19 |
• Dewangga •
Kami memasuki gerbang tol Waru ketika kutengok mata Ileana tidak lepas memandangi bangunan Grand Heaven, salah satu rumah duka terbesar di Jawa Timur. Entah apa yang spesial pada tempat peristirahatan terakhir tersebut, sehingga Ileana tidak mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Aya.
"Lei?!" sungut Aya menengok ke belakang.
"Ya?" Ileana akhirnya merespon.
"Kamu nggak dengerin aku?"
"Sorry, aku tadi ngelamun," dalih Ileana.
Kulihat wajah Aya secara sekelebat, ia menekuk muka cemberut.
Entah apa yang membuatku setuju membiarkan Ileana turut serta dalam perjalananku dan Aya ke Malang. Aya bilang, Ileana ngotot ingin ikut. Tapi, setelah kuamati lagi, raut Ileana tidak seperti seseorang yang 'ngotot ingin ikut'. Ia tidak antusias. Tidak, lebih tepatnya sangat tidak bersemangat. Ileana lebih banyak diam. Ia sesekali mendesah berat, bak seseorang yang menyimpan beban.
Aya kembali menoleh ke belakang. "Jadi kamu nginep di tempat Raihan?" tanyanya.
Aku menelan saliva. Bahkan sebelum Ileana menjawab, hatiku sudah gusar bukan kepalang.
"Ya, gitu deh," jawab Ileana.
"Kamu sungguh mau balikan sama Raihan?" selidik Aya.
"Belum tentu," kata Ileana.
Runguku menajam. Ileana belum yakin akan hubungannya bersama Mr. Brightteeth, tapi dia justru menginap di sana. Apakah sebagai wanita, Ileana tidak memiliki harga diri?
Ileana mencondongkan tubuh mendekati Aya. "Aku hanya rindu permainannya," ucapnya.
Aya menggeleng tidak percaya. Namun ia akhirnya ikut menyambut tawa Ileana. Berbeda denganku yang memilih diam. Relungku serasa dibakar bara. Kuremat erat setir kemudi dengan kedua tanganku.
Don't get me wrong — aku bukan cemburu. Aku sudah bilang, bukan, aku menganggap Ileana seperti adikku sendiri. Siapa yang tidak marah jika mendengar adik perempuannya memasrahkan diri hanya demi seks belaka.
Kukencangkan volume musik pada radio agar menyamarkan pembicaraan inappropriate dua wanita ini. Sungguh, aku ingin segera sampai ke rumah! Aku rindu mengomeli Talita dan Tania. Sudah begitu lama mereka kutinggalkan. Aku khawatir dua gadis itu semakin lepas kendali, seperti Ileana.
Ayah atau ibu tidak bisa diandalkan, mereka terlalu memanjakan si kembar.
"Nanti malam kita mau nginep di mana? Biar aku booking dari sekarang," celetuk Aya memandangi ponsel.
Aku mengernyit. "Sayang, ngapain cari hotel? Kita semua tidur di rumahku malam ini. Besok kalau mau jalan-jalan, ayok. Sekalian balik ke Surabaya."
"Nginap di rumah kamu, Beb?"
Aku menjawab dengan anggukkan.
"Tapi ..." Aya terdengar ragu.
"Ibu sudah merapikan kamarku. Kamu sama Ileana bisa tidur nyaman di sana," jelasku.
"Ileana pasti nggak nyaman kalau harus menginap di rumahmu. Aku sama dia mending cari hotel, deh." Aya menoleh ke belakang - mencari persetujuan Ileana. "Ya, kan, Lei?"
"Aku, sih, terserah," sahut Ileana acuh tak acuh.
Aya terkesan kesal setelah mendengar jawaban Ileana.
Entah hanya perasaanku saja atau bukan, Aya selalu kurang antusias jika aku mengajaknya bertemu keluargaku. Dia selalu berkilah menolak. Namun sepertinya kali ini Aya kehabisan alasan hingga terpaksa mengiakan mauku.
Kupikir segera mengenalkan Aya ke ibu dan ayah adalah keputusan yang tepat. Hubungan kami serius. Aku bahkan berpikir ingin melamar Aya. Hampir setahun kami bersama, kurasa masa penjajakan itu sudah cukup. Umur kami juga usia ideal untuk membina rumah tangga. Akan tetapi sikap Aya terkesan ragu tiap kali aku mengajaknya ke rumah. Hal itulah yang membuatku maju mundur.
