17 |
• Dewangga •
"-waktu."
Exactly. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan patah hati adalah waktu.
Jantungku mendadak berhenti berdetak selama sesaat. Ileana - dia seolah mampu membaca pikiranku. Untuk sesaat, aku merasa kami telah saling mengenal cukup lama. Seolah ada kehidupan lain yang pernah kami jalani sebagai - soulmate.
Damn! Aku pasti sudah tidak waras.
"Ngomong-ngomong, di mana beli nasi Padang enak? Aku belum sarapan." Aku buru-buru membuang muka. Sekuat tenaga menetralisir gejolak aneh dalam dadaku dengan mengalihkan topik pembicaraan.
"Keluar dari kompleks, kiri jalan."
"Hmm, coba aku cari, deh." Aku pun melangkah meninggalkannya.
"Aku juga mau cari makan. Mau sekalian kubeliin?"
Aku sontak menengok. Ini pertama kalinya Ileana menawarkan sesuatu padaku. Sial. Bibirku menjadi kelu tatkala kembali menatap sepasang bola mata Ileana yang membulat.
"M-mau lauk apa?" tanya Ileana.
Tolak saja, Dewa. Buat apa mengiakan penawaran dari wanita yang bukan pacarmu! Godaan bisa datang dari mana saja, termasuk dari sahabat baik kekasih. Dan sebagai gentleman, aku tidak boleh membiarkan wanita mana pun masuk ke dalam celah hatimu. Kecuali Soraya Ivona seorang.
"Nggak usah. Gimana kalau kita ke sana bareng?" Kalimat itu spontan meluncur dari bibirku.
Aku memang sudah gila.
"Kalau gitu aku keluarin mobil." Ileana terbirit menuju garasi rumah.
Aku lagi-lagi memanggilnya, "Ileana," kataku. "Naik motorku aja, gimana?"
Aku memang sudah gila.
Senyum Ileana mengembang - manis sekali.
"Tunggu, ya. Aku ambil jaket," sahut Ileana riang.
Aku memang sudah gila.
Sebersit rasa bersalah menyergap nuraniku. Apa yang telah kulakukan? Aku mungkin bisa membohongi Aya, Ileana, atau siapa pun. Tetapi, aku tak bisa berdusta pada diriku sendiri. Aku sadar, ada celah kecil yang baru saja terbuka bagi wanita lain. Wanita itu adalah Ileana.
***
"Kamu pikir kita mau sunmori, huh?!"
(Sunmori : Sunday morning ride)
Ileana berkacak pinggang di hadapanku. Ia tersenyum angkuh memamerkan jaket kulit cokelat dan ankle boots senada.
"Sudah lama aku pengen pakai ini," terang Ileana.
"Lebay banget!" sungutku. "Kita cuma mau sarapan nasi Padang."
"Aku juga sudah lama nggak pernah naik motor," sahut Ileana mengabaikan pendapatku. "Kapan, ya, terakhir? SD ... SMP?" Ia mengingat-ingat.
"Kamu serius mau berpenampilan begitu? Nggak malu?" tatapku lamat.
Ileana melirik sinis. "Jaket ini sudah lama kubeli dan cuma tersimpan dalam lemari."
"Terus buat apa kamu beli kalau nggak kamu pakai?"
"Aku dan Raihan sempat berencana motoran sampai Bromo, tapi belum kesampaian karena dia sibuk kerja," terang Ileana. "Sayang banget kalau jaket ini nggak kepakai sekarang."
"Ya sudah," dengkusku. "Naik."
Ileana tersungging. Ia menerima helm yang kusodorkan tanpa banyak protes. Jantungku kembali berdebar-debar ketika ia duduk di belakangku. Jarak kami begitu dekat. Keberadaan Ileana membuatku sesak.
Benelli-ku pun melaju.
Dari spion, aku mengamati arah angin yang menerpa rambut dan wajah Ileana. Helainya sesekali menggelitik hidungnya yang mungil. Ia sama sekali tidak gusar - malahan tersenyum lebar.
"Girang banget naik motor," celetukku.
"Ya." Ileana antusias. "Aku jadi ingat dulu dibonceng papa pulang-pergi sekolah. Kayak gini," terangnya.
Dari cerita Aya, cerita Ileana ... aku menyimpulkan jika ayahnya bukanlah sosok yang baik. Meski demikian, ada momen tertentu yang begitu dirindukan oleh Ileana. Cara Ileana berkisah membuatku agak nelangsa. Bahkan ketika ia sekarang kelihatan sangat gembira, justru membuatku merasakan lara.
"Stop! Di situ tempatnya!" Ileana memekik seraya menunjuk sebuah rumah makan yang telah kulewati.
Aku pun sontak membeliak. "Lah? Kukira jauh! Deket banget ternyata."
