25 |
• Dewangga •
Aku menunggu Raihan di dalam Excelso yang berada pada lantai satu Rumah Sakit tempatnya bekerja. Nyaman dan santai meneguk segelas cappucino seraya mengamati sekeliling. Tenang sekali sampai terkadang aku lupa sedang berada dalam lingkungan rumah sakit. Padahal jika menengok keluar jelas terlihat kesibukan lalu lalang di sini. Warna-warna hangat dan pencahayaan yang lembut menciptakan oase aman. Aroma kopi dan camilan yang baru saja disajikan menambah kehangatan di tengah penyejuk udara sedingin es. Kafe itu cukup sepi karena banyak pengunjung lebih sibuk di bagian rumah sakit yang lain.
"Mas Dewa," sapa Raihan. "Nunggu lama, ya?" Ia muncul dengan seragam dokter yang tertutup snelli. Wajahnya tampak letih, pasti suntuk berjam-jam merawat pasien kecilnya.
"Aku juga baru datang, kok," dalihku.
Raihan pun menarik kursi dan duduk. Sunggingan tipis tak lekang dari bibirnya. Lelaki satu ini memang punya kesan ramah, aku tak memungkiri itu. Mungkin akibat terbiasa menangani anak-anak setiap hari, pembawaan Raihan jadi simpatik.
"Maaf, ya, Mas, terpaksa bertemu di rumah sakit. Ileana bilang Mas Dewa ingin ngobrol secepatnya, dan aku selalu pulang larut. Jam istirahat ini satu-satunya kesempatan kita bisa bertatap muka," ujar Raihan.
Aku mengangguk paham. "Santai saja. Rumah sakit ini cukup mewah, aku malah merasa lagi di hotel," kekehku. "By the way, panggil Dewa saja."
"Okay." Raihan tersenyum. "Jadi, ada apa, nih? Apa yang bisa aku bantu?"
"Ileana sudah cerita kalau aku berniat melamar Aya?"
Raihan berbinar antusias. "Belum. Wah, selamat, ya!" ucapnya.
"Belum pasti diterima, jangan diselametin dulu," ringisku.
"Pasti diterimalah. Ileana bilang kalau hubungan kalian berdua cukup serius."
Aku pun mengamini perkataan Raihan.
"Sebenarnya, aku berencana melakukan lamaran old fashioned, bawa orang tuaku menemui orang tuanya. Yah semacam itulah," jabarku. "Tapi kurasa Aya suka dengan hal-hal berbau romantis. Jadi, sebelum pertemuan resmi kedua belah keluarga, aku ingin propose dia secara pribadi."
"I see," gumam Raihan.
"Masalahnya," dehamku. "Being romantic is not my thing, you know ..."
Raihan spontan tertawa kecil.
"Jadi?" selidik Raihan.
"Bisa nggak kamu bantu aku soal itu, Bro?"
Tawa Raihan kembali pecah. "Honestly, I am extreamly honored, Dewa. Tapi sebenarnya aku ini bukan seseorang yang dipenuhi oleh ide-ide romantis."
"Seriously? After giant bouquet of roses for Ileana?" ledekku. "Dan caramu bicara padanya, kata-kata cinta yang seperti ditulis langsung oleh Shakespeare, lalu kamu bilang kamu bukan pro?"
Raihan menggeleng segan. "Entahlah, Dewa. Aku hanya melakukan apa yang sekiranya akan membuat Ileana senang. Menurutku, semua wanita suka dengan segala sesuatu yang manis, mereka suka hadiah, dan wanita suka kejutan."
"Kamu berhasil, Bro. Buktinya Ileana memaafkanmu setelah selingk—" Senyumku seketika pudar. Ingin sekali kutempeleng mulutku yang suka mengoceh seenaknya. "Sorry, maksudku ..."
"Nggak apa-apa," sela Raihan. "Aya pasti sudah cerita alasanku dan Ileana putus. Aku memang berselingkuh, itu kesalahan fatal yang tidak kubanggakan."
