23 |
• Ileana •
Aku membenci semua bentuk perhatian yang Dewa curahkan untukku. Aku baru tahu dia adalah tipikal lelaki pemaksa. Baru kali ini ada seseorang yang mendesak masuk ke dalam hidupku, ikut campur akan kebahagiaanku. Tanpa berharap mendapatkan balasan apa pun dariku.
Aku kira ketulusan sudah musnah. Logika saja — mana ada orang yang mau repot menolong secara gratis. Kalau bukan mengharapkan uang — maka seks adalah nilai tukarnya.
Tapi Dewangga Satya tidak begitu. Ia tak pernah memandangku rendah. Dewa memperlakukanku penuh kesopanan, for God's sake, dia bahkan tidak berselera terhadapku.
Jadi, intinya betul-betul peduli padaku? Tapi, apa yang ia lakukan sekarang di luar nalar.
Kulirik rock glass berisi cairan keemasan pada counter table, Dewa sudah mabuk karena seteguk wiski? Seharusnya dia menolak minum jika hanya berujung mempermalukan diri sendiri.
"Jangan lagi kamu memanggil namanya!" Dewa mendorong Darwin Laksmono hingga terjatuh dari stool. Apa yang ia lakukan sontak memancing atensi para pengunjung club.
"Dewa! Kamu apa-apaan?" Aku menahan tangan Dewa.
Raut Dewa mengintimidasi. Kedua matanya yang sepekat malam menantang Darwin penuh amarah.
"Satu hal lagi, panggilanku Dewa, bukan Satya!" dengkus Dewa.
"Beb? Ada apa ini?" Soraya buru-buru menghampiri.
"Kurasa dia mabuk," terangku pada Soraya.
"Aku nggak mabuk," sanggah Dewa. Ia kemudian menuntunku dan Soraya untuk pergi menjauh. "Ayo," ajaknya.
Aku menepis. Alih-alih menuruti perintah Dewa, aku justru beralih membantu Darwin Laksmono menegakkan badan.
"Pak Darwin, Anda baik-baik saja? Maafin teman saya," ucapku.
Darwin menyambut tanganku. "Apa dia baru pertama kali minum? Atau dia punya masalah mental?" dumalnya.
"Ileana!" hardik Dewa.
Aku dan Soraya sama-sama tersentak. Ada apa dengan Dewa? Dia sangat ... mengerikan.
Dewa menghalau Soraya dan kembali memburuku. Lalu ia menggeretku agar menjauh dari Darwin Laksmono.
"Apa kamu tuli?" sentak Dewa. "Kubilang kita pergi, ya, pergi."
"Kelakuanmu sangat kampungan," serang Darwin emosi.
Ketika kekacauan berpotensi membara, Raihan pun muncul entah dari mana. Ia menengahi Darwin dan Dewa yang saling mengkonfrontasi.
"Mas Dewa," cegah Raihan. Ia berusaha menenangkan serta membujuk Dewa untuk mundur.
Tak tinggal diam, Soraya pun ikut serta membimbing Dewa mengambil jarak. Upaya Raihan dan Soraya berhasil. Dewa akhirnya mengikuti Soraya menjauh dari Darwin Laksmono.
"Anda baik-baik saja?" Raihan beralih pada Darwin.
"Ya," jawab Darwin ketus.
"Sekali lagi maaf Pak Darwin." Aku menimpali.
"Temanmu itu udik, ya? Kurasa kehidupan malam tak cocok untuknya," decih Darwin. "Aku bisa saja memilih jalur hukum. Dia menyerangku secara mendadak tanpa alasan yang jelas. Seluruh bangunan club juga punya CCTV, tidak susah bagiku untuk memperpanjang ini."
"Saya berharap Pak Darwin berbesar hati untuk memaafkannya," bujuk Raihan. "Proses hukum lumayan melelahkan dan menyita banyak waktu."
Darwin Laksmono memalingkan muka.
Raihan mendeham, lalu kembali melanjutkan, "Andai ada yang bisa saya lakukan untuk meminta maaf. Bagaimana kalau sebotol Balvenie 12 untuk menemani malam Bapak?"
Aku seketika melotot, harga whiskey itu tidak murah.
"Raihan?" Aku membisik untuk menyanggahnya.
