22 |

Dewangga

Norak. Raihan memang benar-benar norak. Looks very, very tacky.

"Masuk, yuk, Ya," ajakku pada Aya.

Aya menepis tanganku. "Bentar," bisiknya.

Aku mengernyih. Kuamati raut Aya lekat-lekat, wait the minute, dia kelihatan merona sendiri. Pandangan Aya tidak berpaling dari Raihan dan Ileana. Kok bisa Aya betah? Aku saja sudah hampir mau muntah.

"I love you, Ariadne Ileana. Dan akan kuhabiskan sisa hidupku untuk menebus semua salahku padamu."

Huwek! Di mana kameranya? Apa Raihan sedang syuting roman picisan? Aku yakin tiap kata demi kata yang meluncur dari mulutnya mengandung gombal. Tipikal lelaki yang dengan mudah mengumbar kalimat manis merupakan jenis lelaki yang wajib diwaspadai. Kalau bukan buaya darat, pasti pisang makan pisang sedang cari tumbal.

"Alay banget mereka, Ya," kataku pada Aya.

Aya malah melototiku. "Romantis tahu, Beb!" sanggahnya.

"Romantis?"

Damn it. Ini pasti gara-gara drama Korea yang menciptakan ilusi palsu tentang bagaimana seharusnya lelaki bersikap. Padahal dalam kenyataannya mana ada 'lelaki normal' yang melakukan apa yang Raihan lakukan. Di mataku Raihan tampak palsu. Ucapan dan tindak tanduknya seolah telah diatur dalam skenario. Nggak alami.

"Iya, romantis." Raut Aya meleleh seperti es krim mencair.

"Kemarin kamu mati-matian menolak Ileana balikan sama dia, sekarang kamu berubah pikiran?" tanyaku.

Aya mengangguk. "Manusia bisa khilaf, Beb. Sekarang Raihan menunjukkan keseriusannya pada Ileana."

"Nggak hanya pada Ileana, tapi pada kita semua." Aku kembali membisik. "Dia cuman sedang pamer."

Aya menyikut lenganku dengan lengannya. "Apa'an, sih, kamu? Kok senewen banget. Contoh tuh Raihan. Aku juga mau kales sesekali dikasih surprise kayak begini."

"Seriusan? Norak gitu?"

"Norak, norak?! Mereka sweet banget tahu. Ini yang bikin aku dulu suka ngiri sama Raihan dan Ileana. Mereka tuh couple goals."

Aku tercekat sendiri.

Ternyata banyak wanita, termasuk Aya, memilih tertipu dengan rayuan fatamorgana seperti apa yang Raihan lakukan. Apa Aya lupa? Raihan sudah berselingkuh di belakang Ileana. Dia membuang komitmen lima tahun demi menuruti nafsu sesaat. Dan kini, semua dosanya terhapus oleh buket bunga mawar raksasa, serta lamaran klise khas sandiwara teatrikal.

Aku pun beralih menyorot Ileana yang masih bungkam seribu bahasa.

Raut Ileana jelas menyiratkan keraguan. Jika sudah begitu, mengapa tidak langsung menolak Raihan? Apa lagi yang dia beratkan? Apa khawatir Raihan kecewa atau patah hati? Hei, lelaki itu adalah lelaki yang telah berkhianat di belakangmu — untuk apa mempertimbangkan soal perasaan Raihan?

"Aku ..." Bibir Ileana menggumam bimbang.

"Kasih aku kesempatan lagi, Lei. Please. Please, I beg you. Jangan melupakan hubungan yang sudah lama terjalin, perjuangan kita," bujuk Raihan mengiba. "We were meant for each other."

Di tengah kebingungannya, Ileana tiba-tiba berpaling memandangku. Untuk sesaat, mata kami beradu. Aku pun sontak menggelengkan kepala untuk meyakinkannya menolak Raihan.

"Aku ..." kata Ileana.

Raihan semakin mengiba. "Baby, please ..."

"Iya, Raihan." Ileana mengangguk. "Aku mau. Aku mau kita memulai lagi semuanya bersama-sama."

Whaa ... a ... a ... t the ... f***ck ...?

