20 |
• Ileana •
Sejak pertama jumpa, aku tidak pernah bosan memandangi Tante Hana. Dia cantik. Pembawaan Tante Hana sangat ceria dan tidak dibuat-buat. Ia mengingatkanku pada Soraya, hangat serta perhatian.
Dewa memiliki keluarga yang sempurna.
Aku memang baru saja bertemu mereka, akan tetapi aku bisa merasakan keharmonisan pada keluarga ini. Bukan sesuatu yang dipaksakan di depan tamu atau orang asing. Melainkan hal yang terjadi secara alamiah, natural. Apa adanya.
Meski mereka tidak mengungkapnya, aku bisa menerka jika rentang usia antara Tante Hana dan Om Damar sangat jauh. Sikap Om Damar begitu tenang. Dia juga lebih banyak diam; bukan sombong, tetapi berwibawa. Sedangkan Tante Hanalah yang lebih banyak mendominasi percakapan. Keduanya saling melengkapi. Om Damar ngemong, Tante Hana penuh kasih.
Berbeda jauh dengan orang tuaku.
Mama dan papa terlalu banyak kesamaan, sama-sama childish. Papa tidak menginginkanku, sementara mama pergi meninggalkanku.
"Ileana? Betulan, nih, kamu mau nemenin Tante ke shelter? Nggak capek?"
Pertanyaan dari Tante Hana membuyarkan lamunanku.
Aku sontak menggeleng dan menyalakan mesin mobil. "Nggak, kok, Tante. Malahan aku senang."
Ya, kurasa pergi sejenak dengan Tante Hana adalah pilihan tepat. Aku tidak harus terus menerus menyaksikan kemesraan antara Dewa dan Soraya. Aku juga memberikan kesempatan bagi Soraya untuk lebih akrab dengan Tania dan Talita. Aku khawatir bakal memonopoli si kembar jika berlama-lama di sana. Mereka berdua punya kepribadian unik. Tania lebih mirip Tante Hana, sedangkan Talita seperti Om Damar.
Soraya patut bersyukur, keluarga Dewa menyambutnya dengan baik.
"Setelah ini belok ke kiri, ya," kata Tante Hana mengarahkanku.
Aku pun menurutinya.
"Tante sudah lama kelola shelter untuk anjing dan kucing terlantar?" tanyaku.
"Lumayan lama, Ileana. Seingat Tante semenjak Dewa masih TK," terang Tante Hana. "Beruntung sekali hobi Tante didukung oleh Om. Om carikan lahan khusus bagi mereka semua."
Aku mengangguk. Kagum sekali dengan kepedulian Tante Hana dan Om Damar.
"Apa nggak repot, Tante?" selidikku.
"Kalau pada dasarnya suka, serepot apa pun tetap saja dilakukan, kan?" sahut Tante Hana terkekeh. "Kalau sekarang sudah tidak terlalu melelahkan karena ada pegawai yang bantu-bantu. Tante juga mendapat sumbangan dari orang-orang baik yang peduli."
"Hmm ..." gumamku.
"Dewa juga dapat klien pertama dari shelter, lho," ujar Tante Hana mengenang-kenang. "Dia dulu sering Tante suruh fotoin anjing dan kucing untuk kebutuhan open adopt. Terus salah satu donatur shelter minta tolong Dewa buat motoin hewan peliharaannya. Tahu-tahu, gimana ceritanya, Dewa makin sering dimintain tolong buat dokumentasi. Entah acara ulang tahun, anniversary, atau foto keluarga."
Aku tersenyum.
"Dewa memang jago, sih, Tante. Kayaknya memang sudah bakatnya," ucapku.
"Ileana sudah lihat works-nya Dewa?"
"Belum, sih. Tapi kata Soraya dia fotografer andal."
"Coba, deh, minta tolong Dewa motoin kamu. Hasil foto dia memang perfect, tapi, ya itu ... telinga harus kebal denger arahannya," kikik Tante Hana.