Raihan menganggukkan kepala dan meyakinkanku agar tetap tenang. Ia tidak menyerah demi memenangkan sebuah pengampunan atas kesalahan yang tidak ia perbuat.
"Sebotol Balvenie?" Darwin melunak.
"Atau Bapak lebih tertarik dengan yang lain?" tawar Raihan.
"Balvenie it's fine," sahut Darwin.
Raihan pun tersungging lega.
Ia bergegas menunaikan janjinya pada Darwin Laksmono. Sementara aku mendampinginya dan berharap semua masalah segera tuntas. Selepas menyelesaikan pembayaran, Raihan pun memasukkan lagi kartu kreditnya ke dalam dompet. Darwin Laksmono tak lagi banyak protes.
"Ada apa sebenarnya, Sayang?" selidik Raihan. Kami berdua berjalan beriringan mencari keberadaan Soraya dan Dewa, si pembuat onar.
"Kamu tak tahu apa yang terjadi tetapi justru membereskan semua kekacauannya," dengkusku.
"Aku nggak mau kalian terlibat masalah hukum. Dia fotografer terkenal itu, bukan? Bukan hal sulit bagi Darwin menuntut Dewa."
"Ya." Aku mengangguk. Kemudian bibirku pun tersungging pada Raihan. "Betewe, thanks. Kamu datang tepat waktu."
Raihan mengecup pelipisku. "Justru aku datang terlambat. Andai saja aku tiba terlebih dulu, mungkin insiden tadi tidak akan terjadi."
Aku mengembuskan napas kasar. "Dewa tiba-tiba tersulut emosi. Aku yakin dia mabuk."
"Mabuk?" selidik Raihan. "Kulihat minuman yang dia pesan masih utuh."
Netraku kemudian menemukan keberadaan Soraya dan Dewa di dekat pintu keluar. "Itu mereka," tunjukku.
"Raihan, thank you sudah membereskan semuanya. Apa lelaki itu masih marah?" Soraya sontak memburu panik.
"Tidak setelah mendapatkan sebotol Belvenie 12," kekeh Raihan.
Dewa membeliak. "Untuk apa melakukan itu?" protesnya.
"Sebenarnya kamu kenapa, sih, Dewa? Kamu marah karena dia mengkritik works-mu?" terkaku. "Apa kamu nggak mikir Darwin Laksmono bisa saja menuntutmu karena penyerangan?"
Dewa melirik tajam.
Kemudian tanpa menjawab pertanyaanku, dia memilih melengos begitu saja.
"Bebi?" panggil Soraya kebingungan.
Dewa pun menengok. "Aku akan mengganti uangmu, Raihan. Kirimkan saja nomor rekeningmu," katanya dingin.
Aku mengejar Dewa. Kuhadang langkahnya agar berhenti, bagiku dia sama sekali tak bertanggung jawab.
"Apa ini sifat aslimu?" cecarku.
"Aku tak ingin bicara, Ileana," elak Dewa.
"Oh jadi kalau kamu sedang tidak ingin bicara, orang lain harus terima? Sementara kamu sendiri selalu memaksakan kehendakmu?"
"Maksud kamu?" Dewa mendengkus.
"Seenggaknya kasih apa alasan jelas dari sikapmu tadi. Apa kamu nggak lihat Aya sangat mencemaskanmu?"
Dewa membuang muka. "Aku akan bicara dengan Aya besok," dalihnya.
"Kamu sangat tidak bertanggung jawab. Aya tidak pantas bersama dengan lelaki sepertimu," serangku. "Kamu juga kasar."
Dewa memilih bisu. Dari pada membela diri, ia justru menatapku untuk waktu yang cukup lama.
"Aku dan Aya bukan urusanmu," cetus Dewa datar.
"Sama halnya dengan aku dan Raihan. Itu juga bukan urusanmu," balasku tidak kalah sengit.
Dewa sontak tertawa pahit. Lalu mengusap rahang secara gusar.
"Okay, fine," tutup Dewa.
Kemudian Dewa pun melenggang melewati tubuhku. Ketika aku menoleh ke belakang; punggung Dewa perlahan-lahan menjauh, lalu hilang ditelan kerumunan. Ia tidak menengok lagi.