"Buruan puter balik, Dewa!" titah Ileana semena-mena.
***
Rumah makan Padang yang direkomendasikan Ileana adalah Rumah Makan Sederhana kode SC. Tempatnya tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan bersih. Sederhana sendiri merupakan salah satu nama rumah makan Padang yang terkenal seantero tanah air. Namun akibat terlalu banyaknya franchise membuat cita rasa masakan Minang ini berbeda-beda di tiap kiosnya. Oleh karena itu, diciptakanlah tiga kode untuk membedakan jenis resep dan kepemilikannya.
Tanda SA merupakan restoran Padang yang dikelola langsung oleh keluarga pemilik dan perintis RM Sederhana. SB adalah bentuk franchise diluar dari kepemilikan keluarga perintis, meski demikian resepnya sama. Sedangkan SC menandakan bahwa tempat makan tersebut tidak dikelola atau melibatkan pemilik dan perintis. Baik pengelolaan mau pun resepnya juga berbeda dengan RM Padang Sederhana lainnya. Tentu saja cita rasanya tidak seotentik Sederhana yang asli.
"Rumah Makan Sederhana ini lebih murah ketimbang yang lain," terang Ileana sambil membisik.
Aku mengangguk saja.
Tentu saja lebih murah, alasannya sudah jelas. Tapi, ini bukan waktunya menjadi sok pintar. Terkadang, kita tak perlu mengoreksi kenyataan sebenarnya jika hal tersebut hanya akan membuat seseorang merasa kecewa. Ileana jelas menyukai tempat ini dan aku tak ingin mengubah hal tersebut.
"Sudah buka, Mas?" tegur Ileana pada si pegawai.
"Masih prepare, Mbak. Setengah jam lagilah. Kalau mau nunggu ..." jawabnya.
Ileana menengok padaku. "Mau nunggu?" tanyanya.
Aku kembali mengangguk.
Bibir Ileana merekah. Ia pun menyampaikan kesediaan kami pada si pelayan.
"Silakan, Mbak, Mas," kata pelayan. "Mau minum apa?"
"Es teh," jawabku.
"Aku air mineral aja." Ia menuju ke arah kulkas showcase untuk mengambil satu botol dari sana.
Kami memilih tempat yang dekat dengan etalase kaca makanan. Ileana jelas tidak menyadari bahwa RM Sederhana SA biasanya menyuguhkan berbagai pilihan makanan di meja pelanggan. Berbeda dengan rumah makan Padang yang kami kunjungi sekarang. Pengunjung akan memperoleh makanan dengan langsung memesannya pada pelayan.
Aku dan Ileana sama-sama terdiam.
Sesekali netra kami beradu, lalu saat hal itu terjadi, aku dan Ileana akan sama-sama membuang muka.
"Aya nggak main ke rumah?" deham Ileana memecah bisu.
"Dia bilang mau mantau keadaan klinik. Tapi kurasa siang nanti Aya bakal mampir," jawabku.
"Oh ..." gumam Ileana datar.
Lalu kami lagi-lagi terjebak hening.
"Kamu sama Aya dulu satu sekolah?" tanyaku berinisiatif memulai percakapan.
Ileana mengangguk.
"Satu SMA," jawab Ileana.
"Kok bisa dia betah sahabatan sama kamu?" ledekku.
Ileana sontak mengernyih. "Emang aku kenapa?" sungutnya.
Aku terkekeh. Entah mengapa, aku mulai terbiasa dengan raut cemberut Ileana. Kulipat tanganku di atas meja sambil mencondongkan badan ke arahnya.
"Gimana ceritanya kalian bisa berteman?" selidikku.
"Aya nggak pernah cerita?"
Aku menggelengkan kepala.
Ileana pun melirik ke atas. Ia seolah sedang mengingat-ingat, bulu mata lentiknya terlihat elok membingkai iris caramel-nya.
"Aya itu anak pindahan. Mami papinya, kan, pengusaha. Kebetulan mereka ada project di Surabaya," kenang Ileana. "Waktu itu aku masih ingat kalau penampilan Aya paling beda sendiri. Rambutnya di-styling, tas mau pun jaketnya super mega bintang." Ia terkekeh sendiri. "Semua dominan pink. Dia betul-betul mencolok."
Aku mendengarkan Ileana dengan saksama. Pupilku melebar tatkala menangkap senyumnya yang terbit.
"Cewek macam Aya adalah sasaran empuk bully. Sebenarnya, mereka merisak Aya karena iri, bukan karena Aya memiliki kekurangan atau cela. Biar begitu, Aya kelihatan tidak peduli. Dia tetap jadi dirinya sendiri ..."
"Bullying memang tindakan paling cemen. Andai aku ada di sana, akan kutonjok mereka satu-satu," dumalku.
