18 |

Ileana

"Hei, kalian berdua! Kalian abis dari mana?"

Soraya menghampiri aku dan Dewa; tidak ada prasangka sedikit pun pada rautnya, apa lagi gusar. Semua kesenangan yang baru saja kualami bersama Dewa mendadak berubah menjadi sesal. Meski tak ada yang terjadi - tetap saja - aku merasa jalang.

Ya, aku kembali menjadi jalang sialan saat SMA dulu.

Semua karena Dewa, aku menyukainya. Aku menyukai semua perlakuan lelaki itu. Aku suka ketika bersama dengannya. Bahkan, aku suka aroma Dewa yang bermandikan peluh.

Semakin lama di dekat Dewa, aku semakin berharap lebih, dan lebih. Ada kekecewaan ketika ia memutuskan kembali pulang. Padahal jauh di lubuk hatiku, aku ingin Dewa mengemudikan motornya kencang untuk pergi jauh-jauh.

Bersama Dewa membuatku lupa segalanya; sakitnya pengkhianatan Raihan, dan rasa benciku kepada rumahku sendiri. Kehadiran Dewa berhasil menambal lubang-lubang menganga pada hatiku. Ia mengubah persepsiku. Ia mengajariku untuk mencintai diriku - dirinya.

"Keluar sebentar tadi, sarapan di rumah makan Padang yang biasanya," terangku pada Soraya.

Soraya mengernyih. "Padang yang nggak enak itu? Kenapa kamu suka sekali ke sana, sih, Lei? Kan ada yang lebih enak di dekat jalan raya," sahutnya.

"Yang tadi lumayan, kok," sela Dewa.

Soraya hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh.

Ia lalu membuka pintu mobilnya dan membungkuk mengambil sesuatu.

"Aku bawa kopi, smootie, dan cheesecake, nih. Kita makan sama-sama, yuk," ajak Soraya. Ia mengikuti Dewa masuk ke dalam halaman rumah.

Aku menggeleng. "Kalian aja, deh. Aku mau mandi," tolakku.

"Yaaaah ... Lei?" Sorot Soraya mengiba. "Tapi abis mandi nyusul, kan?"

Aku lagi-lagi menggeleng.

"Ada yang mau kulakukan, Ya," dalihku. "Mending kalian quality-time berdua, deh."

"Yaaaaah ... Leeeeeii??" Bibir Soraya melengkung kecewa.

Setelah memergokiku keluar bersama kekasihnya, Soraya sama sekali tak curiga. Ia tetap berbaik sangka padaku. Jika bukan separuh Malaikat, lalu wanita macam apa sebenarnya Soraya Ivona?

Tidak. Aku tak mau merusak semua.

Apa yang kulakukan dulu pada Soraya adalah tindakan paling jahat. Kini, aku bersumpah akan menjaga pertemanan kami. Sampai kapan pun.

"Sorry, ya, Ya. Lain kali kita ngumpul bareng," kataku.

"Memang kamu mau ngapain, sih?" buru Soraya.

"Sayang!" tegur Dewa. "Jangan maksa gitu ..."

Soraya mengembuskan napas berat.

"Ya sudah," gumam Soraya. Ia lantas mengambil sebotol minuman berwarna kuning cerah dan memberikannya padaku. "Ini smootie mangga buatmu."

"Makasi, ya," ucapku melempar senyum.

Soraya menyorotku cukup lama. Ia tampak sedih.

"Happy weekend, Lei," kata Soraya.

Aku pun membalas dengan anggukkan kepala.

***

Detik demi detik terasa sangat menyiksa batin.

Entah sudah berapa puluh kali aku mengintip melalui kaca jendela, mengecek apakah mobil Soraya masih terparkir di sana. Dan kesakitan pun menghantamku lagi dan lagi tatkala aku menemukan mereka masih bersama.

Kini aku membenci diriku sendiri. Tega sekali aku menaruh hati pada lelaki sudah dimiliki orang lain.

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai menyukai Dewangga Satya. Apakah ketika ia membiusku melalui tatapannya yang setajam busur panah? Atau jangan-jangan ketika ia pertama kali tersenyum padaku?

Pantas saja aku mengabaikan lelaki sempurna seperti Dion, semua karena Dewa sudah terlebih dulu mendominasi pikiranku. Pantas saja permintaan maaf Raihan tidak lagi bisa mengobati patah hatiku, semua karena Dewa sudah mengambil alih afeksiku. Sikap dingin Dewa menuntunku pada penasaran. Lalu, perlakuan tak terduganya sukses merobohkan dinding sentimenku.

Bangsat!