Begitulah cara Dewa — mengacaukan hati dan pikiranku. Dalam satu malam.
***
Sudah tiga hari aku tidak pulang ke rumahku sendiri.
Kabur ke rumah Raihan, menginap di sana, apa lagi kalau bukan demi menghindari Dewangga Satya. Childish memang. Tapi lebih baik demikian ketimbang harus berpapasan dengan dia.
Semenjak insiden di club, perasaanku pada Dewa campur aduk. Sulit dijabarkan. Ada kecewa karena dia ternyata lelaki emosional setengah gila. Tapi ada juga setitik penasaran akan alasan Dewa berlaku impulsif. Entah kalimat seperti apa yang sudah diucapkan oleh Darwin Laksmono hingga memicu amarah Dewa. Apa pun itu, tidak seharusnya dia mempermalukan kami semua.
"Astaga!" Aku melonjak terkejut akibat kecupan yang Raihan daratkan pada tengkukku. "Aku nggak dengar kamu datang," protesku.
Raihan tersenyum. "Ya, karena kamu melamun," sahutnya. "Mikirin apa?"
"Nggak ada," elakku. Kulihat ia sudah rapi dan wangi. "Mau berangkat?"
"Ya." Raihan melingkarkan kedua lengan pada pinggangku. "Apa kamu merasa bosan?"
Aku mengangguk. "Kurasa sudah saatnya kamu mempertimbangkan untuk pensiun dini," godaku.
"Boleh. Lalu kita mau ngapain? Haruskah kita pindah ke Australia, dan memulai debut sebagai artis onlyfans?"
Aku cekikikan dan merangkul Raihan erat.
"Good idea," cumbuku. "Berangkatlah nanti kamu terlambat. Hari ini aku tidak akan bosan, nanti siang aku ada pekerjaan di Shangri-La."
"Peragaan busana itu?"
Aku mengangguk membenarkan.
Raihan lantas mengusap pipiku mesra. "Good luck, hari ini, ya."
Aku membalas Raihan dengan sebuah ciuman pada bibirnya.
"Kamu juga. Jangan pulang terlalu larut," bisikku.
"Kuusahakan, Sayang." Raihan lalu melumat bibirku secara impulsif.
Aku memilih terpejam sembari mengimbangi cumbuan Raihan yang panas. Ia menaikkan tubuhku ke atas counter, sementara bibir kami terus tertaut.
Kembali tinggal bersama Raihan memudahkan hidupku yang terasa sulit. Seperti yang sudah-sudah, Raihan mengurusku dengan baik. Jika kebanyakan wanita modern enggan terjebak dalam hubungan patriarki, maka aku kebalikannya. Aku justru mencintai lelaki yang mampu memenuhi semua kebutuhanku. Aku suka kehadiran seseorang yang mengatur rutinitasku secara sistematis. Intinya — aku senang dibiayai, aku bosan bekerja untuk menanggung finansialku sendiri. Aku lelah, aku sangat lelah menopang diriku.
Akhirnya aku paham, alasan aku mampu bertahan dengan Raihan selama bertahun-tahun. Kemudahan dan kenyamanan inilah yang kucari.
"Kamu bisa terlambat," gumamku pada Raihan.
Ia meraih jemariku dan mengecupnya satu per satu. "Aku lebih memilih telat ketimbang menyesal karena melewatkan tubuh yang menggoda ini."
Raihan lantas melanjutkan permainan, ia melucuti celana pendek yang kukenakan hingga jatuh ke atas ubin. Telunjuk Raihan langsung menuju ke sana, mengitari bagian sensitifnya, lalu memeriksa apakah area itu sudah cukup basah.
Aku memasrahkan diri menyangga tubuhku menggunakan kedua lengan.
Lalu napasku tertahan ketika milik Raihan yang kokoh menerobos liang kewanitaanku. Raihan memacunya cepat, ganas, dan terburu-buru. Tubuhku seolah-olah terbiasa dengan itu, ya, terbiasa. Belum sampai menikmatinya. But, it's doesn't matter. Raihan menginginkanku saja sudah lebih dari cukup. Lelaki seperti dialah, yang kubutuhkan.