Ileana menyeringai. "Kamu bisa melakukannya sekarang." Ia memajukan punggung mendekatiku. "Aku salah satu anak yang bully Aya."
"Huh?!" Mataku melotot. "Terus kenapa sekarang kalian malah temenan?!"
Kadang kala aku nggak ngerti hubungan antar sesama wanita. Complicated.
"Sudah kubilang, kan, kalau mereka mem-bully Aya karena iri. Dan kala itu, aku salah satu anak yang iri dengannya," aku Ileana padaku. "Dia punya segalanya yang tidak aku punya. Dia pintar, menarik, cantik ... keluarganya juga sempurna."
Ileana lantas terdiam sebentar. Ia membuka tutup botol air mineral dan meneguknya impulsif.
"Sampai pada akhirnya aku ngelamar buat jadi model katalog pakaian. Ternyata yang punya butik Maminya Aya," lanjut Ileana. "Bukannya membalasku, Aya justru memujiku di depan maminya. Dia bilang kita teman baik di kelas."
Aku menatap Ileana dalam. Ada seberkas kesedihan pada sorot mata sendunya.
"Waktu itu aku malu sekali. Semua perlakuan burukku pada Aya terputar di benak." Ileana menggigit bibir bawahnya. "Tapi dia justru membalasku dengan kebaikan."
Aku dan Ileana saling berpandangan. Kami adalah dua orang asing yang dipertemukan oleh Soraya Ivona. Apa yang Ileana beberkan menyadarkanku bahwa Aya memang wanita terbaik.
Salah besar jika aku berani membagi tempatnya dengan sosok lain.
Sorotku membingkai Ileana lekat-lekat. Apa yang kurasakan untuknya bukanlah suka, apa lagi cinta, melainkan empati. Rasa iba karena dia telah menjalani kehidupan yang berat. Selain itu, Ileana mengingatkanku pada Talita dan Tania, adikku di Malang. Ileana memantikkan naluri melindungi dalam jiwaku. Tidak lebih.
"Mbak, Mas, mau lauk apa?" Pertanyaan dari pelayan membuyarkan perbincanganku dan Ileana.
Ileana bergegas bangun dari kursi untuk menghampiri pelayan. "Nasinya dikit aja, Mas," katanya. Kulihat ia memilih lauk telur dadar.
Sederhana sekali ...
Setelah Ileana kembali ke meja, giliranku memesan. Aku mengambil dua potong daging rendang, udang, dan perkedel.
Ileana melotot memergoki isi piringku. Bagaimana tidak, porsiku tiga kali lipat dibanding miliknya.
"Telur dadar aja?" tanyaku.
"Iya. Sukanya ini, kok," sahut Ileana acuh tak acuh.
Aku dan dia lantas menyantap makanan tanpa banyak suara. Ileana benar - nasi Padang di tempat ini enak juga.
Kemudian saat aku masih berkutat pada sayur nangka, Ileana tiba-tiba pergi menuju kasir. Ia membayar semua makanan yang kami pesan. Ulahnya membuatku gelagapan, aku tidak menyangka ia akan melakukan itu.
"Kamu barusan bayar?" selidikku.
"Iya," jawab Ileana.
"Ngapain?" pelototku. "Kuganti, ya! Berapa?"
Ileana menggeleng. "Nggak usah. Anggap aja bayaran buat bersih-bersih rumahku."
Padahal aku cuma bercanda, nggak serius. "Oh, makasih ..." ucapku lirih.
Aku jadi menyesal sendiri. Ileana cuma makan lauk telur dadar - sementara aku begitu rakus selayaknya babi.
Mana tambah es teh dua kali lagi.
***
Matahari sudah sangat meninggi ketika kami selesai makan. Tanpa banyak kata, Ileana mengambil helm dan memakainya. Ia juga langsung naik begitu aku rampung memundurkan motorku.
Kupandangi lagi paras Ileana dari kaca spion, dia tidak seceria waktu berangkat. Kemudian, alih-alih memperlambat laju dan berbelok, aku justru tancap gas menuju jalan raya. Ileana sontak menepuk-tepuk bahuku dengan panik.
"Lho, Dewa? Kenapa nggak belok?"
Aku menengok pada Ileana sekelebat. "Malu sama jaket kulitmu itu - kita putar-putar sebentar," sahutku.
"M-mau ke mana, Dewa?" tanya Ileana.
"Nggak ke mana-mana, keliling aja."
Ileana membisu. Namun, lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah spion. Kuamati raut Ileana lekat; sorotnya tak lagi sendu, segaris lengkung terukir di bibirnya.
Entah mengapa ... aku enggan mempersingkat perjumpaan kami.
Tidak. Aku tak jatuh cinta padanya. Aku tidak akan bermain api dengan Ileana. Itu gila mengingat aku adalah kekasih sahabatnya.