"Kenapa, Yang? Nggak mau nginap di rumahku?" tanyaku.
"Kata siapa? Aku cuman sungkan bikin repot ibu dan ayahmu," sanggah Aya.
"Mereka sama sekali nggak keberatan. Malahan seneng banget," jelasku.
"Beneran?"
Aku memasang senyum demi menenangkan Aya.
"Iya," sahutku. "Sudah lama ibu dan ayah ingin bertemu kamu."
"K-kenapa gitu?" selidik Aya.
Aku pun melirik Aya sekelebat. "Karena kamu wanita pertama yang kuceritakan pada mereka," terangku. "Sudah kubilang, kan, aku serius sama kamu."
Aya membalas senyumanku. Ia melayangkan tatapan penuh kasih padaku. Bibir Aya melafalkan rangkaian kata tanpa bersuara.
"I love you."
Aku pun membalasnya. "Love you, too."
Herannya — tepat setelah mengucap kalimat tersebut, netraku spontan melirik ke kaca spion tengah. Ileana tidak peduli dengan kemesraan antaraku dan Aya. Sebaliknya, dia sedang asyik memainkan ponsel di belakang sana. Ileana tidak bereaksi apa pun.
***
Mobil Aya yang kukemudikan akhirnya berbelok memasuki perumahan di Jalan Blimbing, Malang. Bibirku mulai mengembang dengan sendirinya. Terus melaju menembus jalanan asri yang sudah kulewati ribuan kali selama hidupku. Netraku menoleh pada Aya, ia masih tertidur.
Berbeda dengan Ileana.
"Kita sudah mau sampai," kataku.
"Oh ..." gumam Ileana.
Aku lagi-lagi meliriknya melalui spion tengah.
"Makasi sudah mau nemenin Aya," ucapku.
"Memang aku yang mau ikut, kok," dalih Ileana.
Aku mengulum senyum. "Ada tempat yang mau kamu kunjungi?" pancingku.
Ileana terdiam.
"Aku tahu mengunjungi orang tua pacar memang bukan hal mudah bagi seorang wanita," lanjutku. "Kurasa Aya juga merasa begitu, dan kehadiranmu sekarang cukup membantu." Aku dan Ileana saling beradu pandang melalui kaca spion tengah. "Thanks," ucapku.
Ileana memilih memalingkan wajah.
Aku pun berdeham. "Dulu waktu kamu bertemu dengan orang tua Raihan, bagaimana?"
"Biasa saja," sahut Ileana datar.
"Nggak grogi?"
"Nggak. Aku cuma ketemu sebentar, waktu resepsi pernikahan adiknya di Jakarta. Selebihnya, kami hanya berkomunikasi lewat panggilan video," terang Ileana.
"Oh ..." Aku agak terkejut. Mereka sudah bertunangan, juga menjalani hubungan selama lima tahun. Namun, dari penjelasan Ileana, sepertinya Raihan belum memperkenalkannya secara resmi. "Keluarganya tinggal di Jakarta?"
"Ya," jawab Ileana. "Tadinya adiknya di Surabaya, tapi setelah menikah dia balik ke Jakarta lagi."
"Raihan berapa bersaudara?" selidikku.
"Dua."
Aku dan Ileana kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Kamu ..." kataku ragu. "Kamu harus cari pasangan yang bisa menghargaimu, Ileana. Kamu pantas mendapatkan itu."
Aku tahu Ileana mendengarkan, akan tetapi aku tak tahu responnya. Kumatikan mesin mobil karena telah tiba di tujuan. Aku bergegas membangunkan Aya. Kuelus-elus lengannya dengan lembut, ia lantas menggeliat.
"Ya, kita sudah sampai."
Aya mengangguk. "Okay."
"Yuk, turun," ajakku.
"Bentar, Beb." Aya merenggangkan badan. "Aku touch up bentar. Turun aja duluan sama Ileana."
"Sudah cantik, mau ngapain lagi, sih?"
"Bentar doang, kok." Aya bersikukuh.