***
Pagelaran Fashion Week yang diadakan di Shangri-La merupakan acara besar selama tiga hari berturut-turut. Akan ada banyak brand lokal yang menampilkan koleksinya di sana. Tidak hanya itu, para artis ibu kota juga akan tampil memeriahkan perhelatan besar ini. Sebagai model, aku merasa bangga karena bisa bergabung untuk merepresentasikan salah satu merek yang cukup digandrungi, the MAXIMAL.
Sejak siang hingga hampir sore, aku sudah keluar masuk panggung catwalk. Terhitung sudah tiga kali rambutku diubah tatanannya, dan entah berapa puluh pakaian yang sudah kukenakan berganti-ganti.
Kalau lelah begini, aku baru merasakan yang namanya 'lapar'. Aku memang sengaja tidak makan, tujuannya menjaga badanku tetap lean. Nggak lucu kalau gaun-gaun itu sulit masuk saat di back stage.
"Ileana, dress-nya bisa langsung diganti, ya." Seorang penanggung jawab kostum menengok ke dalam ruangan ganti.
"Oke." Aku mengangguk.
Beberapa model lain yang satu ruangan denganku membantuku membuka pakaian. "Ikut, kan? Kita semua pada mau ngopi," ajaknya.
"Aku laper banget, by the way," akuku.
"Di sana ada salad," terang mereka.
Salad? Sayur mayur itu tidak akan mengenyangkan perutku yang kosong seharian. Aku tahu apa yang cocok, nasi Padang.
"Kalau gitu aku nyusul aja, deh. Nanti aku kabarin," dalihku.
Mereka mengangguk. Kemudian kami pun harus bergegas melepas wardrobe dan mengembalikannya pada penanggung jawab. Selain itu, ruangan kami sekarang akan dipakai oleh model-model berikutnya. Semakin malam, maka akan bertabur lebih banyak model papan atas.
"See you tomorrow, Lei."
"Ya, bye," sahutku berpisah jalan.
Kupegangi perutku yang perih, sudah pasti maag-ku kumat karena terlalu lama mengosongkan lambung. Pergi mencari makan di tempat lain hanya akan membuatku makin tersiksa. Jadi kubelokkan langkah menuju restoran hotel. Sesekali hedon saat keadaan terdesak tak ada salahnya. Toh aku sekarang kembali tinggal bersama Raihan. Tidak perlu pusing memikirkan biaya listrik, air, makan, dan bensin.
Saat sedang terburu-buru menuju restoran, aku berpapasan dengan segerombolan orang yang berjalan bersama. Salah satu dari mereka tampak familier, dia Darwin Laksmono. Dia pasti hendak mengabadikan acara fashion week malam ini.
"Permisi, Pak Darwin Laksmono," sapaku.
Darwin menoleh, lalu berkernyit menatapku.
"Ya?" Dia kebingungan.
"Sa-saya yang kapan hari itu, Pak," terangku. "Vertique?" Aku menyebut nama club tempat kami berjumpa.
"Ah ..." gumam Darwin mengangguk. Ia lalu mengkode timnya untuk pergi terlebih dahulu karena ingin berbincang denganku.
"Kebetulan sekali ketemu Bapak di sini. Bapak pasti hendak menghadiri fashion week, ya?" tebakku.
"Betul," kata Darwin membenarkan. "Kamu sendiri?"
"Saya salah satu model yang mewakili the MAXIMAL," jawabku.
Darwin sumringah. "Berarti nanti malam kita akan bertemu lagi."
"Oh, nggak, Pak. Saya tidak mewakili the MAXIMAL nanti malam, saya, kan belum famous-famous amat. Kalau tidak salah nanti malam brand tersebut akan direpresentasikan oleh Paula Verhoeven, Kimmy Jayanti, dan Laras Sekar."
"Sayang sekali," gumam Darwin. "Padahal kamu tidak kalah cantiknya."
Aku sontak tersipu.
"Mana temanmu yang emosian itu?" lanjut Darwin. "Dia tidak ada di sini, kan? Kalau ada, saya sebaiknya pergi ketimbang diserang lagi."
"Dia tidak ada di sini," sanggahku. "Soal malam itu, saya benar-benar minta maaf. Padahal, Dewa sangat mengidolakan Bapak Darwin, sama halnya dengan saya. Akan tetapi, saya rasa dia intoleransi dengan alkohol."
