15 |

Dewangga

Sebenarnya ikut double date sama sekali bukan seleraku. Apa lagi terpaksa basa-basi dengan seseorang yang sama sekali tidak kukenal tanpa mengarah pada tujuan bisnis. Aya tahu betul aku introvert, tapi tega sekali dia memaksaku ikut-ikutan dalam kisah asmara Ileana.

Semua bermula dari ide Aya menjadi Mak Comblang antara Ileana dan dokter baru di klinik kecantikannya. Aya bilang Ileana perlu membuka diri untuk orang lain. Ileana harus secepatnya mengganti sosok Raihan. Atau paling tidak menyiapkan cadangan, gagasnya.

Padahal bagiku patah hati ya patah hati saja.

Buat apa korbankan orang baru sebagai pelampiasan? Yang ada lukanya belum sembuh tapi sudah cari celah bagi orang lain. Toh, patah hati obatnya cuma waktu. Seiring waktu berjalan rasa sakitnya akan berkurang. Lama-lama borok itu akhirnya mengering dan hilang. Tapi ngomong panjang lebar begitu ke Aya hanya akan bikin dia ngambek. Ujungnya dia bakal bilang ...

"Aku kenal semua temen-temen kerjamu, tapi kamu nggak pernah ada usaha buat mengenal temen-temenku. Kamu sekarang tinggal di Surabaya, paling nggak kamu harus tahu, dong, lingkup kerjaku seperti apa," ujar Aya merengut.

"Iya, sorry," ucapku. "Tapi harus, ya, kita ikut campur dalam percintaan Ileana? Dia sudah dewasa, lho. Buat apa kita berdua temenin kencannya? Apa kamu nggak ngerasa, mungkin aja Ileana butuh privasi dan ingin berdua saja dengan temanmu itu."

Aya mencebik. "Kamu kayak nggak tahu Ileana aja, De!"

"Ya emang nggak tahu," sahutku.

"Kukira kalian udah akrab!" sungut Aya kesal.

"Sayang, aku dan Ileana sama sekali nggak akrab. Pertama, kami terpaksa bertemu karena terlibat project yang sama. Kedua, kucingnya suka tiba-tiba nongol di rumahku. Dan ketiga, kami sering nggak sengaja papasan karena tetanggaan," beberku.

Aya membuang muka.

Aku kembali mengimbuhkan, "Lagian, kalau kuingat lagi, Ileana kayak nggak terlalu antusias soal kencan yang kamu siapkan."

"Maka dari itu aku harus ikut campur. Ileana itu terlalu cuek, suka memendam semua sendirian. Dia juga kadang ketus kalau sama orang baru ..." Aya seketika membeliak sambil menatapku. "Astaga ... dia mirip kamu!"

"Huh?" Aku mengernyih.

"Ileana dan kamu itu sama!" Aya memasang ekspresi syok. "Pantas saat mengenalmu aku merasa kamu mirip seseorang, ternyata aku jatuh cinta sama Ileana versi cowok."

"Jangan samakan aku dengan seseorang yang jorok macam di—"

Kalimatku menggantung. Atensiku dan Aya beralih pada sosok Ileana yang keluar dari kamar. Wanita berambut senja itu sudah siap. Ia berjalan mendekatiku dan Aya yang duduk pada sofa.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Ileana.

Salah tidak, kalau aku terpukau oleh penampilan Ileana? Kehadiran Ileana membawa aroma lembut yang sulit kujabarkan; sedikit powdery, segar dan ringan, sangat memanjakan hidungku.

Ileana mengenakan dress terbuka yang memamerkan leher jenjang dan bahu menawan. Sementara rambutnya diikat tinggi-tinggi. Apa yang melekat di tubuhnya begitu pas. Tanpa kesan berlebihan, apa lagi dipaksakan. Sebagai seorang lelaki — aku yakin Ileana bisa dengan mudah memenangkan hati siapa pun.

Kedua pipi Ileana merona. Ia kikuk sendiri oleh tatapan yang mengarah padanya.

Pada pertengkaran kami tempo lalu, Ileana mengiakan kalau ia memang tidak memiliki kepercayaan diri. Pekerjaan sebagai model belum cukup menaikkan self-esteem Ileana. Andai saja ia bisa melihat figurnya dari mataku atau Aya. Aku yakin ia tak akan merasa begitu lagi.

"Ileana cantik banget, kan, Beb?"

