21 |
• Ileana •
"Please, jangan pergi. Bisa nggak kamu di sini dulu?"
Aku dan Dewa saling bertukar tatapan. Aku tahu hidupku bukan kisah novel atau drama bertemakan perselingkuhan. Tidak, bukan. Sama sekali bukan. Aku tidak mau menjadi karakter ketiga yang menemukan cintanya di waktu dan pada orang yang salah. Aku dan Dewa jelas salah, karena ada Soraya di tengah kami.
Aku juga tidak mau meromantisisasi ketidak-setiaan.
Dalam kamusku tidak ada agenda untuk merebut perhatian Dewa dari Soraya. Sesuka apa pun aku padanya; sesayang apa pun aku, secinta apa pun aku ... sama Dewa.
"Tadinya aku kasihan karena kamu baru saja kehilangan anjingmu. Tapi begitu mendengar kamu meninggalkan Aya sendirian di rumahmu, aku jadi kesal, Dewa!" sungutku.
"Dia akan baik-baik saja," sahut Dewa.
Aku membeliak. "Berat bagi Aya mengikutimu ke sini. Berkenalan dan bersosialisasi sama keluarga pacar bukan hal yang mudah bagi sebagian orang, termasuk Aya."
"Keluargaku nggak mempersulitnya. Kenapa Aya merasa ini tidak mudah?"
"Apa kamu lupa kalau Aya anak tunggal? Dia terbiasa dilayani dan mendapatkan semua yang dia mau. Hal itu membuat Aya terkadang dibenci. Dia dicap manja dan kerap menerima bullying." Aku sontak meringis getir. "Aku salah satu perisaknya. Kamu tahu itu."
"Terus?" tanya Dewa gusar.
"Aya takut keluargamu juga menganggapnya anak manja. Dia sangat khawatir dengan penilaian mereka." Aku kembali berjongkok untuk menatap mata Dewa lekat-lekat. "Dewa, semenjak berhubungan denganmu, Aya berusaha sangat keras untuk lebih mandiri. Dia ikut kelas memasak karena kamu pernah cerita kalau ibumu pinter masak."
"Keluargaku nggak pernah sedikit pun berpikir kalau Aya itu manja," tegas Dewa.
"Ya tapi Aya berkubang dalam overthinking-nya sendiri."
"Lantas aku harus gimana?" tanya Dewa kesal.
"Mengertilah semua kegelisahan Aya. Kalian bertengkar bisa jadi karena dia sedang cemas. Aya mendadak sensitif karena itu," ujarku.
Dewa membuang muka. "Tapi apakah aku harus selalu mengalah dengan semua keinginan Aya? Apa inti dari kompromi kami adalah aku yang diwajibkan mengerti dia?"
"Dewa," dengkusku. "Aku nggak tahu kalian bertengkar soal apa, tetapi meninggalkan Aya sendirian di rumahmu bukanlah sikap yang baik."
Ekspresi Dewa melunak. Kedua alisnya yang semula bertautan mulai merenggang.
"Ya sih ..." gumam Dewa lirih.
"Jadi kamu ikut aku pulang apa gimana?" desakku.
Dewa membisu.
"Melamun di sini juga nggak akan menghidupkan Momon lagi, Dewa!" lanjutku. "Kamu yang memilih Aya ketimbang Momon, dan sekarang kamu tiba-tiba menyesal dengan keputusan yang sudah kamu pilih? Kukira kamu bukan plin-plan. Ternyata aku salah."
"Ileana ..." Dewa mendecih.
"Kamu sedih karena nggak bisa memberikan rumah yang nyaman untuk Momon? Bukankah berarti semua memang di luar kendalimu, Dewa. Jadi berhentilah meratapi sesuatu yang sudah terjadi," ujarku keki. "Kamu sudah kehilangan anjingmu, setidaknya jangan sampai kehilangan cinta Aya juga."