"Sungguh, aku tidak bermaksud mengungkit hal itu, atau ikut campur," dalihku. "Tapi, karena kita nggak sengaja membahasnya, aku mau kamu tahu kalau aku dan Ileana berteman baik sekarang. Aku peduli padanya, Raihan."
Raihan menatapku lekat, dalam waktu sedetik, pembicaraanku dan dia berubah serius.
Aku kembali melanjutkan, "Dia, Ileana, adalah wanita yang sudah mengalami banyak hal. Kurasa sangat tidak adil jika kamu mengkhianati kepercayaannya. Aku bahkan sempat melarangnya kembali padamu. Bagiku kesetiaan itu nomor satu."
"Ya, kamu benar." Raihan tertunduk. "Aku berada pada fase adidaya, Dewa. Seumur hidupku dihabiskan untuk belajar demi meraih gelar dokter. Menjadi spesialis anak bukan hal mudah. Jika tidak dikenalkan oleh adikku, aku dan Ileana mungkin tidak akan pernah saling mengenal," kisahnya. Ia menyandarkan punggung sambil mengaitkan jemari. Mata Raihan menerawang, seolah mengingat-ingat. Aku tidak menyangka akan terlibat pembicaraan mendalam dengan Mr. Brightteeth. "Kemudian, ketika aku mulai mendapatkan ritmeku, aku sering bertanya-tanya, apakah aku memang mencintai Ileana? Atau bersamanya hanya sebuah kebetulan karena pada saat itu 'hanya ada dia'?"
"Hmh," dengkusku.
Raihan mengusap bahuku. "Aku tahu kedengarannya egois. Tapi itulah yang kupikirkan kala itu. Aku mulai over confident dan tebar pesona ke sana-sini. Dan, itu terjadi begitu saja, aku berubah menjadi playboy kesiangan. Sampai akhirnya Ileana menangkap basah semuanya." Ia meringis kecut. "Jujur saja, aku memang menyesal karena ketahuan. Tapi seiring waktu berjalan, ketiadaan Ileana membuatku semakin gila. Ada lubang menganga di hatiku. Lubang yang gagal diisi oleh wanita mana pun."
"Kalau Ileana tidak memergokimu, kamu akan terus membohonginya, Raihan. Bahkan, bisa jadi sampai kalian menikah, kamu masih curang di belakangnya."
"Hmh," desah Raihan. "Aku tidak berpikir sampai ke sana, Dewa. Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana cara menebus kesalahanku pada Ileana. Aku tidak mau berandai-andai, tetapi satu hal yang kutahu pasti — Ileana masih menyimpan sakit akibat perbuatanku. Meski kami tak membahasnya, aku tahu dia masih terluka. Di malam-malam kami bersama, aku selalu memandangi wajah tidurnya. Ada pedih bercokol karena teringat semua kebodohanku. Akhirnya aku sadar kalau menyakitinya, menyakitiku juga."
Aku menatap Raihan lekat.
"Serius, Bro, kamu betul-betul pandai merangkai kalimat. Aku seolah sedang berada di tengah pertunjukkan monolog."
"Aku anggap itu pujian." Raihan dan aku kompak terkikik.
"Kamu akan membayar semua kesalahanmu, kan? Pada Ileana?" tanyaku.
Sorot mata Raihan menunjukkan keseriusan. "Mendapatkannya lagi adalah kesempatan yang tidak akan kusia-siakan. Kamu bisa memegang janjiku ini."
"Okay." Aku melemparkan seutas sunggingan pada Raihan. I think I kinda like him.
Raihan sontak mengusap dahinya sambil mengembuskan napas gusar.
"Hei, tujuanmu ke mari untuk meminta saranku, tapi aku malah membicarakan diriku sendiri," seloroh Raihan. "Ayolah, aku ingin dengar rencanamu tentang lamaran itu."
Aku mengambil jeda untuk berpikir. Kemudian setelah meneguk cappucino yang mulai dingin aku pun mengemukakan ide-ide yang kuanggap brilian.