Pertanyaan dari Aya seakan pistol yang menodongku. Dari pada menjawab, aku memilih berpaling keluar.

"Aku nyalain mobil dulu," dalihku.

Ya, Ileana memang cantik. Namun aku merasa salah jika mengutarakannya di hadapan Aya. Naluriku berperang hebat demi membungkam animoku. Ya, Ileana memang cantik — tapi tidak lebih dari itu.

***

Seperti yang sudah kuduga, karakteristik restoran pilihan Aya adalah fine dining. Selera dia soal tempat makan memang selalu mewah. Waktu masih di Malang, Aya enggan kuajak makan emperan, ya, mau, tapi banyakan nolaknya. Pantas tadi dia minta aku pakai pakaian formal. Padahal apa enaknya makan di restoran macam begini; sudah mahal, makanannya cuma seupil.

Aya bilang, porsi yang kecil bertujuan memanjakan mata, baru perut. Ukuran tersebut memudahkan koki menata tampilan makanan agar menjadi elegan serta estetik. Setiap hidangan adalah karya seni. Setiap gigitan pasti kaya rasa. Belum lagi bahan baku yang digunakan selalu premium, tidak heran cost-nya tinggi. Selain itu di fine dining, hidangan yang disajikan pasti lebih dari satu; ada pembuka, makanan utama, lalu desert.

Segala penjelasan itu tetap saja belum masuk dalam nalarku.

Mau bagaimana pun aku tetap cinta makan penyetan atau nasi padang. Titik. Tapi begitulah lika liku hubungan cinta. Kita harus kompromi untuk saling melengkapi. Sesekali aku mengalah, sesekali dia.

Seorang pelayan berseragam serba hitam menyambut kami bertiga. Ia menuntun kami ke meja yang sudah Aya pesan sebelumnya.

Keenggananku berubah senyum ketika menelisik interior restoran Perancis ini. Pencahayaan lembutnya berhasil membingkai ambience hangat sekaligus intimate. Keseluruhan furniturnya menggunakan material kayu, termasuk meja makan berjejer yang dilapisi taplak hitam. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah pajangan foto-foto B&W berbingkai hitam pada dinding. Proporsi jepretannya sempurna. Semua cantik. Semua bernilai seni.

Aku dan Aya bersebelahan, sementara Ileana berada tepat di hadapanku. Entah pemilihan duduk macam apa ini? — netraku semakin sering bertumbukkan dengan sosok Ileana. Semakin lama kupandang, jantungku semakin berdentum. Tiap kali pandangan kami beradu tanpa sengaja, perutku seperti diremas karena mulas.

Dia — Ileana — berbeda. Malam ini dia luar biasa memukau.

Aku sudah bersamanya berhari-hari selama pemotretan dan syuting video. Semua baik-baik saja, aman terkendali. Akan tetapi mengapa sekarang gelora aneh mendadak timbul. Aku sadar perasaanku salah. Namun aku yakin bahwa ketertarikan ini hanya naluri alamiah dari otak lelaki yang pada dasarnya menyukai keindahan. Kontemporer alias cuma sementara.

Aku lantas memiringkan tubuh, menyangga sisi wajah pada punggung tangan demi menghadap Aya. Dialah bidadari sesungguhnya.

"Kamu sering ke sini?" tanyaku pada Aya.

Aya mengangguk. "Lumayan." Ia lalu beralih pada Ileana. "Kita juga beberapa kali ke sini bareng, kan, Lei."

"Iya, kalau kamu yang ajak," sahut Ileana. "Kalau aku, sih, mending beli nasi penyet atau nasi Padang, deh."

Ileana dan Aya kompak terkikik, beda denganku yang terpegun membisu.

"Eh, Beb," tegur Aya. "Kamu tahu, gak, Ileana ini pernah beli sebungkus penyetan dan dimakan buat pagi, siang, malem." Ia terbahak geli. "Baru kali ini aku ketemu orang yang nggak doyan makan."

"Antara nggak doyan dan hemat, Ya," sambung Ileana meringis. "Pagi nasi sama lalapannya, siang nasi sama tahu tempenya, malem baru makan lauknya."

"Ya ampun, Lei!" Aya menggeleng penuh ketidak-percayaan.

Sementara aku cuma bisa memaksakan tawa garing. Aku masih terkejut oleh jawaban Ileana tadi. Kenapa seleranya denganku bisa sama - plek ketiplek? Alah. Tapi penyetan dan nasi Padang memang makanan umum pilihan semua orang.