"Ya Tuhan!" Dewa mencubit hidungku gemas. Ia lantas berdiri dan membersihkan bokongnya dari debu. "Apa kamu nggak bisa kasih aku kesempatan ngomong?"
Aku mengusap hidungku sambil mengikuti Dewa bangkit. Sebisa mungkin kusembunyikan debaran haram akibat perlakuan Dewa barusan. Ia tidak tahu saja, setiap sentuhannya mengakibatkan ritme jantungku kacau balau.
Dewa menoleh.
"Ayo, kita pulang," ajaknya.
Aku pun mengikutinya turun ke bawah. Saat kami berdua sedang menuruni undakan, langkah Dewa tiba-tiba terhenti.
"Kamu sahabat yang baik, Ileana," ucap Dewa tersenyum.
Aku mendengkus lagi. "Memang," sergahku. "Dan kamu harus tahu, aku sahabatnya Aya, bukan sahabatmu."
"Oh? Okay?" Dewa terkekeh geli.
"Aku pasti akan membela Aya," kataku.
Dewa mengangguk. "Ya, aku tahu." Ia kembali menengok padaku. Kami kembali terhenti di pertengahan lorong tangga. "Betewe, aku nggak menganggapmu sebagai sahabat, melainkan seorang adik."
Aku dan Dewa saling pandang.
Dewa melanjutkan, "Setiap kali bersamamu aku selalu teringat pada Tania dan Talita. Kamu seolah memiliki kepribadian mereka berdua yang tergabung menjadi satu. Terkadang menyebalkan dan ketus seperti Tania. Tetapi ternyata kamu begitu bijak dan penyabar mirip Talita."
Kedua sudut bibir Dewa melengkung ke atas. Senyuman yang ia ukir kepadaku. Jarak kami cukup dekat sehingga aku bisa melihat bercak-bercak matahari yang menghiasi hidung Dewangga Satya. Anehnya — aku tak kuasa membalas senyum manis Dewa.
"Maaf tapi ..." sahutku. "Kamu tidak perlu menganggapku sebagai adikmu. Hubungan kita tak sedekat itu. Kalau tidak ada Aya, kita bahkan tak saling mengenal."
Sunggingan Dewa seketika memudar - lenyap dari wajah tampannya.
"Okay," kata Dewa. "Sorry, ya." Ia pun melengos dan mempercepat langkah.
Hatiku sakit bukan main. Terluka minta ampun.
Menganggapku 'adik' merupakan penyiksaan paling sadis bagi aku yang terlanjur jatuh cinta padanya. Aku tahu aku telah menyakiti Dewa. Tapi aku tidak mau menyiram bensin pada percikan bara dalam dadaku. Aku tak mau membiarkan api ini berkobar makin ganas. Sebaiknya aku dan Dewa memang bersikap sewajarnya — menjaga jarak.
Sebelum api asmara yang kurasakan melalapku hingga jiwaku tak lagi bersisa.
***
"Hei ..."
Aku masuk ke dalam kamar Dewa dan menemukan Soraya di dalam sana. Ia sedang membersihkan wajah di depan cermin. Aya hanya melirikku sekelebat.
"Tante Hana nggak bilang apa-apa?" tanyaku seraya mendekat.
"Soal apa?"
"Soal Dewa yang baru tahu anjing kesayangannya mati," jelasku.
Soraya menuang cleanser ke atas kapas secara kasar. "Bilang." Ia lalu mengusap pipinya yang sebening porselen. "Aku tadi dimintain tolong untuk menyusul Dewa."
"Terus? Kenapa kamu nggak menemui kami di sana?" selidikku.
Aya menggeleng. "Aku takut anjing, dan di sana tempat anjing-anjing liar berkumpul," jawabnya dingin. "Toh, pada akhirnya kalian pulang, kan."
"Aya ...?" panggilku.
Soraya tak menyahut. Ia seolah sibuk menggosok muka yang tiada bernoda.