"Aku nggak mungkin membawakannya buket raksasa, karena itu sudah mainstream," gagasku. "Jadi bagaimana kalau aku minta tolong salah seorang pegawaiku untuk menyergap Aya saat dia pulang dari klinik? Wajahnya akan ditutup kain hitam seolah-olah diculik. Kemudian, pegawaiku akan membawa Aya ke restoran favoritnya. Lalu, surprise ...!"
Raihan mendeham seraya mengernyit.
"Dewa, maaf tapi kejutanmu terdengar sangat mengerikan. Apa kamu tak berpikir Aya bakal stres karena menganggap dirinya diculik?"
Aku kembali mendengkus. "Nggak lucu, ya?" gumamku.
"Ada yang lain?" pancing Raihan.
"Gimana kalau gini, Aya akan mendapatkan telepon yang seolah-olah dari rumah sakit," jabarku sambil menjentikkan jari. "Mereka akan memberitahu Aya bahwa aku mengalami kecelakaan berat. Lalu saat Aya datang dan masuk dalam kamar rumah sakit, surprise ...!"
Ekspresi Raihan masih sama — sangsi.
"Aya menyetir dalam keadaan kalut adalah hal membahayakan, Dewa," ujar Raihan. "Lalu kamar rumah sakit tidak bisa disewa seenaknya seperti hotel."
Aku lantas meneguk kopiku sampai tandas. Menjadi romantis ternyata memeras kapasitas otakku sampai kelewat batas.
"Aku nyerah. Silakan jadi perencana dan aku eksekutornya," desisku putus asa.
Raihan lalu menegakkan badan. Ia menyangga dagu sambil menautkan kedua alis, sangat serius.
"Kamu bisa bilang kalau sedang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Kemudian saat Aya di klinik, kamu bisa datang ke apartemennya untuk menciptakan keajaiban di sana. Misalnya, memenuhi seluruh lantai ruangan dengan bunga. Lalu mengundang musisi profesional untuk memainkan lagu favorit kalian."
"Aku ingin membuatnya intimate, Raihan. Hanya ada aku dan Aya," sanggahku.
"Kalau begitu coretlah soal musisinya. Tapi bagaimana dengan ideku barusan. Aku bisa menolongmu mendekor, kamu tahu kode pin door lock unit Aya, bukan?"
Aku mengangguk. "Ya, aku tahu. Dan sebenarnya itu ide yang bagus."
"Jadi kamu akan menggunakannya?" tanya Raihan bersemangat.
"Ya, ya, aku suka idemu. Thanks," ucapku.
Raihan mengambil ponsel dan menunjukkannya padaku. "Kamu bisa cari inspirasi di Pinterest soal detail dekorasinya."
"Ya." Aku mengiakan.
Mungkin Raihan tidak seburuk yang kuduga. Everyone makes mistakes in life. Sometimes good people make bad choices, but doesn't mean they are bad people. Ileana jelas melihat kebaikan dalam diri Raihan sehingga memutuskan memulai semua dari awal. Di lain sisi, kuakui, Ileana memang berjiwa besar.
Raihan melirik jam tangannya. Ia mengembuskan napas berat seraya memundurkan kursi.
"Kurasa aku harus balik ke atas," pamitnya.
"Ah, ya! Baiklah." Aku mengikuti Raihan berdiri. "Aku sangat tidak tahu malu karena tidak membelikanmu apa-apa. Pastrinya enak, gimana kalau kubungkuskan sebentar?" tawarku.
"Nggak usah repot, Dewa." Raihan menolak halus. "Lain kali saja kita makan bersama untuk merayakan pertunanganmu dengan Aya."
"Wish me luck," kekehku. Aku lantas menepuk pundak Raihan. "Maaf tempo lalu aku mengacaukan acaramu dengan Ileana."
"It's okay." Raihan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Sebenarnya malam itu aku sangat lelah dan karenamu kita semua bisa pulang cepat."
Aku meringis kecut.
"Tetap saja aku nggak enak," sanggahku.