"Yeeeaaaiii!" Aya melompat girang. Ia lantas berlari menghampiri Ileana dan Raihan. "Congrats both of you."

Raihan bangun dan memasangkan cincin di jari Ileana. Ia tersenyum lebar sekali sampai menampakkan gigi-gigi putih yang mengalahkan sinar mentari.

"Makasi, Aya," balas Raihan. Ia kemudian merangkul Ileana dan mengecup pelipisnya. "Aku nggak akan ngecewain kamu, Baby."

Ileana tersungging.

"Ini harus dirayakan!" seru Aya. Ia menengok ke belakang mencariku. "Dewa, sini!"

Aku pun melangkah berat menyeret kakiku sambil mengulas senyum masygul.

"Halo, ini kali kedua kita ketemu, Mas Dewa. Tapi waktu itu belum sempat kenalan proper, ya," sapa Raihan. Ia menyodorkan tangan.

"Hehe," ringisku kecut menjabatnya.

Aya melingkarkan lengan pada lenganku. "Ya, kan, Beb? Kita harus ngerayain kebahagiaan ini."

"Nggak usah repot-repot, Ya," sanggah Ileana.

Raihan menoleh. Caranya memandang Ileana seperti serigala lapar yang menarget seekor domba. Memuakkan sekali.

"Aku terserah kamu. Kamu mau kita semua dinner di tempat biasa? Aku bisa booking buat kita berempat," ujar Raihan.

"Dinner? Nggak pengen bikin acara santai dan kasual aja?" sanggahku.

Dulu double date sama Dion sudah bikin aku trauma. Nggak lagilah dinner-dinner'an sama Ileana dan barisan lelaki-lelakinya.

"Ya, Dewa betul," timpal Ileana membenarkan.

"Oh, okay," gumam Aya. "Gimana kalau clubbing? Udah lama kita nggak party, kan, Lei?"

Ileana menoleh pada Raihan. "Gimana?" tanyanya.

"Aku terserah kamu, Sayang. But, clubbing sounds good." Raihan tersenyum. "Kita bisa sekalian lepas penat."

Aya bertepuk tangan girang.

"Nice!" ucap Aya antusias.

***

Aku mengikat tali sneakers-ku dengan ogah-ogahan. Mengunjungi klub malam sebenarnya bukan salah satu lifestyle-ku. Akan tetapi, mana mungkin aku menolak ajakan Aya dan membiarkannya dugem sendirian. Lovebird — Ileana dan Raihan pasti sibuk berdua, Aya bakal terabaikan kalau aku tidak ikut.

Kulirik Garmin pada pergelangan kiriku, masih terlalu dini untuk berangkat.

Aku dan Aya sepakat bertemu di sana; klub malam di Jalan Jenderal Basuki Rachmat itu dekat dengan apartemen Aya, kasihan kalau dia harus bolak-balik menjemputku dulu. Jadi kami memutuskan jalan sendiri-sendiri.

Sembari menunggu tenggat pertemuan, aku pun membuka laptop untuk meneruskan beberapa pekerjaan. Beberapa foto masih mentah dan belum diproses editing. Maka aku pun memilih file mana yang bakal kukerjakan terlebih dahulu. Telunjukku tergelincir membuka file milik Ileana. Potret wajah pucatnya pun memenuhi monitor. Sepasang mata lentik beriris kecokelatan miliknya menatap tajam. Meski demikian, sorotnya teramat sendu. Aku pun sontak tersenyum kecut. Kala itu Ileana masih dalam masa patah hati, bukan? Dan lihatlah sekarang, ia justru memutuskan kembali dengan si pemberi nestapa.

Dasar, wanita.

Tempo lalu aku sudah memelototi foto-foto ini sampai bosan. Tapi, kenapa baru sekarang aku menyadari kalau Ileana memiliki bibir bawah plumpy yang berbelah di tengahnya. Mendadak, imajinasi Raihan yang sedang melumatnya habis muncul mengganggu. Apakah bibir kissable-nyalah yang menjadi salah satu alasan Raihan mempertahankannya?

"Weh!" gerutuku sendiri.

Ada apa denganku? Mengapa jadi memikirkan yang tidak-tidak?