"Ada apa kamu sama Dewa?" selidikku berpura-pura tak tahu.
Aya mendengkus. "Dewa udah nggak sayang sama aku, Lei."
"Hah? Kok bisa?"
"Iya," gerutu Soraya. "Dia nolak quickie barusan. Bayangin betapa malunya aku ditolak bercinta sama pacarku sendiri."
Aku melotot sampai bola mataku mau keluar. Jadi mereka bertengkar gara-gara itu?
"Astaga, Ya!" desisku. "Kamu ngajak Dewa ML di rumahnya yang penuh sama seluruh keluarganya? Sarap kamu!"
Soraya melirikku sinis.
"Pantas saja Dewa nolak. Bukan karena dia udah nggak suka kamu, tapi karena dia segan sama keluarganya. Ini pertama kalinya Dewa bawa kamu ke rumah, nggak mungkin, kan, kalau dia bikin citra kalian negatif di depan orang tuanya."
"Apa salahnya? Kita udah sama-sama dewasa," sungut Soraya.
"Memang. Tapi kebanyakan orang tua masih memegang teguh peraturan dan norma, termasuk orang tuanya Dewa. Apa lagi ada Tania - Talita juga, Dewa mungkin nggak mau mengekspos gaya berpacaran kalian ke adik-adiknya."
"Tapi harga diriku terluka oleh penolakan Dewa, Lei. Emangnya aku jelek banget sampai dia nggak tergoda?"
Aku mendesah berat. "Dewa bukannya nggak tergoda, tapi dia pikir panjang." Jemariku meraih tangan Soraya agar ia membalas tatapanku. "Kalau kamu minta di tempat lain, aku yakin Dewa nggak mungkin menolakmu. Coba ingat-ingat, apa pernah dia mengabaikanmu, Ya?"
"Jarang, sih ... baru kali ini," ujar Soraya.
"Jadi masalahnya memang bukan kamu, tetapi sikonnya yang nggak tepat."
Soraya membisu. Untuk waktu yang cukup lama ia tampak seperti sedang berpikir keras.
"Tapi apa salahnya main sebentar, kan? Dewa nggak perlu menampikku sampai sebegitunya."
"Soraya Ivona." Aku mengembuskan napas frustrasi. "Dewa nggak mau mengambil resiko yang membahayakan kelangsungan hubungan kalian. Lagian, apa kamu nggak berpikir kalau ngajak dia quickie saat keluarganya ada di bawah, merupakan sikap yang kurang sopan? Kamu nggak menghargai Dewa dan keluarganya, Ya."
"A-aku nggak menghargai?"
"Coba dibalik deh, andaikan Dewa ajak kamu bercinta ketika mami papimu berkunjung ke apartemen, gimana?" tukasku.
Soraya pun tertunduk lemas.
"Aku sudah ngambek nggak jelas, Lei," akunya.
"Ya nggak apa-apa. Yang penting nanti baikan lagi," hiburku.
"Emangnya Dewa mau maafin aku? Aku tadi sudah bentak-bentak dia. Baru kali ini kami berantem hebat gini."
Aku tersenyum demi menenangkan Soraya. "Dewa sekarang paling butuh kamu. Dia nggak akan marah lama sama kamu."
"Kenapa?"
"Tadi sudah kubilang, kan, kalau anjingnya mati? Kata Tante Hana itu anjing kesayangannya."
Soraya terkikik. "Dewa bukan anak-anak, Lei. Apa kamu pikir dia bakalan meratap karena kepergian seekor anjing?"
"Bagaimana kalau Dewa nggak menganggapnya sekedar 'seekor anjing', bagaimana kalau dia menganggap anjing itu sebagai bagian dari hidupnya? Sahabatnya?"
Soraya kembali bergeming.
"Hmmh, ya, kamu benar ..." gumam Soraya mengiakanku. Ia lalu bangkit dari duduk. "Kalau gitu aku akan temui Dewa sekarang."