"Dewa fotografer yang menangani kebutuhan promosi klinik kecantikan Soraya, Tante. Sementara aku modelnya," ujarku. "Dan apa yang Tante bilang itu benar. Dewa ... memang agak ... perfeksionis." Maksudku cerewet. "Cuma, aku belum lihat hasil finalnya."
"Wah, jadi kalian bertiga ada project bareng, to?" Tante Hana manggut-manggut.
"Ya, kita terhubung karena Soraya." Aku lantas menengok bingung. "Ngomong-ngomong, abis ini ke mana, Te?"
"Eh, iya! Lurus aja, Ileana!" Tante Hana menggenggam lenganku sambil tertawa. "Jadi lupa kasih tahu saking asyiknya ngobrol."
Sentuhan Tante Hana pada kulitku membuat jantungku berdegup kencang. Ada perasaan aneh yang bergejolak dalam relungku. Belum pernah terasa begini sebelumnya. Suatu kenyamanan yang membuat semua bebanku seolah lenyap. Suatu kehangatan yang hampir berhasil menjadi pelipur dari segala sedihku.
Tante Hana memiliki semua yang kubutuhkan. Ia punya obat yang mampu mengisi kekosongan hatiku. Andaikan aku bisa menukar kehidupanku dengan Dewa, maka aku akan membayarnya menggunakan seluruh hidupku.
Aku menginginkannya.
Aku menginginkan sosok ayah seperti Om Damar. Lelaki matang yang mewujudkan mimpi pasangan dan anak-anaknya.
Aku rindu sosok ibu yang menceritakan betapa bangganya ia padaku. Seorang wanita penuh kasih sayang yang menawarkan cintanya padaku tanpa pamrih. Mengutamakanku di atas segala-galanya.
"Kalau ada perkataan Dewa yang buat kamu tersinggung, mohon dimaafin, ya, Ileana. Dewa memang begitu. Dia kalau ngomong suka ceplas-ceplos. Adik-adiknya aja sering dibuat kesal, apa lagi Tania. Mereka bertengkar melulu seperti Tom & Jerry." Tante Hana mendesah berat. "Tapi sekarang nggak ada Dewa malah sepi. Soalnya, dia yang paling perhatian. Semakin dia sayang, dia akan semakin cerewet."
"Gitu, ya, Tante ..."
"Tapi Tante lihat," lanjut Tante Hana, "Dewa sayang sekali sama Soraya. Soraya wanita pertama yang Dewa kenalkan pada kami. Menurut Ileana, apa hubungan mereka serius?"
"Sepertinya serius, Tante," jawabku.
Seutas getir mendadak menyergap relung terdalamku. Padahal sepatutnya aku ikut berbahagia untuk Dewa dan Soraya. Mereka ditakdirkan bersama. Mereka adalah dua orang yang kusayang.
***
Shelter milik Tante Hana berada agak jauh dari tetangga. Area sekelilingnya merupakan tanah yang masih kosong. Bangunan itu tertutup pagar tinggi menjulang, mirip pabrik. Namun dari luar gerbang gonggongan anjing terdengar bersahut-sahutan. Aku tak tahu apa pekerjaan Om Damar, yang jelas, ia pasti cukup sukses hingga memiliki properti seluas ini.
Aku pun masuk mengikuti Tante Hana, ia santai membuka pagar dan melangkah ke dalam. Dua orang lelaki berambut ikal sudah menunggu, mereka segera menghampiri Tante Hana.
"Gimana?" tanya Tante Hana.
"Tadi calon adopter sudah datang, Bu. Tapi masih mau pikir-pikir dulu katanya."
Tante Hana mengangguk paham. Ia lalu menggandengku. "Susah mencari adopter yang mau menerima anjing atau kucing kampung. Mereka semua selalu mencari anjing atau kucing ras," keluhnya lesu.