Aku pun bergegas membuka file lain demi mengalihkan pikiran. Konsentrasiku kini terpusat pada foto-foto klien yang sedang kutangani. Kuimpor ke Lightroom sebagai titik awal editing. Setelah itu kusesuaikan keseimbangan warna tampilannya supaya lebih 'hidup'. Cukup lama aku mengutak-atik satu foto, semua memang tergantung selera, tetapi mendapatkan tone terbaik adalah kesempurnaan yang kuusahakan.

" ... Kamu tidak perlu menganggapku sebagai adikmu. Hubungan kita tak sedekat itu. Kalau tidak ada Aya, kita bahkan tak saling mengenal."

Fokusku pun buyar. Perkataan Ileana terkadang sangat menusuk dan menyakitkan. Dia bisa berubah 180 derajat dari sosok yang perhatian menjadi wanita angkuh menyebalkan. Ileana meluluhkan kesedihan serta amarahku terkait kepergian Momon. Namun, dia mendadak ketus tanpa alasan jelas.

Sikap Ileana membuatku bingung.

Kututup laptop dan beringsut dari meja kerja. Sia-sia meneruskan pekerjaan kalau hatiku kesal. Aku lantas mengambil kunci motor dan keluar dari rumah. Saat aku melangkah pada teras, kebetulan Ileana sedang bersiap memasuki mobilnya. Sejenak mataku terpatri pada sosok yang berada tidak jauh dari jangkauanku. Tubuh tinggi jenjang itu hanya dibalut gaun pendek yang mengekspos lekuk langsingnya. Rambut senada senja Ileana terurai cantik menutupi pundak dan lehernya yang putih mulus.

"Kok nggak dijemput Raihan?" tegurku.

Kulihat bahu Ileana tersentak. Ia pasti terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba.

"Dia masih ada urusan, jadi kita bakal ketemu langsung di sana," jawab Ileana.

Aku pun mempercepat langkah untuk menghampiri Ileana. Ekspresi Ileana cukup bingung ketika mendapatiku mencegahnya masuk ke dalam mobilnya sendiri.

"Kalau gitu kita bareng, ya? Aku yang nyetir," tawarku.

Ileana mengernyih. "Kenapa?"

"Ya nggak kenapa-kenapa, lebih hemat bensin, kan?" sahutku.

"Yang hemat kamu, bukan aku," timpal Ileana.

"Nanti pulangnya kuisiin bensinmu." Aku bersikukuh.

Ileana tak menggubris, malahan membuka pintu kendaraan untuk meninggalkanku.

"Nggak usah," tolaknya dingin.

Brak. Aku mendorong pintu mobilnya agar kembali tertutup. Akibat ulahku, Ileana sontak melotot kesal.

"Kamu kenapa, sih?" sungut Ileana.

"Kamu yang kenapa?" Intonasiku meninggi. "Kamu yakin balikan sama orang yang nggak bisa dipercaya seperti Raihan?"

Ileana makin membeliak. "Maksud kamu apa?"

"Kamu lupa gimana sakitnya kamu waktu dia berkhianat? Terus sekarang gampang banget kamu maafin si Raihan itu?" decihku. "Asal kamu tahu, ya, bagiku masih mending Dion ketimbang Raihan."

"Kamu nggak kenal Raihan, Dewa! Aku kenal Raihan selama enam tahun. Dan kami sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Aku yang paling tahu dia seperti apa, bukan kamu."

"Jadi kamu siap kalau nanti dia selingkuh lagi?"

Tatapan Ileana setajam belati. Ia memilih melengos dan berusaha masuk ke dalam mobil.

Aku lagi-lagi mencegahnya. "Ileana?!"

"Bukan urusanmu aku mau diselingkuhin atau aku mau pacaran sama siapa. Kamu nggak usah sok peduli!" bentak Ileana.

"Ya nggak bisa! Aku sudah bilang, kan, kalau aku anggap kamu—"

"Adikmu?!" sela Ileana. "Aku nggak butuh kamu anggap adik, Dewa! Nggak usah sok care."

Aku mendengkus. Kuatur napasku demi mereda amarah yang mulai berkobar.