"Nah, gitu dong!" Senyumku melebar. Kemudian saat Soraya hendak keluar, aku lagi-lagi memanggilnya, "Ya," cegahku. "Kalau nanti mereka cari aku buat ajak makan malam, bisa nggak kamu sampaikan kalau aku sudah tidur? Aku lagi pengen rebahan."
"Yah, Lei, kenapa?" Soraya mengiba. "Aku, kan, nggak ada temennya nanti."
"Ada Dewa," jawabku. "Ada Tante Hana, Om Damar, Tania, dan Talita. Kamu nggak sendirian di sana. Kurasa sudah saatnya kamu membuka hati untuk mereka."
"Tapi aku belum nyaman, Lei."
"Dibiasakan, Aya. Kamu bilang serius sama Dewa, bukan? Cepat atau lambat mereka semua bakal jadi keluargamu juga," tukasku. "Kamu nggak perlu khawatir, mereka semua memujamu. Apa lagi Tante Hana, dia sudah menyebutmu 'calon mantu' tadi."
"S-serius?" Iris hitam Soraya membulat.
Aku meyakinkannya dengan anggukkan kepala. Raut Soraya sontak berbinar-binar. Ia pun meninggalkanku sendirian.
Setelah Soraya pergi, aku baru sadar jika kamar Dewa begitu rapi dan tertata proposional. Pada dindingnya, terpasang pigura-pigura yang membingkai bermacam potret bernilai estetik. Mataku sontak menajam; menelisik foto-foto tersebut satu per satu, di bawahnya tertulis nama sang fotografer. Darwin Laksmono.
Ah! Darwin Laksmono — salah satu fotografer senior di Indonesia. Bagi seorang model sepertiku, berkesempatan difoto oleh Darwin merupakan sebuah impian besar. Tapi aku sadar, fotografer sekelas Darwin pasti hanya mengabadikan model-model kenamaan atau artis papan atas.
Rupanya, Dewa juga mengidolakan Darwin Laksmono.
Aku kembali meneliti pigura di meja Dewa satu per satu; netraku menemukan potret Dewa bersama seekor anjing berwarna hitam, itu pasti Momon. Tawa Dewa lebar sekali, kedua matanya sampai menyipit. Sontak bibirku ikut mengembang hanya dengan memandangi fotonya saja.
Namun aku tersentak ketika ponselku tiba-tiba berdering kencang.
"Ya, halo?" angkatku.
"Kamu sudah sampai di rumah pacarnya Aya?"
"Sudah, sejak siang tadi."
"Maaf, ya. Aku baru sempat telvon kamu sekarang," ucap Raihan. "Tadi lagi hectic."
"Nggak apa-apa," kataku memaklumi. "Kamu ada apa hubungi aku?"
Raihan mengambil jeda sesaat.
"Kapan kamu pulang?"
"Besok."
"Aku mau ketemu besok, bisa? Aku ke rumahmu sepulangmu dari Malang."
"Ada perlu apa?" selidikku.
"Besok juga tahu," jawab Raihan abu-abu.
"Ya sudah," kataku.
"Besok kabarin kalau sudah sampai Surabaya, ya?"
"Okay."
"See, you," ucap Raihan memutus panggilan telepon.
***
Soraya bangun mendahului semua orang.
Ia menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Suatu kejutan yang mungkin tak Dewa terka-terka sebelumnya. Aku bisa melihat binar bahagia dari pancaran mata Dewa ketika memandang Soraya. Mereka sudah baikan. Tante Hana juga sumringah acap kali Dewa kepergok menatap kagum ke arah Soraya. Tante Hana pasti senang anak sulungnya menemukan cinta sejati.
Tak seperti kemarin, hari ini Soraya lebih luwes. Ia mengobrol banyak dengan Tania dan Talita. Sesekali perbincangan mereka diselingi gelak tawa.