"Tenang saja, Dewa." Raihan kembali tersungging. "Bagiku dan Ileana, setiap hari adalah perayaan."
Aku membalas senyuman Raihan, meski — ada setitik kegetiran berkelindan dalam relungku. Perasaan aneh yang belum mampu kujabarkan, apa lagi kupahami maknanya.
***
Raihan memang sudah memberiku banyak masukan soal kejutan untuk Aya. Namun, banyak hal membuat suprise itu tak kunjung terealisir. Well, aku adalah seseorang yang perfeksionis, jadi aku mau semuanya benar-benar tersusun sistematis.
Selain itu, aku belum memilih cincin yang tepat buat Aya.
Raihan bilang, diamonds are forever and a girl's best friend. Mungkin dia benar. Tapi terlalu banyak cincin berlian indah, semakin aku disuguhi banyak pilihan, aku semakin bingung. Aku tahu sifat Aya, dia akan memamerkan cincin pertunangan kami ke mana-mana, jadi perhiasan itu harus benar-benar sempurna. Jangan sampai malu-maluin.
"Hei," tegurku pada Ileana. Aku kebetulan melihatnya saat keluar ke depan teras.
"Oh, hai, Dewa." Ileana sumringah.
Sejak permintaan maafnya kapan hari, sikap Ileana padaku berubah drastis. Si Jutek itu lebih sering tersenyum padaku. Cara bicara Ileana pun ramah, nggak pernah nyolot, dan intonasinya lemah lembut. Kadang-kadang aku curiga kalau sosok yang tinggal di sebelahku sekarang bukan Ileana. Mungkin Ileana yang asli disekap alien.
"Sibuk?" tanyaku.
"Nggak. Aku senggang. Kenapa?" sahut Ileana perhatian.
"Sudah tahu kalau lusa wajahmu bakal dipasang di billboard tengah kota?"
"Iya," jawab Ileana merona.
Aku refleks tersungging ketika menangkap rautnya yang tersipu. "Mau kukirimkan file foto-fotomu?" tawarku.
"Boleh." Ileana mengangguk. Ia lalu memandangku dengan sorot mata penuh arti. Terlihat sedikit sendu — aneh.
"Ada apa?" selidikku.
"Ada apa, apa?" Ileana mengernyit.
"Mukamu itu, lho. Kuamati selalu kelihatan nelangsa kalau kuajak ngobrol."
"Ah, masa?" Ileana mendecih salah tingkah.
Aku bergegas memakai sandal dan keluar halaman untuk menghampirinya.
"Iya," buruku. "Sejak maag-mu kumat di rumahku itu. Sikapmu aneh."
"Masa?" Ileana melengos, menghindari mata kami saling beradu.
"Coba jujur, apa kamu terharu dengan kebaikanku waktu mengurusmu yang sedang sakit?" lagakku pongah.
Ileana meringis. "Hehe, iya," sahutnya.
Suspicious.
"Bohong." Aku memicingkan mata. "Ada yang kamu sembunyikan, kan? Kamu juga jarang membantahku. Kenapa?"
"Ya karena aku sadar kalau kamu ternyata penuh perhatian, Dewa."
"Beneran karena itu? Atau ada alasan lain?" selidikku.
"Nggak ada alasan lain!" Ileana melengos masuk ke dalam rumah.
Aku memilih mengikuti Ileana, akan tetapi betapa terkejutnya aku ketika menemukan kondisi rumah yang berantakan.
"Astaga, ini rumah apa kandang ayam?!"
Ileana sontak memungut pakaian-pakaiannya yang berceceran. "Iya, ini aku rapikan."
Aku pun terhenyak sendiri. Suspicious. Biasanya dia bakalan nggak terima kalau rumahnya kubilang kapal pecah, sarang penyamun, atau kandang ayam.
Sambil terus menyimpan kecurigaan, aku menjatuhkan bokong ke atas sofa. Mataku terus mengawasi Ileana yang sibuk membenahi barang-barangnya. "Mana Sultan?" tanyaku.
"Di rumah Raihan. Dia abis grooming di pet salon dekat sana."