"Okay, sorry ..." ucapku melunak. "Maafin aku kalau aku ada salah sama kamu. Tapi tolong kasih tahu aku apa salahku, Ileana? Apa bercandaku kelewatan lagi?"

Ileana membuang muka. "Nggak ada. Kesalahanmu cuma terlalu ikut campur dalam pilihan yang aku buat."

"Jangan bohong. Sikapmu berubah total sejak kita di Malang kemarin. Pasti ada tindakanku yang bikin kamu sakit hati. Kamu tinggal bilang apa itu dan aku bakal intropeksi," tukasku.

"Nggak ada." Ileana tetap mengalihkan matanya dariku.

Aku kembali mendengkus frustrasi.

"Ileana, kamu harus tahu satu hal tentangku. Aku memang kelewat cuek, bahkan bodo amat sama orang lain. Tapi kalau aku sudah terlanjur peduli, maka aku akan terus mencampuri urusanmu."

Iris Ileana bergerak menatapku.

Aku kembali melanjutkan, "I can't stop caring about you." Tanpa persetujuan Ileana, aku lantas menerobos ke dalam kursi kemudi dan duduk di sana. "Mana kuncinya?"

Ileana mematung.

"Come on?" desakku.

Ileana jelas kesal minta ampun padaku, biar saja. Mau tidak mau dia memberikan kunci kontak mobil padaku. Lalu memutar jalan untuk duduk di sebelah. Aroma parfum Ileana sontak memenuhi indera penciumanku; masih wangi yang sama, powdery.

Kuinjak pedal rem sambil men-starter mobil.

"Jangan terburu-buru mengiakan ajakan Raihan untuk menikah," gumamku.

"Huh?" Ileana berkernyit.

"Jalani saja dulu untuk mengetahui kesungguhannya padamu," lanjutku.

Ileana memalingkan muka. Aku bisa melihat garis bibirnya mencemoohku.

Aku tahu ia mendengarkanku.

"Aku akan belajar mengenalnya, mengenal Raihan," kataku lagi.

"Nggak ada yang memaksamu melakukan itu," decih Ileana.

"Emang. Tapi aku yang mau," tegasku.

Ileana kembali membuang muka.

"Aku akan memastikan dia tidak akan menyakitimu lagi."

"Kamu sangat menyebalkan, Dewangga!" ketus Ileana.

Aku terkekeh. "Aku tahu. Tania juga sering bilang begitu. Tak terhitung sudah berapa banyak cowok dungu yang gagal mendekati Tania gara-gara aku. Dan, meski pun dia marah, aku tetap tidak akan berhenti bersikap selayaknya seorang kakak baginya. Lalu sekarang ... bagimu."

Ileana menoleh langsung ke arah mataku. Ia tak membantah mau pun mencelaku lagi. Aku mencoba mengurai arti dari tatapan Ileana — tetapi aku gagal. Caranya memandangku bukan seperti seseorang yang sedang marah, bukan juga sorot penuh kekesalan mendalam.

Ia memang mirip seekor kucing liar yang misterius.

Kucing penuh luka yang selalu berontak tiap kali diberikan perhatian dan kasih sayang. Meski begitu, Ileana - si kucing shelter - aku akan membantunya menemukan rumah. Rumah yang gagal kuberikan kepada Momon. Rumah tinggal di mana Ileana akan hidup bersama seseorang yang benar-benar mencintainya, selamanya.

"Kamu nggak sendiri, ada Aya dan aku," ujarku. "Jadi terbiasalah denganku."

Ileana memilih membisu.

Ia memutar knob volume radio keras-keras agar aku berhenti bicara.

'I hope you feel what I felt when you shattered my soul ...

'Cause you were cruel and I'm a fool
So, please let me go,

But I love you ...'

Ileana berhasil, karena kami berdua akhirnya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alunan lagu dari band The Walters memenuhi runguku. Terus terdengar, bahkan hingga lagu itu akhirnya berakhir.

***

Aku dan Ileana menaiki anak tangga menuju lobi club, tempat itu berdiri megah di tengah kota Surabaya. Bagi sebagian orang, malam mungkin telah berakhir, tetapi tidak untuk kaum party yang justru baru memulai aktifitas pada pukul dua puluh tiga.