Aku harus segera membunuh tunas terlarang ini sebelum ia tumbuh mekar. Belum terlambat untuk mencabut benihnya. Bukankah manusia memang diajarkan untuk mengedepankan logika ketimbang perasaan? Ini adalah saat yang tepat untuk membuat keputusan.

Aku pun meraih kunci mobil.

Tanpa ragu, aku lantas bergegas keluar dari rumah. Ada tempat yang harus kudatangi. Tempat di mana aku akan membunuh segala asa tentang Dewangga Satya. Tempat di mana aku akan menjagal api asmara ini sebelum ia berkobar membesar. Tempat di mana aku mengubur semua impian akan masa depan.

"Ileana?"

Kemudian suaranya menyentak runguku. Suaranya menghentikan langkahku yang memburu. Suara Dewa.

Dia berdiri sambil menggendong Sultan. Bedebah - kucing itu selalu saja menambah masalah. Kenapa dia selalu kabur ke sana? Memangnya makanan yang kuberikan kurang apa?!

"Ya?" sahutku seolah enggan.

"Kamu mengabaikan Sultan lagi? Dia dari tadi tidur di terasku," kata Dewa.

"Oh, sorry." Mau tidak mau aku mendekat pada gerbang Dewa. "Mana sini, kumasukkan dia ke dalam rumah."

Dewa menghampiriku.

Jantungku seketika bergemuruh tak karuan. Berdekatan dengan Dewa, memupuk subur rasa sukaku terhadapnya.

"Kamu mau pergi?" tanya Dewa.

Aku berdeham demi membungkam degup. "Iya," jawabku singkat.

"Ada pekerjaan?" selidik Dewa.

Aku memberanikan diri membalas tatapannya. "Bukan pekerjaan," sahutku.

"Lantas kamu mau ke mana?" buru Dewa. "Aya pernah bilang kalau kamu nggak punya teman lain selain dirinya." Ia terkekeh menggodaku.

"Aku mau menemui Raihan," terangku.

"Raihan? Mr. Brightteeth?"

"Ya." Aku mengulurkan tangan untuk merebut Sultan. "Mana? Berikan padaku."

Dewa mundur selangkah dan menciptakan jarak besar di antara kami.

"Kamu ngapain mau nemuin mantanmu?"

"Kenapa emang?" Aku berbalik tanya. "Aku merindukannya. Dan hidup cuma sekali, buat apa menahan perasaan karena memikirkan gengsi?"

"Gengsi?" ulang Dewa. "Kamu lupa dia sudah berkhianat? Bukannya kamu bilang mau move on? Jadi, ini hal yang ingin kamu lakukan alih-alih berkumpul denganku dan Aya?"

"Kapan aku bilang mau move on?" Aku mencoba mengambil Sultan dari gendongan Dewa.

"Ileana?" sungut Dewa.

"Apa, sih, Dewa?" Kutatap lagi iris Dewa yang segelap malam.

Raut Dewa gusar. Kedua alis mata tebalnya saling bertautan, sorot Dewa tajam, garis bibirnya terkesan bengis.

"Seriously, Ileana? Raihan?"

Aku mendecih.

"Mana? Berikan Sultan padaku ..." alihku.

Dewa melengos. Ia kemudian mendengkus sambil melangkah meninggalkanku.

"Biarkan kucing ini bersamaku," ujar Dewa datar.

"Dewa?!" panggilku.

Dia tidak berhenti. Tanpa menoleh, Dewa masuk begitu saja ke dalam rumah. Dia tidak tahu saja - hatiku berkecamuk bukan main akibatnya.

***

Wanita itu memang makhluk rapuh yang mudah baper.

Dewa adalah lelaki yang sulit ditebak. Dia ketus, tapi care. Dia menyebalkan, tetapi penuh sayang. Dia dingin, tapi humoris.

And now I realise that I fall in love with Dewa, the most unexpected person in the unexpected time.

Aku yakin ini cuma kekaguman sesaat, fatamorgana yang disebabkan oleh kebaikan Dewa padaku. Seperti yang kubilang tadi, aku sedang rapuh dan Dewa berhasil membuatku baper. Nggak lebih.

Banku berdecit.

Aku menengok pada rumah beraksitektur modern minimalis di hadapanku. Mendadak - ingatan kelam itu pun berkelindan. Aroma wine yang tersisa separuh dalam gelas, sisa saus steak pada piring, serta suara desah wanita asing yang Raihan tiduri.

Oh, demi Tuhan.

Mengapa semua masih teramat jelas terpatri dalam membran otakku? Seakan-akan aku sedang menyaksikannya lagi.

