16 |
• Ileana •
Aku melamun menatap ke arah jalanan. Tidak sepatah kata pun terucap baik dariku atau Dion. Dia fokus menyetir, sementara aku sibuk merangkum kejadian malam ini.
Berada bersama Dion membuatku canggung, tidak nyaman.
Sudah bertahun-tahun aku tak berkencan dengan lelaki lain selain Raihan. Kini rasanya aneh. Ganjil. Mau memulai obrolan pun — entah dari mana.
Apa lagi aku tidak begitu percaya diri dengan penampilanku. Aku masih ingat cara Dewa menatapku tadi; matanya gentar ketika aku keluar dari kamar, rautnya mendadak berubah. Aku sadar pasti gaun yang kukenakan terlalu berlebihan. Belum lagi warna rambutku terlalu kontras dengan black dress ini. Aku merasa mirip biduan dangdut era 2000-an.
"Kita berhenti dulu di bakery shop yang masih buka, ya? Aku nggak enak mampir ke rumahmu dengan tangan kosong. Atau mungkin orang tuamu sukanya martabak?" tanya Dion memecah kesunyian.
Aku menggeleng. "Oh, nggak perlu. Aku tinggal sendiri," sahutku.
"Sendiri?" Dion mengernyit.
"Iya." Aku mengangguk pelan.
"Memang orang tuamu di mana?" selidik Dion.
"Makassar," jawabku singkat.
Dion manggut-manggut. "Kerja di sana?"
Ini yang tidak kusukai dari PDKT. Aku harus menceritakan tentang diriku, keluarga mau pun pekerjaanku — aku juga harus berinisiatif menanyainya hal yang serupa.
Berkisah mengenai keluargaku tidak pernah membuatku bangga. Kalau boleh berbohong, ingin rasanya berkata kalau kedua orang tuaku adalah keturunan ningrat dari Dubai. Sementara aku sengaja diasingkan ke Surabaya agar mampu berbaur dengan rakyat jelata. Sehingga memiliki kearifan pekerti sebelum melanjutkan tahta.
"Iya," kataku seadanya.
Sudahlah. Toh aku dan Dion belum tentu jadian. Semakin sedikit yang ia ketahui tentangku, semakin baik.
"Sudah lama jadi model?" Dion melirikku sekelebat.
"Lumayan. Dari SMA," terangku. "Betewe, aku nggak ngelihat kamu waktu pemotretan dan bikin video di klinik?" Sebaiknya giliranku bertanya. Supaya Dion berhenti mengintrogasiku.
"Minggu lalu aku ikut seminar di Thailand. Makanya kita nggak ketemu," terang Dion.
"Oh ..." gumamku. "Seminar apa?"
"Threadlift," jawab Dion. "Mono dan Cog."
"Oh ..." Aku sama sekali nggak ngerti.
"Kalau di sini, klien lebih akrab dengan penggunaan benang cog - benang tekstur bergerigi. Padahal kalau buat wajah, kita bisa kasih benang mono. Downtime-nya juga lebih singkat ketimbang mono."
"Hmm," responku seadanya.
Dia menoleh padaku. "Ileana pernah tanam benang?" selidiknya.
"Belum, sih."
Dion lantas tersenyum. "Ya memang belum perlu, sih. Wajahmu sudah kencang dan cantik. Tidak perlu ada yang ditambahi atau dikurangi."
"Masa sih ...?" Aku merona malu.
Kendaraan Dion perlahan melambat, ia menengok seperti kebingungan.
"Ini belok kanan?" tanya Dion.
"I-iya," tunjukku. "Di depan situ belok kanan. Itu kompleks perumahanku."
Dion menurutiku. Netraku kemudian memandang Rumah Makan Padang yang semula ingin kutunjukkan Dewa. Aku sudah janji, bukan?
Dewa — aku benar-benar tak mengerti karakternya. Terkadang dia sangat menyebalkan, tetapi terkadang Dewa sangat pengertian. Tadi saat kami berempat makan malam, jujur saja, aku serasa tenggelam dalam pusaran kebimbangan. Dion dan Soraya membicarakan hal-hal yang tak kumengerti. Aku jadi merasa bodoh. Takut sendiri untuk menimpali.
Perasaan yang sama seperti saat bersama Raihan dan teman-teman dokternya.
Tapi Dewa ... dia menyelamatku dari tenggelam. Dia menuntunku keluar dari arus deras yang menyesakkan. Untuk beberapa saat aku dan Dewa membentuk aliansi. Gencatan senjata. Tidak ada lagi perdebatan atau perselisihan. Kami satu pikiran.
Mungkin, Dewa juga sama bosannya denganku.
