya," sahutku. "Kurasa aku tahu di mana Dewa."
Mr. Vanilla sudah tamat di KK dan Wacaku. Untuk melanjutkan Bab ini, silakan cari bab 25 di KK maupun Wacaku.
Berikan love dan komen supaya Ayana semangat namatin kisah ini di WP. Salam sayang 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top