"Tunggu dulu ... kamu bilang mengidolakan saya?" selidik Darwin.
"Tentu saja. Semua model seperti saya pasti punya mimpi kelak akan dipotret oleh Pak Darwin Laksmono," ujarku.
Darwin seketika terkekeh. "Bisa saja, kamu." Ia lalu menatapku lamat-lamat. "Sorry namamu siapa?"
"Ileana," jawabku.
"Eh, Ileana, aku tertarik menjadikanmu model untuk koleksiku. Kamu pun bisa menggunakannya untuk portofolio-mu. Bagaimana, minat tidak?"
Aku membeliak kegirangan. "Tentu saja mau, Pak," sahutku.
"Good." Darwin mengulum senyum. "Kalau begitu mari naik ke atas, kita bicarakan seputar detailnya. Selama di Surabaya saya menginap di hotel ini."
"Ehmh, tidak bisakah kita ngobrol di restoran, Pak?" Perutku sudah sangat keroncongan.
Darwin mendecih. "Ah, terlalu banyak orang. Saya tidak terlalu suka jika nanti ada yang menyela pembicaraan kita."
"Baiklah kalau begitu." Aku pun mengiakan ajakan Darwin Laksmono.
Ting. Pintu lift terbuka dan Darwin mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Tidak ada orang lain selain kami berdua, dan Darwin tiba-tiba merapatkan tubuhnya mendekatiku.
"Ileana," kata Darwin. "Apa temanmu yang mengirimmu padaku?"
"Maksudnya?" tanyaku.
"Kurasa dia mulai mempertimbangkan penawaranku padanya; terlibat dalam project bersamaku, dan mengajar pada salah satu kelas di academy milikku. Fotografer mana yang tidak tergiur, bukankah begitu?" Darwin menyeringai.
"Maaf, Pak, tapi saya tidak mengerti."
Darwin tertawa kecil. "Sudahlah, hubungi saja dia kalau aku memaafkannya. Suruh dia datang ke mari besok. Aku akan memberikannya kesempatan kedua." Ia lalu menyingkap helai rambutku ke belakang. Darwin menunduk agar bisa mengecup pundakku yang terekspos.
"Pak?!" Aku melengos.
Darwin mengangkat tangan seolah menyerah. "Sorry, aku tidak sabar menunggu sampai di kamar."
"Pak Darwin jangan macam-macam, ya!" bentakku.
"Hei, jangan bermain jual mahal seperti temanmu itu. Penawaranku pada kalian berdua sudah sangat bagus. Jangan terlalu berlebihan dalam memerasku, Ileana. Apa lagi yang kamu minta? Masa' uang?"
Aku sontak menekan tombol keluar. Netraku menyorot Darwin penuh emosi. Entah apa maksud perkataannya, yang jelas, perlakuan Darwin padaku membuatku jijik.
Pintu elevator pun terbuka.
"Mau ke mana kamu?!" teriak Darwin.
Aku melenggang meninggalkan Darwin sambil memelototinya. "Kurang ajar!" makiku.
Derap langkahku menghentak penuh emosi. Aku tidak sempat melihat di lantai berapa aku turun. Kususuri selasar hotel yang panjang, berharap menemukan housekeeper yang akan menolongku.
Mataku memanas.
Sedikit demi sedikit, aku mulai mencerna alasan di balik kemurkaan Dewa. Ternyata Darwin Laksmono adalah lelaki mata keranjang yang kurang ajar. Darwin jelas mengucapkan sesuatu yang melukai ego Dewa. Ketimbang mencoba memahami Dewa, aku dan yang lainnya justru menyalahkannya.
Sialan.
Ketika rasa bersalah menyergapku tanpa ampun, aku melihat Soraya membuka salah satu kamar yang terletak paling ujung. Dia bersama seorang lelaki yang masuk terlebih dahulu. Itu pasti Dewa.
Kebetulan macam apa ini?
"Soraya!" seruku. "Aya!"
Aku pun berlari menghampiri, raut Soraya seketika berubah saat menyadari kemunculanku.
"Lei? Kamu membuntutiku?" Soraya menutup pintu untuk mencegahku menerobos ke dalam.