"Kamu sering ke sini?" tanyaku pada Ileana.

"Lumayan," jawab Ileana singkat.

Seorang lelaki bertubuh tegap lalu membukakan kami pintu masuk, sontak suara musik menghentak pun memekak telinga. Netraku tertuju pada layar besar seukuran bangunan yang terpasang di main stage. Sementara posisi disjoki tepat di tengah panggung. Permainan lampu pada club ini termasuk spektakuler, sinar laser mencuat ke sana ke mari, sesuai dengan irama lagu.

Suasana belum terlalu padat karena waktu tergolong dini, keramaian puncak baru akan terjadi tengah malam hingga pagi buta.

"Kita cari Aya du—" kalimatku terjeda karena Ileana tiba-tiba meremas tanganku.

"Dewa!" Ileana melotot seperti melihat setan.

"Kenapa?!" selidikku panik.

Ileana menunjuk hati-hati, tubuhnya sedikit merapat padaku. "Lihat itu, depan meja bar! Lihat! Bukannya itu Darwin Laksmono? Correct me if I am wrong."

"D-Darwin Laksmono?"

Ileana mengangguk. "Kamu suka dia, kan? Fotografer itu, Darwin Laksmono."

Aku suka Darwin Laksmono? I adore him! Tunggu, Ileana juga kenal Darwin Laksmono? Ileana tahu aku suka dia?

"Kamu tahu Darwin Laksmono?" tanyaku.

"Jelas tahulah. Semua model punya mimpi difoto olehnya," jelas Ileana. "Itu betul dia, bukan? Dia lagi di Surabaya, beruntung banget kita bisa ketemu di sini."

Aku pun menajamkan mataku, menelisik sosok yang dituju oleh Ileana. Seorang lelaki matang dengan kaca mata yang membingkai wajahnya. Lalu rambut sebahu yang dibiarkan memutih oleh usia. Pembawaan karismatik yang hanya dimiliki oleh satu orang — Darwin Laksmono.

"Itu memang dia," gumamku takjub.

Ileana menyenggol lenganku. "Sapa dia!" desaknya.

"A-apa?" Jantungku seketika bergemuruh kencang. "Sapa Pak Darwin?"

"Iya. Tunggu apa lagi? Sapa dia, Dewa," paksa Ileana. "Katakan kalau kamu sudah lama mengidolakan works-nya."

Aku menggeleng sembari memegangi dadaku yang bergemuruh.

"Nggak, ah!" tolakku. "Bagaimana kalau dia sedang tidak ingin diganggu. Atau dia menanggapiku ketus. Tidak, Ileana."

"Dewa?" Ileana memelototiku tajam. "Kesempatan ini nggak datang dua kali. Pasti banyak yang ingin kamu bincangkan dengannya, bukan?"

"Kamu bercanda? Tentu saja ada banyak hal yang mau kusampaikan pada Pak Darwin," sergahku.

"Ya sudah!" buru Ileana. "Tunggu apa lagi?"

"Nggak. Sudah kubilang kalau aku tidak mau membuatnya nggak nyaman."

"Dewa, semisal ada fotografer pemula menghampirimu dan mengatakan kekagumannya pada karyamu, apa kamu akan terganggu?" Ileana menatapku serius.

"Tentu saja tidak. Aku justru senang membagi pengalamanku dengannya," ujarku.

"Nah, kalau begitu Darwin Laksmono juga akan berpikir demikian." Ileana bersikukuh.

Aku memicing gusar. "Bentar, bentar," sanggahku. "Aku bukan fotografer pemula, ya."

Ileana memutar bola mata ke atas, salah satu ekspresinya yang kubenci.

"Buruan, Dewa." Ia mendorongku.

Aku lantas menarik napas dalam-dalam. Sungguh impian menjadi nyata jika akhirnya aku dan Darwin Laksmono bisa berkolaborasi dalam satu project baru. Alah. Mengkhayalnya nanti dulu, kenalan saja belum!

"Okay ..." Aku memberanikan diri.

"Dewa," tahan Ileana. "Kalau kalian sudah akrab, kenalkan aku ke dia, ya. Bilang kalau aku mau menjadi salah satu model fotonya." Ia meringis lebar penuh harap.