Mungkin, ia hanya sekedar mencari teman untuk membunuh waktu.
"Nah, ini rumahku."
Dion lantas menepi. Ia menarik tuas rem tangan, lalu menoleh ke arahku. Kami cukup lama saling berpandangan. Apa yang Dion lakukan, membuatku makin kikuk dan salah tingkah. Netranya setia terpatri padaku. Aku sontak terpenjara dalam kesunyian menyiksa. Kemudian, kalimat basa-basi sialan itu pun terucap dari mulutku kala terdesak begini.
"Mau mampir dulu, ta?"
Demi Tuhan. Ingin sekali kucabut bibirku sampai lepas. Buat apa menawarkan Dion masuk padahal kebersamaan kami hanya memberikan canggung. Kumohon, Dion, tolaklah penawaranku dan pulanglah!
"Boleh," sahut Dion sumringah.
Aku tersenyum masygul. "Okeh," kataku. Kenapa tadi aku nggak bilang terima kasih aja, sih? Kenapa harus ajak Dion masuk segala? Kenaapaaa???
Dion mengekoriku di belakang. Ia ikut masuk sambil menelisik tiap penjuru rumah. Beruntung kondisi rumah sedang rapi-rapinya — well, semua berkat Dewa yang bebersih kutu. Kalau dipikir lagi apa yang Dewa bilang benar, aku memang tidak tahu diri.
"Rumah kamu nyaman, ya," puji Dion.
"Masa, sih?" Aku meringis. "Mau minum apa?" tawarku.
"Nggak usah repot-repot, Ileana," cegah Dion.
Aku meringis. "Nggak kok. Nggak repot." Lalu ngeluyur begitu saja ke belakang.
Kepalaku pusing memikirkan bahan pembicaraan bersama Dion nanti. Untuk sejenak — aku baru sadar kalau aku ini memang tong kosong. Pantas saja Raihan bosan denganku. Lelaki-lelaki seperti Raihan ... Dion ... pasti lebih nyaman bersama wanita yang punya pengetahuan setara.
Aku lantas membuka lemari pendingin, sial. Aku lupa kalau aku tidak pernah punya stok makanan, atau minuman. Terus Dion mau kusuguhi apa?
***
"Sorry, cuma seadanya."
Aku meletakkan piring berisi potongan apel dan segelas air putih kepada Dion. Hidangan yang memalukan, tapi masa bodohlah!
Dion tersenyum. "Makasi, ya. Jadi ngerepotin."
Aku lantas mengambil tempat di sisinya. Perasaan canggung masih saja belum hilang. Ketidak-nyamanan luar biasa meski Dion memiliki fisik rupawan. Tiap detik yang berlalu bersama Dion, memantapkanku bahwa aku dan dia tak akan lanjut ke mana-mana.
"Menjadikanmu model klinik, adalah keputusan Soraya yang paling tepat. Aku nggak sabar melihat foto-fotomu di majalah bulanan kami nanti," kata Dion.
Aku kembali tersipu. "Masa, sih?"
"Kamu kayaknya nggak percaya banget sama tiap omonganku, ya?" ledek Dion.
"Maaf, nggak maksud begitu."
"Bercanda, Ileana." Dion memegang punggung tanganku.
Ulah Dion membuatku belingsatan. Aku bangkit untuk meraih remote dan menyalakan televisi.
"Kita nonton, yuk," ajakku.
"Boleh." Dion mengangguk. "Udah lama aku nggak lihat TV."
"Sama," timpalku. "Netflix aja, ya? Siapa tahu ada film bagus."
"Boleh," jawab Dion setuju saja.
Baik jemari mau pun mataku fokus setengah mati memilih tayangan yang sesuai. Jangan horor karena aku golongan manusia pengecut. Jangan drama romantis karena aku nggak mau kebersamaanku dan Dion lebih cringe lagi. Pilihan terbaik cuma action atau komedi.
Aku akhirnya memutar film bertema mecharobo alien yang mengungsi di bumi. Kalau tidak salah seri pertamanya dibintangi Megan Fox dan Shia LaBeouf. Tapi seiring waktu pemainnya terus berganti dan yang kuputar sekarang merupakan seri terbarunya. Tidak ada romantisisasi, apa lagi unsur dewasa. Amanlah.
Aku dan Dion pun sama-sama terpaku pada layar. Sesekali mulutku menguap lebar karena kantuk. Film macam begini bukan genre kesukaanku. Aku heran kenapa Dion serius sekali menyaksikannya, seolah-olah dia tak ada niatan untuk balik pulang.