Aku akhirnya menuruti Aya. Membuka pintu mobil dan turun menyusul Ileana yang sudah keluar terlebih dahulu.
"Aku numpang ke kamar mandi, ya!" kata Ileana resah. "Udah dari tadi nahan."
Aku terkikik. "Kebelet? Kenapa nggak bilang kalau mau ke toilet? Aku bisa berhenti di rest area atau pom bensin."
"Nggak. Nggak apa-apa." Ileana meringis. "Aku takut kamu dan Aya sudah ditungguin."
Aku membuka gerbang dan mengajak Ileana masuk ke dalam.
Penuturan Ileana membuatku sadar jika dia merupakan seseorang yang mengabaikan diri sendiri. Pertama, ia bersedia ikut demi menemani Aya. Padahal Ileana tahu kalau ia berpotensi terjebak suasana canggung. Kedua, Ileana menahan keinginan pribadi karena khawatir akan merepotkanku atau Aya.
Ileana punya banyak sisi yang tak kuketahui. Semula, aku hanya mengira ia wanita cuek berpembawaan ketus. Ileana is like an onion; layers and layers of personality, and behind all those layers is hidden the essence.
"Yuk," ajakku. Aku menyusuri halaman rumah dan melepas sepatu di teras. Pintu utama terbuka lebar, dari luar aroma masakan ibu sudah tercium semerbak. "I'm home, every body!" salamku kencang."
Ileana mengekoriku masuk.
Dari sudut, ibu mendadak muncul sambil tersenyum merekah. Ia bergegas menghampiriku, kedua tangan ibu terbuka lebar.
"Soraya! Tante sudah tungguin dari subuh tadi," sambutnya. Ibu memeluk Ileana tanpa babibu. Mungkin karena terkejut, Ileana juga diam saja menerima perlakuan ibu. "Kamu cantik sekali, tinggi sekali! Pantas saja Dewa jatuh cinta dan takut kehilanganmu."
"T-Tante ... maaf, saya ..." ucap Ileana salah tingkah.
"Bu," gumamku. "Itu bukan Soraya, tapi Ileana. Lagian Ibu main peluk aja."
Ibu membeliak. "Oalah! Salah?" Ia melepaskan pelukan, kemudian menatap Ileana lekat-lekat. "Jadi ini bukan pacarnya Dewa?"
"Bukan, Tante. Saya Ileana, temannya Soraya. Soraya masih di mobil," ujar Ileana.
"Aduh, maaf, ya, Mbak." Ibu cekikikan sendiri. Namun tangannya masih menggenggam erat lengan Ileana. Netra Ibu juga terpatri pada sosok Ileana yang tinggi. "Tapi memang kamu cantik sekali, lho, Mbak."
"Hehe." Ileana meringis tersipu-sipu. Ini senyum pertama yang ia tampakkan semenjak pagi tadi. "Masih kalah sama Tante. Tadinya saya pikir Tante itu saudaranya Dewa. Habis masih muda banget."
Raut Ibu sumringah bukan kepalang.
"Masa, sih? Ah, kamu bisa aja!"
Ileana mengangguk mantap. "Sungguh, Te. Masih kelihatan sangat muda."
"Tante emang masih muda, sih. Dulu melahirkan Dewa ini waktu masih usia 18'an."
Semakin dipuji ibu makin besar kepala rupanya.
"Ini apa'an, sih? Kok saling mengutarakan kebohongan?" ledekku. "Bu, dia, tuh, kebelet kencing. Kalau Ibu ajak ngobrol terus khawatir nanti ngompol di sini."
Ileana dan ibu kompak melotot ke arahku.
"Dewa kebiasaan, ya. Kalau bercanda kelewatan," tegur Ibu. Ia lalu menuntun Ileana menuju kamar mandi. "Tante antar ke toilet, ya, Ileana."
"Makasi, Tante."
Aku pun mengembuskan napas panjang. Bukan seperti yang kubayangkan memang. Seharusnya, ibu bertemu Aya terlebih dahulu, bukan Ileana. Selain itu, kenapa Aya begitu lama? Padahal dia bilang cuma sebentar.
"Ayah mana, Bu?" tanyaku ketika melihat ibu kembali menghampiri.