Aku mengangguk.

"Aku akan menghampiri Aya, dia di meja depan." Ileana menunjuk menggunakan dagunya.

"Okay," dehamku.

Kuberanikan diri melangkah mendekati Darwin Laksmono, dia sendirian dengan rock glass pada tangan kirinya. Sesekali Darwin membetulkan letak kaca mata sambil menikmati penampilan dancer di stage.

"P-Pak, Pak Darwin Laksmono," tegurku grogi.

Darwin menoleh. "Ya?"

Sungguh. Jantungku serasa mau meledak. Mungkin begini rasanya Tania-Talita semisal ketemu idolanya, Jungkook.

"Malam, Pak Darwin. Saya Dewa, Dewangga Satya. Sudah lama saya mengagumi karya-karya Bapak. Bahkan, saya terjun ke dunia fotografi karena salah satu work Pak Darwin, Ibu Dan Aku," terangku.

Darwin menyorotku lama. Rautnya sulit kutebak, datar nyaris tanpa ekspresi.

"Ibu Dan Aku?" Darwin menggumam. "Ah, potret tahun 2001? Kalau tidak salah seorang wanita yang menggendong balitanya, ya?"

"Betul, Pak." Aku tersenyum lebar.

Darwin terkekeh. Lalu meneguk minumannya sekali. Ia kembali menatapku.

"Duduklah," kata Darwin mempersilakanku.

Aku menurut. "Suatu kehormatan bertemu Pak Darwin di sini. Saya benar-benar tidak percaya ini terjadi."

"Berlebihan kamu," sanggah Darwin. "Pesanlah minuman, count on me."

"Ti-tidak perlu, Pak, saya bisa ..."

Darwin mengibaskan tangan. "Ayolah. Siapa namamu tadi?"

"Dewa, Dewangga Satya."

"Pesanlah minuman, Satya," kata Darwin. "Whiskey? Bartender said that's Jack Daniel's, aged 12 years." Ia menunjukkan gelasnya padaku.

"That sounds good." Aku mengiakan penawaran Darwin.

Darwin pun mengkode bartender agar membawakan minuman yang sama untukku.

"Kamu sendirian?" tanya Darwin.

Aku menggeleng. "Aku bersama pacar dan teman-temanku." Netraku menangkap Aya dan Ileana yang bertukar senyum ke arahku. Kemudian aku dan Aya saling melempar lambaian tangan.

"Yang itu?" Darwin ikut tersungging.

Aku mengangguk membenarkan.

"Bagaimana dengan Bapak, Bapak sendirian?" selidikku.

"Ya," sahut Darwin. "Aku ke sini buat kerja. Kamu melewatkan atraksi circus beberapa jam yang lalu. Majalah Life & Style membayarku untuk memotret aksi mereka."

Aku mendecih menyesal.

"Sayang sekali. Padahal banyak sekali yang ingin kupelajari dari Pak Darwin," akuku.

Darwin kembali terkekeh. "Masing-masing fotografer punya ciri khasnya tersendiri, Satya." Ia lalu menunjuk pada Ileana dan Aya. "Yang rambut merah temanmu juga?"

"Oh, iya. Itu Ileana, dia seorang model yang juga mengagumimu," terangku.

Darwin mengangguk seraya terus melirik Ileana.

Aku kembali melanjutkan, "Kalau boleh tahu, kebanyakan dari works Pak Darwin memiliki framing yang tak terkesan 'too much', terkadang saya pribadi suka nggak balance antara objek utama dengan latarnya. Apa lagi kalau photoshoot-nya outdoor. Objek utama jadi kurang menonjol ..."

"Kamu dan Ileana pernah bekerja sama?" Darwin seakan tak mengindahkan pertanyaanku.

"Ehmh, ya ..." sahutku. "Aku memotretnya baru-baru ini."

Darwin mengangguk. Tak lama minumanku pun datang dan Darwin memberiku waktu untuk menikmatinya.

"Soal teknik framing tadi ..." lanjutku penasaran.

"Kamu yang membayarnya, atau dia yang membayarmu?" seringai Darwin.

"Maaf?"