"Oh," anggukku. "Kamu bakalan senggang sampai malam?"
"Kenapa?" Ileana balik tanya.
"Temenin aku cari cincin, yuk. Aku butuh pendapat darimu selaku bestie-nya Aya."
Ileana terdiam. Ia mondar-mandir mengatur letak furnitur, lalu menyalakan penyedot debu dan menciptakan suara yang begitu bising.
"Ileana!" panggilku setengah berteriak. Ileana mungkin kurang mampu mendengarku. Bukan, kurasa dia sengaja tidak mengubrisku. Aku lantas bangun dan menghampirinya. Kumatikan vacuum cleaner itu. "Ileana?" Aku memburu.
Ileana menatapku nanar. Tapi ia buru-buru memalingkan muka. "Kok dimatikan, to, Dewa?" protesnya.
"Kamu nggak jawab soalnya," decihku. "Aku tadi ajak kamu keluar lihat-lihat cincin."
"Oh, ehm." Ileana tertunduk. "Kamu pergi sendiri ajalah. Aku nggak bisa ikut," tolaknya.
"Kenapa?"
"Nggak ..." Ileana menghindar. Tetapi aku menahan lengannya. Hal itu membuat Ileana menengok menatap mataku. "Dewa?"
"Kenapa? Ada apa, sih? Lagi ada masalah sama Raihan?" selidikku.
Raut Ileana menyiratkan kesedihan. Aku bahkan melihat kedua matanya mendadak berkaca-kaca.
"Aku cuma ..." Kalimat Ileana menggantung.
Secara spontan, aku mengusap pipi Ileana yang bersemu merah muda. Aku tahu sikapku kurang ajar, tapi, tanganku bergerak sendiri membelai wajah cantiknya.
Ileana tak melawan, atau menghindar.
Sebaliknya ia mendekatkan tubuhnya merapat padaku. Jarak kami mungkin hanya tinggal sejengkal.
Jemari Ileana meremas kaosku. Kemudian telapaknya gamang menelusur ke atas. Ia seakan-akan mencoba merasakan detak jantungku. Ileana pasti bisa menemukannya dengan mudah karena kini debarannya sangat kencang.
"Kenapa?" bisikku.
Ileana membisu.
Jemari lentik Ileana beralih pada bakal janggutku. Sentuhannya menciptakan gejolak membumbung pada jiwaku. Rasanya panas, hampir terbakar.
Jantung yang bergemuruh, saling bertukar helaan napas hangat, dan sensasi menggairahkan luar biasa, bak candu yang menghentikan kinerja otakku. Aku tak berkutik dan justru terpaku membiarkan Ileana menyentuh tiap jengkal rahangku. Irisnya yang kecokelatan membingkai sosokku dalam diam.
"Mungkin ..." lirih Ileana. "Akan lebih baik jika kamu mencukur ini semua ketika melamar Aya nanti."
"Menurutmu begitu?"
Aku dan Ileana kembali berpandangan.
"Ya." Ileana sontak mundur dan menciptakan ruang besar di antara kami. "Kamu, tahu, kan, Aya suka cowok Korea. Kurasa penampilan barumu akan mengejutkannya."
Aku berdeham untuk mengembalikan kewarasanku.
"Ya, ya, okay. Okay," sahutku kikuk.
"Okay," timpal Ileana memaksakan senyum.
"Ya sudah, kalau gitu aku balik. Aku akan pergi sendiri cari cincin." Aku bergegas keluar.
"Dewa," kata Ileana. "Apa pun pilihanmu, Aya pasti suka. Lagi pula, ketimbang seberapa mahal atau indahnya cincin yang akan kamu berikan, Aya sudah punya hal lain yang lebih berharga. Yaitu kamu."
Ileana berhasil melumpuhkan jutaan syaraf-syarafku.
"Jelaslah! Harta yang paling berharga, adalah Dewangga Satya!"
Aku pun melenggang pergi meninggalkan Ileana sambil cekikikan. Cara yang kupilih demi menyamarkan segala bungah memabukkan akibat seorang jelita bernama Ariadne Ileana.