Saat keluar dari dalam mobil, aku menahan napasku sejenak. Selangkah demi selangkah, aku menyusuri jalan setapak di taman Raihan. Keadaan tempat ini masih sama, tidak ada yang berubah.

"Ileana?"

Aku terperanjat setengah mati. Aku pun menengok ke belakang, sosok Raihan berdiri mematung memandangku tak percaya.

"Ileana?" Raihan kembali memanggilku.

"K-kamu abis dari mana?" tanyaku.

"Berenang." Mata Raihan sedikit terbelalak. Ia seolah sedang melihat hantu. "Kamu, kenapa ke sini?"

"Aku ..." Bibirku gemetar.

Sejurus kemudian, pandanganku buram karena cairan bening menggenang.

Aku serta merta menghambur pada Raihan. Mengaitkan kedua lenganku untuk mendekap tubuh Raihan yang tegap. Ada wangi daun mint bercampur apricot dari tengkuknya yang dingin.

Raihan membalas dengan memelukku lebih erat.

"Kamu kembali?" Raihan membisik.

Aku menggeleng sambil berusaha menghentikan isakan.

"Aku hanya datang karena membutuhkanmu," sahutku.

"Apa?"

Aku melepaskan Raihan untuk mencari sepasang bola matanya. "Aku membutuhkanmu, Raihan. Aku belum berniat kembali, aku cuma menginginkanmu."

Raihan mengernyit. Ia mungkin belum paham dengan mauku atau pernyataanku.

"Aku ingin tubuhmu," jelasku.

Raihan masih bisu. Aku menangkap sorotnya gemetar kala mata kami saling beradu. Ia pasti terkejut mendengar kalimat se-frontal itu. Aku tak menyalahkannya jika ia menolak. Aku sendiri sadar kalau aku hanya menggunakannya sebagai pengalihan.

Tubuhku mungkin sudah terlalu lama tak merasakan keintiman. Aku yakin setelah bercinta, otakku akan kembali waras. Dan Raihan merupakan satu-satunya lelaki yang bisa kutuju. Bercinta dengan Raihan juga bisa menjadi jalan untuk membangkitkan perasaanku padanya. Well, aku lebih memilih sakit hati karena ketidak-setiaannya ketimbang harus menyimpan cinta kepada pacar sahabatku.

"Kamu nggak mau?" tanyaku.

Kebisuan Raihan membuatku tersiksa. Aku lantas merenggangkan kaitan lenganku padanya.

Raihan justru menarikku mendekat. Ia mendorong tubuhku merapat pada daun pintunya yang masih tertutup rapat. Lalu Raihan membungkam mulutku dengan bibirnya.

"Raihan, tetanggamu bisa melihat ..." bisikku meronta.

Secara tergesa, Raihan mengeluarkan kunci dari dalam saku. Ia membuka pintu selayaknya orang kesetanan. Raihan menuntunku masuk dan segera membanting pintu keras.

Degup jantungku berdebar-debar.

Aku pasrah dalam segala sentuhan yang Raihan paksakan padaku.

"Please, no toys," kataku di sela cumbuan Raihan.

Raihan mengangguk. Ia beralih menangkupkan telapaknya pada pipiku. "You have no idea, how much I miss you." Ia kembali menciumku mesra.

Kami saling berpagutan cukup lama. Raihan membopongku ke dalam kamar dan menjatuhkanku ke ranjang. Lalu ia menghimpit tubuhku menggunakan tubuhnya.

Raihan berhasil membuat darahku memanas.

Aku berdesir dan terpejam menikmati sentuhan Raihan pada tubuhku. Jengkal demi jengkal terasa penuh godaan. Raihan melakukannya sangat baik.

Kemudian, kala aku mulai terlena, bayangan Dewa mendadak muncul. Wajah tersenyumnya memenuhi setiap kedipan mataku.

"Raihan, lakukan dengan kasar!" bentakku.

Aku harus membunuh hasrat haramku pada Dewa. Raihan merupakan senjataku.

Raihan menyeringai. Ia mendorongku. Secara ganas, Raihan melucuti jeans yang kukenakan. Kemudian menurunkan celana dalamku tanpa permisi. Raihan bahkan belum membuka atasanku.

"Emh!" erangku.

Raihan melumat bagian bawahku liar. Menjejalkan lidahnya di antara mimpitan lipatan yang membengkak.

Aku mulai menyukai permainan Raihan. Apa lagi ketika lidahnya mengitari titik sensitifku berkali-kali. Ya, kurasa aku hampir berhasil memusnahkan Dewangga Satya. Ternyata aku memang hanya membutuhkan pelepasan libido.

Jilatan Raihan semakin intens dan membabi buta, gelenyar nikmat menguasai tubuhku sedemikian hebat.