"Nah, itu dr. Dion." Aya melambaikan tangan.

Seorang lelaki di dekat lobi utama melempar senyum ke arah Aya. Sudah pasti itu Dion. Penampilannya ala-ala artis Korea yang sering Aya tonton di drama. Celana cingkrang di atas mata kaki senada dengan blazernya. Outfit Dion menjadi kasual karena basic shirt yang ia kenakan sebagai inner.

Aku melirik Ileana. Bibirnya menggaris lebar menyambut kemunculan Dion. Kurasa — mereka berpotensi saling suka.

"Malam," sapa Dion. "Lama nunggu?" Dion menyambut jabatan tangan Soraya sambil mengulas senyum ramah.

"Nggak, kok, kita juga baru datang. Eh, kenalin ini pacarku." Soraya mengenalkanku pada Dion.

"Dewangga," kataku.

"Dion." Kemudian kami saling bertukar tawa seadanya. Netra Dion lantas beralih pada Ileana. Raut lelaki itu terkesima. Untuk sejenak, Dion cuma mematung tanpa kata.

Aya sumringah. "Nah, yang ini Ileana, Dok," mesemnya.

Dion berdeham.

"Malam, Mbak Ileana." Ia menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Ileana tersipu. "Ileana aja, nggak usah pakai 'Mbak'." Ia menyambut jabatan Dion.

Mereka berdua saling bertatapan. Sama-sama canggung dan clumsy satu sama lain.

"Beda banget dari foto yang Soraya tunjukkan. Cantikan aslinya," puji Dion.

Aku mendecih. Rayuan basi — herannya baik Ileana mau pun Aya kompak tersipu-sipu.

"Kita pesen sekarang, ya?" tanyaku memecah romantisisasi.

***

Mula-mula obrolan antara Ileana dan Dion mengalir alami dan lancar. Mereka berdua saling bertukar informasi umum seputar diri masing-masing.

Akan tetapi saat main course disuguhkan, Dion justru berubah haluan. Alih-alih mengenal Ileana lebih dalam, Dion malah asyik berbincang dengan Aya. Tentu saja mereka berdua nyambung — wong satu kerjaan.

"Udah lihat hasil tindakan dr. Siska?" tanya Dion pada Aya.

Aya terkikik. "Parah, sih. Untung klien-nya sabar dan nggak marah-marah."

"Injection pada smile lines memang tricky. Kelihatannya mudah, tapi kalau terlalu banyak diisi filler, nasolabial folds-nya malah kelihatan jadi lebih membengkak," kata Dion.

"Thanks God waktu itu kamu gercep take over, Dok," sahut Aya.

"Cuma saran aja, sih, apa menurutmu dr. Siska perlu ikut pelatihan lagi?" Dion menatap Aya lekat. "Jarum yang menembus masuk ke vessel bisa bikin injeksi intravaskular. Too much pressure waktu penyuntikan buat arteri kewalahan ..."

Aya pun menimpali, "Arteri retina sentral bisa buat kebutaan, kan?" sambutnya. "The only way to avoid arteries is to know where they are."

"And dr. Siska should have known that. But, I kind doubt her."

Aya mengangguk serius. "Kamu benar, Dok. Mungkin aku harus bicara sama dr. Siska. Tidak ada salahnya meminta dia kembali menjalani pelatihan."

Nasolabial folds ... Vessel ... Instravaskular ... Arteries, semua adalah istilah medis yang sedikit banyak kuketahui. Akan tetapi sebagai lulusan kedokteran 'hewan', aku mana paham arah pembicaraan mereka. Mana ada hewan yang minta diinjeksi filler? Yang aku paham palingan cara masukkin keteter ke dalam uretra sampai ke vesica urinaria.

Pembicaraan ini sangat membosankan bagiku. Terlebih aku tak mengenal siapa itu Siska. Kalau aku saja bosan — apa lagi Ileana.

Aku sontak mencuri pandang pada Ileana. Dia fokus pada makanan di hadapannya; memotong-motong wagyu menjadi kecil-kecil, lalu membaurkannya dengan saus. Ileana kemudian menyuapkannya ke dalam mulut, lalu mengunyah dengan raut jengah.

Telunjukku lantas mengetuk pelan piring Ileana demi mendapatkan perhatiannya. Ia pun menengadah memandangku penuh tanya.

"Gimana menurutmu? Lebih enak nasi Padang, kan?" Aku membisik.