Benar-benar keluarga sempurna.
"Sering-sering main ke sini, ya, Soraya, Ileana," kata Tante Hana.
Mereka sekeluarga mengantar aku, Soraya, dan Dewa sampai ke depan rumah. Lengan Tante Hana menggandeng Soraya rapat. Sementara Om Damar mengikuti dari belakang.
"Tante dong yang main ke Surabaya. Sekalian sama Tania dan Talita, biar kita bisa nge-mal bareng," sahut Soraya.
Tante Hana mengangguk. "Iya, sudah lama nih nggak ke Surabaya. Ya, kan, Yah?" Ia beralih pada Om Damar.
Om Damar menjawab dengan anggukkan kepala. Tak banyak bicara, namun seutas senyum selalu terpatri pada bibirnya.
"Mbak Soraya, bener, nih, aku sama Talita dapet diskon kalau treatment di klinik?" Tania tiba-tiba menggelayut manja di lengan Soraya.
Dewa yang sedang memasukkan tas ke dalam bagasi sontak melongok dengan mata melotot. "Heh! Apa-apa'an itu Tania?" semburnya.
Tania menjulurkan lidah membalas Dewa.
Soraya pun terkekeh. "Iya, bilang aja kalau kamu keluargaku. Biar kupesankan sama manajer di sini. Sekalian sama Tante Hana dan Om Damar juga."
"Aduh, Soraya! Jangan repot-repot," sanggah Tante Hana kikuk. Ia lantas menepuk pelan pundak Tania. "Kamu, ini, Tania."
"Nggak apa-apa, Tante. Aku aja kalau ke sana mintanya gratisan, kok," timpalku.
Dewa menyeringai sambil menatapku. "Kamu, sih, emang nggak bondo!" celetuknya.
(*Nggak bondo : nggak modal)
Aku melirik Dewa datar. Mendadak tarikan bibir lelaki itu sirna. Kami pun kompak membuang muka. Pembicaraan kemarin cukup berpengaruh pada hubunganku dan Dewa. Aku dan Dewa seolah kembali di titik awal; dua orang asing yang menciptakan jarak besar antara satu sama lain, kaku dan renggang.
"Dewa," tegur Tante Hana. "Kebiasaan kalau bercanda suka kelewatan."
Dewa melengos. "Ya, sorry," katanya dingin. Ia lalu menyalami Om Damar dan Tante Hana secara bergantian. "Aku pamit, ya."
"Hati-hati," pesan Om Damar.
Kami bertiga pun masuk ke dalam mobil. Netraku terus menyorot lambaian tangan dari Tante Hana yang tampak dari kaca jendela. Ada setitik kesedihan karena harus berpisah dengan replika keluarga idamanku.
Ketika mobil sudah melaju agak jauh, Soraya memicing ke arahku, lalu berganti pada Dewa. Ia mengulas ekspresi curiga.
"Kalian berdua berantem? Kok auranya nggak enak gini, ya?" selidik Soraya.
"Nggak." Aku dan Dewa kompak menjawab berbarengan.
"Beneran?"
"Berantem apa juga, Ya?" sahut Dewa acuh tak acuh.
"Ya sudah." Soraya menyandarkan punggung. "By the way, kita mau ke mana, nih? Aku sama Dewa mau nurutin kamu Lei, itung-itung ucapan terima kasih karena sudah nemenin aku ketemu keluarganya Dewa."
"Aku nggak pengen ke mana-mana," jawabku. "Terserah kalian aja."
Soraya memandang Dewa. "Kita nggak ada tujuan, Lei. Kamu beneran nggak pengen main ke mana gitu?"
Aku menggeleng.
"Nggak, Ya," sahutku yakin. "Kalau memang nggak ada tujuan, pulang aja. Raihan juga nungguin aku."
"Raihan nungguin?"