Aku hanya diam mendengarkan.
"Tante harap Dewa nggak menyusul ke mari," lanjut Tante Hana.
"Kenapa Tante?" selidikku bingung.
"Momon, anjing shelter kesayangannya baru saja meninggal minggu lalu. Tante dan Om tidak bilang ke dia, khawatir dia kepikiran."
"Ya ampun ..." desahku bersimpati.
"Tadinya Dewa mau ajak Momon ikut pindah ke Surabaya, tetapi tiba-tiba dia urung melakukannya. Akhirnya Tante tahu kenapa ..."
"Karena Soraya takut anjing," timpalku lirih.
"Tapi syukurlah Dewa tidak jadi bawa Momon ke sana. Momon sudah tua, nanti malah merepotkan Dewa dan Soraya." Tante Hana mengulas senyum.
"Bu, ada tamu."
Tante Hana pun menengok. "Itu pasti salah satu donatur shelter," gumamnya. "Tante tinggal sebentar, ya, Ileana?"
"I-iya, Tante. Aku akan keliling. Boleh, kan?"
"Boleh, dong." Tante Hana lantas memanggil salah satu pegawainya. "Panca, temani Mbak Ileana lihat-lihat, ya."
Lelaki bernama Panca itu pun sigap menghampiri seraya tersenyum canggung. Panca mengangguk.
"Mari, Mbak," katanya.
Aku dan Tante Hana berpisah jalan; aku mengekori Panca menelusuri lebih dalam, terdapat kebun berpembatas besi di mana beberapa ekor anjing bebas berkeliaran.
"Mas, boleh main sama anjing-anjing itu?" tanyaku antusias.
"Jangan, Mbak. Yang di situ masih pada galak-galak. Kalau mau main sama anjing yang sudah jinak saja," terang Panca. Ia pun berbelok ke arah lain. "Mbak ini pacarnya Mas Dewa?"
"Oh, bukan," sanggahku.
"Kata Bu Hana calon mantunya mau datang, saya pikir Mbaknya." Panca membuka pintu dan mempersilakanku masuk.
Sontak, anjing-anjing berukuran sedang berlarian menyambutku. Ekor mereka bergoyang gembira mengerumuni. Sulit percaya jika makhluk-makhluk semanis ini kesusahan mendapatkan adopter.
"Momon itu ..." kataku lirih. "Katanya anjing kesayangannya Dewa, ya?"
"Oh iya." Panca membenarkan. "Mas Dewa hampir setiap hari ke sini buat main sama Momon. Sayang banget dia," jawabnya.
"Kalau sayang, kenapa nggak dipelihara di rumahnya?" selidikku.
"Lho, Mbak Talita, kan, ada alergi," jelas Panca. Ia lalu berkacak pinggang sambil menerawang jauh. "Kita dilarang kasih tahu kalau Momon sudah mati. Semoga aja Mas Dewa nggak sedih."
Aku meringis geli. "Dewa sudah dewasa. Masa sedih gara-gara anjingnya mati?"
"Ya, bagi sebagian orang anabul sudah dianggap sahabat atau anak sendiri, Mbak. Pasti sedihlah," kata Panca.
Dewa bakalan sedih? Masa pokerface macam dia bisa merasakan sedih?
Aku jadi menyesal ikut ke shelter, mengetahui rahasia besar tentang kematian anjing bernama Momon. Padahal harusnya aku tidak ikut campur dengan masalah Dewa. Kalau sudah begini ... jadi ikut kepikiran, kan?!
***
Langit sudah berubah kelam ketika aku dan Tante Hana memutuskan kembali. Badanku rasanya gerah bermandikan peluh; bermain dengan anjing shelter cukup menguras tenaga, energi mereka besar juga.
"Makasi, ya, Ileana, sudah nemenin Tante." Tante Hana membuka pintu mobil dan bersiap masuk.