Aku menggeleng. "Aku ada fashion show di bawah, kamu nggak lihat kalau hotel ini jadi tempat pagelaran fesyen?"
Soraya membuang muka. Baru kali ini ia tak tampak senang oleh kehadiranku.
"Tunggu dulu." Aku memicing curiga. "Jangan-jangan kalian booking hotel ini karena tahu aku ada kerjaan di sini? Tadi kalian datang menontonku, ya? Pasti Dewa diam-diam memotretku. Ngaku, deh!" terkaku.
Soraya masih mengalihkan tatapan. "Ng-nggak," sanggahnya. "Nggak begitu, kok."
Perasaanku mendadak tidak enak. Tindak tanduk Soraya sangat lain dari biasa.
"Aya, aku perlu ngomong sama Dewa, sebentar aja. Aku tahu aku mengganggu kalian, tapi aku janji nggak lama," bujukku. "Kamu tahu, Darwin Laksmono juga menginap di hotel ini. Dan aku yakin Dewa sudah ceritakan alasannya menyerang Darwin."
Soraya membisu.
"Ya?" selidikku.
"Sebaiknya kamu pergi, Lei. Kita bicarakan nanti di apartemenku, atau aku yang menemuimu di rumah Raihan."
"Tapi, Ya? Aku cuma mau minta maaf sebentar sama Dewa," dalihku.
"Dewa ..."
"Dewa di dalam, kan?" tanyaku. Lalu segaris senyumku timbul demi mencairkan suasana. "Kalian ini ya, punya apartemen, punya rumah, masih aja staycation di hotel."
Soraya menggenggam lenganku dan menuntunku menjauh. "Lei, kalau gitu kita ngobrol di bawah aja, yuk."
"Aya?"
"Yuk, Lei," desak Soraya.
Aku pun menepis tangannya. "Ya," ucapku lirih. Jantungku mulai berdegup tak karuan, belum lagi keringat dingin yang sontak mengucur. "Kamu ... check in sama Dewa, kan?"
"Lei, please." Soraya mencoba menahanku lagi. Ia jelas memucat, wajahnya sangat frustrasi.
"Soraya, kamu check in sama Dewa, kan?" ulangku. Intonasiku meninggi. "Yang barusan masuk ke dalam Dewa, bukan?!"
"Lei, please," rintih Soraya lirih. "Kamu sahabatku, kamu akan membelaku, kan, Lei? Aku bisa jelasin alasanku melakukan ini."
Seluruh persendianku lemas. Tubuhku rasanya gemetaran dan hampir sempoyongan. Aku pun melangkah menuju kamar yang seharusnya ditempati Soraya.
"Buka, Ya," titahku. "Kamu ke sini sama siapa?"
"Ileana ..." Soraya merengek.
"Kamu bilang kamu serius sama Dewa, kamu bilang nggak ada lagi selain dia. Tapi kenapa tabiatmu masih sama?" ujarku dingin.
Soraya meraih tanganku. Ia mengiba seolah hidup matinya bergantung olehku.
"Belum terjadi apa-apa, Lei. Ini cuma emosi sesaat karena Dewa terkadang membuatku jenuh—"
"Dewa membuatmu jenuh?!" hardikku melotot. Aku mengepalkan kedua tangan kuat-kuat; berharap amarahku terperangkap dalam kepulan tinjuku, dan mereda di sana. "Buka pintunya, Aya. Aku mau lihat lelaki mana yang berhasil menggoyahkanmu."
"Lei ...?"
Aku lantas mengetuk pintu kamar itu, tidak lama, celahnya terbuka lebar menampangkan sosok Dion yang berdiri kebingungan menyambut kami.
"Demi Tuhan ..." gumamku parau. "Dion?"
Aku tak tahu kenapa takdir selalu menempatkanku dalam kondisi dan situasi seperti ini. Aku seolah memenangkan lotre dalam memergoki perbuatan cabul orang-orang di sekelilingku. Papa, Raihan, lalu sekarang Soraya.
"Lei, aku dan Dion belum melakukan apa pun. Mungkin bertemu kebetulan sama kamu adalah cara Tuhan untuk mengembalikan akal sehatku," ujar Soraya. "Kumohon, jangan katakan apa pun pada Dewa, ya. Aku cinta sama Dewa, aku cuma cinta sama dia."