"Iya. Dia minta aku ngabarin kalau sudah sampai Tol Waru," terangku.
"Oh," gumam Soraya. "Kalau gitu kita langsung balik, gimana, Beb?"
"Iya," jawab Dewa singkat.
Untuk kali kedua, aku terpaksa menjadi saksi hidup kemesraan Soraya dan Dewa di jalan.
Memang benar, setelah bertengkar, biasanya suatu hubungan bakal lebih bergairah. Begitulah yang terjadi pada Dewa dan Soraya. Mereka tanpa ragu saling menggoda. Melayangkan pujian dan kalimat sayang satu sama lain. Seakan-akan dunia milik berdua dan aku cuman numpang.
"Mau kusopirin, ta?" tawarku. "Biar kalian bisa kawin di belakang."
Tawa Soraya meledak. "Ih, apa'an, sih, Lei?" kikiknya.
"Lho, aku serius."
"Ileana, ih." Soraya senyum-senyum salah tingkah.
Sementara, kulirik muka Dewa dari spion tengah, dia tidak bereaksi.
"Kalau gitu aku tidur, ya," ujarku. "Please bangunin kalau udah mau sampai."
"Iya, Yang Mulia," sahut Soraya.
Mending tidur ketimbang terjebak sebagai obat nyamuk di antara dua sejoli. Aku maklum kalau Dewa menyikapiku sinis. Aku yang mulai memang. Aku yang berinisiatif menghampirinya, aku juga yang menolaknya secara ketus.
Habis mau bagaimana?
Kalau Dewa tahu perasaanku yang sebenarnya, apa dia masih menganggapku sebagai 'adik'? Yang ada ... dia pasti risi dan menjauh.
Pelan tapi pasti, kesadaranku mulai menurun. Suara Soraya berubah sayup-sayup bercampur dengan lagu pada radio. Lalu semua menjadi hitam dan buram. Kepalaku secara pasrah bersandar kehilangan daya. Mataku pun tertutup. Nyenyak dalam buaian perjalanan yang terasa sangat, sangat lambat.
***
"Ehmmh ..." Aku menggeliat merenggangkan sekujur persendian yang kaku. Soraya membangunkanku tepat waktu seperti yang kutitahkan.
Linglung masih menguasai otakku.
"Ilermu, Lei," goda Soraya cekikikan.
Aku pun refleks mengusap sudut bibir. Oh iya, benar. Aku memang ngiler.
Kutegakkan punggung dan nyalang ke arah jalanan. Aku belum sadar ada kemeja motif kotak-kotak menutupi tubuh bagian atasku. Lalu saat merogoh ponsel di dalam saku jeans, barulah aku mengetahui ada pakaian asing yang membalutku.
"Punyamu, Ya?" sodorku.
Aya menerima kemeja yang kukembalikan. "Punya Dewa ini."
Dewa berdeham. Tapi pandangannya masih fokus menyetir.
"Punya Dewa?" tanyaku.
"Dewa tadi minta aku selimutin kamu pakai ini, takut kamu masuk angin." Soraya lalu mencubit kecil pipi Dewa. "Peka banget emang Ayang aku catu ini ... Pelhatian, baik ati ... uuuh Tayang," godanya.
Aku sontak menahan napas.
"Thanks," ucapku pelan.
Dewangga Satya, bisa nggak sih kamu berhenti memedulikanku? Perhatian kecilnya membuat wanita baperan sepertiku salah paham. Aku takut makin besar kepala. Aku takut makin suka ... kamu.
Buru-buru kunyalakan layar ponsel untuk mengalihkan perasaan. Aku pun mengirim pesan kepada Raihan, memberitahunya posisiku. Sama sekali tidak ada bayangan tentang apa yang ingin Raihan bicarakan denganku. Paling-paling ia sedang ingin mengajakku bercinta. Baguslah. Mungkin tidur dengannya bakal mengusir serangkaian bayangan akan Dewa.