"Sama-sama, Tante. Mereka semua lucu-lucu. Kalau boleh nanti aku bantu iklanin di sosial mediaku, ya?" kataku.
Tante Hana sumringah. "Boleh sekali. Sangat membantu Tante agar penampungan ini lebih dikenal oleh para adopter."
Saat kami berdua bersiap pulang; tiba-tiba sosok Dewa datang, turun dari boncengan ojek motor. Sesuatu yang amat sangat tidak terduga.
"Lho, udah mau pulang?" sapa Dewa senyum-senyum.
Aku dan Tante Hana kompak salah tingkah.
"Mau Magrib, Wa. Ayo pulang, yuk. Kamu yang nyetir," titah Tante Hana.
"Aku baru sampe, Bu. Mau nengok Momon bentar." Dewa mengembalikan helm hijau milik ojek. Ia lalu menghampiri kami.
"Momon?" Tante Hana mendadak pucat.
"Kenapa?" Dewa mulai curiga.
"Anu ..." Tante Hana mendeham berulang kali. "Ibu lupa bilang kalau Momon udah di-adopt orang."
"Momon? Ada yang mau ngadopsi Momon?" selidik Dewa.
Sialan. Aku jadi ikut deg-deg'an.
Tante Hana mengangguk. "Iya."
"Orang mana? Tinggal di Malang juga?" Lagak Dewa mirip detektif yang mengendus kebohongan. "Kok mau adopsi anjing tua seperti Momon?"
Tante Hana menghindari kontak mata. Kentara sekali kalau dia tidak terbiasa berdusta. "Orang ..."
"Momon mati, ya?" sela Dewa tepat sasaran.
"Ng-nggak, Wa. Momon ..."
Dewa sontak terkekeh. "Momon anjing tua, wajar kalau mati, Bu. Ngapain pakai bohong segala? Aku, kan, bukan anak kecil. Kapan dia mati?"
"Minggu lalu. Maafin Ibu, ya, Wa." Tante Hana menunduk - rautnya menyesal.
"Sakit?"
"Sepertinya dia salah makan. Soalnya diare selama beberapa hari."
"Oh ..." Dewa mengangguk paham. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menciptakan lengkungan tipis. Mafhum dengan penjelasan yang diberikan oleh Tante Hana.
"Kita pulang sekarang, yuk, Wa," ajak Tante Hana.
"Duluan aja, Bu. Udah lama nggak nyapa Panca sama Ibnu," dalih Dewa. Ia lalu melirikku sambil tersenyum. Kemudian masuk ke dalam tanpa banyak kata.
Sepeninggal Dewa, Tante Hana sontak mengembuskan napas panjang.
"Dewa pasti sedih ..." gumamnya.
"Dia kelihatan baik-baik aja, Tante," sanggahku.
"Namanya juga anak laki, Ileana. Tidak mungkin menunjukkan perasaannya. Entah malu atau mungkin gengsi," ujar Tante Hana. "Lebih baik kita pulang dan meminta tolong Soraya untuk menghibur Dewa."
"Iya, Tante ..." Aku lantas masuk ke dalam mobil.
Saat Tante Hana sudah duduk dan memasang seatbelt, aku pun menyalakan mesin mobil. Namun, untuk waktu yang cukup lama, aku hanya terdiam tanpa berniat melajukan kendaraan.
"Ileana?" tanya Tante Hana bingung.
"Tante ..." kataku pelan. "Apa boleh aku ngomong sama Dewa sebentar?"
Bibir Tante Hana merekah. "Tentu saja, Ileana. Temuilah dia."
"Cuma sebentar, kok, Tante." Aku bergegas keluar.
"Ileana!" panggil Tante Hana. "Tidak perlu terburu-buru. Tante akan minta Panca mengantarkan Tante pulang."