Tarikan pada kedua sudut bibir Ileana tercipta untukku. "Lihatlah, aku harus membagi dagingnya kecil-kecil biar tidak cepat habis."

"Aku belum tahu restoran Padang murah dan enak di sekitar kompleks kita," kataku.

"Nanti waktu perjalanan pulang aku tunjukkin," sahut Ileana tersungging.

"Tunjukkin doang? Nggak niat traktir sekalian? Hitung-hitung membalas jasaku membersihkan rumahmu dari kutu!" Aku menyeringai jail.

Ileana tersenyum masygul. "Dih, bukan aku yang suruh, lho. Kok sekarang minta bayaran. Lagian tempatnya udah tutup jam segini."

"Alesan," gumamku.

Ileana meringis.

Meja yang semula menyatukan kami berempat seolah-olah bersekat tinggi, memisahkanku dan Ileana dengan Aya dan Dion. Anehnya — aku tidak keberatan. Waktu yang tadinya terasa membosankan berubah menyenangkan. Pembicaraan bersama Ileana membuat detik mengalir cepat. Seakan-akan malam ini aku dan Ileana saling mengikat konstelasi.

Kami terpaksa berbincang demi membunuh waktu.

Namun desakan tersebut justru membawaku semakin mengenal Ileana. Selera humor Ileana tergolong sarkastik sama sepertiku. Apa yang ia lakukan pada waktu luang juga sama sepertiku, tidur. Aku dan Ileana juga kompak terpingkal-pingkal geli kala melihat video kucing jatuh berguling dari tangga. Sementara Aya dan Dion malah merespon dengan raut penuh iba.

"Senang sekali bisa makan malam bersamamu, Ileana. Kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu," ujar Dion.

Kami mengobrol sebentar di lobi restoran sebelum memutuskan pulang.

Ileana mengangguk. "Aku juga sangat menikmati malam ini."

Ileana melirikku. Apa yang ia lakukan membangkitkan desir luar biasa dahsyat. Nadi-nadiku serasa memanas hebat. Untuk menetralisirnya, aku memilih menggandeng tangan Aya lebih rapat.

"Oh, iya, gimana kalau pulangnya sama aku saja?" tawar Dion.

Bibir Soraya mengembang. "Bener juga. Ya udah sama dr. Dion aja, Lei. Kalian bisa ngelanjutin ngobrol dalam perjalanan nanti."

"Ehm ..." Ileana memandang bimbang. Sejurus kemudian ia pun mengangguk setuju. "Boleh kalau nggak ngerepotin kamu."

"Sama sekali nggak repot. Malah senang banget." Dion tertawa lebar sekali.

Aku dan Ileana pun berpisah jalan. Dia berjalan bersisian dengan Dion, tangan Dion menempel ketat pada pinggang Ileana. Menuntun Ileana seolah-olah Ileana itu merupakan manula.

"Aku senang mereka cocok. Kayaknya ini bakal lancar deh. Mereka cukup serasi, bukan?" ujar Aya.

"Ya." Aku mengangguk singkat.

***

Malam sangat larut tatkala aku sampai di rumah, aku dan Aya sengaja tidak langsung pulang. Kami nonton film dulu di bioskop midnight.

Netraku menemukan mobil dr. Romantic masih terparkir di depan gerbang Ileana. Betah juga mereka ngobrol berlama-lama. Baguslah. Rencana Aya sukses menjodohkan Ileana dan Dion. Aku tidak harus kembali tersangkut dalam double date jilid dua dengan lelaki berbeda lagi.

Aku melangkah masuk menyebrangi halaman menuju teras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Aneh. Ada sensasi sembilu menggores-gores relungku. Mengingat — persis di sebelah dua orang dewasa yang berlawanan jenis sedang berada dalam satu atap. Mereka mungkin saja tidak hanya mengobrol. Mereka mungkin saja ... bercinta.

Siapa yang akan menolak pesona Ileana. Dan siapa juga yang akan menolak seorang dokter muda macam Dion. Apa yang Aya katakan benar — Ileana dan Dion serasi.

Seutas dengki menderu-deru kalbu. Sialan, sebenarnya ada apa denganku?!

Hai, Darls!

Baca MR. VANILLA jalur cepat di KK, yuk! Traktirlah Ayana jajan mixue ...🤭

Jangan lupa follow social mediaku supaya ga ketinggalan update-an karya²ku yang lainnya 🖤🖤🖤















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top