"Besok kerja jam berapa?" celetukku. Pertanyaan yang kuharap bisa mengingatkan Dion kalau hari sudah larut.
"Jam buka klinik. Jam sembilan," terangnya. "Besok hari Minggu, pasti ramai dan banyak klien yang antri."
"Oh ..." gumamku. Terus kamu nggak pulang gitu?
Dion perlahan mendekatiku. "Kamu udah ngantuk, ya, Ileana?" tanyanya.
"Lumayan," jawabku.
"Mungkin sebaiknya aku balik." Dion menarik kedua sudut bibir ke atas. Ia membingkaiku dalam sorotnya yang ramah.
Aku bergeming. Entah kenapa Dion suka sekali memandangiku tanpa berkata apa-apa. Apa yang dia lakukan sangat membuatku risi.
Tangan Dion tiba-tiba bergeser untuk mengelus jemariku. Kepalanya juga makin condong menggapai kepalaku. Tunggu? Apa Dion berniat menciumku?
Aku pun refleks memundurkan tubuh. Tetapi wajah kami sudah berjarak kurang dari lima jari saja. Haruskah aku menyambut kecupannya? Mungkinkah ini saat yang tepat untuk membuka diri bagi orang baru? Jika bibirku dan Dion bertemu — maka tidak akan ada jalan untuk mundur. Maka hubunganku dan Dion berpotensi berlanjut ke tahap selanjutnya. Lantas, apa itu yang kumau?
"Kamu tidak harus membenci tempat ini, Ileana. Kamu hanya perlu menjalani hidup yang berbeda dari orang tuamu."
"Ya, mengganti semua memori kelam dengan hal-hal menyenangkan. Jadikan tempat ini sebagai istana milikmu sendiri."
Suara Dewa mendadak terngiang dalam benakku. Apakah ini saatnya menciptakan memori baru di rumahku? Bersama Dion.
Hei — Dion lelaki sempurna. He seems nice.
Tidak ada salahnya bercinta dengan Dion sekarang. Mungkin akan terasa lebih menyenangkan ketimbang bersama Raihan. Sudahlah. Jangan ragu Ileana!
Tuuuuuut.
Saking groginya, gas lambungku mendadak lepas dari anus. Salahkan kandungan pada cusstard cake yang kumakan tadi! Sudah tahu intoleransi laktosa, malah nekat pesan dessert berbahan susu.
Dion pun urung merealisasikan niatnya. Ia bergegas bangkit dari sofa dan menciptakan jarak denganku.
"Aku balik, deh, Ileana."
Dia pasti dengar bunyi kentutku, aku saja dengar, kok! Dion tidak tuli. Dan itu pasti bikin dia illfeel.
Aku mengendus. Sialan. Mana bau lagi!
"O-okay." Aku mengantarnya sampai depan teras.
Langkah Dion panjang dan terkesan buru-buru. Tanpa menoleh lagi ke belakang, lelaki itu ngibrit masuk mobil.
Ada rikuh bersarang pada egoku karena buang angin sembarangan. Anehnya, aku justru lega. Bukan aku yang menolak Dion — tapi dia. Aku tidak harus merasa bersalah kala Soraya besok bertanya soal Dion.
Senyumku pun otomatis mengembang.
Aku sudah bilang pada Soraya, aku sama sekali belum siap memulai hubungan baru. Patah hatiku belum sembuh. Apa yang Raihan torehkan masih menyebabkan luka mendalam. Aku tahu betul kalau orang baru bukan obatnya, tetapi waktu.
Hanya saja, selama ini Soraya sudah terlalu baik padaku.
Menolak idenya hanya akan membuat Soraya kecewa. Semula kukira Dion tidak akan menawariku pulang bersama. Kukira Dion menolak tawaranku untuk masuk. Ternyata perkiraanku meleset. Lelaki itu cukup lama bertahan. Syukurlah ia kalah dengan flatulensi akibat akumulasi gas di dalam perut, alias kentut.
***
"Oh, kamu sudah pulang, Sul ...?"
Aku menguap lebar sambil menyambut Sultan yang berjalan santai dari arah rumah Dewa. Pasti semalaman dia staycation di sana, biar sajalah. Dewa lebih telaten merawat Sultan timbang aku. Sultan juga lebih manja sama Dewa dari pada sama aku.
Sultan melengos menghindariku. Ia menuju litter box dan berjongkok khusyuk. Kucing ini cuma pulang buat buang hajat, setelah itu pasti balik lagi ke rumah Dewa. Emang dasar.
"Hei," tegur Dewa.
Aku melongok ke luar gerbang. Kaos Dewa basah penuh peluh - dia juga pakai sepatu lari.