"Tapi, Tante-"
"Tidak apa-apa, Ileana," ujar Tante Hana menenangkan. "Nanti Tante akan minta tolong pada Soraya untuk menjemput kalian."
"Maaf, ya, Tante." Aku jadi tidak enak hati.
"Jangan minta maaf, Tante justru berterima kasih karena kamu peduli sama Dewa." Tante Hana menatapku lembut.
Tanpa pikir panjang, aku pun menyusul Dewa.
Aku tahu sudah menerobos batasan - seharusnya ini merupakan tugas Soraya. Akan tetapi, hatiku berhasil mengalahkan nalar.
Dewa selalu ada tiap kali aku kesepian. Mungkin inilah saatnya membalas kebaikan Dewa padaku. Mungkin perasaanku akan lebih lega setelah membalas utang budiku. Mungkin Dewa membutuhkan teman bicara sembari menunggu Soraya datang.
"Mas lihat Dewa?" tanyaku pada salah satu pegawai shelter. Yang ini pasti Ibnu.
"Oh, Mas Dewa? Kayaknya tadi naik ke atas, deh, Mbak." Ia menunjuk jauh ke belakang bangunan.
"Oke, makasi, ya, Mas."
Aku lantas mengikuti arahan Ibnu. Tadi aku dan Panca sudah melewati lorong ini. Kemudian, aku pun tiba pada satu-satunya tangga yang terletak pada ujung rumah. Undakan kayu itu sedikit gelap tanpa pencahayaan. Mengerikan. Semoga saja Dewa betul ada di sana, bisa pingsan aku kalau yang ketemukan ternyata sebangsa genderuwo. Amit-amit!
"Dewa?" panggilku tiap kali melangkah naik.
Kepalaku melongok ke atas. Tempat itu ternyata semacam rooftop yang tidak memiliki atap. Lantainya bermaterial semen solid dengan kandang-kandang besi berjajar rapi.
"Dewa!" seruku lebih kencang.
"Ngapain kamu?" Dewa menengok dari balik pilar. Ekspresinya keheranan oleh kedatanganku.
Aku mendekat. "Are you okay?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Emang aku kenapa?" Dewa terkekeh. Ia lantas bersandar pada dinding pembatas.
"Soal anjingmu," jawabku pelan.
Dewa membisu. Ia mengambil jeda cukup lama sebelum membalasku.
"Momon?" Dewa berbalik tanya. "Dia memang sudah tua, sih."
"Kamu sedih, ya?" Aku menyorot Dewa penuh empati.
Dewa justru kembali terkekeh. "Ya, sedih. Tapi ya sudah. Mau gimana?" Ia menghindari kontak mata denganku.
Aku bisa menangkap tatapan mata Dewa yang nanar. Senyum yang Dewa ukir menyiratkan kegalauan hati yang luar biasa.
Jemariku pun menyentuh punggung Dewa; gamang, ragu-ragu.
"Menangislah," kataku. "Bila harus menangis. Karena kita semua manusia."
Tawa Dewa pecah. "Itu kayaknya lirik lagu, deh."
"Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis," lanjutku.
Sunggingan pada bibir Dewa perlahan luntur. Sementara usapan tanganku tak berhenti.
"Aku menyesal karena tak bersamanya di saat terakhir," ucap Dewa pelan. "Mau marah sama ibu karena tidak mengabariku kalau Momon sakit juga nggak bisa. Ibu juga pasti khawatir berat kala itu."
Aku mendengarkan dengan saksama.
"Talita alergi anjing, padahal sudah sejak lama aku ingin membawa Momon pulang," jelas Dewa. "Pindah pun aku tetap tak bisa membawa Momon, Aya takut anjing. Dia pasti tidak suka jika di rumah ada anjing."
"Hmm ..." timpalku.