Raihan adalah senjataku.
Raihan merupakan filter yang menyaring pikiran-pikiran kotorku akan kekasih orang lain. Dia yang paling kubutuhkan.
Raihan punya penawarnya.
Setelah melewati mal Cito, kendaraan kami pun melaju mulus di Jalan Ahmad Yani. Kurang dari 30 menit, mobil Soraya akhirnya masuk ke dalam kompleks perumahan tempatku dan Dewa tinggal. Dari ujung jalan, irisku mendapati Civic Raihan sudah terparkir di depan gerbang.
Dia pasti sedang horny berat, gercep sekali sudah sampai duluan.
"Itu Raihan, Lei," tunjuk Soraya.
Dewa lantas menepi dan berhenti sempurna. Aku bergegas keluar untuk menghampiri Raihan yang sudah menunggu.
Namun, mataku membeliak tatkala Raihan turun dari mobilnya dan mengeluarkan buket mawar sebesar anak gajah. Sinar matahari yang terik seolah berpihak pada Raihan karena memancarkan tubuh tegapnya bak lampu sorot. Raihan tersenyum padaku. Kemunculannya selalu saja dramatis.
Aku sudah hafal tabiat Raihan yang kelewat romantis. Itu yang berhasil membuatku dulu luluh padanya. Tapi kali ini, perlakuan Raihan luar biasa berlebihan.
"Hai, Princess," sapa Raihan.
"Ck ..." Runguku bisa mendengar decakan sinis yang terlontar dari bibir Dewa.
"Raihan, ayo masuk," ajakku. "Kita ngomong di dalam."
"Ileana," tahan Raihan. "Buat kamu." Ia menyodorkan buket mawar yang ia bawa padaku.
Aku pun menerima pemberiannya, tapi tanganku hampir patah saking beratnya. "Raihan, berat banget!" Kukembalikan lagi buket raksasa itu.
"Ya sudah biar aku yang bawa, kamu yang buka gerbangnya." Raihan terkekeh geli.
"Lagian kamu ngapain bawa bunga sebesar ini?" dumalku.
"Masih lebih besar sayangku ke kamu," goda Raihan.
Aku melotot. "Apa'an sih?!" Kuraih kunci dari dalam tas untuk membuka gembok pagar.
"Ileana, Sayangku," panggil Raihan. "Kamu biasanya suka kalau aku kasih surprise begini."
Ya, tapi sekarang ada Dewa. Rasanya malu banget karena dia harus menyaksikan dramaku bersama Raihan.
Ketika kunci sudah berhasil kubuka, aku pun mendorong gerbang dan menengok. "Ayo mas—"
Lagi-lagi aku dibuat serangan jantung karena Raihan tiba-tiba mengambil posisi berlutut. Ia meletakkan buket bunga raksasa tadi di jalan, sementara jemari Raihan mengambil sesuatu dari dalam kantong celana.
"Ketiadaanmu semakin menyiksaku, Lei. Dan perpisahan kita makin meyakinkanku kalau aku nggak bisa tanpa kamu." Raihan menjulurkan tangan yang menggenggam cincin bermata berlian, milikku dulu. "Be my future wife, jadilah tunanganku sekali lagi," pintanya.
Aku terperangah. Tak hanya aku, Soraya juga sama. Berbeda dengan Dewa, ekspresinya meloya bukan kepalang. Raihan memang senang menjadi pusat perhatian. Apa ia tidak bisa menunggu saat kami berdua sudah masuk ke dalam?
"Ra-Raihan, aku ...?" Aku terbata-bata.
"I love you, Ariadne Ileana. Dan akan kuhabiskan sisa hidupku untuk menebus semua salahku padamu."
Darls, MR. VANILLA akan update tiap selasa, pukul 21.00. Silakan beralih ke Karyakarsa atau Bestory untuk baca jalur cepat tanpa potongan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top