Ya, ternyata aku salah kira. Aku cuma horny, bukan jatuh cinta.

Aku seketika menggelinjang. Kuremas erat rambut Raihan yang sudah sedikit memanjang. Memaksa lelaki itu bekerja lebih keras lagi di bawah sana.

"Harder! Harder ..." desahku.

Aku sadar akan mendapatkan klimaksku sebentar lagi. Maka aku pun mengejan dan menegakkan badan. Kubuka pelupuk mataku untuk menikmati cara Raihan memanjakanku. Namun, ketika Miss O itu datang, aku justru melihat Dewa di bawah sana. Bibirnya melahap habis milikku penuh gairah. Berulang kali aku mengerjap - bagaimana bisa Raihan berubah menjadi sosok Dewa?

"Oh ... tidak!" pekikku.

Tubuhku gemetar akibat sentakan puncak. Dewangga Satya masih mendominasiku. Bahkan kini ia lebih kuat dari sebelumnya. Sial. Sialan!

Aku seketika meringkuk dalam kekalahan. Bagaimana bisa aku berhalusinasi ketika bercinta dengan Raihan. Aku sudah gila.

"Lei ..." Raihan menggoyang pundakku. "Kamu nggak apa-apa?"

Aku buru-buru menyeka air mataku. "Nggak apa-apa."

"Tapi, kamu menangis?" selidik Raihan. "Did I do something wrong? Yang tadi sakit?"

Aku menggeleng.

"Raihan," desakku. Aku menarik tubuh Raihan agar mendekatiku. "Lanjutkan lagi permainanmu. Lakukan seperti saat kamu memberiku hukuman."

"Kamu serius?"

"Ya. Aku serius."

***

Matahari masih pucat pasi, tersembunyi di balik awan ketika aku sampai di rumah. Angin dingin berembus syahdu pagi ini. Tetapi kelelahan membuat udara segar itu serasa menyilet kulitku.

Aku dan Raihan bermain semalaman. Namun ketika subuh tiba, Raihan menyerah. Baru kali ini kusaksikan dia bergeming tidak berdaya. Berulang kali kupaksa ia untuk bangun, tetapi ia menggeleng lemas kelelahan. Raihan lalu terbaring pada ranjang seolah pingsan. Wait, dia tidak benar-benar pingsan, bukan? Alah. Sudahlah.

Aku melangkah terseok.

Milikku di bawah sana pasti lecet.

Dan pertempuranku berakhir tragis; aku kalah, kalah telak.

Benih yang kusangka tunas ternyata sudah tumbuh berakar kokoh dalam hatiku. Segala permainan lihai Raihan tidak mampu melenyapkan bayangan Dewangga Satya dari bagian hippocampus-ku.

Pertarunganku bukan kekalahan yang membanggakan apa lagi terhormat. Ada satu titik di mana aku bahkan membiarkan Dewa menguasaiku. Aku mengkhayalkan dirinyalah yang sedang memompaku. Bukan Raihan. Shame on me.

Aku memasuki rumah dengan gamang.

Kemudian menjatuhkan diri pada sofa untuk melepas lelah dari kegiatanku yang sia-sia. Dalam istirahat, otakku terus bekerja mencari strategi baru demi mengurung hasratku sendiri.

Aku hanya perlu berpura-pura. Aku juga harus menghindari Dewa. Aku harus membatasi komunikasi kami. Aku harus lakukan itu demi Soraya, demi persahabatan kami, dan demi kewarasanku.

Lagi pula Dewa dan Soraya saling mencintai.

Siapa aku berani-beraninya masuk dalam hubungan sempurna mereka? Aku harus tahu diri, tahu posisi, dan tahu balas budi.

Kuambil ponsel dari dalam tas. Gawai itu begitu sunyi karena memang sengaja kumatikan. Aku berniat menghubungi Raihan, mengecak dia masih hidup apa tidak.

Namun ketika layarku menyala, puluhan pesan berdenting masuk. Dari Soraya.

SORAYA
Lei, Dewa ajak aku ke Malang buat kenalan sama keluarganya.

SORAYA
Lei, hape kamu mati?

SORAYA
Lei, aku harus gimana? Aku nggak siap ketemu keluarganya.

SORAYA
Aku butuh bantuanmu. Please, temenin aku ke Malang.

SORAYA
Aku sudah bilang sama Dewa kalau kamu ikut.

SORAYA
Bantu aku kali ini, ya. Aku memohon dengan segenap jiwa ragaku. Aku terlalu takut menemui mereka sendirian. You're the best friend ever ❤️

Baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa 🖤 Part 21+ utuh tanpa potongan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top