"Momon selalu menjadi nomor dua, padahal baginya aku adalah nomor satu. Dia selalu berlari ceria menyambutku ketika aku datang ke sini," kenang Dewa. "Momon dulu korban tabrak lari, kaki belakangnya pincang sehingga kesusahan berjalan. Namun meski demikian, dia tetap saja berlari ... saat aku datang."
"Hmm ..." Tenggorokanku mendadak tercekat. Bayangan Dewa menjadi buram karena mataku mulai memanas dan penuh air mata.
"Aku janji akan memberikannya rumah yang layak suatu saat nanti. Momon sepertinya paham dengan ucapanku, ia menggoyangkan ekornya. Lalu menyandarkan kepalanya di pahaku. Dia menungguku, Ileana."
"Dewa ..."
"Hei?" Dewa meringis. "Kenapa malah kamu yang menangis?" Ia terkikik geli.
Aku membuang muka sambil buru-buru menyeka air mata.
"Entahlah. Itu menyedihkan buatku!" sungutku.
Dewa mengembuskan napas kasar. Lalu merosot ke bawah dan duduk pada ubin. Aku pun mengikutinya, mengambil tempat di sebelah Dewa.
"They might be in just a small part of our lives, but to them, we are their whole life," ujar Dewa.
"Momon sekarang sudah bahagia. Bebas dari sakit dan penderitaan," ucapku.
Dewa mengangguk. "Aku hanya ..." Ia menghentikan kalimat.
Kupandangi Dewa lekat. Kedua matanya berkaca-kaca. Aku yakin ia berusaha sekuat tenaga menahan perasaan.
Dewa membalas tatapanku. "Aku hanya terus menerus merasa bersalah, Ileana. Aku membayangkan Momon kesakitan seorang diri."
Dewa pun menunduk. Menopang wajahnya pada lipatan lengan yang kokoh. Pertahanan lelaki ini hancur sudah. Ia tak lagi kelihatan pongah, dingin, atau kuat. Sebaliknya, Dewa tenggelam dalam pusaran kegetiran luar biasa.
Di saat ia akhirnya menunjukkan sisi lemahnya, aku justru terdiam tak berkutik.
Apa yang harus kulakukan? Memeluknya? Mengusap helai lembut dari rambut Dewa yang beraroma citrus? Tidak mungkin, bukan?
Aku bergeming.
Terpaksa menyaksikan luapan frustrasi yang Dewa keluarkan di hadapanku. Aku merasa tiada guna. Tanpa daya.
Ketika Dewa beralih mengangkat kepala, jantungku pun berdebar teramat kencang. Kukira aku bakal tertawa untuk mengejeknya cengeng. Namun aku justru terpesona oleh kerapuhan Dewa. Aku teramat ingin mendekapnya. Menyediakan tubuhku sebagai sandaran lelaki ini.
Akan tetapi ... aku tak bisa.
"Aku dan Aya bertengkar," aku Dewa.
"A-apa?"
Dewa mengusap sisa cairan bening yang membasahi bakal janggutnya. "Ya. Kami bertengkar tadi."
"Kenapa?" tanyaku. "Dan kamu justru meninggalkan Aya di rumahmu sendirian? Dia masih asing di sana."
"Untuk pertama kalinya, aku menolak permintaan Aya, dan itu membuatnya marah. Ia mengusirku dari kamarku sendiri," terang Dewa.
Aku buru-buru bangkit. "Aku harus menemui Aya. Seharusnya kamu nggak pergi gitu aja, Dewa!"
"Ileana!" Dewa menahan tanganku.
Darah pada tubuhku seketika berdesir. Pertemuan kulitku dengan kulitnya menciptakan sengatan dahsyat di tiap nadiku.
Iris Dewa yang segelap langit malam membingkaiku lekat.
"Please, jangan pergi. Bisa nggak kamu di sini dulu ...?"
Pinta Dewa padaku.
MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa, kalian bisa baca jalur cepat di sana. Tinggalkan votes + komenmu supaya aku makin semangat update tiap hari 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top