***
"Hai, kamu sudah sampai?"
Aku tersungging. Aku mengamit ponsel di antara telinga dan bahuku, sementara kedua tanganku mengangkat kardus besar berisi perlengkapan dekorasi.
"Sudah. Baru saja masuk unitnya Aya."
Ileana terdengar menghela napas lega. "Dewa, ingat tujuanmu ke sana. Buat dekorasi. Jadi, please jangan bebersih berlebihan!"
Aku sontak terkekeh. "Ya, ya, kurasa aku tidak perlu berbenah." Netraku menyapu pandangan ke sekeliling. "Ruangan ini rapi. Tumben."
"Kok tumben?" sungut Ileana. "Bersyukurlah karena pekerjaanmu lebih ringan. Ya sudah cepat persiapkan semua."
"Okay."
"Aku sedang di jalan, on the way menemui Aya untuk mencegahnya pulang tepat waktu. So, do your best."
"You, too," balasku.
"Kalau gitu bye," ucap Ileana bersiap mengakhiri panggilan.
"Ileana," tahanku. "Thank you."
"Ya," sahut Ileana singkat.
Aku lantas meletakkan ponsel secara sembarangan. Aku harus cepat agar semua berhasil terealisir. Rencananya, kamar Aya akan didominasi warna merah, warna yang ia sukai. Aya bilang warna itu seksi. Jadi, mula-mula aku harus memompa semua balon merah menggunakan pompa helium yang kubeli di marketplace. Kemudian mengganti seprai kamarnya dengan kain satin senada. Terakhir, menaburkan kelopak mawar di segala penjuru dan ranjang.
Lalu aku akan menyisakan satu tangkai mawar segar untuk kuberikan padanya. Di atas kelopaknya salah satu koleksi diamond ring milik Frank & Co sudah bertengger manis. Perfect.
Butuh banyak pertimbangan sampai akhirnya aku memilih cincin ini. Solitaire ring dengan desain klasik dan timeless. Ada ulir sederhana menonjolkan berlian cantik yang ditopang oleh empat buah prong. Badan dari diamond engagement ring ini terlihat dinamis, dan jewellery representative-nya berkata kalau cincin ini begitu ringan nan halus kala dikenakan.
Semoga saja Aya suka.
Langit mulai gelap dari luar kaca jendela, dan aku hampir selesai dengan pekerjaan balon. Benda bulat berisi udara itu mengambang menyentuh eternit, talinya menjuntai. Persis seperti ide dekorasi yang kucontoh dari Pinterest. Baguslah.
Lalu langkahku mulai gesit mengganti kain seprai. Memasang bedsheet secara presisi dan proposional. Pun dengan blanket, sarung bantal, guling, dan comforter yang juga senada merah.
Saat aku sedang sibuk, ponselku mendadak berdering kencang. Jujur saja aku lupa meletakkannya di mana. Untung saja tidak kumode silent.
Aku berpindah keluar kamar untuk menemukan ponsel, kutemui gawai itu tergeletak di atas side table dekat meja makan. Nama Ileana terpampang pada layar. Kenapa lagi dia telepon? Jangan-jangan dia gagal mengulur waktu dan Aya ngotot pulang?!
"Ya, Ileana?" angkatku.
"De-Dewa, kamu ... di mana?" Suara Ileana terdengar kalut.
"Aku tadi udah bilang kalau lagi di apartemen, kan? Ada apa? Terjadi sesuatu?"
Ileana membisu cukup lama.
"Ileana?!" buruku.
"Oh, ng-nggak, kok. Nggak apa-apa. Kamu di apartemen, ya?" Intonasi Ileana membuat perasaanku tak enak.
"Kamu lagi sama Aya?" selidikku.
"Iya," kata Ileana lirih.
"Di mana kalian? Masih di klinik apa gimana?" tanyaku lagi.
"Masih di klinik," jawab Ileana.
"Jadi? Bisa kulanjutkan kesibukanku di sini?"