"Siapa namanya tadi — si rambut merah? Dia seksi," kekeh Darwin. "Bukankah menyenangkan menjadi seorang fotografer, Satya. Apa lagi kamu terlihat tampan, Nak. Pasti banyak model-model cantik yang melemparkan dirinya padamu."

Aku terdiam membeku. Darwin Laksmono pasti sedang bercanda denganku.

"Hei," bisik Darwin mendekat. "Aku akan berada di kota ini cukup lama. Ada beberapa project yang kutangani, dan aku bisa membawamu ikut serta, Satya."

"Serius, Pak?"

"Ya, tentu saja. Tapi bisakah kamu mengenalkanku pada temanmu itu? Kamu bilang dia model, kan? Berapa tarifnya?"

"Maksud ... Pak Darwin?"

Tawa Darwin Laksmono pecah. "Satya, kamu berpura-pura tidak mengerti atau enggan membagi barang bagus seperti dia padaku? Kurasa kamu sudah berkecimpung cukup lama di dunia fotografi untuk paham maksudku."

"Bapak tertarik pada Ileana?" Senyumku mendadak pudar, berganti rasa mulas yang menjalar pada lika-liku ususku.

"Sangat," sahut Darwin bersemangat. "Kamu sudah menggunakannya? Model-model sepertinya punya servis yang memuaskan di ranjang. Biasanya mereka cukup puas dengan beberapa jepretan foto demi kebutuhan portofolio mereka."

"Ileana bukan wanita seperti itu." Aku mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan amarah.

Darwin Laksmono terpingkal geli.

"Oh, ayolah. Kamu benar-benar ingin menyimpannya untuk dirimu sendiri. Atau penawaranku kurang menggiurkan? Kalau begitu, bagaimana jika bulan depan kamu terbang ke Jakarta? Datanglah ke sekolahku dan mengisi kelas di sana selama beberapa hari. Para fotografer pemula itu akan menggilaimu, kamu akan menjadi legenda di mata mereka, Satya."

Tidak dapat kupungkiri, penawaran Darwin Laksmono adalah dream come true bagi fotografer sepertiku. Jika aku menerimanya, namaku akan lebih dikenal. Penawaran kerja otomatis meningkat. Aku pun bakal menaikkan prestige-ku dari sebelumnya. Akan tetapi jika harus menukarnya dengan Ileana ... it's not worthy - at all.

"Maaf saya harus menolaknya, tapi — terima kasih." Aku beringsut bangkit dari duduk. "Semoga malam Anda menyenangkan. Terima kasih juga untuk minumannya."

Darwin mengernyit kebingungan.

Lalu tiba-tiba, Ileana sudah berdiri di sampingku, tersipu sambil menatap penuh puja ke arah Darwin Laksmono.

"Kamu sangat lama, aku memutuskan datang menghampiri," bisik Ileana.

Aku menarik tangan Ileana. "Kita balik ke Aya sekarang."

"Lho, eh, Dewa?" Ileana bertahan untuk tetap di dekat Darwin Laksmono.

"Halo, Ileana, bukan?" sapa Darwin mengambil sikap. "Tadi dia cerita kalau kamu model."

Aku menggeret Ileana lebih kuat. "Ayo pergi, Ileana."

"Dewa!" bentak Ileana. "Kamu apa-apa'an, sih? Pak Darwin Laksmono sedang bicara denganku."

"Aku harap kita bisa mengobrol, aku sangat tertarik dengan figurmu yang unik," ujar Darwin.

Ileana sontak menepis genggamanku. Ia belum tahu jika Darwin Laksmono tidak lebih dari tua bangka genit yang ingin menidurinya.

"Dengan senang hati, Pak Darwin," sambut Ileana.

Aku mendengkus emosi.

Tanpa pikir panjang, aku pun mendorong tubuh Darwin hingga lelaki itu hampir terjungkal dari kursinya.

"Jangan lagi kamu memanggil namanya!" hardikku pada Darwin Laksmono.

Ikuti perjalanan Dewa, Ileana, Aya, dan Raihan lebih cepat lewat Karyakarsa, Yuk.

Traktir Ayana jajan mixue, ya. Thx xoxoxo























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top