"Keluar sebentar sama Tania - Talita, belikan buah dan kue basah untuk Soraya," jawab Ibu. "Mana Soraya, Wa?"
"Sebentar juga ke sini. Masih grogi mau ketemu calon mertua."
Ibu tersenyum. "Grogi kenapa, to?" tanyanya.
Aku mengedikkan bahu, lalu berjalan menuju meja makan untuk memeriksa hidangan apa saja yang ibu buat.
Ibu merangkul pinggangku. "Kamu gimana, Wa? Sehat? Betah tinggal sendirian?"
"Aku sehat, Bu. Mungkin Ibu yang kangen, ya, sama aku?" cengirku.
"Ya, kangenlah. Namanya juga anak." Ibu menepuk pundakku. Ia lalu menunjuk ke arah meja makan. "Ibu sudah bikin sambel goreng kentang kesukaanmu."
Liurku seketika terbit. "Kita makan sekarang aja, Bu. Laper."
"Ya, nanti tunggu yang lain," dengkus Ibu.
"Dewa ..."
Aku dan ibu sontak menengok. Sosok Aya sudah berdiri di belakang kami, pujaan hatiku tersenyum manis memamerkan lesung pada kedua pipinya.
"Nah, ini Soraya, Bu," terangku.
Ibu dan Aya saling pandang. Kemudian Aya mengambil inisiatif menyalami tangan ibu penuh kesopanan.
"Siang, Tante."
"Siang," balas Ibu. "Walah, ini dia, to, Soraya. Cantik banget, pantas Dewa jatuh cinta setengah mati."
"Masa, sih, Tante? Cantikan juga Tante. Awet muda banget," puji Aya.
Aku menggelengkan kepala. Apa template percakapan wanita memang selalu begitu, ya? Saling memuji satu sama lain.
Kemudian suasana rumah semakin ramai ketika Tania, Talita, dan ayah pulang. Mataku seketika membeliak saat melihat penampilan baru Tania yang super ekstrim. Dia mengecat rambut dengan warna yang sangat mencolok.
"Ibu nggak larang Tania?" sungutku.
Tania melirik senewen. "Apa, sih, Mas? Pulang-pulang bikin keributan."
"Rambutmu itu, lho, warna apa? Kayak biduan dangdut!"
"Ini samaan sama Rosé kalik!" tukas Tania.
"Siapa itu?!" pelototku.
"Blackpink," bisik Aya.
"Coba kamu sama Ileana jejer. Persis Trio Macan," ketusku. "Tinggal cari satu lagi yang rambutnya merah!"
Tania merengut. Sementara Ileana yang duduk di ruang TV hanya bisa menatapku dengki.
"Dewa," tegur Ibu. "Uwes, to, ganggu adikmu."
Ayah menarik kursi makan dan duduk di sana.
"Ayo, monggo, Mbak Soraya, Mbak Ileana, kita makan bersama. Tadi Tante sudah masak dari pagi, lho."
"Iya, Om," sahut Aya segan.
Aku dan Aya duduk bersebelahan. Di lain sisi, Tania dan Talita mengamit Ileana di tengah.
"Mbak model?" tanya Tania.
Ileana mengangguk.
"Pantes tinggi," timpal Talita.
Ileana memandangi Tania dan Talita secara bergantian.
"Kalian identik, ya? Dulu waktu Tania belum mewarnai rambut, pasti susah bedainnya."
Aku bergegas menyela, "Nggak susah. Tania kalau pakai baju selalu yang mini-mini kurang bahan. Kalau Talita lebih sporty dan agak tomboi."
"It's called fashion, ya!" sembur Tania.
Ileana membisik ke telinga Tania. Apa yang ia lakukan membuat Tania cekikikan. Lalu Talita yang penasaran menarik lengan Ileana agar memberitahunya juga. Ileana pun menurut. Sesaat setelahnya, Talita juga tertawa geli.
Aku tahu, mereka bertiga pasti sedang menggunjingku. Dasar, Trio Macan.
Namun semua terasa ganjil karena Tania dan Talita justru lebih akrab dengan Ileana. Aya lebih banyak sibuk dengan gadget-nya. Kulirik, ia sedang berkomunikasi dengan manajer klinik kecantikan. Tak ada yang bisa kuperbuat. Toh, keakraban memang tak bisa dipaksakan.