"Dewa ..." lirih Ileana. "Harus, ya, hari ini? Gimana kalau besok? Raihan bisa bantu kamu ngedekor, besok dia libur."
Aku terkekeh. "Aku sudah hampir selesai di sini. Kamu kenapa, sih?"
"Oh ..." gumam Ileana. Dia benar-benar seperti orang linglung. "Ya sudah, Dewa."
Kemudian Ileana mematikan sambungan telepon begitu saja. Dia betul-betul aneh.
Ada ulir gelisah menyeruak memenuhi hatiku. Entah kenapa semua menjadi abu-abu dan serasa kelam. Seolah-olah ratusan kupu-kupu beterbangan dalam rongga dadaku. Tidak nyaman. Penuh kecemasan.
Aku lantas mencari nomor Aya dan menghubunginya. Cukup lama runguku terhubung nada sambung. Sesuatu yang membuat paru-paruku makin sesak tak karuan.
"Ya, Beb?" Suara Aya menghentikan napasku sejenak.
"Hai, kok lama banget angkatnya?"
"Sorry-sorry, hape di dalam tas," dalih Aya. "Gimana kerjaanmu di Malang? Udah selesai? Lagi di rumah, ya?"
"Aku masih kerja," kataku berdusta. "Tapi overall semua lancar. Mungkin abis gini baru pulang ke rumah."
"Salam buat Tania dan Talita, ya. Sama ibu dan ayah juga."
"Ya, Sayang," kataku.
"Jangan lupa besok bawain oleh-oleh titipanku, ya, Beb," titah Aya manja.
"Iya," sahutku. Aku menelan saliva untuk membersihkan tenggorokan yang mendadak kering. "By the way, kamu lagi di mana?"
"Di klinik, dong. Mau di mana lagi jam segini," timpal Aya.
"Ada rencana lain setelah kerja?" tanyaku lagi.
"Nggak ada. Mau langsung pulang. Capek," ujar Aya.
"Oh ..." gumamku. "Kirain mau nongkrong sama Ileana. Kalian, kan, selalu maraton drakor sama-sama kalau aku sibuk kerja." Jantungku berdegup sekeras dentuman bom atom.
"Nggak, sih," kata Aya. "Ileana sekarang sibuk sama Raihan melulu. Udah dua hari kita nggak ketemu."
Aku seperti disambar petir. Tepat mengenai kepalaku. Sekujur tubuhku kaku. Persendianku melemas.
"Oh ..." responku, mencoba tenang. "Jadi kamu di klinik, Sayang?"
"Iya, Beibi." Aya mendumal sebal. "Ya udah, ya, aku mau ngobrol sama bagian admin dulu. Bye, Beb. I love you."
Lagi-lagi aku menelan ludah kasar. "Love you ..."
Aku menarik napas berkali-kali. Mengusahakan agar ritme jantungku kembali normal seperti sedia kala. Embusan udara keluar masuk hidung dan mulutku, lagi dan lagi.
Antusiasmeku mendadak lenyap, sirna begitu saja.
Antara aku yang dikerjai oleh Ileana atau Aya, atau memang ini merupakan jalan bagi nasib sial untuk mendatangiku. Entahlah. Alih-alih kembali lagi ke dalam kamar, aku justru duduk pada single sofa yang terletak di depan televisi. Kukeluarkan kotak kecil dari dalam sakuku untuk mengecek lagi isinya. Cincin itu masih di sana, tapi tidak dengan hatiku.
Aku sudah tak peduli jika surprise-ku gagal. Ada yang lebih penting dari itu. Entah Ileana atau Aya — menyimpan rahasia dariku.
Kupandangi benda mungil melingkar yang kuniatkan untuk Aya seorang. Kutelisik lekat-lekat. Tanpa cela, begitu indah, serta berkilau cantik. Setiap detik berlalu lambat, dan semakin menyiksaku. Aku memilih diam di sini. Doing nothing, expect nothing.