"Soraya?" Dion mengernyih getir.
Aku pun memandangi Soraya yang berlinang air mata, ia terus saja mengoceh membela diri. Kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya terdengar samar, atau mungkin aku sudah tak peduli lagi. Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam mematung. Persis seperti sikapku yang sudah-sudah.
Aku terpatri kala menemukan papa bersama wanita asing. Aku juga termangu saat Raihan menggenjot selingkuhannya di kamar pribadi kami. Dan kali ini, aku lagi-lagi tercenung menyaksikan kecurangan Soraya di belakang Dewa.
"Lei ..."
"Kamu sahabatku, kan, Lei?"
"Kamu akan menyimpan ini dari Dewa, kan, Lei?"
Soraya terus menerus melontarkan kalimat yang sama berulang-ulang.
Tapi tidak kali ini — entah dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk melangkah maju. Tidak kali ini, aku tidak akan diam saja.
Dengan tak gentar, aku mendekati Dion. Aku lantas menjambak rambut Dion erat-erat hingga kulit kepalanya terasa menempel pada jari-jariku. Kuseret lelaki itu keluar dari kamar tanpa ragu. Amarahku memuncak di ubun-ubun. Bahkan, aku tidak mengamuk begini tatkala mengetahui Raihan bersama wanita lain. Tapi tidak kali ini, semua berbeda.
"Keluar!" bentakku pada Dion.
Baik hati mau pun relungku sakit bukan main. Wajah Dewa memenuhi otak dan pikiranku. Dia tidak pantas dibohongi.
"Ileana!" Soraya memekik ketakutan.
Sebaliknya Dion sekuat tenaga meloloskan kepalanya dari tarikanku. "Cewek gila!" umpatnya.
"Keluar, Bangsat!" Aku mendorong Dion hingga tubuhnya menabrak dinding lorong.
Dion mendecih. Ia menyorotku tidak terima, Dion hendak membuat perhitungan.
"Pergi," usirku.
"Aku tidak akan tinggal diam, ya, Ileana. Mengerikan sekali kelakuanmu mirip binatang!" maki Dion.
Ekspresiku tetap datar. "Siapa yang binatang? Aku atau kalian?" tukasku. Kemudian kubanting pintu keras-keras sehingga Soraya meringkuk ketakutan sambil menangis sejadi-jadinya.
Aku ikut berjongkok untuk mencari mata Soraya. Ia menengadah ketika kedua bahunya kucengkeram.
"Apa Dion lebih baik dari Dewa?" tanyaku.
"Aku khilaf, Lei. Ini cuma perasaan sesaat, semula bahkan aku ragu mau melakukan ini sama Dion," dalih Soraya.
"Khilaf?" selorohku. "Kamu memesan kamar dengan kesadaranmu, Ya. Kamu bilang khilaf?"
Soraya mendengkus dan menyeka air matanya secara kasar.
"Oke, fine! Aku memang salah, tetapi kadang kala aku nggak bisa memahami Dewa. Obrolan kami banyak nggak nyambungnya, dan dia selalu berseberangan selera denganku."
"Bukan berarti kamu boleh berselingkuh."
"Ini bukan selingkuh, aku dan Dion cuma main fisik, nggak pakai hati. Kami cuma saling bantu untuk menghilangkan jenuh."
Napasku seakan terhenti oleh penjelasan Soraya, terdengar menyakitkan.
"Itu menjijikkan, Aya," sahutku.
"Aku tahu." Soraya tertunduk. "Tapi, aku sungguh-sungguh soal perasaanku ke Dewa, aku sungguh mencintainya."
"Kalau kamu mencintainya, kamu nggak akan tega melakukan ini."
Tangis Soraya kembali tumpah.
"Aku tahu," isaknya. "Dan kamu sahabatku, Lei. Kamu akan merahasiakan ini dari Dewa, kan? Aku berjanji demi Tuhan, kalau aku tak akan melakukan ini lagi. Aku bersumpah akan memegang komitmenku pada Dewa. Aku bersumpah, Lei ..."
Kalian harus banget baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa. Masih banyak bab tidak terkunci dan tanpa potongan part 21+
Buruan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top