Mulai hari ini Ileana kuanggap sebagai adik. Adik perempuan yang ingin kulindungi baik-baik, kujaga. Ia sudah terlalu lama sendiri. Kini keluarganya bukan hanya Aya, tetapi juga aku. Bukankah Aya sempat memintaku akrab dengan Ileana? Jadi ini bukan sesuatu yang salah.
...
Iya, kan?
...
Tepat di traffic light Taman Pelangi, lampu mendadak merah. Aku lantas menyenggol kaki Ileana sambil menunjuk menggunakan dagu.
"Sudah tahu kalau nanti wajahmu bakal terpampang di situ?"
Ileana tertegun pada billboard besar di seberang persimpangan.
"Aku baru tahu itu sekarang ..." gumamnya.
Aku tersenyum. "Ini tengah kota. Selain Jalan Ahmad Yani, mukamu akan tersebar di jalan-jalan utama kota Surabaya. Apa kamu lupa kalau klinik maminya Aya cukup terkenal?"
Ileana mengangguk. "Kamu benar," sahutnya.
"Bayangkanlah seberapa besar sesal Raihan nanti," kataku.
Ileana beralih padaku.
Aku menoleh, menyambut tatapan matanya. Degup jantungku berdetak tanpa bisa kukendalikan. Aku tersihir oleh keindahan di hadapanku. Ingin sekali berlama-lama memandangi paras Ileana. Seolah-olah aku sudah tersihir, kecanduan.
Kendaraan-kendaraan yang terhenti pun kompak melaju seiring perubahan warna lampu menjadi hijau. Aku tersentak. Dengan segera aku pun melanjutkan perjalanan kami. Kali ini kuputuskan untuk pulang. Semakin lama bersama Ileana, aku ragu bisa mempertahankan akal sehatku.
***
Ileana mengembalikan helm padaku. Pipinya memerah, entah karena cuaca yang luar biasa panas, atau karena hal lain. Entahlah.
"Thanks," ucap Ileana.
"Aku yang makasi karena udah ditraktir. Lain kali, giliranku, ya," kataku.
Ileana tersungging. "Senang bisa naik motor seperti tadi. Asyik," ujarnya. "Dulu waktu kamu dan Aya masih LDR-an, sering motoran keliling Malang? Enak, dong, soalnya di sana dingin."
"Aya nggak suka naik motor," terangku. "Biasanya kita jalan pakai mobilnya, atau aku pinjam mobilnya Tania - Talita."
"Tania - Talita?" Ileana mengernyit.
"Adik kembarku. Aku punya dua adik kembar. Sudah pernah kuceritain belum?"
"Oh iya. Yang sering dibuat kesal olehmu, bukan?" kekeh Ileana.
Aku mendecih. "Dih. Mereka juga sering buat aku kesal. Suka buat khawatir dan waswas. Sudah gitu kalau di kasih tahu suka nyolot." Persis kamu.
"Enak, ya, punya banyak saudara, ramai. Ada teman cerita, ada teman berantem ..." Ileana bergumam lirih.
"Kamu, kan, sekarang juga punya aku," timpalku spontan.
Ileana tersentak membeliak.
Aku sontak belingsatan tidak karuan. "Ada Aya, ada Sultan. Sudah tahu, kan, Aya ngotot banget memintaku mengawasimu? Jadi, kalau butuh apa-apa jangan segan minta tolong. Tapi kalau minta tolong jangan sok bossy, ngomong yang sopan. Tolong, dong, Mas Dewangga ... gitu!" ujarku panjang lebar.
"Oh ... iya," kata Ileana terbata.
Aku dan Ileana pun kompak berdeham. Aku kikuk bukan main. Bajingan. Ada apa, sih, denganku? Ingin sekali kutinju wajahku sendiri sampai berdarah-darah. Supaya sadar!
"Ya udah, aku masuk dulu," pamitku.
Ileana mengangguk.
Belum sempat kubuka gerbang rumah, netraku menangkap mobil Aya yang melaju kian mendekat.
"Hei, kalian berdua!" Ia keluar dari kendaraan setelah memarkirnya. Seperti biasa, senyum Aya merekah, ekspresinya selalu penuh tawa. "Kalian abis dari mana?" tanyanya kemudian.
Darls, kenapa, ya ...? Karyaku yang lain selain KINKY sepi amat 😂🥲
Padahal capek juga mikir dan nulisnya 🫠
Jangan lupa mampir ke Karyakarsa buat baca jalur cepat cz di sana sudah tamat.
Makasi banyak buat yang udah follow aku, setia ngevote + komen. Kalian baik banget - penyemangat aku. Buat yang cuma mampir baca, apalagi sekedar stalking doang, semoga dikasih rejeki lebih buat beli karya aku di besto / karkas .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top