Lalu aku membenamkan wajah dalam tangkupan telapak tangan. Mengusap rahangku yang bersih tanpa bakal janggut. Sesuai saran Ileana, aku menyingkirkan semuanya. Aku berharap membuat Aya senang dengan perubahan kecil dari diriku. Namun, lihatlah sekarang. Aku bahkan tak lagi berniat meneruskan kejutan romantis ini.
Lima belas menit, tiga puluh menit, mungkin satu jam berlalu. Aku tak tahu berapa lama aku duduk diam membatu.
Hingga pada akhirnya, bunyi bip-bip pada door lock terdengar berulang kali pada pintu utama unit. Itu pasti Aya yang bersiap masuk ke dalam sini. Aku bergeming. Dan pintu pun akhirnya terbuka. Telingaku mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Aku yakin bersumber lebih dari satu orang.
Lalu, pemandangan yang sama sekali tak kuduga sontak terpampang di hadapan mataku, tampak jelas menjawab semua pertanyaan.
Aya, Soraya Ivona, bercumbu penuh nafsu bersama sosok lelaki yang tak asing, Dion. Ya, aku ingat itu Dion. Mereka saling melumat bibir seolah-olah tiada lagi hari esok untuk bercinta. Kedua netra mereka terpejam hingga tak menyadari aku duduk mengamati semua.
Bibirku tersenyum dengan sendirinya. Apa mereka sangat horny hingga tak bisa menunggu sampai masuk di dalam kamar?
"Astaga!" Dion tersentak tatkala menyadari kehadiranku, finally.
Mata Aya membelalak. Ekspresinya seperti melihat hantu gentayangan di siang bolong.
"Dewa!" pekik Aya.
Aku pun berdiri. "Syukurlah kalian notice kalau ada aku. Tadinya kukira aku bakalan diabaikan sampai pergumulan kalian selesai."
"De-Dewa! Kamu bilang kamu di Malang?!" Aya menghambur ke arahku dengan mata yang basah.
Dulu — itu selalu berhasil membuatku bertekuk lutut. Kini, air matanya tak berefek apa pun padaku.
"Surprise," sunggingku.
"Dewa, please, dengerin aku dulu, ya, Beibi. My God, I love you so much! I love you!" Aya terisak menggelayut pada lenganku.
"Everything looks clear, Ya." Aku menepis tangan Aya dan melengos meninggalkannya.
Aya tak membiarkanku pergi. "Dewa, jangan pergi. Kita bicara dulu."
"Eh," tengokku. "Coba kalian masuk ke kamar, deh. Aku udah atur suasana biar sesi bercintamu dan Dion lebih romantis."
"Dewa!" Aya merengek menghalauku.
"Don't thank me," ucapku tersenyum. "Enjoy."
Aku bergegas keluar dari sana.
Mengambil langkah besar agar Aya tertinggal jauh di belakang. Sungguh — aku enggan menatap wajahnya. Aku bahkan tak bisa mengurai bagaimana perasaanku saat ini. Terlalu menyakitkan. Hingga semua yang kulihat seolah berwarna putih pucat. Seolah telingaku berdengung tanpa suara. Seolah langit di atasku runtuh jengkal demi jengkal.
Belum sempat kutekan tombol lift, namun pintu elevator itu sudah terbuka saja.
Ileana, berdiri dalam lift dan melotot melihatku. "Dewa?!" burunya.
Aku menarik kedua sudut bibir hingga menciptakan garis melengkung.
"The surprise worked," kataku. "All is done."
Hai, Darls!
Penasaran dengan ending Mr. Vanilla? Baca lebih cepat di Karyakarsa/Wacaku, ya. Di sana udah tamat.
Buat kalian pemburu vocer gratis karya² Ayana di KK, silakan join grup di telegram, yuk. Di sana, kita bisa ngerandom bareng dan berbagi info seputar works Ayana. Boleh juga curhat soal kejamnya kehidupan. Bebas! Syaratnya, harus 18 tahun ke atas, ya!
https://t.me/ayanaAnn2727 atau search AyanaAnn2727
Aku tunggu!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top