"Ayah, nanti abis makan antar Ibu ke shelter sebentar, ya," ucap Ibu.
"Shelter?" tanya Ileana penasaran.
"Iya, Ileana. Tante ada penampungan untuk kucing dan anjing terlantar," terang Ibu.
"Anjing dan kucing?" Raut Ileana memburu penasaran. "Boleh, nggak, aku ikut lihat? Atau ... biar aku yang anter Tante ke sana."
"Boleh banget," sahut Ibu. "Soraya mau ikut juga?"
Aya seketika menggeleng. "Maaf Tante, aku takut anjing," ujarnya.
Ibu pun mengangguk paham.
Kami semua lalu menyelesaikan makan bersama tanpa banyak kata. Ibu dan ayah punya percakapannya sendiri, sementara Ileana, Tania, dan Talita sudah membentuk aliansi rahasia. Aya juga tidak banyak bicara. Dia lebih banyak diam dan cuma menjawab seperlunya.
Meski Aya ada di sisiku, entah mengapa aku merasa terpisah jarak dengannya.
Dan finally, santap siang pun berakhir. Ibu menawarkan Aya dan Ileana untuk beristirahat di kamar, namun Ileana menolak. Ia memilih membantu Tania dan Talita membersihkan meja makan serta mencuci piring. Berbeda dengan Aya yang mengiakan saran ibu untuk pergi ke kamar.
"Antar aku ke kamarmu," bisik Aya.
Aku mengangguk. Kami berdua bersisian menaiki tangga dan memisahkan diri dari keramaian.
Aya menggandeng tanganku erat. Kemudian melempar senyum menggoda. Ia terlihat lebih senang ketimbang saat makan siang tadi.
"Kamu suka sama masakan ibu? Enak? Atau mau makan yang lain?" selidikku.
"Aku kenyang. Masakan ibumu enak, kok. Aku jadi kepikiran kalau nanti kamu minta dibuatin yang sama," kekeh Aya.
Aku merangkul Aya mesra. "Jadi alasan kamu lebih banyak diam karena memikirkan resep-resep makanan tadi?" godaku.
Aku dan Aya berhenti di depan pintu jati berwarna cokelat. Aku pun membukanya dan membimbing Aya masuk ke dalam. Beberapa bulan setelah kutinggalkan, suasana kamarku masih sama. Tidak ada yang berubah, dan ibu benar-benar membersihkannya dengan baik.
Aroma levender dari diffuser menyerbak menenangkan. Pendingin udara juga sengaja dibiarkan menyala — sepertinya dari pagi — pasti demi kenyamanan Aya saat dia masuk.
"Beb, itu semua hasil jepretanmu?" Aya melengos memandang pigura-pigura yang terpajang di dinding.
Aku menggeleng. "Bukan. Itu karya Darwin Laksmono, salah satu fotografer senior di Indonesia. Idolaku."
"Oh ..." Aya tertegun takjub.
Darwin Laksmono merupakan sosok berpengaruh yang mengubah pandanganku akan dunia fotografi. Aku secara tidak sengaja menemukan karyanya di majalah. Sebuah potret wanita sedang menggendong anak bayinya. Foto itu terlihat 'hidup'. Darwin berhasil menangkap tatapan penuh cinta dari sang ibu kepada si buah hati. Berulang kali kupandangi — aku tak pernah bosan.
Dalam hati, ada keinginanku untuk mengabadikan momen seperti yang Darwin lakukan.
Aku mulai belajar memotret. Dan kusadari jika tidak semua hasil foto punya jiwa. Apa yang Darwin lakukan merupakan berkat berpadu bakat. Ia membuatku terobsesi. Singkatnya, Darwin Laksmono adalah panutanku.
Aku meletakkan tas bawaan Aya ke atas ranjang.
"Istirahatlah, aku akan turun ke bawah."
Aya mencegahku. "Di sini aja. Temani aku."
"Jangan. Enggak enak sama orang rumah," tolakku.
Aya menggelayut. "Bukannya terasa lebih menggairahkan kalau kita quickie sekarang?"
Darls, baca MR. VANILLA jalur cepat lewat KK atau Besto, yuk.
Ramaikan kisah ini dengan votes + komen sebanyak²nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top