"Abis dari mana?"
"Jogging-lah. Kamu baru bangun?" Dewa memandangku heran.
Aku mengangguk acuh tak acuh.
Dewa berdecak meledek. "Jam segini baru bangun?! Aku bahkan sudah dapat 10.000 langkah."
"Kenapa gitu? Kamu dikejar anjing?" sungutku.
"Kok dikejar anjing? Olahraga!" balas Dewa ketus.
Aku meringis kecut.
Dewa lantas masuk menyusuri halaman rumahnya. "Kayaknya semalam sama Dion lancar, ya?" selidiknya.
"Gitu, deh," tanggapku cuek.
"Cepet juga progress kalian," celetuk Dewa.
"Ya, cepet, sampai aku akhirnya keluar duluan," sahutku.
Dewa melotot padaku. "Ssshh! I don't need the details, ya."
Aku refleks cekikikan geli.
"Aku kentut di depan Dion."
"Huh?!"
Aku mendekat ke arah dinding pembatas. "Kamu sendiri, bakal illfeel nggak kalau Aya buang gas pas awal-awal PDKT?" selidikku.
"Tergantung — bau enggak?" sambut Dewa.
"Bau," akuku jujur.
Tawa Dewa mendadak pecah. Tarikan bibir Dewa begitu lebar hingga kedua matanya ikut menyipit. Ini kali pertama aku menemukan raut Dewa begitu hangat. Muka Dewa sedikit merona karena cekikikan. Bibirnya juga lebih memerah dari biasa.
Dewa tidak lagi mengerikan.
Jauh dalam lubuk hati, aku mendadak iri pada Soraya. Ia bisa melihat ekspresi ramah Dewa kapan saja. Sesuatu yang sangat menyenangkan.
"Mungkin aku bakalan kabur!" Dewa berusaha menghentikan tawa sambil memegangi perut.
Kami terdiam sedetik.
"Tapi," lanjut Dewa. "Kalau dari awal aku sudah terlanjur jatuh cinta, aku bakalan balik lagi mengejarnya."
"Kupikir juga gitu," imbuhku.
"Coba kamu hubungin Dion. Sekedar ucapin selamat pagi," kata Dewa. "Sekalian minta maaf karena bikin dia syok sama bau kentutmu." Ia kembali ngakak.
Aku menggeleng.
"Jujur aja, aku nggak click sama Dion. Please jangan bilang ke Aya, ya. Dia pasti kecewa kalau aku kurang antusias dengan idenya," pintaku mengiba.
"Baiklah," jawab Dewa. "Aya memang selalu perhatian sama orang-orang di sekitarnya. Dia, tuh, caring banget."
"Aku tahu," sahutku. "Hanya saja aku rasa mengenal lelaki baru bukan jaminan patah hatiku sembuh lebih cepat. Karena obat yang paling ampuh cuma ..."
"—waktu." Aku dan Dewa kompak mengatakan kata yang sama.
Tatapan kami pun beradu.
Ada kilat tak biasa dari iris Dewa yang sekelam obdisian. Saat mata kami bertemu, aku tak merasa canggung. Melainkan gejolak emosi memikat yang mengakibatkanku bertahan padanya lebih lama.
Dewa memutus tautan.
Ia memalingkan muka seraya berdeham.
"Ngomong-ngomong, di mana beli nasi Padang enak?" alih Dewa. "Aku belum sarapan."
"Keluar dari kompleks, kiri jalan," terangku canggung.
"Hmm, coba aku cari, deh." Ia melangkah menjauhi dinding pembatas. Langkahnya mengarah masuk ke teras.
"Aku juga mau cari makan. Mau sekalian kubeliin?" tawarku tiba-tiba.
Dewa menengok. Ia belum merespon.
"M-mau lauk apa?" tanyaku lagi.
Seutas senyum tipis terukir dari bibir Dewa. "Nggak usah. Gimana kalau kita ke sana bareng?"
"Kalau gitu aku keluarin mobil," inisiatifku.
"Ileana," cegah Dewa. "Naik motorku aja, gimana?"
Cihuiii ...!
Ada yang mau makan nasi Padang berdua, rek ... Awas, lho, yang ketiga biasanya setan. 😌
Btw, ada yang punya pengalaman PDKT kek Ileana? Kalau aku, sih, dulu pernah diapelin sama calon gebetan ... Eh pas dia dateng, pas ortu lagi berantem hebat. Malu banget 😐😐😐
Kalian gimana? Coba share!
Baca MR. VANILA jalur surga di KaryaKarsa, yuk. Sekalian bantu-bantu Ayana ngumpulin duit buat jajan mixue. Hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top